
Ibu memang biduan organ tunggal yang kebanyakan mengambil job malam, tapi dia bukan pelacur!
Tiara menanamkan keyakinan itu dalam hati. Setidaknya sampai hari di mana Ibu malah mengakui, bahwa kabar itu memang benar, bahwa dia mantan pelacur.
Bab 3 (Episode-Episode Sulit)
Hari ini hampir sama dengan hari kemarin. Dari tadi pagi Tiara masih mengurung diri di kamar. Setelah asar, barulah dia memaksakan diri untuk keluar membeli beberapa keperluan dapur. Dia tidak boleh terus-terusan mengandalkan Nenek untuk memasak. Kasihan, Nenek sudah cukup capek mengurusi orderan jahitannya.
Nenek Hamida mulai menerima orderan jahitan untuk berbagai macam model pakaian sejak masih muda. Ruang tamu rumah mereka merangkap jadi ruang kerja Nenek. Katanya itu salah satu strategi marketing. Jadi kalau ada tamu, mereka bisa sekalian lihat-lihat hasil jahitan Nenek.
Tiara pernah menyarankan agar berhenti saja, biar dia yang fokus cari uang. Namun, Nenek Hamida bersikeras tetap menjahit selama fisiknya masih sanggup. Katanya, badannya malah pegal-pegal semua kalau tinggal diam.
Karena gagal menyuruhnya berhenti, Tiara pun mencari cara agar suasana kerja Nenek semakin nyaman. Tiara pun membelikan mesin jahit yang lebih canggih, serta semua hal yang bisa mempermudah pekerjaan Nenek. Beberapa bulan yang lalu Tiara juga membiayai penuh renovasi rumah itu sehingga tampak jauh lebih nyaman dari sebelumnya.
"Eh, mau ke mana?" tanya Nenek Hamida di balik mesin jahit begitu melihat Tiara melintas.
"Ke depan bentar, Nek."
Nenek Hamida tersenyum. Dia lega melihat anak itu mulai membaik. "Ya udah, hati-hati."
Tiara belanja kebutuhan dapur di toko Karni. Di pelataran toko kelontong yang lumayan besar itu, Ikbal menyewa tempat untuk berjualan tahu goreng. Meski hanya penjual gorengan, Ikbal lumayan populer karena paras tampannya yang sepintas mirip aktor Malaysia. Entahlah, Tiara tidak pernah benar-benar memperhatikannya. Yang dia tahu, Ikbal itu sangat ramah. Makanya dagangannya laris manis.
"Hei, Bal." Tiara menyempatkan diri menyapanya. "Buka lebih awal lagi?"
"Eh, Ra." Ikbal yang sedang memotong tahu, berhenti sejenak. "Kayaknya bakal seperti ini terus. Aku lagi menyiapkan sesuatu, jadi harus lebih rajin kerjanya."
"Mau nikah, ya?" tebak Tiara sambil mengacungkan telunjuk.
"Maunya, sih, gitu. Tapi calon aja belum punya, nih." Cowok hitam manis itu terkekeh.
"Maksudnya belum ada yang diiyain, kan? Padahal yang ngantri banyak."
"Ah, kamu bisa aja." Ikbal kembali memperlihatkan barisan gigi putihnya.
"Eh, aku masuk dulu, ya."
Ikbal mengangguk mengiyakan seraya mengulum senyum. Namun, baru dua langkah Tiara berpaling, dia kembali memanggil. "Ra!"
Tiara menoleh. "Hm?"
Ikbal malah menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Eh, nggak deh. Cuma manggil." Dia nyengir salting.
Tiara tersenyum sambil geleng-geleng, merasa aneh. Dia pun melanjutkan langkahnya.
Ikbal meringis samar. Padahal tadi itu dia mau bilang, kalau dia senang melihat Tiara bisa senyum lagi. Namun, entah kenapa dia merasa tidak pantas mengucapkan kalimat itu.
Sejak Tiara tinggal di rumah Nenek Hamida, sejak saat itu pula Ikbal menyukainya diam-diam. Namun, mengingat dirinya hanya tukang gorengan, dia terlalu minder untuk mengutarakan perasaannya. Hingga akhirnya Tiara menjalin hubungan dengan Haikal. Ikbal semakin menutup perasaannya. Dia hanya tidak tahu, bahwa hubungan Tiara dengan cowok tajir itu sedang tidak baik-baik saja, atau malah sudah bisa dikatakan berakhir.
"Melihat kamu ke sini lagi seperti menyaksikan tarian hujan setelah kemarau panjang," sambut Karni dari balik etalase.
"Lebay." Tiara mengibaskan jemari. "Eh, tapi, kok, aku nggak asing, ya sama kalimat itu?"
"Iya, ada di novel kamu." Karni terkekeh.
"Sudah kuduga. Kamu emang pembaca terbaik, sih."
"Iya, dong."
Tiara mengambil keranjang di samping pintu, lalu mulai memilih barang-barang yang dibutuhkannya.
Seperti biasa, Karni keluar dari balik etalase dan membuntuti Tiara untuk mengobrol random. Kadang sampai kena tegur sama ibunya kalau toko lagi ramai tapi dia tetap seperti itu.
"Eh, tadi ngobrol apa sama Ikbal?"
"Cuma nyapa."
"Dari kemarin dia bolak-balik nanyain kamu. Dikira aku baby sitter kamu kali."
"Oh ya?"
Karni mengangguk. "Udah kayak yang paling khawatir kamu nggak kelihatan beberapa hari."
Tiara tampak berpikir sejenak, lalu lanjut memilih barang tanpa merespons lagi informasi itu.
"Jadi gimana, udah baikan, kan?" Karni buka obrolan lagi.
"Sedang diusahakan."
"Pokoknya, kalau ada apa-apa ngomong aja sama aku. Aku paling nggak rela kalau kamu nyerah sama situasi ini."
Tiara mengangguk seraya tersenyum tipis.
Selesai belanja, Tiara langsung pulang, sebelum Nenek mengambil alih dapur. Namun, langkahnya terhenti di dekat stan Ikbal karena cowok itu memanggilnya. Ketika Tiara menoleh, Ikbal mendekat sambil menyodorkan sekantong tahu goreng.
"Loh, perasaan aku nggak pesan, deh," herannya, sambil menerima kantongan itu.
"Buat Nenek."
"Oh, berapa?"
"Maksudnya, itu gratis. Soalnya, tiba-tiba aku dibikinin celemek." Ikbal menunjuk celemek yang sedang dipakainya. "Karena nggak mau dibayar, gantinya itu aja. Sekalian bilangin, aku suka banget celemeknya." Cowok santun itu nyengir.
Tiara tergelitik dengan tulisan di celemek itu.
Tahu Goreng Aroma Cinta
Menyadari ekspresi Tiara, Ikbal langsung klarifikasi. "Oh, ini Nenek yang bordir, kalimatnya juga ngarang sendiri."
"Keren, kok. Pasti pelanggan kamu tambah ramai. Siapa coba yang nggak suka sama aroma cinta?"
Mereka tergelak.
"Ya udah, aku balik, ya. Makasih gorengannya."
Ikbal mengangguk dengan sisa tawa yang belum reda seutuhnya. Meski hanya dengan momen seperti itu, dia sudah sangat senang bisa mengenal Tiara.
***
Setibanya di rumah, Tiara langsung berkutat di dapur. Namun, ternyata memasak tidak cukup ampuh untuk mengalihakan pikiran. Pelan-pelan semua hal buruk yang sedang terjadi kembali memadati kepalanya.
Tiara merasa dejavu. Apa yang terjadi kini seolah lanjutan dari episode-episode sulit enam tahun silam, ketika semua orang saling bisik perihal masa lalu Ibu yang katanya seorang pelacur, juga soal profesinya sebagai biduan organ tunggal.
Alfian, Kakak kelas yang ditaksir Tiara waktu itu serta-merta menjauh ketika kabar seputar masa lalu Ibu merebak. Sebelumnya, cowok berambut ikal itu dengan senang hati selalu memberinya tumpangan sepulang sekolah. Membonceng di motor sport milik Alfian menjadi sepenggal momen indah yang patut ditunggu-tunggu oleh Tiara setiap hari. Arah pulang mereka memang sejalan. Alfian tinggal di Barebbo, sekitar empat kilometer dari tempat Tiara. Dia anak bungsu orang terkaya di kampungnya. Karena itu, Tiara tidak pernah berharap apa pun atas kedekatannya dengan pemilik gigi gingsul itu, selain hanya selalu membonceng ketika pulang sekolah.
Untuk Alfian sendiri, entah alasan apa dia memilih memberi tumpangan kepada Tiara setiap hari. Padahal masih banyak teman lain yang searah dengannya. Tidak jarang dia mengajak singgah nge-bakso, atau sekadar menikmati es tong-tong yang dijajakan pedagang keliling. Saat seperti itulah tawa mereka akan berhambur. Usik-usikan. Hal-hal sederhana yang kemudian menganak rindu di hati Tiara. Secara tidak langsung memekarkan sejumput harapan, membiarkan sesuatu bertunas, dan membuatnya semakin susah mengelak.
Namun sejak kabar masa lalu Ibu merebak, masa-masa seperti itu tidak ada lagi. Dia kembali naik angkot, sama seperti sebelum mengenal Alfian, cowok pertama yang berhasil membuatnya merindu.
Tiara pernah berusaha memastikan penyebab perubahan sikap Alfian terhadapnya. Waktu itu, mereka tidak sengaja berpapasan di koridor, ketika Tiara hendak ke perpustakaan. Tiara langsung memberikan senyum terbaiknya. Dan dibalas oleh Alfian seadanya saja.
"Mauki[1] ke mana?"
"Kantin," jawab Alfian seraya sibuk mengecek ponsel.
"Kenapaki kayak berubah? Atau perasaanku ji[2]?"
"Maaf, orangtuaku melarang berteman dengan orang yang nggak jelas asal-usulnya." Alfian berlalu setelah terang-terangan mengoyak hati Tiara. Ada sesuatu yang beguguran di sana. Sejak saat itulah Tiara berhenti mencoba untuk mengerti maksud setiap perhatian-perhatian kecil dari Alfian selama ini. Alasan cowok itu menjauh malah lebih kuat merangkul benaknya.
Tidak hanya sampai di situ. Keempat sahabatnya pun perlahan-lahan mulai membentangkan jarak. Dia tidak pernah lagi diajak bergabung jika ada tugas kelompok. Rutinitas belajar bareng pun ditiadakan. Mereka seolah membiasakan diri melakukan apa pun tanpa perlu mengajak Tiara. Mereka memang tidak pernah terang-terangan mengungkapkannya seperti Alfian, tapi semua perubahan yang ada cukup mewakili.
Hari-hari yang tercipta kemudian menjadi sangat menyiksa bagi Tiara. Tidak ada lagi keceriaan di sekolah itu. Dia terkucilkan. Semua orang seolah akan kena imbas jika bergaul dengannya. Kabar masa lalu Ibu yang katanya seorang pelacur semakin santer terdengar. Bahkan, ada yang terang-terangan menyebutnya sebagai anak haram. Katanya, dia hanya hasil kebiadaban yang tidak diharapkan. Hati mana yang tidak hancur bila diperlakukan seperti itu?
Tentu saja Tiara mengelak. Dia berjuang keras untuk menepis semua anggapan itu. Dia yang kenal Ibu lebih dari siapa pun. Ibu sosok pekerja keras yang tidak pernah menunjukkan tampang lelah demi melihatnya tersenyum. Bahagia. Perempuan tangguh yang mampu bangkit dan bertahan hidup setelah ditinggal mati suami.
Perihal Ayah, Tiara tidak begitu ingat. Dia masih terlalu kecil untuk tahu banyak hal waktu itu. Yang jelas, dia bukan anak haram seperti yang mereka katakan. Dia punya Ayah.
Kabar yang serta-merta merenggut kecerahan hari-hari Tiara pertama kali meluncur dari bibir Cika, teman sekelas yang memang selalu cari gara-gara dengannya. Tepatnya sejak Tiara mulai dekat dengan Alfian. Pasalnya, sebagai seorang mantan yang sebenarnya masih mengharapkan cinta Alfian, Cika terbakar api cemburu. Hari-harinya jadi disibukkan dengan pikiran-pikiran apa pun demi membuat hidup Tiara tidak tenang. Tiara terbilang tangguh menghadapi Cika. Ada-ada saja hal yang bisa membuatnya merasa menang. Namun, tidak untuk sekarang ini, setelah semua orang beranggapan bahwa dia anak pelacur.
Cika sendiri tidak punya bukti kuat soal kebenaran kabar yang dia siarkan dengan antusias itu, kecuali kesaksian dari mulut berbusa milik pembantu di rumahnya. Konon, pembantu itu teman dekat mantan suami Ibu. Dia paham semua permasalahan yang terjadi di rumah tangga mereka. Hingga Ibu memilih jual diri demi terlepas dari permasalahan ekonomi.
Sekencang apa pun kabar itu meluas di sekolah, Tiara tidak pernah percaya. Hanya saja, dia masih belum menemukan cara yang tepat untuk melakukan perlawanan. Terhadap Ibu, Tiara tidak pernah kepikiran untuk menanyakan kebenaran kabar itu. Dia tidak ingin beliau tersinggung. Ibu memang biduan organ tunggal yang kebanyakan mengambil job malam, tapi dia bukan pelacur!
Tiara menanamkan keyakinan itu dalam hati. Setidaknya sampai hari di mana Ibu malah mengakui, bahwa kabar itu memang benar, bahwa dia mantan pelacur.
***
[Bersambung]
Catatan kaki:
[1] Partikel ki dalam bahasa keseharian orang Makassar bermakna sapaan yang sopan terhadap lawan bicara. Pengganti kata kamu.
[2] Saja. Aksen khas orang Makassar.
❤️❤️❤️
Bab 4 (Pulang)
Satu minggu sudah berlalu sejak latar belakangnya bocor ke publik. Namun, Tiara tidak merasakan ada perubahan berarti. Dia belum berani buka sosmed karena komentar miring netizen masih ada di mana-mana. Lebih parahnya lagi, dia seolah kehilangan kemampuan menulisnya.
Tiara sadar, dia tidak bisa seperti ini terus. Dia harus tegas terhadap hidupnya sendiri. Malam-malam panjang dia gunakan untuk merenungi, mencari cara untuk keluar dari fase ini. Dari sekian banyak cara yang sempat terlintas, pada akhirnya tetap kalimat Nenek Hamida yang berdengung paling keras.
"Pulanglah, Nak. Barangkali ada yang ingin Allah tunjukkan. Ingat, ridho Allah adalah ridho ibu."
Karena itu, setelah enam tahun kukuh dalam pendirian, hari ini Tiara memutuskan untuk pulang. Dia akan menemui Ibu, melihat kembali wajah yang pernah sangat dia kagumi. Meski setelahnya, dia tetap akan kembali menjalani kehidupannya yang sekarang. Dia hanya ingin membuat Ibu dan dirinya sendiri lebih tenang.
Nenek Hamida adalah orang yang paling senang mendengar keputusan itu. Entahlah, tapi dia merasa bersalah kalau gagal membujuk cucu angkatnya itu untuk berdamai dengan ibu kandungnya.
"Kamu nggak lupa jalan pulang, kan?" tanya Nenek Hamida dengan nada setengah bercanda tadi malam, sambil menemani Tiara berkemas.
"Ya nggak lah, Nek."
Tiara tidak berniat lama-lama. Jadi, dia hanya bawa satu ransel yang hanya muat beberapa pakaian.
Saat ini Tiara berada di teras, menunggu mobil jemputan. Karni dan Nenek Hamida menemaninya. Mereka masih setengah percaya bahwa hari ini akhirnya datang juga. Bertahan untuk tidak pulang selama enam tahun bukan keputusan main-main. Mereka tidak bisa membayangkan sedalam apa luka di hati Tiara.
Setelah menunggu sekitar sejam, akhirnya mobil datang juga. penumpangnya sudah penuh, hanya menyisakan satu kursi kosong di samping sopir yang memang sudah dipesan Tiara sejak semalam. Si sopir langsung turun dan memasukkan tas Tiara ke bagasi.
"Nek, aku berangkat, ya."
"Semoga kamu menemukan jawaban di sana."
Meski agak sangsi, Tiara mengangguk, kemudian mendekap Nenek Hamida sangat erat. Dari perempuan renta ini Tiara belajar, bahwa keluarga bisa saja terbentuk tanpa ikatan darah.
"Kar, titip Nenek, ya," ujar Tiara setelah melepas pelukan.
Karni langsung mengacungkan kedua jempolnya.
"Tunggu, Ra!" teriak Ikbal dari jarak beberapa meter.
Tiara urung masuk ke mobil. Dia langsung menoleh ke sumber suara.
"Ada apa, Bal?" tanyanya begitu cowok itu tiba di depannya.
Alih-alih menjawab, Ikbal malah menyodorkan sekantong penuh tahu goreng. "Buat di jalan," katanya seraya tersenyum.
"Loh, jam segini udah buka?" Tiara sigap menoleh ke arah stan Ikbal, tapi ternyata masih tertutup rapat.
"Nggak, itu aku bikin di rumah, khusus untuk menemani perjalanan kamu." Ikbal tahu rencana kepulangan Tiara tadi malam dari Karni. Karena itu, tadi subuh selepas shalat, dia langsung memasak tahu goreng andalannya untuk sang pujaan hati. Andai tahu-tahu itu bisa ngomong, dia tidak perlu setersiksa ini memendam perasaan.
"Wah, makasih banyak, loh. Tapi kayaknya ini kebanyakan, deh." Tiara terkekeh ringan.
"Sengaja, kok. Biar kamu bisa bagi ke penumpang yang lain. Kan, pasti kamu nggak enak kalau makan sendiri."
"Duh ... baik banget. Nggak heran, deh, kalau banyak pelanggan yang jatuh cinta."
"Apaan, sih." Ikbal mengibaskan jemari sambil mengedarkan pandangan. "Loh, Haikal nggak datang lihat kamu berangkat?" tanyanya spontan. Padahal, itu jelas-jelas nggak ada hubungannya sama dia. Namun, dia tidak bisa menahan pertanyaan itu.
Tiara bingung harus jawab apa. Akhirnya dia hanya menggeleng.
Ikbal ber-o tanpa suara. Meski hal itu terasa janggal, dia memilih untuk tidak bertanya apa-apa lagi.
"Ya udah, aku jalan, ya."
Ikbal mengangguk. "Apa pun tujuan kamu ke sana, semoga kamu bisa balik ke sini lagi dengan versi terbaikmu."
Tiara tersenyum dan mengangguk samar. "Semoga." Lalu masuk ke mobil.
Beberapa saat kemudian mobil itu pun melaju. Nenek Hamida terus melambai hingga mobil itu hilang di tikungan kompleks menuju jalan utama.
Dari balik kaca jendela mobil, Tiara menerawang ke luar. Bangunan-bangunan kios semi permanen yang berderet di sepanjang jalan semakin cepat bergerak ke arah berlawanan, seiring ingatan masa lalu yang terputar kembali.
***
Puncak dari masa-masa suram Tiara di sekolah bertepatan dengan perayaan hari kelulusan. Mereka diminta datang bersama orangtua masing-masing untuk menghadiri acara pelepasan siswa-siswi SMA Negeri 5 Watampone angkatan 2013 yang dirangkaikan dengan pengumuman siswa-siswi lulusan terbaik dan beragam acara pendamping lainnya. Lapangan yang biasanya digunakan untuk upacara bendera setiap hari Senin dipasangi tenda dan didekor sedemikian rupa. Pagi-pagi sekali, tenda itu sudah disesaki wajah-wajah bahagia, lega setelah tiga tahun berjuang dan berhasil melalui tantangan di sekolah itu.
Tiara tiba sekitar 30 menit sebelum acara dimulai. Dia mengenakan kebaya berwarna hijau yang sengaja disenadakan dengan pakaian Ibu. Hari ini Tiara bermaksud menegaskan, bahwa dia baik-baik saja. Seruncing apa pun kabar miring itu melesat akhir-akhir ini. Terbukti, dia tampak tenang ketika seluruh pasang mata menyoroti kedatangannya mulai saat turun dari angkot. Tiara berjalan sambil menggandeng tangan Ibu. Ini salah satu bentuk perlawanan.
Nahas. Di antara semua itu, Cika telah menyiapkan senjata pamungkas. Serta-merta dia menyebarkan video Ibu sedang beraksi di atas pentas dengan tarian erotis candoleng-doleng[1] di sebuah acara resepsi pernikahan. Entah dari mana lagi Cika mendapatkannya. Tidak heran, dia punya uang dan dengan mudah membayar siapa saja untuk merekam adegan itu.
Tiara tetap duduk tenang, meski tawa orang-orang di sekitarnya jauh lebih mengusik dari awal dia datang. Dalam hati Tiara bertanya-tanya, video apa sebenarnya yang tengah mereka tonton di ponsel masing-masing? Kenapa seheboh itu?
Rasa penasaran itu terjawab setelah Linda—salah satu sahabat yang kini memilih menjauhinya—menghampiri dan menunjukkan video itu di ponselnya. Sesaat Tiara hanya mengernyit, masih belum paham maksud video seronok itu. Sepasang matanya melotot kemudian, dada mendadak sesak, sekujur tubuhnya lemas, bahkan tidak punya cukup kekuatan untuk sekadar memegang ponsel Linda lebih lama. Dia mengembalikan sebelum menjatuhkan benda yang terbilang sangat mewah untuk ukuran dirinya itu.
Tiara berusaha mengelak, serupa yang berhasil dia lakukan selama ini. Namun, kali ini berbeda. Perempuan yang sedang mengumbar aurat dalam video itu benar-benar Ibu. Tiara gagal dalam upayanya untuk tetap tenang. Video tadi sukses mengacaukan hati dan pikirannya. Tawa-tawa di sekeliling kian menusuk gendang telinganya. Dia menghambur, berlari sekencangnya meninggalkan tenda itu. Air matanya tumpah ruah tidak terkendali. Dia menyetop angkot setibanya di pinggir jalan, sebelum Ibu berhasil menyusulnya. Dia meninggalkan Ibu dan acara perayaan kelulusan yang belum dimulai.
***
Tiara mulai pusing ketika sang sopir memutuskan singgah di Rumah Makan Cijantung agar dia dan penumpangnya bisa istirahat sejenak sambil makan siang. Untunglah, Tiara bisa sekalian cuci muka untuk menyegarkan diri. Rumah makan yang masih berada di kawasan Kabupaten Maros ini memang paling ramai disinggahi oleh mereka yang tengah melakukan perjalanan Makassar-Bone.
Tiara teringat kembali. Di hari pelarian itu, dia juga singgah untuk makan siang di tempat ini. Enam tahun tidak membawa perubahan apa-apa untuk rumah makan yang disebut-sebut sebagai titik tengah Makassar-Bone ini.
Entah pikiran apa yang menghuni ruang kepala Tiara hingga memutuskan untuk lari dari kenyataan pada hari itu. Semuanya terlalu kacau dan sulit diuraikan dengan kata-kata. Pada akhirnya, setelah berhari-hari menghindari Ibu karena kemunculan video itu, Tiara memutuskan untuk bicara baik-baik.
Malam itu, dia sama sekali tidak bisa tidur sebelum mendapatkan penjelasan yang diinginkan. Tiara terdiam di ruang depan, menunggu Ibu yang lewat tengah malam belum pulang juga. Setelah menunggu hampir dua jam, Ibu muncul dari balik pintu. Wajah letihnya masih dibalut sisa-sisa make up menor yang mulai bercampur dengan keringat. Jadi sedikit aneh.
"Kenapaki belum tidur, Nak?" Ibu tampak kaget menemukan Tiara tengah menunggunya.
"Mauka bicara sebentar, Mak." Tiara berucap pelan setelah menghela napas panjang.
Sambil bertanya-tanya dalam hati, Ibu lekas duduk berhadapan. Mereka diantarai meja panjang yang terbuat dari rotan. Ibu menunggu Tiara bersuara duluan, sambil meletakkan tas jinjing di kursi sebelahnya, kemudian melepas jaket yang dikenakannya untuk menghalau angin malam.
"Jadi selama ini Mak ma[2]candoleng-doleng?" Suara Tiara bergetar.
Ibu terkesiap. Apa pun yang tengah dilakukannya terhenti total. Mematung. Keheningan menyelinap di antara mereka.
"Iya," lirih Ibu setelah menarik napas panjang demi menormalkan degup di dada yang mendadak berpacu tidak wajar.
Hati Tiara bak tergelincir ke palung terdalam demi mendengar jawaban itu. Air matanya berhambur tanpa mampu dicegah.
"Dan dulu, apakah Mak juga melacur?" Sekuat tenaga Tiara melontarkan kalimat barusan. Dia sadar, betapa besar luka yang bisa tercipta di sana. Dia menegakkan kepala dan menunggu jawaban. Ibu seolah tidak sanggup menatap mata Tiara. Dia hanya mengangguk perlahan sambil menggigit kedua bibir. Anggukan yang diiringi dua aliran sungai kecil di pipi itu mengakhiri upaya apa pun yang dibangun susah payah oleh Tiara selama ini. Keras usahanya untuk abai, tidak percaya, kini runtuh.
Ibu tidak mampu mengeluarkan sepenggal kata pun sebagai sanggahan demi menjaga keutuhan hati putrinya. Hanya nada sesenggukan yang dia perdengarkan, yang semakin jelas memecah hening malam. Jemari tangannya saling meremas. Banyak hal berkecamuk di dada, tapi tidak satu pun yang mampu dia utarakan. Tidak ada niat untuk bela diri. Dia hanya takut sikap anaknya akan berubah setelah ini.
Kenyataan ini serupa obat bius yang menjalar dengan cepat ke seluruh syaraf Tiara. Membuatnya kehilangan kemampuan gerak selama beberapa saat. Bahkan, sekadar mengeluarkan air mata saja rasanya sudah tidak sanggup. Tatapannya menerawang hampa. Dan tanpa diundang, sesuatu mulai bertunas di hatinya. Rasa kecewa yang akut, bahkan menyerupai benci.
Tiara memilih angkat kaki lebih dulu dari suasana mencekam itu. Suara derap kakinya berakhir dengan bantingan pintu kamar yang membuat Ibu tersentak. Hati Ibu semakin tidak keruan setelahnya. Kini, dia sendiri, membiarkan dirinya larut dalam situasi yang dia sendiri sulit untuk memahami.
Tiara tidak tidur malam itu. Dia berpikir keras bagaimana mesti menghadapi kenyataan yang ada. Dia paham permasalahan ekonomi yang tidak pernah beranjak dari kehidupan mereka, tapi tidak menyangka Ibu sampai rela jual diri. Dia berbesar hati menerima pekerjaan Ibu sebagai biduan organ tunggal yang kerap tampil dengan busana mini, tapi tidak habis pikir perempuan yang melahirkannya itu sampai berani memeragakan aksi candoleng-doleng. Hal ini tidak lantas membuat Tiara serta-merta menyalahkan Ibu. Dia hanya ingin menjauh dari keadaan itu.
Cahaya matahari pagi baru saja jatuh dan menghantarkan kehangatan ke permukaan bumi. Tiara selesai mengemas barang-barang yang akan dia bawa pada rencana besarnya kali ini, ketika Ibu mengetuk pintu kamar sambil memanggil-manggil.
"Tiara ... buka pintuta[3], Nak!"
Tiara geming. Sama sekali tidak berniat untuk menjawab, terlebih membuka pintu.
"Mauka ke pasar, Nak. Sudahmi[4] kumasakkanki nasi goreng. Ada di bawah pattongko[5]."
Mendengar Ibu tengah pamit untuk ke pasar, tekad yang membuat Tiara merenung sepanjang malam semakin bulat. Dia memilih pergi dari rumah itu daripada menjalani hari-hari yang tentu tidak akan semudah sebelumnya. Dia tidak punya rencana dan tujuan yang jelas. Dia hanya ingin menghilang secepatnya.
***
[Bersambung]
Catatan kaki:
[1] Bergelayut. Sebutan untuk aksi erotis yang dipertontonkan para biduan organ tunggal di acara resepsi pernikahan dan semacamnya. Terkadang mereka tidak segan memperlihatkan buah dada mereka menjelang tengah malam, setelah pesta dibubarkan. Tarian ini diiringi musik dugem tanpa nyanyian, melainkan desahan yang seolah-olah sengaja dibuat untuk mengundang hasrat birahi kaum lelaki. Untuk di daerah Makassar dan sekitarnya, pertunjukan semacam ini marak di tahun 2000-an.
[2] Imbuhan dalam logat Bugis yang berarti melakukan.
[3] Partikel ta pada aksen khas orang Bugis mengindikasikan kepunyaan atau milik. Patikel ini digunakan untuk menghargai lawan bicara. Bertutur dengan sopan.
[4] Partikel khas dalam dialek Makassar yang sering diikut-ikutkan saat berbahasa Indonesia. Umumnya partikel ini berfungsi untuk menegaskan kata yang ditempelinya, dan sama sekali tidak memiliki arti jika berdiri sendiri.
[5] Tudung saji.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
