Gadis Bisu dan Penjaganya (Bagian 1)

1
0
Deskripsi

Sewaktu kecil, Ajeng selalu dimarahi Ibu jika berkeliaran di luar rumah selepas magrib. Katanya, penunggu pohon asam tua yang ada di pertigaan jalan kampung mereka akan memangsa anak-anak yang keluar rumah setelah tak ada lagi cahaya matahari. Faktanya, bukan cuma anak-anak, orang dewasa pun jarang terlihat setelah magrib. Kampung menjadi sepi, seolah tak berpenghuni. Bukan tanpa alasan mereka seperti itu. Kejadian-kejadian aneh masa lampau yang melibatkan keberadaan pohon asam itu merebak di tengah...

Gadis Bisu dan Penjaganya (Bagian 1)

Selain berlokasi di pojok, rumah itu sama saja dengan rumah penduduk lain pada umumnya. Tempatnya memang agak terpisah, tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda menyeramkan ataupun angker. Omongan-omongan miring muncul karena ada seorang gadis terkurung di sana. Tak mudah melupakan kejadian sembilan tahun silam, ketika akhirnya gadis malang itu terpaksa melanjutkan hidup hanya bertemankan dinding-dinding papan dan kesialan. Ingatan yang masih melekat itulah yang membuat orang-orang menjauh, kecuali lelaki berbibir tebal yang secara rutin bertamu ke rumah itu.

Ajeng sangat suka naik ayunan. Melambung tinggi, menyatu dengan angin, menatap langit yang seolah mampu dia gapai, sambil terus tersenyum. Semasa kecil, Ibu sering mengajaknya ke taman bermain. Banyak permainan yang bisa dilakukan di sana, tapi dia hanya akan bermain ayunan sampai tiba waktunya untuk pulang. Dia selalu meminta Ibu mendorongnya dari belakang. Ibu selalu melakukannya dengan hati-hati, meski Ajeng selalu minta lebih kencang, dan lebih kencang lagi. Masa kecil yang bahagia. Masa bahagia yang telah hilang.

Suatu hari yang tak seharusnya terjadi, senyum di bibir Ajeng mendadak hilang, berganti tatapan penuh ketakutan. Ibu meninggal dalam kondisi mengenaskan, terkapar di lantai yang lebih mirip lautan darah. Cairan merah pekat itu mengalir dari lehernya. Bekas tikaman menganga di sana.

Ayah yang baru pulang kerja disambut bau anyir dari ruang tengah, juga tubuh ibu yang tak lagi bernyawa. Ayah tersentak. Tak sepatah kata pun mampu dia ucapkan. Amarah dan kesedihan menyesaki dadanya. Tepat di samping mayat Ibu, Ajeng berdiri dengan tubuh gemetar. Badik berlumuran darah tergenggam lemah di tangan kanannya.

***

Mereka keluarga miskin yang terkucilkan. Seolah hidup terpisah dengan warga lainnya, mereka menjalani hari-hari tanpa banyak interaksi. Meski sudah merasa berperilaku wajar, orang-orang tetap memandang mereka aneh. Terlebih setelah kejadian itu; seorang anak membunuh ibunya.

Ayah tak punya waktu untuk mengurusi Ajeng yang telanjur dicap gila oleh warga kampung. Pekerjaannya sebagai buruh bangunan mengharuskannya berangkat pagi dan pulang selepas magrib. Jalan satu-satunya dengan mengurung anak gadisnya itu di dalam rumah selama dia pergi. Tentu saja dia sudah memastikan tak ada celah untuk anak gadisnya itu melangkah keluar sebelum dia pulang.

Ajeng sudah terbiasa dengan hidupnya. Sejak Ayah menemukannya bersama belati berlumuran darah di samping mayat Ibu, tatapannya selalu dihuni ketakutan. Hari-harinya hanya bertemankan dinding-dinding papan dan perabotan di dalam rumah. Caranya melepas jenuh cukup dengan memandang ke arah lahan kosong yang tak jauh dari rumahnya. Di sana ada dua buah ayunan, tempat anak kecil bergerombol setiap sore.

Meski sudah berumur 16 tahun, Ajeng masih menyukai ayunan. Kenangan bersama Ibu berkelebat setiap kali dia melihat ayunan. Masa kecil yang bahagia. Masa bahagia yang telah hilang.

Ayah tidak akan mengizinkannya keluar walau sebentar untuk bermain ayunan. Dia memang belum pernah benar-benar memintanya. Percuma, pikirnya!

Betapa dia sangat rindu saat-saat tubuhnya bergerak tanpa bersentuhan dengan tanah. Lebih tepatnya dia rindu Ibu. Maka di suatu malam yang dingin, ketika cahaya bulan sempurna terhalang awan pekat, Ajeng mencongkel jendela kamarnya, memanjat, mengabaikan larangan Ayah.

Tergopoh-gopoh, dia melangkah ke arah lahan kosong, ke arah ayunan. Semakin dekat, semakin kebahagiaan menepuk dinding hatinya. Tentu saja tak seorang pun anak kecil tersisa di sana. Malam ini hanya dia yang akan memainkan ayunan itu sepuasnya.

Untuk pertama kalinya sejak kematian Ibu, senyum tercipta di bibir Ajeng begitu duduk di ayunan. Dia menengadah ke langit kelam ketika ayunan mulai bergerak perlahan-lahan. Lalu semakin kecang, lebih kencang lagi, persis ketika Ibu mendorongnya. Namun, jelas tak ada Ibu di sana. Kakinya juga lurus ke depan, tak perlu bertumpu di tanah. Ayunan melambung tinggi bersama sosok kepala berbadan transparan sewarna angin. Senyum Ajeng semakin lebar, ketika ayunan di sebelahnya ikut bergerak, melambung bersama. Sosok kepala berwajah tirus, kulit keriput, serta sepasang bola mata tidak simetris tersenyum di sana. Memamerkan gigi-gigi runcing lebih tepatnya.

Sewaktu kecil, Ajeng selalu dimarahi Ibu jika berkeliaran di luar rumah selepas magrib. Katanya, penunggu pohon asam tua yang ada di pertigaan jalan kampung mereka akan memangsa anak-anak yang keluar rumah setelah tak ada lagi cahaya matahari. Faktanya, bukan cuma anak-anak, orang dewasa pun jarang terlihat setelah magrib. Kampung menjadi sepi, seolah tak berpenghuni. Bukan tanpa alasan mereka seperti itu. Kejadian-kejadian aneh masa lampau yang melibatkan keberadaan pohon asam itu merebak di tengah warga. Hingga saat ini terus bergulir dari mulut ke mulut.

Meski berusaha untuk patuh, Ajeng tidak memercayainya. Itu hanya akal-akalan Ibu agar dia lekas kembali ke rumah sebelum magrib, agar Ibu tak perlu capek-capek menggiringnya.

Bukan anak-anak namanya bila tidak nakal. Meski sudah diperingatkan, Ajeng masih sering keluar rumah di malam hari. Dia menyukai kunang-kunang. Dia sangat ingin menangkap salah satunya dan menyimpannya di dalam toples kaca, lalu diletakkan di dalam kamar. Dia bisa terus memandanginya sambil tiduran. Cahaya milik serangga kecil itulah penyebab dia sering melanggar larangan Ibu.

Betapa girang hati Ajeng ketika dia berhasil memperoleh seekor kunang-kunang. Bukan hasil tangkapan, melainkan pemberian sesosok yang tidak tampak. Hanya ada kepala yang menggantung entah di mana. Ajeng meredam rasa takutnya, ketika makhluk itu memerintahkan semua kunang-kunang untuk mendekat. Ajeng larut menikmati tarian cahaya.

Semakin sering Ajeng menyelinap keluar ketika Ibu dan Ayah sudah tidur. Bukan lagi untuk memburu kunang-kunang, melainkan bermain bersama makhluk itu. Pada akhirnya Ajeng tak perlu lagi keluar rumah untuk menemui teman barunya, karena makhluk itu telah menghuni salah satu sudut kamarnya. Sesekali giliran makhluk itu yang mengajak Ajeng berkunjung ke rumahnya, pohon asam tua di pertigaan jalan kampung, tempat kunang-kunang bersarang.

***

Meski hidup terkurung tanpa sosialisasi, Ajeng tumbuh jadi gadis remaja yang cantik. Ayah tak begitu menyadarinya, terlebih warga kampung lainnya. Mungkin hanya makhluk itu yang tak sengaja tahu. Ia menyaksikan sepasang bibir Ajeng mulai ranum, bokong kian padat, serta buah dada menjulang.

Ajeng tak bisa menampik sesuatu yang mulai tumbuh subur di hatinya. Hal baru yang mampu mendatangkan kebahagiaan selain kenangan tentang Ibu. Semuanya bermula ketika Ajeng tidak sengaja melihat pemuda yang melintas di samping jendela kamarnya setiap pagi saat berangkat sekolah, pun menjelang sore saat pulang. Ajeng sudah hafal di jam dan menit keberapa dia harus bersiap di tepi jendela, mengawasi setiap pergerakan di ruas jalan yang berhadapan dengan jendela kamarnya. Saat pemuda itu melintas bersama sepeda ontelnya, adalah saat-saat paling membahagiakan bagi Ajeng. Saat-saat yang patut dinanti setiap hari.

Bersambung ke bagian 2 ....
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Gadis Bisu dan Penjaganya (Bagian 2)
1
0
Parman bukannya tak peduli pada anak gadisnya yang dibiarkan tumbuh tanpa sosialisasi. Justru sebaliknya. Semua orang memandang anak gadisnya sebagai ancaman, sesuatu yang berbahaya. Tak secuil pun sinar kebaikan memancar dari mata mereka ketika memandang anak gadisnya itu. Meski sejauh ini Parman masih belum bisa memahami takdir macam apa yang Tuhan limpahkan untuk keluarganya, dia tidak ingin anak gadisnya itu terus diolok-olok. Dia berusaha menerima, bahwa kematian istrinya merupakan salah satu jalan hidup yang harus dia tempuh, sekali pun matinya di tangan anak sendiri.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan