Bab 1-5 GRATIS - An Adventure of Love 1 (in Junior High School)

1
0
Deskripsi

Pernah jatuh cinta sama sahabat sendiri atau jadian sama sahabat sendiri? Gimana ya rasanya?

Yuk simak kisah cinta monyet Anquin dan Jian!

Novel ini sudah ada versi cetak dengan harga 108.000

Kamu mau hemat? baca di Karyakarsa aja yukk!

Prolog

 

Tak kusangka semua rajutan cinta kita berakhir seperti ini. Terhempas bersama kenangan yang tak kunjung bisa kulesapkan. Bagaimana aku bisa memahamimu, jika hanya diam yang kau tunjukkan padaku? Bagaimana aku bisa mengerti, jika kau tak pernah berbagi? Diammu membuat denyut nadiku semakin terasa menyiksa, membuat setiap napas yang kuhirup seakan menjadi tabun di dalam rongga dadaku.

Semua rasa ini seakan menghimpit setiap langkahku untuk kembali bersamamu. Seberapa keras aku mencoba untuk hengkang darimu, tetap saja rasa ini kembali tertanam untukmu. Rasa yang seharusnya kulipurkan sejak lama. Rasa yang tak seharusnya mengekangku untuk mengesatkanmu dalam memoar dibenakku. Salahkah bila pada akhirnya aku memutuskan untuk menyerah? Ketika tak ada lagi yang kau tunjukkan untukku agar aku tetap mempertahankanmu. Bolehkah? Bolehkah bila seperti itu?

Aku menyerah dengan garis takdir yang ada di depanku, entah apa yang harus aku agihkan untuk membuatmu sadar adaku di sisimu. Setelah kemenyerahan ini meringkusku, mungkin pada akhirnya aku benar-benar akan 'melepaskanmu' bersama angin yang menelisik relung hatiku. Angin yang membawa nama lain, selain namamu.

 

~ Anquin~


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 1: Perasaan Masa Kecil

 

Tahun 2009 adalah tahun di mana aku pertama kali bertemu dengan DIA. DIA yang membuat aku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Lelaki itu adalah Jian Arya Rafael teman satu SD-ku dan sekaligus mantan sahabatku.

Oktober 2010 adalah bulan di mana aku mulai dekat dengan Jian karena suatu hal. Aku menangis karena diganggu oleh teman laki-laki di kelasku, kebetulan sekali Ibuku sedang berjalan di sekitar sekolah dan tanpa sengaja mendengarku menangis.

“Jian tolong jagain Quina ya, kalau ada yang mengganggu tolong Jian bela. Enggak apa-apakan?” pinta Bunda. Jian hanya mengangguk.

Sejak saat itu, Jian selalu berusaha membelaku meskipun aku dan dia sama sekali nggak pernah bertegur sapa. Waktu itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti kata cinta dan sayang. Bahkan aku sama sekali nggak memiliki perasaan lebih terhadap Jian. Entah apa yang dirasakan Jian saat itu karena pada akhirnya ia mengakui bahwa perasaan sayangnya padaku udah tumbuh sejak kelas dua SD karena bunda menitipkanku padanya untuk ia jaga.

 

***

 

November, 2013

Tanpa terasa waktu bergulir dengan cepat, aku telah duduk di bangku kelas lima SD. Dalam hal pertemanan, aku emang kurang beruntung. Aku sering dimusuhi oleh teman-teman perempuanku, bahkan dikucilkan. Salah satu penyebab hal itu terjadi karena aku disayangi oleh guru-guruku dan merupakan salah satu anak yang pintar dan cekatan. Pengucilan ini berlangsung sejak aku duduk di bangku kelas dua. Aku sudah terbiasa menjadi bahan hinaan dan cacian oleh teman-teman perempuanku, sehingga hampir setiap hari aku menangis. Rasanya pengen marah, tapi aku nggak bisa.

Selain karena alasan di atas, hinaan itu aku dapatkan karena perangai buruk ayahku. Perangai buruk ayahku udah jadi rahasia umum di kampung tempat tinggalku: Anquin anak perempuan dari Pak Ilyas yang pemabuk, penjudi, tukang sabung ayam, dan suka main perempuan. Bagi anak seusiaku dulu, tentu hinaan itu menjadi tekanan tersendiri bagi kesehatan psikologisku. Karena aku terlalu sering dimusuhi oleh teman-teman perempuanku, akhirnya aku lebih dekat dengan teman laki-lakiku salah satunya adalah Jian.

“Quin, boleh tanya nggak?” tanya Jian pada jam istirahat waktu itu.

“Boleh, Jian mau nanya apa?” Aku yang sedang menulis langsung menghentikan aktivitasku. Lalu duduk menghadap Jian yang duduk di sebelah mejaku.

“Quina, punya pacar nggak?” tanya Jian polos.

“Pacar? Nggak punya. Aku kan masih kecil. Masa udah punya pacar?” jawabku polos, jujur waktu itu aku mana ngerti masalah cinta. Banyangin aja itu Jian nanya pas kita masih duduk di bangku kelas V SD.

“Aku punya loh, hebatkan udah punya pacar.” Jian berbicara seraya mengacungkan kedua jempolnya.

“Oya? Ih Jian punya pacar! Kita kan masih kecil.”

“Biarin.” Jian menjulurkan lidahnya kepadaku.

“Emang pacar Jian siapa? Temen sekelas ya?” tanyaku. Mungkin waktu itu ekspresiku nyureng abis karena heran masa kelas V SD udah main pacar-pacaran?

“Bukan. Pacar aku sekolah di sekolah lain nggak disini, dia kelas enam.” 

“Ooh….” jawabku singkat, padat, dan tidak jelas! Entah mengerti atau tidak? Kayaknya sih dulu masih nggak ngerti.

“Tapi sebelum pacaran sama dia, aku pernah pacaran sama orang lain loh tapi kita putus gara-gara dia pindah rumah. Nggak tau deh sekarang dia di mana?” cerocos Jian, nyaris tanpa titik tanpa koma!

“Wah, Jian banyak pacarnya.” Aku ternganga seraya mengerutkan keningku. Serah deh kalo mau dibilang lebay, norak, atau apa pun yang jelas saat itu aku bener-bener terkesima dengan curhatan Jian seputar pacarnya yang sebenernya aku juga nggak ngerti karena waktu kelas V aku sama sekali belum puber kayak Jian. Ngelihat ekspresi aku kayak gitu Jian hanya tertawa memamerkan giginya yang bergingsul dua di kiri dan kanannya.

Ketika menginjak kelas lima, Jian dijodohkan dengan Wella yang gosipnya sudah lama menyukai Jian. Bahkan aku pun sering menggoda Jian dengan cara menjodoh-jodohkannya dengan Wella. Kala itu aku sama sekali tidak menyadari bahwa sebenarnya Jian menyukaiku bukan menyukai Wella.

“Quina, aku putus sama pacar aku.” Jian mengeluh seraya mengerucutkan bibirnya.

“Kenapa putus?” 

“Nggak tau, dia yang mutusin aku.” Wajah Jian mulai memberengut.

“Ya udah nggak apa-apa. Kan masih ada Wella, Jian jadian aja sama Wella.”

“Dih! Malah jodohin terus sama Wella,” protes Jian.

“Biarin, kan Wella suka sama Jian!” sergahku dengan ekspresi wajah tanpa dosa.

“Enggak ah!” Jian menjawab seraya pergi begitu saja tanpa permisi. Aku hanya melongo melihat tingkah Jian yang menurutku aneh.

 

***

 

September, 2014

 “Quina, Barusan Wika nembak aku!” seru Jian seraya mengendarai sepedanya.

“Oh, ya? Terus kamu jawab apa?” tanyaku penasaran. Jian memboncengku. Aku berdiri memegang pundaknya.

“Nggak jawab apa-apa.” 

“Ih dasar! Emang kamu suka sama siapa?” 

“Aku? Aku suka sama kamu,” sahut Jian.

Rasanya kayak ada yang mukul dadaku ketika Jian bilang begitu. 

Aku tak dapat menahan tawaku. “Dasar kamu, bercanda mulu.” Aku pun berceloteh seraya memukul pundak Jian agak keras, sehingga Jian pun mengerang kesakitan. Aku berusaha menganggap ucapan Jian saat itu adalah sebuah candaan. Meskipun ada rasa yang aneh hinggap di dadaku ketika mendengar pengakuan Jian barusan.

Sebulan berlalu, kehidupan rumah tangga kedua orangtuaku diambang kehancuran dan kemungkinan besar akan berakhir di meja hijau sehingga dengan terpaksa aku pindah sekolah. Aku akan tinggal bersama Bunda di rumah Nenek karena Bunda minggat dari rumah. Aku pun berpamitan pada teman-teman sekolahku. Hampir semua temanku menangis, entahlah mengapa mereka ikut menangis? Padahal selama ini aku tidak pernah mendapatkan perlakuan baik dari mereka. Mereka selalu membuatku menangis dan selalu berhasil membuat hatiku sakit dengan hinaan-hinaan yang mereka lontarkan karena sikap Ayahku. Tidak hanya teman-temanku, guru-guru bahkan Kepala Sekolah pun ikut menangis melepas kepindahanku. Sinta berinisiatif membuat surat terakhir dari semua teman-teman untukku.

 

Untuk Sahabatku

Quina mengapa engkau pergi

Kini kami sangat kehilangan

Quina kami akan selalu

Merindukanmu

Quina semoga engkau

Akan selalu

Baik-baik saja, amin

Quina jangan pernah

Lupakan persahabatan kita

Seumur hidupmu

                                                               Dari Kita Semua

 

Begitulah surat dari teman-temanku, surat itu berisi sebuah puisi dan tanda tangan dari semua teman-temanku. Di waktu yang bersamaan kulihat Jian mendadak beku tanpa berbicara sepatah kata pun. Ia hanya tertunduk. Entah seperti apa perasaan yang berkecamuk di dadanya. Aku tidak mengerti. Ia sama sekali tidak menyapaku atau pun mengucapkan salam perpisahan untukku. Ia hanya diam dan sedikit mengacuhkanku. Rasanya sakit melihat Jian seperti itu padaku. Aku hanya bisa menatap Jian dari kejauhan, ada getaran lain menghujam jantungku. Entah perasaan apa itu namanya? Yang jelas, semenjak pengungkapan itu, aku lebih sering memikirkan Jian. Entah perasaan apa yang  aku rasakan? Aku tak mengerti. Sejak perpisahan itu, aku sama sekali tidak pernah bertemu lagi dengan Jian sahabatku. Itulah kali terakhir aku bertemu dengan Jian Arya Rafael.


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 2: Pertemuan

 

Seiring berjalannya waktu, aku mulai melupakan perasaanku terhadap Jian. Jangankan perasaan, wajah Jian pun samar-samar dalam otakku. Entah seperti apa wajah Jian? Aku tidak mengingatnya lagi. Berulang kali aku mencoba mengembalikan memoriku tentang Jian, tetapi hasilnya nihil. Bayangan Jian raib entah ke mana? Tak ada sedikit pun sketsa wajah Jian yang berhasil aku temukan di pikiran ini. Semua hilang! 

Setahun berlalu, aku sudah lulus SD dan sekarang siap untuk menjalani testing di SMP. Aku tidak menyangka jika pada akhirnya aku akan kembali bertemu dengan Jian. Ternyata kami daftar di sekolah yang sama. Pertemuan itu bermula ketika aku bertemu dengan Alya dan Yessi. Setelah berbincang sebentar kami pun berjalan melewati lapang basket, menaiki anak tangga, dan melewati lapangan yang masih berselimutkan tanah merah. Sekolah ini memang sedang diperbaiki dan diperluas bangunannya, sehingga masih terkesan berantakan. 

Dari kejauhan, samar-samar terlihat dua orang anak laki-laki memakai seragam putih dan celana merah melambaikan tangannya. Ya! Itu Jian dan Levi. Kami langsung menghampiri keduanya.

“Eh Quina, apa kabar? Udah lama banget ya nggak ketemu,” sapa Levi.

“Baik kok, iya udah setahun,” ujarku seraya tersenyum kepada Levi. Aku sempat menoleh dan menatap Jian lekat-lekat. Seketika memori tentang Jian muncul tanpa bisa dicegah. Aku kembali menemukan serpihan hatiku yang hilang. Meskipun saat itu aku belum mengerti bahwa perasaan itu adalah 'cinta'.

“Quina, kamu ruang berapa?” tanya Jian.

“Nggak tau, ini baru mau dicari di sini.”

“Yaudah sini, mana nomornya biar aku cariin,” tawar Jian. 

Ada getaran hebat menggoncang dadaku, tapi aku berusaha tidak menghiraukannya. Aku segera memberikan nomor pesertaku kepada Jian dan ia langsung meraihnya. Jian mengajakku masuk dan mulai mencari tempat duduk milikku. Setelah beberapa menit berkeliling, hasilnya nihil. Pemuda itu sama sekali tidak menemukan tempat dudukku. Kemudian, Jian bergegas untuk mencarinya di ruangan lain. Tiba-tiba saja ia menggenggam tanganku dan menuntunku masuk ke setiap ruangan. Hal itu sontak membuatku terkejut dan membuat jantungku berlarian entah ke mana. 

“Nah ini dia ruangan yang kita cari-cari dari tadi.” tunjuk Jian pada salah satu ruangan.

“Iya, akhirnya ketemu juga. Dicari-cari eh ternyata di ruang satu!” sahutku dengan napas tersenggal-senggal.

“Yaudah masuk gih. Aku ke ruang tujuh dulu ya. Takut keburu dimulai testingnya,” tukas Jian. Kemudian, ia berlari meninggalkanku di ruang satu. 

Setelah acara testing yang melelahkan selama tiga hari, akhirnya kami mendapatkan kabar bahagia. Aku, Jian, Levi, Alya dan Yessi sama-sama diterima menjadi siswa baru. Tentu saja kami semua bahagia.  Untuk menjadi seorang siswa baru, kami harus melaksanakan MPLS. Selama MPLS aku, Jian, Alya, Levi, dan Yessi selalu berangkat dan pulang bersama-sama.

Di sela-sela perjalanan pulang atau pun  berangkat Jian selalu menceritakan kisah cintanya kepada kami. Saat itu aku masih terlalu polos dalam mengartikan perasaanku yang sesungguhnya untuk Jian. Aku sama sekali tidak kecewa atau pun terluka karena cerita Jian. 

Jian memang memiliki wajah yang cukup tampan dan manis, kulitnya terang dapat dikategorikan putih untuk ukuran anak laki-laki. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak siswa perempuan di sekolah yang menyukainya mulai dari teman seangkatan sampai kakak kelas. Dia selalu bercerita banyak sekali perempuan yang mengejar cintanya dan siapa saja pacarnya saat ini. Dari sana aku tau satu hal: Jian sering gonta-ganti pacar!

“Temen-temen aku putus sama Nindy, tapi sekarang aku jadian sama Tita,” ujar Jian.

“Emang Nindy nggak marah, kamu jadian sama Tita? Mereka kan sahabatan?” tanya Alya.

“Sempet marah sih, tapi kalo sekarang udah enggak kok,” sergah Jian buru-buru.

“Jian, kasian Nindy entar Nindy sakit hati,” protesku.

“Tau apa Quina tentang sakit hati? Emang Quina pernah pacaran?” kilah Jian, membuatku tak bisa berkutik lagi. Aku melipat kedua bibirku, menghembuskan napas kesal di hidungku.

“Jangan gitu, jelek tau!” bujuk Jian seraya memencet hidungku.

“Ngapain pencet-pencet hidung aku? Sakit tau!” Aku semakin memanyunkan bibirku. Dari dulu dia tidak pernah berubah, selalu memencet hidungku yang lebih pesek dari hidungnya yang mancung. Nyebelin!

“Abis kamu pesek, jadi bawaannya pengen mencet!” Jian menjulurkan lidahnya.

“Huh mentang-mentang kamu lebih mancung dari aku, pake bilang aku pesek segala!” Aku semakin kesal dengan tingkah Jian.

“Emang!” jawab Jian. Sumpah nyebelin banget mukanya!

“Ih nyebelin!” Aku berkacak pinggang dengan ekspresi wajah kesalku, sementara Jian tersenyum penuh kemenangan. Damn!

Di balik persahabatan ini, perasaan itu semakin merekah di hatiku, entah itu perasaan apa? Yang jelas dadaku selalu berdetak lebih keras di saat aku bersama dengan Jian.

Di tahun yang sama, krisis rumah tangga orangtuaku semakin runyam. Tak tanggung-tanggung, kini Ayah sudah berani bermain kasar pada Bunda. Ayah berani menampar wajah Bunda sehingga keluar darah di hidung Bunda. Ayah pun menendang paha kanan Bunda hingga memar dan berbekas selama dua minggu. Kejadian ini membuat tekad Bunda semakin kuat untuk berpisah dengan Ayah karena tak ada yang bisa diharapkan lagi dari sosok Ayah.

Sedih, kecewa, marah semua harus kuterima dengan lapang dada. Aku nggak bisa memaksa Ayah dan Bunda untuk tetap bersama jika memang hanya luka yang harus Bunda terima. Marah dan benci itulah perasaanku pada Ayah saat itu. Kenapa Ayah selalu mementingkan orang lain dibandingkan keluarganya? Kenapa Ayah hanya bersikap manis pada temannya? Berbanding terbalik dengan sikapnya kepadaku dan Bunda. 

Aku sering memergoki Ayah dan Bunda bertengkar dengan hebatnya sampai-sampai Ayah membawa senjata tajam. Terakhir kali yang kulihat Ayah menendang pintu kamar sampai retak dan membawa samurai mengancam Bunda. Makanya, ketika Bunda memutuskan untuk berpisah, aku tidak menangis atau pun melarangnya. Aku berusaha menerimanya meski sebenarnya hatiku sangat terluka.

 

***


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 3: Jadian

 

“Anquin, Jian suka tuh sama kamu!” pekik Caka.

“Hah? Maksudnya?”

“Iya Jian suka sama kamu, gimana diterima nggak?” Sambung Caka lagi. Kulihat Caka berbicara serius karena ucapan ini sudah sering ia lontarkan lebih dari seminggu. Entah kenapa tuh bocah terus menerus gangguin aku dengan bilang kalo Jian suka sama aku, kalo Jian suka sama aku udah lama, dan ucapan-ucapan salam lainnya.

“Kalo dia suka, suruh dia yang ngomong sendiri. Jangan pake perantara!” tantangku dengan nada serius, padahal dalam hati sih niatnya cuma bercanda. Meskipun getaran hebat itu kembali muncul, tapi aku berusaha nggak peduli.

Berulang kali Caka ngomong kayak gitu sampe-sampe bikin aku risih dan jengkel. Jujur aku sendiri nggak mau baper. Makanya aku nggak terlalu menganggap omongan Caka serius karena aku ingat Jian pacar Tita. Jadi, omongan Caka nggak perlu diartikan terlalu jauh!

 

***

 

“Quina!” seru seorang cowok. Aku menoleh dan menghampiri orang yang menjadi sumber suara: Jian.

“Eh Jian, ada apa?” Aku menghampirinya di balik jendela.

“Caka bilang, katanya kamu mau ngomong.” 

“Ngomong? Ngomong apa?” Dahiku berkerut. Kapan aku bilang mau ngomong sama Jian? Perasaan nggak pernah bilang gitu deh ke Caka.

“Dih mana aku tahu? Caka yang bilang kok.” sanggah Jian.

Aku berpikir sejenak dan pikiranku langsung terpusat pada satu pembahasan yakni mengenai perasaan Jian. 

“Oh, yang itu, sebenernya aku cuma mau nanya aja sih. Caka sering bilang kamu suka sama aku, bener nggak?” cecarku dengan penuh tanda tanya.

“Iya aku suka sama kamu, gimana diterima nggak?” 

Rasanya ada palu yang menggodam jantungku saat  mendengar jawaban Jian yang di luar dugaan. Aku bingung dibuatnya. Harus jawab apa nih? Memang sih selama setahun ini aku punya rasa yang aneh buat Jian. Entah itu perasaan apa? Suka? Cinta? Aku bener-bener nggak tahu karena selama ini aku nggak pernah naksir lawan jenis. Aku takut kalo perasaan ini hanya sebatas perasaan sukaku kepada seorang sahabat bukan perasaan sayang apalagi cinta. Aku masih bingung mengartikan perasaanku yang sesungguhnya pada Jian. Akhirnya jawaban super klise yang keluar dari mulutku saat itu. 

“Em, gimana ya? Aku sih nggak boleh pacaran sama Bunda, kata Bunda aku masih kecil. Jadi, nggak boleh pacaran dulu.” Sumpah oon banget kan jawabannya? *tepok jidat.

“Oh, gitu ya? Ya udah nggak apa-apa, lagian mungkin cuma cinta monyet.” 

“Bagus deh!”  jawabku. Kemudian, aku langsung kembali ketempat dudukku meninggalkan Jian yang masih berdiri di depan jendela kelasku.

Ternyata Jian bukan tipe laki-laki yang gampang menyerah. Ia tetap mengejarku dan menunggu jawaban dariku. Hampir setiap hari Jian selalu menungguku di luar kelas atau bahkan mengikuti ke mana pun aku pergi. Sumpah aku bener-bener risih dan enggak nyaman. Akhirnya aku sering berdiam diri di kelas karena enggan bertemu dengan Jian.

 

***

 

September, 2018

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu. Begitulah, tanpa terasa pengejaran Jian terhadapku sudah berlangsung lebih dari satu minggu. Semoga saja dia akhirnya menyerah.

Hari ini aku berwudu di musala sekolah dan kulihat Jian baru saja selesai salat. Sepertinya Jian enggan pergi dari musala. Mau apa dia? Apa jangan-jangan diam mau menungguku? OMG! Please, buruan pergi! Harapanku sirna karena ternyata dia menungguku sampai selesai salat. Bahkan, dia dengan sengaja mengangguku ketika salat dengan cara memandang dan menertawakanku. Dasar Jian enggak ada akhlak!

“Quina, sini bentar!” ajak Jian dengan nada setengah berbisik seraya terduduk di jendela musala yang terbuka.

“Apa? Ngapain sih gangguin aku lagi salat?” Aku menghardiknya dan mulai memberengutkan wajah pertanda kesal. Sumpah Jian nyebelin!

Jian hanya tertawa.

“Malah ketawa, nggak lucu tau!” gertakku ketus.

“Jangan marah dong, aku cuma minta jawaban kamu. Kalo udah dijawab aku juga nggak akan ganggu kamu lagi kok.” 

“Bener ya nggak akan ganggu aku lagi?” tanyaku dengan mata berbinar. Beneran deh aku ghedek banget dikejar-kejar terus sama Jian.

“Iya. Makanya jawab dulu biar aku nggak penasaran. Jadi apa jawabannya?” ulang Jian.

“Emang kamu udah putus sama pacar kamu?” selidikku.

“Udah.” 

“Sama Nindy?” 

“Udahlah dari dulu juga.” 

“Terus Tita gimana? Bukannya kamu pacaran sama dia?”  Aku terus-menerus menginterogasi Jian dengan pertanyaan-pertanyaan seputar mantan pacarnya. 

“Udah Quina, aku udah putus sama dia. Jadi apa jawabannya?” 

“Kenapa kamu suka sama aku?” tanyaku lagi. Mampus lo! Kesel kan sama kecerewetan gue! Dah lah lo nyerah aja ngejar gue! 

“Aku udah lama suka sama kamu Quin dari SD,” ungkap Jian.

“Kalo kamu suka sama aku dari SD kenapa kamu malah pacaran sama cewek lain?” tanyaku lagi.

“Karena aku nggak berani bilang sama kamu. Lagian kita juga lost contact selama setahun, jadi ya aku pikir kita nggak akan ketemu lagi. Jadi apa jawabannya?”

“Ya udah deh iya.” 

“Serius?”  Mata Jian membelalak tak percaya. Aku hanya mengangguk, kemudian bergegas pergi meninggalkannya. Rasanya aku tak mau berlama-lama berdekatan dengan Jian.

“Eits, tunggu dulu. Mau ke mana? Salaman dulu dong,” pinta Jian seraya menghalangi langkahku. Terpaksa kuulurkan tangan dan bersalaman dengan Jian. Kemudian, aku bergegas pergi bersama Nurra yang sedari tadi menunggu di gerbang musala.

“Yuk Ra!” ajakku pada Nurra, setelah insiden pencegatan yang dilakukan oleh Jian barusan. Aku tidak ingin berlama-lama dengan Jian yang sedari tadi menggangguku. 

Sebenernya tadi aku jawab iya juga karena aku enggak mau lama-lama deketan sama Jian. Takut rasanya! Apalagi udah beberapa minggu ini dia ngintilin aku mulu kayak hewan peliharaan coba. Sampe nungguin aku di depan kelas tiap hari kan risih!

Wait! JADIAN? Omaygat! Kok aku malah nerima Jian jadi pacar aku sih? Gimana nih? Quina! Kok bisa-bisanya kamu nerima Jian sih? Ogeb! Nggak mikir panjang banget!

Jujur aku nggak pernah ngebayangin punya pacar di usiaku yang masih kecil gini. SMP udah pacaran, parah ya? Ah, sudahlah! Moga aja keputusan aku ini nggak salah. 

 

                                   ***


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 4: Awal Menyebalkan!

 

“Hai, sayang.” Tiba-tiba aja suara Jian mengagetkanku. Hari ini kami sedang berada di kolam renang untuk di tes oleh guru olah raga.

“Jian?”  kernyitku. Sejak kapan Jian ada di sini? Sebenarnya setelah acara jadianku dengan Jian seminggu yang lalu, aku terus berusaha menjauhi Jian. Rasanya malu dan risih. Ada perasaan canggung yang aku rasakan saat ini. Padahal sebelum kita jadian. Aku lebih leluasa mengobrol dengannya. Tapi sekarang? Rasanya semakin aneh.

“Kok mukanya gitu sih? Pacaran yuk!”  ajak Jian tanpa basa-basi. Sumpah nih cowok nggak disaring ucapannya! Gimana kalo guru denger coba? Bikin malu aja!

“Ih apaan sih!”  jawabku ketus, aku bergegas meninggalkan Jian. Nggak mau deh lama-lama deket Jian. Entar seisi sekolah tahu lagi kita jadian, kan gawat!

Setelah kutinggalkan Jian malah semakin bersemangat menjahiliku. Jian terus saja mengikutiku dan membuatku takut. Bayangin aja, gimana enggak takut coba? Jian terus saja menguntitiku dari belakang. Bahkan ketika aku berenang, cowok itu dengan sengaja memegang kakiku sehingga susah bergerak dan hampir tenggelam. Dasar Jian freak

Aku terus saja menghindar sehingga terkesan main petak umpet. Kulihat Jian tak lagi mengejarku, syukurlah! Saat aku duduk di pinggir kolam renang. Jian tiba-tiba merangkul pundakku. Mataku membulat dan jantung ini berdetak dengan ekstra cepat.

“Hayo mau ke mana lagi sekarang?” pekik Jian. Aku memberengutkan wajah seraya mengembuskan napas kesal.

“Ngapain sih ngumpet mulu, capek tau nyari-nyari kamu!” sambung Jian dengan ekpresi penuh kemenangan. 

“Abis aku takut sama kamu!”  gertakku masih dengan ekspresi wajah kesal.

“Takut? Kok takut sih? Aku kan nggak ngapa-ngapain kamu?” tanya Jian nyureng.

“Abis kamu ngintilin mulu sih, risih tau!” ungkapku jutek.

“Cie pacaran nih ye!” seru beberapa anak laki-laki. Dari beberapa anak tersebut ada teman sekelasku, mereka berteriak dari kolam atas. Mereka heboh melihat Jian yang merangkulku. Sumpah anjay malu banget!

“Ih, kamu apa-apaan sih!” hardikku dengan nada sedikit meninggi. Aku segera melepaskan rangkulan Jian dari bahuku. Lalu bergegas pergi meninggalkan Jian.

“Quina jangan marah dong,”  seru Jian. 

“Tau ah! Enggak lucu!” bentakku setengah berteriak. Aku berlari menghindari Jian.

 

***

 

“Sayang, masih marah yaa? Gimana rasanya dirangkul? Anget kan?” seru Jian membuat mataku melebar. Entah kesurupan setan dari mana ini cowok bisa-bisanya bersikap genit di depanku. Dia enggak sadar apa? Kalau aku sedang emosi padanya? Sumpah ya, bukannya membaik yang ada aku semakin geram padanya. Kutatap Jian dengan tajam dan penuh amarah. Tak sedikit pun kata-kata terlontar dari mulutku. Kupalingkan wajah dan pergi meninggalkan Jian dengan perasaan dongkol abis! 

“Quina, jangan marah dong! Aku cuma becanda kok. Sumpah deh!” teriak Jian seraya mengejarku. Bodo amat! 

Aku melangkahkan kakiku panjang-panjang. Rasanya ingin segera sampai di kelas. Sumpah Jian bener-bener keterlaluan. Bisa-bisanya dia bikin aku malu kayak tadi. 

“Quin, kenapa sih? Dari tadi aku lihat kamu cemberut terus,” tanya Nurra halus.

“Sebel,” jawabku singkat. 

“Sebel sama Jian?” Aku hanya mengangguk.

“Kenapa lagi tuh anak?” sambar Ana.

“Pokoknya nyebelin deh.” Aku malu ngungkapin alasan apa yang membuatku sampai begitu marah terhadap Jian. Enggak mugkinkan kalo aku bilang ke temen-temenku aku marah karena dua minggu yang lalu Jian merangkulku di kolam renang? Gila aja! Bisa-bisa aku diejek habis-habisan oleh teman-temanku. 

Setelah pembicaraan itu, aku masih belum bertegur sapa dengan Jian. Jian berulang kali meminta maaf. Namun, aku sama sekali tidak memedulikannya. Bodo amat!

Seminggu berlalu, aku baru saja menginjakkan kaki di gerbang sekolah, ujung bola mataku tanpa sengaja melihat Levi, refleks aku pun tersenyum pada Levi. Namun, tanpa kusadari ternyata di sebelah Levi ada Jian! Jian telanjur menganggap senyuman itu sebagai tanda hubungan kami membaik. Akhirnya dengan setengah terpaksa, aku menyudahi aksi diamku kepada Jian.


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 5: Kharisma Coverboy

 

Masalah itu muncul.

Tak berapa lama setelah aku dan Jian berbaikan, ada saja masalah yang datang menghadang. Berbagai makhluk dari tulang rusuk laki-laki berlalulalang bak berjalan di sebuah swalayan. Mereka terus saja menginterogasiku seputar status hubunganku dengan Jian sang coverboy sekolah, mulai dari yang halus sampai yang menjelek-jelekan Jian di hadapanku. 

Daebak! Oke aku akui pacarku ini memang cukup ganteng. Tatapannya tajam setajam mata elang, dengan alis hitam yang indah sesuai dengan proporsinya, hidung mancung dengan tulang lunak yang lancip, bibir tipis sehingga membuatnya semakin manis, dengan dagu lancip, berwajah tirus, berambut hitam lurus, berkulit putih untuk ukuran laki-laki, ada gingsul di giginya, dan kalau dia udah senyum beuh bikin banyak cewek klepek-klepek. Duelah aku muji Jian banget ya kesannya? *ckckckck.

“Anquin, sini deh bentar!” ajak seorang kakak kelasku.

“Iya ada apa Kak?”  tanyaku halus.

“Bener enggak Anquin pacar Jian?”

“Iya, Kak. Emangnya kenapa, Kak? Kakak suka ya sama Jian?” tanyaku ragu, takut menyinggung perasaannya.

“Enggak kok. Kakak cuma nanya aja,”  kilah kakak kelasku terbata. Padahal sih aku yakin dia emang ada rasa sama Jian.

“Duh kasian! Patah hati deh!” ejek salah satu teman Kakak kelasku itu. Tuh kan bener dugaanku, Kakak kelasku ini pasti suka sama Jian.

“Apa sih! Enggak kok,”  kilahnya. 

“Yaudah Quin kalo mau masuk ke kelas, masuk aja!” ujar cewek itu padaku yang sebenarnya sebuah usiran dengan nada halus.

Lain lagi dengan salah satu fans berat Jian, saking ngefansnya dia sampai menjelek-jelekan Jian seperti ini:

“Quin kamu bener pacarnya Jian?” pekik Dinar tanpa basa-basi. 

“Emang kenapa, Nar?” tanyaku agak sewot. Abisnya si Dinar nanyanya kayak ngelabrak sih.

“Enggak apa-apa cuma nanya aja, susah banget sih tinggal jawab aja! Kamu pacar Jian apa enggak?” desis Dinar jengkel.

“Iya,” jawabku singkat.

“Iyuh! Mau-maunya kamu pacaran sama Jian!”  cibir Dinar diiringi ekspresi jijik yang berlebih-lebihan. Sumpah lebay banget ekspresinya!

“Emang kenapa?” timpalku mulai dongkol.

“Kamu enggak tau predikat Jian? Jian itu playboy, pacarnya banyak! Pacar dia tuh bukan cuma kamu aja. Selain itu, dia juga nakal, miskin, enggak level deh sama kamu. Malah aku sering lihat dia menggembala kambing, terus dia suka motong rumput tuh buat makanan kambing! Ya ampun! Ih jijik banget deh!” Cibiran Dinar semakin pedas dan tanpa perasaan. Nah, ini nih informan kurang kerjaan! Rempong banget sih jelek-jelekin Jian.

So? Emang masalah? Kok jadi kamu yang repot sih? Pacar-pacar aku, ngapain kamu ngejelek-jelekin dia sama aku? Aku sih enggak masalah sama kekayaan, kalo dia motong rumput bagus dong berarti dia anak yang rajin. Kalo masalah dia playboy itu sih gimana kesadaran dia aja!” tukasku. Kemudian, aku pergi meninggalkan Dinar dengan perasaan jengkel dan dongkol abis!

Selain yang terang-terangan bertanya, aku pun sering mendapat selentingan tidak enak tentang Jian. Mulai dari aku diduakan, ditigakan, bahkan ada yang bilang aku disepuluh. Ajaib bukan? Ada beberapa nama yang terdaftar sebagai perempuan yang digosipkan selingkuhan Jian: ada Nirra, Jessica, Wintha, Sinar, Ervani, Chika, dan masih banyak lagi yang lainnya!

Berbagai tulisan pun tertulis dan terpajang di tembok toilet sekolah mulai dari tulisan memakai spidol, pulpen, sampai pensil yang isinya hampir sama! Seperti ungkapan perasaan ‘Jian aku suka sama kamu’ atau ‘Jian I love you’, cibiran ‘Dasar playboy cap tahu! Jian kenapa kamu nolak aku’, sampai berbagai pertanyaan seperti ‘Jian sebenernya kamu pilih siapa sih? Nirra, Wina, Nindy, Tita, atau Anquin?’ dan parahnya lagi ada saja yang menjawab begini bunyinya ‘Aku pilih Anquin’. 

Jujur, lama-lama aku terpengaruh juga dengan berbagai gossip yang beredar tentang Jian tanpa mengklarifikasi kebenarannya secara mutlak. Kupingku rasanya panas juga dengan selentingan tidak jelas itu. Akhirnya, aku kembali mendiamkan Jian. Ya, emang sih aku sayang sama Jian, tapi kalau terus-menerus gosip hinggap di telingaku? Enek juga dengernya.

 

***

 

Semester II sudah berjalan selama dua bulan, pelaksanaan olah raga renang kembali di mulai. Samar-samar dari kejauhan kulihat Jian dikelilingi beberapa orang perempuan. Entah sedang apa mereka? Aku enggak tau. Jessica yang juga melihat dengan jelas kontan melapor kepadaku.

“Quin, Jian kok malah akrab sama cewek lain sih?”  cerocos Jessica dengan nada kesal.

“Biarin aja! Aku masih marahan sama dia kok Jes!”  jawabku enteng.

“Tapi bentar deh, kok kesannya dia kayak dikejar-kejar gitu ya? Kayak dipaksa!” tunjuk Jessica seraya menyipitkan matanya.

“Udah deh, enggak usah ngomongin dia. Bosen! Bikin bete,” tukasku. Pokoknya segala hal yang berhubungan dengan Jian aku lagi males dengerinnya, TITIK.

Hari mulai gelap, mungkin sekitar pukul 16.00 WIB, kulihat beberapa siswa sudah bersiap-siap untuk pulang. Aku sendiri masih asyik bermain air bersama teman-temanku. 

Sudut mataku menangkap sosok Jian dari kejauhan. Pacarku itu baru saja selesai mandi dan beres-beres. Sepertinya Jian berniat untuk pulang. Tk lama kemudian Jian menghilang dari pandanganku. berjalan keluar dari pintu masuk kolam renang.

Ah, sudahlah lebih baik aku kembali bermain bersama teman-temanku. Percuma berharap pada Jian. Dia sama sekali tidak ada inisiatif untuk berbicara atau menghampiriku. Padahal aku sudah mendiamkannya lebih dari tiga bulan.

“Quina, sini bentar!”  panggil Jian setengah berteriak dari balik pagar besi pemisah bagian dalam dan luar kolam. Aku terhenyak dan segera menghampiri Jian. Rasanya jantungku deg-degan enggak karuan.

“Ada apa, Yan?”  tanyaku seraya berusaha menetralkan detak jantung yang bertalu.

“Kamu kenapa sih jutek mulu sama aku? Jangan marah mulu dong, maafin aku,” pinta Jian.

Aku tak langsung menjawabnya. Jujur aja sebenarnya aku pengen banget nanya apa benar Jian punya pacar lebih dari satu? Apa benar dia menduakanku? Bahkan lebih dari itu? Sayangnya, aku tidak berani menanyakannya pada Jian.

“Ayo dong Quina, maafin aku ya! Please,” bujuk Jian dengan ekspresi wajah paling merana sedunia.

“Iya. Yaudah aku maafin.” setelah memaafkan Jian, aku langsung membalikkan badan menuju kolam renang.

“Mau ke mana?”  Pertanyaan Jian sontak membuatku menoleh.

“Ke kolam,”  jawabku singkat.

“Salaman dulu dong, tanda kita udah baikan,” usul Jian seraya menyodorkan lengan kanannya. Aku membalas uluran tangannya dan kami pun bersalaman. 

“Senyum dong, jangan manyun mulu!” bujuk Jian lagi. Aku pun tersenyum. 

“Nah, gitu dong! Kan cantik!” tutur Jian tidak jelas memuji atau merayu.

“Gombal! Kamu mau pulang?” tanyaku.

“Iya, kamu mandi gih dah sore, terus pulang. Entar masuk angin lama-lama di kolam renang.”

“Iya nanti aja.”

“Yaudah aku pulang duluan, ya!”

 

***

 

“Quin, ikut yuk. Ada yang mau diomongin.”  Ajak Ingga yang lebih tepat disebut paksaan dari pada sebuah ajakan. Tanganku digenggam dengan erat dan aku dibawa ke pinggir kelas. Di sana telah berdiri beberapa teman Ingga dengan raut wajah tak bersahabat. 

“Mau apa sih?”  tanyaku tak mengerti, benar-benar tak mengerti! Apalagi aku diseret-seret persis seperti maling yang ketahuan nyolong di sekolah. Pasti urusan Jian, tebakku.

“Sita mau ngomong tuh sama kamu,” jelas Ingga agak judes.

“Quin, kamu pacar Jian?”  tanya Sita. 

“Emang kenapa, Ta?” tanyaku. Jujur aku masih jaim, aku malu untuk mengakui kalau aku memang pacar Jian. Apalagi mengaku kepada teman-teman sekelasku. Duh malu banget rasanya!

“Tinggal jawab aja, kata Vreean kamu emang pacar Jian,” timpal Ingga, bener-bener maksa!

“Udah deh ngaku aja, kita cuma nanya kok nggak bakal ngapa-ngapain kamu!” tukas Sita.

“Iya aku emang pacarnya Jian. Emang kenapa?” jawabku akhirnya mengalah.

“Hah? Serius? Kok Jian bilangnya udah putus ya sama kamu?”  Mata Sita terbelalak.

“Putus? Kalo aku putus sama dia, ngapain kemarin di kolam renang dia minta maaf sama aku biar nggak marah lagi sama dia?” jelasku mencoba bersabar dan tetap bersikap tenang walau dalam hati sumpah risih abis! Bingung kenapa harus ditanya-tanya mulu? 

Seganteng apa sih Jian sampe aku harus terus ditanya dan dilabrak kayak gini? Kayaknya WOW banget gitu ya pacaran sama Jian? Bisa-bisanya aku jadi terkenal gini hanya karena jadian sama Jian. 

“Iya putus, Jian bilang udah putus sama kamu. Malah kemarin di kolam tuh dia udah jadian sama aku,” jelas Sita.

“Jadian?”  Kali ini mataku yang terbelalak tak percaya. Aku terperangah bukan main, tubuhku serasa disambar petir siang bolong! Hatiku rasanya kayak dicabik-cabik dan serasa ada bola api yang bersarang di dadaku. Jadi selama ini gossip tentang Jian playboy semua bener? Argh! Freak! Sumpah aku bener-bener nggak nyangka Jian bisa selingkuh! Tega banget dia!

Aku menahan amarah dalam hati, sumpah dongkol banget! Tak pernah terpikir dalam otakku bahwa gosip itu ternyata benar. Kemarin aku sudah benar-benar percaya lagi kepada Jian, tapi kini kepercayaanku kembali luntur dengan pengakuan Sita barusan.

“Yaudah kita omongin aja bertiga, aku mau minta penjelasan Jian. Enak aja, dia punya pacar dua!” pekikku mulai kesal.

“E-eh, enggak usah Quin. Emh, biar aku aja yang mundur. Kamu kan lebih dulu pacaran sama Jian, jadi lebih baik aku yang ngalah,” jawab Sita.

“Enggak bisa gitu dong, Jian harus ngejelasin semuanya sama kita,” tegasku.

“Udah Quin nggak usah diperpanjang, biar aja aku yang ngalah. Aku nggak mau disebut sebagai perebut pacar orang.” 

“Yaudah terserah kamu, tapi aku nggak bisa maafin Jian gitu aja.” 

Setelah percakapanku dengan Sita kemarin, aku kembali kepada kebiasaanku mendiamkan Jian. Rasanya males banget kalo ketemu sama Jian. Aku lebih sering menghindar jika kebetulan kami berpapasan. Kadang aku juga cuek kalo dia manggil atau berusaha menyapaku. Aksi pendiaman ini berlangsung lumayan lama. Aku enggak peduli! Bodo amat! Terserahlah kalo emang dia mau selingkuh!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 6-10 An Adventure of Love 1 (In Junior High School)
1
0
Kira-kira Jian beneran selingkuh enggak ya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan