
Bercerita tentang keluarga yang sebelumnya hidup bahagia dan serba berkecukupan, tiba-tiba harus mengalami kejadian buruk yang bertubi-tubi.
Diawali dengan meninggalnya sang kepala keluarga, hingga akhirnya mereka kehilangan semua harta bendanya. Sampai akhirnya, mereka tak punya tempat tinggal dan harus mengungsi ke rumah anggota keluarga mereka yang paling tua.
Kejadian buruk tidak hanya sampai di situ. Sejak kedatangan mereka di rumah yang mereka tempati saat ini, satu-persatu dari anggota keluarga...
Kursi baris ke tiga, pojok sebelah kiri. Di situlah tempatku duduk selama perjalanan malam ini. Aku sengaja memilih duduk di sebelah kiri karena aku bisa lebih nyaman untuk tidur selagi menyandarkan kepalaku di kaca jendela bus.
Pernah beberapa kali aku duduk di kursi ujung sebelah kanan, dan hasilnya aku tidak pernah bisa nyaman saat perjalanan malam. Karena lampu dari kendaraan yang berlawanan arah selalu menyilaukan mataku.
Aku bukan tipe orang yang suka menutup gorden saat tidur di bus. Karena sejatinya aku suka melihat-lihat apa yang sudah aku lalui selama perjalanan.
Tiga jam sudah kulalui. Aku masih harus menunggu kurang lebih tiga jam lagi untuk sampai ke tujuanku. Sambil sesekali aku cek ponselku, melihat apakah Samsul sudah mengirim pesan padaku atau belum.
Samsul adalah salah satu sahabatku. Satu-satunya orang yang masih berkomunikasi denganku setelah teman-teman yang lain hilang kontak. Aku mengenal Samsul kurang lebih tiga tahun yang lalu. Dia adalah tempat di mana aku menceritakan semua masalah hidupku.
Beruntungnya aku, karena dia selalu bersedia membantu menyelesaikan masalah-masalah yang aku hadapi. Tidak seperti manusia-manusia kotor yang hanya mau bergaul denganku saat aku punya segalanya, dan menghilang saat aku sudah tak punya apa-apa lagi, sungguh menjijikkan.
Mereka melupakanku begitu saja. Mereka sama sekali tidak ingat akan jasa-jasaku yang telah mengajari mereka bermain dengan bursa saham terkutuk itu.
Sialnya, aku bertemu salah satu dari mereka di terminal tadi. Ketika aku sapa dan hendak meminta sebatang rokok padanya, dia malah menghina dan merendahkan aku. Benar-benar manusia yang tidak tahu terima kasih.
Kalau saja tidak ada pihak keamanan terminal yang memisahkan kami, mungkin aku sudah membuatnya babak belur, mujur sekali dia. Jika lain waktu bertemu dengannya lagi, aku jamin dia tidak akan mengalami keberuntungan seperti tadi.
Perjalanan kali ini sangat sepi. Sejak keberangkatan hingga sekarang bus tidak pernah penuh. Sampai detik ini hanya tersisa delapan penumpang. Tiga di depan, dan empat di belakang.
Sebenarnya aku sudah jenuh dengan perjalanan lintas provinsi ini, sudah kali ke lima aku melakukannya. Tapi, menurut informasi yang aku dapat dari Samsul ini adalah pertemuan terakhir.
Setelah kemarin aku hanya diberi beberapa benda keramat untuk pegangan saja, kali ini aku akah bertemu langsung dengan Mbah Nur. Seorang dukun yang akan mengantarkanku kembali ke masa jayaku dulu. Apa pun resikonya.
Aku menyandarkan kepalaku ke kaca sambil memandang kosong ke arah luar. Aku tersenyum membayangkan bahwa sebentar lagi aku akan mendapatkan kembali semua yang pernah aku miliki dulu. Kembali memiliki banyak materi dan pergi jauh dari tempat ini. Meninggalkan semua orang dan memulai hidup baru di luar sana.
Karena terlalu menikmati lamunanku, aku tak sadar mulutku mengeluarkan tawa terkekeh-kekeh dengan sendirinya, sampai-sampai para penumpang yang duduk di depan menoleh padaku.
"Lihat apa?!" tanyaku pada mereka dengan maksud agar mereka berhenti memandangiku, dan aku berhasil. Mungkin orang-orang itu menganggap aku gila. Tapi, tidak. Mereka salah.
"Brrtt..brrtt.." aku rasakan ponsel bergetar di tas pinggangku, perkiraanku itu adalah pesan singkat dari Samsul, dan aku benar.
"Sampai mana?" tulisanya singkat.
"Barusan lewat perbatasan provinsi, kira-kira tiga jam lagi sampai," balasku.
"Kamu bawa semua persyaratannya kan?" tanyanya lagi.
"Bawa," balasku dengan singkat. Sekaligus mengakhiri pesan singkat kami.
Kumasukkan ponsel ke dalam tas, dan kembali bersandar ke kaca bus sambil memeluk persyaratan yang kubawa. Sebuah kotak kayu kecil yang terbungkus dengan kain putih yang berisi kembang tujuh rupa, potongan kepala ayam Cemani yang sudah kering, jimat yang sudah aku baca-bacai mantra sesuai apa yang dituliskan Mbah Nur.
Tak lupa aku juga membawa sekantung potongan kuku si bocah pembawa sial yang kukais dari tempat sampah kemarin. Jika diingat-ingat lagi, rendah sekali harga diriku sampai mengais-ngais dari tempat sampah itu. Kalau bukan karena hal ini, aku tidak akan sudi melakukannya.
"Persiapan, terminal terakhir." Terdengar suara kondektur mengabarkan kalau tak lama lagi bus akan sampai ke tempat tujuanku.
Kulihat jam tanganku, waktu menunjukkan pukul setengah dua belas, ternyata aku sampai lebih cepat dari perkiraanku. Mengingat tadi si sopir memacu bus lebih cepat dari sebelumnya.
Aku mengabari Samsul lewat pesan singkat kalau tak lama lagi aku akan sampai di terminal, dan memintanya untuk segera berangkat untuk menjemputku di terminal, karena aku tak suka menunggu.
Cahaya lampu jalanan yang sebelumnya terlihat remang-remang dari balik kaca, perlahan menghilang digantikan terang lampu terminal yang menusuk mata. Sopir menjaga laju dengan perlahan, sambil sesekali menengok ke arah pemberhentian. Kemudian bus pun berhenti bersamaan dengan desis suara rem angin.
Penumpang yang hanya tinggal segelintir berjalan keluar bus tanpa banyak suara, aku sengaja memilih turun paling akhir. Kemudian aku berdiri dari kursi, mengambil barang bawaanku, lalu turun dari pintu depan.
Setelah turun, aku duduk di kursi deret yang tak jauh dari tempat pemberhentian bus. Aku memperhatikan sekitar, orang yang berlalu lalang, hingga pedagang asongan, semuanya membuatku merasa tak nyaman. Aku benci keramaian.
Aku berkali-kali menengok ke segala arah, tapi batang hidung Samsul tak nampak sama sekali. Aku sudah coba menelpon dan mengirim pesan singkat padanya, namun sama sekali tak ada balasan. Ini membuatku sangat kesal. Sudah lima kali kami melakukan pertemuan, tak sekalipun dia datang tepat waktu.
Satu jam berlalu, aku hanya terduduk dan sesekali melihat jam, sambil menghisap rokok yang barusan aku beli dari pedagang asongan yang duduk tepat di depanku. Di kejauhan aku melihat seseorang berbadan tambun dengan rambut sedikit botak berjalan dengan santainya menembus kerumunan orang, itu Samsul. Aku seketika berdiri dan menghampirinya karena geram.
"Sialan kamu! Aku sudah nunggu satu jam lebih!" Kataku.
"Santai, Bos. Kita nggak lagi buru-buru kan?" Jawabnya masih dengan ekspresi santai.
"Aku udah nggak mau nunggu lagi, ayo berangkat!" ucapku sambil mendorongnya untuk segera bergegas.
Kami berjalan melalui lorong demi lorong yang mulai sepi. Aku mempercepat langkahku, sambil berkali-kali menoleh ke belakang untuk memaksa Samsul berjalan lebih cepat. Tapi, percuma, dia tetap berjalan santai, seolah tak menghargai waktuku yang sudah lama terbuang.
Lalu ketika kami sampai di tempat parkir mobil, Samsul berucap, "sssttt... bukan di situ." Sambil menunjuk ke arah lain yang lebih jauh di seberang parkiran mobil. Kali ini dia berjalan lebih cepat dari sebelumnya, dan gantian aku yang mengikutinya dari belakang.
"Kok nggak parkir di sini?" tanyaku heran
"Aku naik motor," jawab Samsul sambil menoleh ke arahku.
"Tumben?" tanyaku sambil mengerutkan dahi.
"Iya, kali ini kan kita langsung ke rumah Mbah Nur. Jalannya kecil, nggak bisa dilewati mobil," jawab Samsul sambil menunjuk motornya yang sudah terlihat.
"Emang tempatnya jauh? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin kamu ngajak aku kesana?" tanyaku dengan menambah sedikit kecepatan agar bisa menyusul Samsul.
"Lumayan, butuh satu jam perjalanan. Mbah Nur itu pasiennya banyak, nggak bisa sembarangan ketemu. Kalau cuma ngasih barang persyaratan ritual, lewat aku aja bisa. Lagi pula kasihan kamu juga kalau tiap datang harus perjalanan jauh ke sana," jawab Samsul.
"Kamu ada uang tiga ratus ribu?" Tanya Samsul sambil menodongkan tangannya.
"Ada, buat apa?"
"Sini uangnya, Ini motor sewaan, sekalian tadi bensinnya sudah aku isi penuh."
Aku pun mengambil dua lembar uang lima puluh ribu, dan memberikannya pada Samsul.
"Sial," pikirku
Baru bertemu dengannya sebentar saja aku sudah mengeluarkan uang. Semoga saja nanti hasilnya tidak mengecewakan. Kemudian kami berdua mengenakan helm, dan berangkat.
*****
Butiran air samar-samar telihat di bawah sorot lampu jalan, sisa hujan beberapa jam yang lalu. Udara malam ini terasa sangat dingin, mengingat kota ini berada di dataran tinggi di tengah gunung. Ditambah lagi Samsul yang memacu motor dengan kecepatan agak tinggi dan aku yang lupa mengenakan jaket karena tertinggal di rumah, membuat kulitku seperti membeku.
Di tengah perjalanan, jalan yang kami lalui kian menanjak, Samsul pun menurunkan kecepatan. Nampak kabut yang agak tebal di depan mata. Jalan berkelok dan naik turun membuat Samsul lebih waspada memacu motornya.
Apalagi, jalan hanya di terangi lampu jalan yang jaraknya agak berjauhan, dan di beberapa titik kami terbantu dengan lampu rumah warga saat melewati pemukiman yang cukup jarang keberadaannya.
Dari jok belakang, sesekali aku mengusap kacamataku yang berembun. Aku mencoba memperhatikan jalan yang aku lalui dari terminal sampai dengan titik di mana aku berada sekarang. Karena sepintas ingatan, aku pernah mengenal jalan ini sebelumnya, tapi entah kapan aku pernah melaluinya. Aku sudah lupa.
Di sisi kanan jalan terdapat tebing yang tak seberapa tinggi dan ditumbuhi pepohonan lebat di atasnya. Dan di sisi kiri terdapat jurang yang cukup curam, sesekali aku bisa melihat pemukiman yang tadi kami lalui dari atas sini, dan saat aku menoleh ke arah yang lain terlihat lampu kota yang berwarna warni. Menandakan kami semakin menjauh dari keramaian kota.
Jalanan semakin gelap, sudah tak ada lagi lampu jalan, tak ada lagi orang lain yang melintas, dan udara dingin yang semakin menusuk menjadikan suasana kian mencekam. Samsul menurunkan kecepatan untuk lebih berhati-hati.
Dalam situasi gelap seperti ini aku selalu gelisah dan membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi. Benar saja, tiba-tiba aku menyaksikan pohon-pohon di pinggir jalan yang kami lalui sejauh mata memandang bergoyang dengan kencang, dan diiringi oleh suara-suara teriakan yang sangat mengintimidasi kami.
"Sul! Sul! Apa itu?!" tanyaku dengan panik sambil menepuk-nepuk bahu Samsul.
"Monyet. Di sini banyak," jawabnya singkat.
"Astaga," ucapku sambil mengusap wajah karena lega.
Setelah aku perhatikan di balik kegelapan memang nampak samar-samar sekumpulan monyet yang berlompatan dari pohon ke pohon yang lain hingga membuat pepohonan itu bergoyang.
"Apa tempatnya masih jauh? Aku udah capek," lanjutku
"Dikit lagi. Tinggal dua tanjakan lagi." Jawaban Samsul barusanmembuatku sedikit lega.
Ditambah lagi sudah mulai ada beberapa pengendara motor yang melintas dari arah yang berlawanan, menandakan perjalanan yang menyiksa ini akan segera berakhir. Paling tidak, untuk saat ini.
*****
Pohon-pohon pinus berdiri dengan kokohnya di antara jalan setapak yang berbatu. Awan mendung telah pergi dan seolah mengijinkan cahaya bulan menembus pepohonan untuk menerangi jalan kami.
Perjalanan yang menyiksa tadi telah berakhir. Namun, berganti menjadi perjalanan yang jauh lebih menyiksa.
Setelah melewati dua tanjakan di jalan utama tadi, Samsul memarkir motornya di lahan kosong dan kemudian mengajakku berjalan melewati jalan setapak yang sebenanrnya tidak layak dilalui.
Medannya cukup landai, tapi berbatu dan agak licin. Hingga beberapa kali aku terpereset, dan untungnya aku bisa menguasainya.
Tapi, ada yang berbeda dari tempat ini, aku merasa udara di hutan pinus lebih bersahabat daripada saat di jalan utama tadi. Apa mungkin karena kami dihimpit pepohonan? Sehingga dinginnya angin yang berhembus akan terpecah dan tidak langsung menerpa tubuh kami? Entahlah.
"Berapa lama lagi, Sul?" tanyaku dengan lesu dan pasrah. Karena sebenarnya aku sudah sangat lelah, dan mataku sudah tak sanggup menahan kantuk.
"Dikit lagi. Kamu lihat gubuk di pinggir jalan itu, kan? Setelah ngelewatin, kita belok kanan, lurus dikit. Sudah masuk perkampungan Mbah Nur." Jawab Samsul dengan nada sangat meyakinkan.
Dia menunjuk sebuah gubuk kosong yang sepertinya sudah lama terbengkalai di tempat ini, jaraknya kira-kira seratus meter di depan kami.
Aku hanya diam dan menganggap apa yang dikatakan Samsul itu benar, sambil memeluk erat kotak kayu agak tidak terjatuh. Aku mencoba mengalihkan kebosananku dengan memaksa mataku yang lelah untuk menikmati gelapnya hutan pinus ini.
Tapi, aku membayangkan tempat ini akan sangat menyenangkan apabila dikunjungi saat siang hari, sangat teduh dan sejuk. Tempat yang cocok digunakan untuk menenangkan diri. Mungkin itu alasan dukun seperti Mbah Nur tinggal di tempat seperti ini.
Langkahku terhenti sejenak, aku coba menutup mataku, dengan maksud untuk lebih meningkatkan fokus ke indra pendengaranku. Aku mencoba mendengarkan lebih jelas suara yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Suara gemuruh air.
Apakah itu suara aliran sungai? Ah! Tidak! Aku salah. Itu suara air terjun. Rasa lelahku pun sediki terobati, malam yang tenang, udara yang sejuk, dan suara air terjun. Sungguh perpaduan yang sangat indah.
Beberapa saat setelah itu, tiba-tiba terbesit di pikiranku, rasanya akan jadi sempurna apabila cantiknya cahaya bulan bersatu dengan perpaduan keindahan alam tadi. Aku mendongakkan kepalaku ke atas, membuka mataku perlahan, dan menyaksikan cahaya bulan menyentuh wajahku.
Namun, kemudian aku terdiam, aku melihat sekelebat bayangan yang melayang di antara pepohonan, hinggap dari satu pohon ke pohon yang lain, mengiringi perjalanan kami.
Aku mengucek mataku dan mengusap kacamataku, memastikan lagi apa yang barusan aku lihat itu nyata atau hanya halusinasi karena aku sudah terlalu lelah. Awalnya aku mengira itu monyet, tapi bukan. Setelah aku amati benda itu terlihat seperti selembar kain berwarna putih.
Aku bisa yakin karena warnanya sangat kontras dengan kegelapan. Tak berapa lama kemudian benda tersebut yang tadinya hinggap dari pohon ke pohon, sekarang terbang dengan sangat cepat dan masuk ke dalam gubuk yang kini jaraknya tak lebih dari lima puluh meter di depan kami.
"Sul! Sul! Apa tadi kamu lihat? Ada kain putih terbang lalu masuk ke gubuk di depan?" tanyaku untuk meyakinkan diri dari apa yang barusan aku lihat.
"Nggak, Aku nggak lihat apa-apa." balas Samsul.
Gubuk itu sudah tinggal sejengkal lagi di depan kami, aku menepuk-nepuk pundak Samsul dengan maksud agar dia berhenti sejenak. Samsul bertanya-tanya, apa sebenarnya yang mau aku lakukan di gubuk itu. Tapi aku hanya diam, mengangkat jari telunjuk setinggi telingga untuk mengisyaratkan agar dia diam sejenak. Aku mengambil ponsel dan menyalakan senternya. Perlahan-lahan aku mengintip ke dalam pintu gubuk yang sudah terbuka lebar.
Senter menyorot dari sudut ruangan ke sudut yang lain, dan di sudut paling jauh terlihat jelas sosok perempuan berambut panjang, berbaju putih duduk meringkuk di lantai gubuk yang masih berupa tanah. Sosok itu membelakangiku sambil mengayun-ayunkan badannya ke depan dan ke belakang secara perlahan.
Sesaat sebelum aku benar-benar yakin dengan apa yang aku lihat, tiba-tiba sosok itu langsung terbang ke arahku, melilitku dari kaki hingga kepala, sampai pada akhirnya yang terlihat di mataku hanyalah kegelapan.
*****
Sekujur tubuhku terasa lemas, dan diikuti oleh rasa nyeri di leher belakang yang masih menempel. Udara dingin yang tadi aku rasakan sekarang berubah menjadi kehangatan yang membuat nyaman.
Mataku masih terpejam, masih terasa berat untuk membukanya. Aku mencoba menggerakan jemari tanganku, dan kemudian meregangkan otot-otot punggung yang terasa lelah setelah melalui perjalanan panjang.
Aku membuka mata dan bangun dari tidur. "Di mana aku?" tanyaku dalam hati. Aku memasang kacamata yang terletak tepat di samping bantal, dan dengan seksama aku perhatikan sekitar.
Aku berada di sebuah ruangan yang cukup kecil, perkiraanku ini adalah sebuah kamar. Aku berada di atas ranjang kayu kecil, yang hanya cukup untuk satu orang. Di seberang ranjang ada sepasang jendela yang terbuat dari kayu, terlihat hari sudah siang.
Aku langsung meraba saku celanaku, mencari barang bawaanku, semuanya raib. Termasuk kotak kayu pemberian Mbah Nur.
"Ckreekk" tiba-tiba pintu terbuka, dan terlihat orang asing masuk ke ruangan, seorang pria muda yang membawa segelas air.
"Wah, sudah bangun, toh" kata pemuda itu. Sontak aku langsung bangkit dari ranjang, menarik kerah kaos pemuda tersebut dan mendorongnya ke tembok.
"Dasar maling! Di mana barang-barangku?! Kembalikan!" Aku berteriak tepat di depan wajahnya. Pemuda itu terlihat sangat ketakutan hingga gemetar dan menjatuhkan gelas yang ia bawa hingga pecah.
"Te..tee..tenang, Pak..." Pemuda itu mengangkat kedua tangannya, seolah ingin menjelaskan sesuatu.
"Pak! Pak! Ini pasiennya sudah bangun!" Lalu pemuda itu berteriak memanggil seseorang di luar kamar.
Tak lama kemudian seorang pria tua muncul dari balik pintu. Secara spontan aku langsung mengambil pecahan gelas yang ada di lantai, mencekik leher si pemuda dari belakang, dan mengacungkan pecahan gelas ke wajah si pemuda. Mengisyaratkan agar pria tua itu agar tidak mendekat ke arahku.
"Siapa kamu?! Mau apa?!" tanyaku dengan amarah dan rasa takut yang bercampur aduk.
"Nak Bima, tenang... tenang.." Pria paruh baya itu memanggil namaku dengan suara paraunya. Dari mana dia tahu namaku?
"Bim! Ngapain kamu?! Jangan aneh-aneh!" Kemudian muncul seseorang yang aku kenal, itu Samsul.
Dia muncul dari balik pintu. Aku pun menurunkan acungan pecahan gelas dari wajah si pemuda dan melepaskan lenganku yang melingkar di leher pemuda itu.
"Sudah, kamu mau urusanmu cepat selesai atau nggak?" ucap Samsul.
Aku terdiam. Anak mudai itu membersihkan pecahan gelas yang jatuh ke lantai, dan membereskan semua kekacauan yang telah ku buat. Kemudian meninggalkan kamar bersama dengan si pria tua.
"Kita di mana? Kenapa aku bisa sampai kesini?" Aku mengutarakan pertanyaan yang sedari tadi muncul di kepalaku.
"Kita di rumah Mantri dusun," jawab Samsul.
"Semalam waktu kamu ngintip-ngintip gubuk tua di hutan pinus, tiba-tiba kamu jatuh pingsan. Ngerepotin orang aja," lanjutnya dengan sedikit kesal.
"Terus, barang-barangku mana?" tanyaku bingung.
"Tuh." Jawab Samsul singkat sambil menunjuk ujung kamar.
Aku langsung terdiam, bagaimana bisa tadi aku tidak melihat barang-barangku di sana. Aku sungguh merasa bersalah pada pemuda tadi.
Setelah percakapan itu, Samsul mengajakku ke luar rumah dan berjalan ke rumah Mbah Nur. Di tengah perjalanan, aku memperhatikan lingkungan sekitar.
Sejak dari rumah Mantri hingga titik di mana aku berdiri sekarang hanya ada belasan rumah warga. Jarak antar rumah warga pun cukup berjauhan, dipisahkan oleh tanah kosong yang ditumbuhi tanaman liar dan beberapa kandang ternak warga.
Perkampungan ini cukup sepi, terlihat hanya beberapa orang saja yang beraktivitas di teras rumah, menjemur baju atau mengawasi anak-anak yang bermain di halaman rumah yang cukup luas. Sepertinya penduduk di sini kurang bersahabat.
Saat kami berpapasan dengan mereka, yang kami dapat hanya tatapan sinis seolah-olah mereka ingin kami segera pergi dari sana. Tapi, menurutku itu bagus, aku juga tidak suka berinteraksi dengan orang-orang ini.
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya kami hampir sampai di luar perkampungan. Tak jauh di depan kami terlihat sebuah papan kayu di samping jalan, yang di bagian dasarnya terlihat sudah lapuk dan keropos. Di situ terdapat tulisan "Dusun Sadang Pungkas" berwarna putih yang di beberapa hurufnya tak terlihat jelas karena tertutup lumut. Kemudian kami pun meneruskan perjalanan keluar dusun.
Kami berjalan melewati pertigaan jalan. Satu ke arah kanan yang dari kejauhan terlihat gugusan pohon pinus yang menjulang tinggi, sepertinya semalam kita melewati tempat itu. Satu lagi jalan lurus ke depan yang di mana sepertinya itu adalah tujuan kami. Dari kejauhan terdengar lagi suara yang aku dengar semalam, suara air terjun.
Setelah sepuluh menit berjalan kaki kami sampai di sebuah rumah kecil, temboknya terbuat dari susunan papan kayu, dan atapnya terbuat dari genteng tanah liat. Di luarnya nampak berdiri pagar tanpa gerbang yang terbuat dari potongan bambu yang berjajar rapi.
Kami pun langsung memasuki pekarangan rumah, dan Samsul mengetuk pintu dengan sopan. Setelah tiga kali ketukan, pintu terbuka dan terlihat pria tua kurus dengan rambut putih panjang sebahu, itu Mbah Nur.
Tanpa kata, beliau mengisyaratkan kami untuk langsung menuju ruang tengah, beliau pun menutup pintu dan masuk ke kamarnya. Saat pertama melangkahkan kaki ke dalam rumah aku mencium aroma apek yang sangat menyengat, akibat dari rumah yang tidak terawat.
Tanpa basa basi Samsul langsung duduk di kursi kayu yang berada di ruang tengah, dan aku duduk di sebelahnya. Kami menunggu beberapa menit di sana, aku perhatikan sekilas rumah ini sangat tidak layak huni, di beberapa sudut atas ruangan terlihat sarang laba-laba yang cukup tebal dan tembok yang berdebu.
Di ruangan ini hanya ada tiga kursi, dua kursi yang aku dan Samsul duduki, dan satu lagi ada di seberang meja kayu yang cukup kecil. Di atas kami ada lampu minyak tanah yang tergantung, menunjukan bahwa listrik belum menjamah tempat ini.
Tak lama kemudian Mbah Nur keluar dari kamar, beliau meminta kotak kayu yang aku bawa sebelumnya. Aku menaruhnya di meja dan kemudian beliau duduk di depan kami. Sambil memejamkan mata, beliau membuka balutan kain putih kotak itu, kemudian meraba tiap sisinya dengan perlahan.
"Kembang tujuh rupa, kepala ayam cemani, jimat. Sudah semua?" tanya Mbah Nur tanpa basa basi, dan aku menggangguk.
"Bagian tubuh orang yang akan dijadikan tumbal?" imbuhnya.
"Sudah. Saya masukkan di kantong. Ada di saku saya," jawabku.
"Aku mau tanya sekali lagi, apa kamu sudah yakin dengan apa yang akan kamu lakukan? Sudah siap dengan resikonya?" tanya beliau lagi dengan suaranya yang parau, yang terdengar seperti ragu denganku.
"Yakin, Mbah! Mau tumbal nyawa berapa pun saya bisa berikan!" jawabku dengan nada agak tinggi, karena sejatinya aku sangat tidak suka apabila ada seseorang yang meragukanku.
Dengan reflek Samsul menepuk tanganku, mengisyaratkan agar aku bisa menjaga nada bicaraku.
"Bagus, kalau begitu bisa kita mulai ritualnya hari ini." Ucap Mbah Nur membuatku sangat bersemangat, dan kembali membayangkan apa yang akan aku dapatkan setelah ini.
Beliau mengisyaratkan pada Samsul untuk membawaku ke sebuah kamar yang sudah disediakan. Beliau menyuruhku untuk berdiam diri di kamar itu dan tidak boleh keluar hingga malam pada saat ritual akan di mulai. Lalu menyuruh Samsul untuk tetap di ruang tengah menemani beliau yang sepertinya memulai ritual dengan membakar dupa.
Kamar ini sangat kotor dan membuat sangat tidak nyaman. Hanya diterangi lampu minyak tanah yang berada di atas meja kecil di sudut ruangan. Di sana sudah tersaji makan ringan dan rokok di atasnya yang sepertinya sudah disiapkan untukku.
Ada juga ranjang bambu dengan bantal yang sangat berdebu. Tidak ketinggalan dengan bau apek yang masih melekat di hidung dan ditambah lagi dengan bau dupa yang masuk dari ruang tengah, membuatku sangat mual.
Aku harus melawan rasa tidak nyaman ini. Aku naik ke ranjang dan mencoba berdiam diri. Sambil memakan makanan ringan yang ada di meja untuk mengganjal perutku yang sejak semalam tadi belum terisi apa-apa.
Tidak lupa menghisap beberapa batang rokok untuk menenangkan diri. Syukur-syukur kalau aku bisa tertidur agar malam datang lebih cepat.
*****
"Tok.. tok.. tok.." Ketukan pintu itu membangunkanku. Terdengar suara Samsul dari luar, memintaku untuk keluar karena waktu yang ditentukan sudah tiba.
Aku keluar kamar dan melihat meja dan kursi sudah tidak ada lagi, hanya ada alat-alat perdukunan sudah tertata rapi di lantai ruang tengah, dengan sang dukun yang duduk di sebelahnya. Aku sama sekali tidak bisa melihat jam, baterai ponselku habis dan di sini tak ada aliran listrik. Tapi, perkiraanku ini sore hari selepas magrib.
Samsul mengarahkanku untuk duduk di posisi yang sudah disiapkan, tepat di depan Mbah Nur. Sejak aku keluar kamar, beliau sudah dalam posisi duduk bersila, menutup mata dan mulutnya berkomat-kamit, entah apa yang beliau ucap, aku tak bisa mendengarnya.
Tak lama kemudian beliau membuka mata, dia memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung kaki, kemudian menyodoriku segelas air yang sudah ditaburi beberapa helai bunga dan sisa bakaran dupa ada di depannya. Beliau menyuruhku meminumnya.
Kuambil gelas itu dan aku perhatikan air yang ada didalamnya. Perutku langsung mual saat membayangkan apa yang harus aku minum. Apa iya aku harus minum benda menjijikkan ini?
Beberapa menit aku terdiam untuk mengumpulkan tekad, dan langsung menghabiskannya dalam sekali teguk. Seperti yang aku duga, badanku begidik dan perutku rasanya campur aduk, tapi aku harus menahannya.
"Hahaha... Bagus." Ucap Mbah Nur sambil menertawakanku, seolah aku telah melakukan sesuatu yang lucu.
"Sekarang kamu lepas pakaianmu, dan pakai sarung ini, lalu ikut aku ke kamar mandi untuk ritual pertama." Lanjut Mbah Nur.
Tanpa banyak kata aku langsung menuruti perintahnya, kulucuti pakaianku dan mengenakan sarung yang diberi oleh Mbah Nur. Beliau menunjuk ke arah ruang belakang, mempersilahkan agar aku berjalan terlebih dahulu, dan kemudian mengikutiku dari belakang.
Di ujung lorong terdapat sebuah ruangan kecil, sekitar dua meter persegi. Disana terdapat sebuah bak mandi yang terdapat taburan bunga yang cukup banyak di atasnya.
Mbah Nur menyuruhku duduk sambil memejamkan mata serta melafalkan bacaan yang sudah diajarkan padaku beberapa saat yang lalu sebanyak tiga belas kali. Tapi, bacaan kali ini berbeda dengan bacaan yang diberikannya padaku untuk melakukan ritual di rumah beberapa hari yang lalu. Jujur, sebenarnya aku tak tahu sedikitpun arti dari bacaan itu.
Aku duduk di kursi kayu di samping bak mandi, udara dingin pun tak lagi terasa. Yang aku rasakan sekarang hanya rasa gugup dan was-was, berharap semua yang aku lakukan ini tidak sia-sia. "Sudah siap?" tanya Mbah Nur, dan aku membalasnya dengan sebuah anggukan.
Mbah Nur menyentuh tempurung kepalaku dengan telapak tangannya, dan menyuruhku untuk memulai bacaannya.
"Ingsun wiranti sumungaken meda abhimata mamrati adri."
Di akhir bacaan beliau menyiramku dengan air kembang yang dingin. Aku berhenti sesaat, diam tak bergerak sambil berkonsentrasi melanjutkan bacaan yang sempat terhenti karena mulutku mengigil terkena dinginnya air. Aku sempat ragu apa aku bisa melewati ini, karena aku masih harus menerima dua belas guyuran lagi.
Pada guyuran ke tiga, keanehan pun terjadi. Aku merasakan panas di atas kepalaku, yang tak lain bersumber dari telapak tangan Mbah Nur. Hingga air yang tadinya terasa dingin, perlahan berubah menjadi hangat. Terdengar Mbah Nur membaca bacaan yang sama denganku, dan akhirnya kami pun membacanya secara bersamaan.
Udara di kamar mandi yang awalnya dingin, berubah menjadi hangat, dan pada akhirnya berubah menjadi sangat panas. Suhu ini sedikit lagi sudah mencapai titik toleransiku, aku masih bertahan karena hanya tersisa satu kali bacaan lagi.
Dengan sekuat tenaga aku berhasil menyelesaikan bacaan terakhir, dan kemudian Mbah Nur menyiramku untuk terakhir kalinya dengan air yang terasa sangat-sangat panas.
"INGSUN WIRANTI SUMUNGAKEN MEDA ABHIMATA MAMRATI ADRI!"
Mbah Nur melanjutkan bacaan itu sekali lagi dengan berteriak dan diakhiri dengan erangan dan cengkeraman yang kuat di kepalaku, seakan-akan beliau bereaksi akan sesuatu. Akhirnya beliau melepaskan cengkeramannya dari kepalaku, sambil terengah-engah dan mengatakan kalau ritual penyucian ini telah selesai.
Setelah bersuci, Mbah Nur menyuruhku beristirahat di ruang tengah. Di sana nampak Samsul yang sudah menyiapkan makan malam. Samsul mempersilahkanku makan, sedangkan Mbah Nur pergi ke luar rumah, entah ke mana.
Aku mengambil dua centong nasi dan lauk secukupnya, tak lupa dengan sambal yang selalu menggugah selera. Setelah suapan pertama aku menghentikan makanku sejenak, rasa makanan ini tidak enak. Tapi, karena seharian perutku belum terisi nasi sama sekali, akhirnya makanan di piringku pun ludes tanpa sisa.
"Gimana tadi? Lancar?" tanya Samsul membuka obrolan.
"Aku bingung mau menjelaskan seperti apa, aku benar-benar merasakan sendiri air dingin dengan sekejap berubah menjadi panas di tangan Mbah Nur," jawabku takjub.
"Itu syarat sebelum kamu melakukan ritual utama, semua "kotoran" yang ada di dalam badanmu harus dibuang dulu." Balas Samsul sambi mengunyah makanan, seolah rasa makanan itu baik-baik saja di lidahnya.
"Ritualnya kita lakukan nanti tengah malam, setelah ini kamu bersiap diri dulu." Lanjutnya sambil menyantap habis makanan yang ada di piringnya.
Setelah makan malam selesai, aku kembali ke kamar, sesuai instruksi dari Lukman. Suasana di luar rumah cukup tenang. Tidak heran, rumah Mbah Nur adalah satu-satunya rumah di luar dusun. Di samping rumah hanya ada tanah kosong dan pepohonan rimbun.
Dari dalam kamar aku bisa mendengar suara burung hantu yang hinggap di atas pohon tepat di balik tembok kamar dan di ikuti oleh suara serangga-serangga gunung yang terdengar nyaring dari kejauhan. Mengingatkanku pada saat berkemah di waktu kecil dulu bersama Ayah.
Aku langsung mengambil dompet dari dalam tasku. Di dompetku terdapat selembar foto yang selalu tersimpan. Foto di mana Ayah menggendongku saat masih kecil dulu. Aku sangat merindukannya.
Ayah adalah seorang yang sangat penyayang, ramah, bertanggung jawab, tapi tegas. Dari kecil hingga remaja beliau selalu memberi apa yang keluarga kami inginkan. Kami sangat bahagia waktu itu.
Tapi, sayangnya Ayah pergi meninggalkan kami terlalu cepat, dan malapetaka masih belum berakhir sampai di situ. Semua hasil jerih payahku, usaha yang kurintis dari bawah, semuanya hancur saat bocah pembawa sial itu datang, dan menyebabkan keluarga kami jatuh miskin.
Maka dari itu, dia harus mempertanggung jawabkan semuanya, dengan menjadi tumbalku. Karena memang tak seharusnya dia lahir ke muka bumi ini.
*****
Waktu terasa berjalan sangat lama, aku sudah bosan terisolasi di tempat ini. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa rebahan dan menghitung-hitung sudah berapa lama aku di sini.
"Tok.. tok.. tok.." suara ketukan pintu memecah keheningan, tanda penantianku sudah berakhir. Aku keluar kamar dengan penuh rasa percaya diri, aku sudah sangat siap untuk menyelesaikan apa yang aku mulai.
"Udah siap?" tanya Samsul
"Sangat," jawabku dengan bersemangat
"Ayo, Mbah Nur sudah nunggu," ajak Samsul agar aku segera bergegas mengikutinya.
Kami keluar rumah dan berjalan menjauh dari dusun. Aku perhatikan di sekeliling sama sekali tak terlihat ada rumah penduduk, hanya jalan setapak yang dipagari oleh pepohonan. Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa orang hidup di tempat seperti ini? Tanpa listrik, tanpa hiburan, dan jauh dari dunia luar.
Kami terus berjalan di bawah cahaya bulan dan rasi bintang yang terlihat begitu indah menghiasi langit malam yang cerah. Di balik pepohonan yang gelap, aku mendengar suara seseorang memangil-manggil namaku.
"Sul, kamu dengar suara itu?"
"Sudah, nggak usah di dengerin, fokus jalan terus." Samsul ingin aku mengabaikan suara itu.
Sampai akhirnya suara tersebut hilang ditelan suara air terjun yang terdengar semakin jelas. Dari awal aku sudah menebak air terjun itu akan menjadi tujuan akhirku di tempat ini.
Air terjun yang tadinya hanya bisa aku dengar suaranya, kali ini bisa aku lihat dengan kedua mataku. Air terjun itu cukup tinggi, sekitar tiga puluh meter dengan aliran air yang sangat deras, mengingat sekarang sedang musim hujan.
Untuk menuju kesana kami harus menuruni bebatuan besar yang agak licin. Kami tidak membawa alat penerangan apa pun, hanya mengandalkan cahaya bulan, membuat aku dan Samsul lompat dari satu batu ke batu yang lain dengan sangat berhati-hati.
Dari kejauhan terlihat seseorang berdiri tak jauh dari bawah air terjun, itu Mbah Nur. Dengan mengenakan pakaian serba putih, beliau memandang ke arah air terjun sambil melipat tangannya kebelakang.
Setelah kami mendekat, aku melihat mulut beliau bergerak seperti berbicara dengan sesuatu yang tak kasat mata. Kami berdiri di belakangnya, diam dan tak berani mengeluarkan satu kata pun, kami takut mengganggu apa yang sedang dia lakukan saat ini. Tak lama berselang beliau pun juga terdiam.
"Sudah siap?" tanya Mbah Nur sambil menoleh ke arahku.
"Sudah, mbah." Aku menjawab dengan penuh keyakinan.
"Di balik air terjun itu ada gua, nanti disana kamu akan bersemedi. Untuk berapa lamanya tergantung Sang Penunggu Gunung ini menerima tumbalmu. Kalau dia memang menerima tumbalmu, kamu tak butuh waktu lama berada di dalam sana. Tapi kalau ditolak, kamu harus bisa meyakinkannya sendiri. Aku tidak bisa membantu," jelas Mbah Nur.
"Tunggu! Apa maksudnya ditolak? Katanya ritual ini pasti berhasil? Kenapa kalian nggak bilang dari kemarin-kemarin?!" ucapku pada Mbah Nur dan Samsul.
Aku terkejut dengan kalimat dukun itu. Masalah tumbal ditolak ini aku belum pernah tahu sebelumnya. Aku merasa dibohongi.
"Ee... Aa... Anu..." ucap Samsul terbata-bata. Wajahnya terlihat panik karena tidak bisa menjawab pertanyaanku.
"Dasar bocah! Semua pesugihan tidak ada yang pasti berhasil, semua ada kemungkinan gagal. Lagi pula kamu sudah sejauh ini apa iya kamu masih mikir tentang kegagalan ritual ini?! Jangan pernah kamu coba buang-buang waktuku!" bentak Mbah Nur.
Beliau terlihat sangat marah. Suaranya yang keras dan parau membuatku gentar. Tapi, apa yang dikatakannya masuk akal. Aku sudah terjerumus terlalu jauh, dan tak ada lagi jalan untuk kembali. Aku akan tetap melakukannya.
"Maaf, Mbah. Aku siap lakukan sekarang," jawabaku melunak.
"Bagus. Di sana sudah aku siapkan alas untukmu, dengan cawan emas berisi air dan kembang tujuh rupa di sampingnya. Yang harus kamu kerjakan adalah duduk bersila, membaca bacaan yang sudah aku ajarkan kemarin sambil menaburkan bunga ke dalam cawan, serta berserah diri pada Sang Penunggu Gunung. Jika dia menerima tumbalmu, air dalam mangkok akan mendidih dan habis secara perlahan. Kemudian akan berubah jadi batu merah delima yang bersinar terang. Kamu harus bawa batu itu keluar. Paham?" tanya Mbah Nur sambil mempersilahkanku untuk langsung masuk ke dalam gua.
Aku melangkahkan kakiku tanpa keraguan. Aku berusaha dengan susah payah menembus derasnya air terjun yang dingin, dan berhasil.
Gua yang ada di sini tak seperti yang aku bayangkan. Gua ini berukuran tidak seberapa besar, tingginya hanya setengah meter lebih tinggi dari badanku. Lebarnya sebatas rentangan kedua tanganku saja. Dan hanya menjorok sekitar enam atau tujuh meter ke dalam.
Samar-samar telihat benda berwarna putih berada di dasar ujung gua. Mungkin itu adalah alas yang sudah disiapkan oleh Mbah Nur untukku.
Di sini tidak sepenuhnya gelap, aku sedikit terbantu dengan cahaya bulan yang tipis-tipis menembus tirai air terjun di belakangku. Aku berjalan perlahan sambil meraba-raba tembok gua, untuk berjaga-jaga agar tidak tersandung sesuatu, mengingat mataku belum beradaptasi sepenuhnya dengan kegelapan.
Aku berhasil mencapai ujung gua, dan duduk di alas putih itu. Alas sebenarnya, hanya saja sudah basah karena air yang masuk ke dalam gua yang membuat kurang nyaman. Aku meraba-raba di sekitarku, dan aku merasakan jari tanganku meyentuh sebuah benda yang terbuat dari logam tepat di sebelah kiri ku, aku yakin itu cawan emas yang dimaksud Mbah Nur.
Aku mengangkatnya dan mencoba mencium aroma kembang tujuh rupa di sampingnya, seketika nuansa mistis langsung terasa. Kemudian aku meletakkan mangkok itu tepat di depanku, menaburinya dengan bunga, dan membaca bacaan yang telah di ajarkan Mbah Nur. Aku mulai memfokuskan pikiranku dan memulai ritualku.
Sudah ratusan atau bahkan mungkin hampir ribuan kali mulutku membaca bacaan yang sama sekali tak aku mengerti artinya ini, hingga bosan. Tak ada suara lain yang aku dengar kecuali gemuruh air terjun di depanku.
Badanku basah dan menggigil. Sama sekali belum ada tanda-tanda air di di cawan ini mendidih. Sempat aku berpikir apakah tumbalku ditolak oleh sang penjaga gunung. Tapi, aku akan tetap melanjutkan ritual ini yang tinggal selangkah lagi dan akan tetap melakukannya jika perlu hingga fajar tiba.
"Bima..." konsentrasiku terpecah oleh suara yang terdengar dari balik gemuruh air terjun.
Aku belum bisa mengetahui itu suara Mbah Nur atau Samsul, karena aku belum benar-benar dengan jelas medengarnya. "Bimaaaa...." Suara itu terdengar semakin mendekat dan menggema ke setiap penjuru gua, hingga terdengar lebih keras dari suara gemuruh air.
"BIMAAAAA....." suara itu semakin keras terdengar, aku berusaha mengabaikannya dan terus berusaha mencoba berkonsentrasi untuk melanjutkan ritualku.
Kemudian terlihat seseorang berbaju putih masuk ke gua melewati derasnya air terjun. Aku memicingkan mata untuk memastikan siapa yang masuk kesini, mengingat aku menitipkan kacamata ku pada Samsul di luar sana. Apakah itu Mbah Nur? Apakah beliau kesini untuk memberitahuku bahwa ritual pesugihan ini sudah gagal?
Seketika aku langsung menghentikan bacaanku. "Kenapa mbah? Apa aku gagal?" tanyaku.
Tapi, orang itu tak menjawab dan hanya berjalan mendekat. Saat dia semakin mendekat, aku baru bisa melihat sosoknya dengan jelas. Itu bukan Mbah Nur, itu sosok perempuan yang aku lihat di gubuk kemarin malam. Dengan rambutnya yang panjang dan acak-acakan, berjubah putih lusuh yang sangat panjang hingga menyentuh dasar gua.
Dia berdiri membelakangiku, dan berjalan mundur secara perlahan mendekat ke arahku yang duduk di ujung gua. Aku diam terpaku.
Pikiranku campur aduk. Apakah dia Sang Penunggu Gunung? Apakah dia makhluk gaib yang sengaja mengujiku dalam ritual ini? Apakah justru dia ingin menggagalkannya? Atau dia hanya halusinasiku saja? Apa yang harus aku lakukan?
Sosok itu kian mendekatiku yang duduk kebingungan dan terpojok. Tapi, setelah dia mendekat sekitar dua meter di depanku, dia berhenti. Kemudian dia menolehkan kepalanya secara perlahan hingga lehernya memutar dan kepalanya menghadap kebelakang. Aku yang tertegun saat itu bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Wajah dengan kulit busuk, serta nanah yang keluar dari lubang matanya yang kosong. Mulutnya yang tadinya menganga sekarang perlahan terbuka semakin lebar sampai merobek kulit pipinya yang busuk, dan akhirnya benar-benar terbuka hingga rahang bagian atas sampai dengan ujung kepala menghadap kebelakang, dan hanya tersisa lidah dan rahang bagian bawah yang menghadap ke arahku.
Suasana mencekam itu belum berakhir. Dari kerongkongan sosok itu muncul banyak sekali makhluk yang paling aku takuti di dunia ini, Laba-laba. Makhluk menjijikkan itu tak berhenti keluar dari kerongkongannya, mereka terus merambat turun lewat baju tak rambut sosok tersebut.
Hingga akhirnya tubuh sosok itu pun perlahan rontok dan berubah menjadi sekumpulan Laba-laba dengan jumlah yang lebih banyak dan berjalan ke arahku.
Aku yang tadinya tertegun, sekarang menjadi sangat panik dan jijik saat kumpulan Laba-laba itu merambat ke seluruh tubuhku. Aku hanya bisa meronta dan menyingkirkan makhluk berkaki delapan itu dari tubuhku, aku tak sanggup berdiri. Kaki ku terlalu lemas untuk berlari atau bahkan berjalan keluar gua karena kejadian ini.
"TOLONG! SAMSUL! MBAH! TOLONG!" aku menutup mata berteriak sekuat tenaga seperti anak kecil, sambil masih mengibas-ngibaskan tangan dan kakiku agar serangga-serangga sialan ini pergi dari badanku.
Setelah teriakanku berakhir secara tiba-tiba aku tak merasakan lagi ada sesuatu yang menempel pada kulitku. Saat membuka mata, serangga itu lenyap, tak ada seekor pun yang nampak. Yang terlihat di mataku saat ini hanya cahaya bulan yang menembus air terjun dan mangkok emas di depanku yang airnya telah habis dan berganti menjadi sebuah benda kecil yang memancarkan sinar berwarna merah terang.
Dengan langkah kaki tergontai, tangan kiri ku memegang bebatuan di sampingku agar tidak badanku tak terjatuh, dan tangan kanan yang membawa batu merah itu. Aku pun berhasil menembus derasnya air terjun.
"Mbah..! Samsul..!" teriakku kepada mereka sambil mengangkat tangan, menandakan kalau apa yang aku lakukan terlah berhasil. Mereka berlari kearahku, dan Samsul yang sampai lebih dulu langsung memelukku dari samping dan membantuku berjalan.
"Diterima?" tanya Samsul sambil melihat isi genggaman tanganku.
"Batunya biar aku bantu bawa, sekarang ayo kita minggir dulu." Imbuh Mbah Nur yang kemudian mengambil batu itu dari tanganku dan memeluk badanku di sisi yang lain agar aku bisa berjalan lebih cepat lagi.
Kami bertiga pergi tak seberapa jauh dari air terjun. Kami duduk di samping api unggun yang sudah disiapkan oleh Samsul sebelumnya. Sambil mengganti bajuku yang basah dengan pakaian berbahan kain tebal pemberian Mbah Nur.
Aku menyalakan rokok, menghisapnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara. Pertanda perasaanku yang lega karena ini semua sudah berakhir.
"Apa yang tadi kamu rasakan waktu di dalam?" tanya Samsul memulai percakapan.
"Aku nggak ngerasain apa-apa, Sul. Tapi, tadi ada sosok wanita bermuka busuk yang muncul di depanku. Apa itu Sang Penunggu Gunung?" jawabku sambil menikmati sisa rokokku. Samsul terdiam dan menoleh ke arah Mbah Nur.
"Mungkin," jawab Mbah Nur.
"Mungkin?" balasku heran.
"Tidak ada yang tahu pasti wujud Sang Penunggu Gunung. Dari beberapa orang yang sudah melakukan ritual mereka selalu melihat sosok yang bebeda-beda, tergantung sosok apa yang paling ditakuti oleh orang tersebut." Jawaban Mbah Nur membuatku terdiam. Beliau benar.
Hingga saat ini, selain laba-laba, hal yang paling aku takuti di dunia ini adalah sosok perempuan berjubah putih yang muncul di rumah Eyang saat aku kecil dulu. Sebenarnya itulah alasanku tidak mau tinggal di rumah itu, dan juga alasan kenapa aku selalu pergi berlama-lama meninggalkan rumah. Karena perempuan itu selalu menghantuiku saat aku berada di sana.
"Sepertinya kita nggak usah lama-lama di sini. Ayo kita ke langsung ke rumah dan langsung kita membuktikan hasil dari ritualmu." Lanjutnya Mbah Nur.
"Baik Mbah," jawabku.
"Sul, kamu ajak temanmu balik ke rumah dulu," ucap Mbah Nur pada Samsul dan dia langsung mengajakku kembali ke rumah Mbah Nur.
Kami berdua berjalan melalui jalan yang sama ketika kami berangkat. Langit sudah tak secerah saat berangkat tadi. Awan gelap sudah mulai berkumpul menutupi bulan dan bintang yang bersinar terang sebelumnya.
Muncul tanya di kepalaku, kenapa sebelum aku melakukan ritual tadi langit sangat cerah dan mendung datang setelah selesai melakukannya. Mengingat sekarang adalah musim hujan, di mana hal itu sangat jarang terjadi. Apakah semesta benar-benar mendukungku?
Dengan pertanyaan yang terus muncul di dalam kepala, akhirnya kami berdua sampai di rumah Mbah Nur. Nafasku terasa berat karena kelelahan di tengah udara yang mulai dingin. Samsul menyuruhku untuk istirahat sejenak di kamar. Dia membawa empat batang lilin dan memasangkan di tiap ujung meja kamar.
"Buat apa, Sul?" tanyaku.
"Nanti kamu tahu sendiri," jawab Samsul yang kemudian memberitahuku secara detail apa saja yang harus aku lakukan saat pembuktian nanti.
Aku pun merebahkan badanku di ranjang. Namun, tak lama setelah itu terdengar pintu depan terbuka, terlihat Mbah Nur datang dengan membawa benda berbalut kain putih lusuh.
Sepertinya itu kotak kayu milikku. Aku urungkan niatku untuk beristirahat dan langsung menghampiri Mbah Nur yang baru beberapa langkah memasuki rumah.
"Gimana mbah?" tanyaku bagai bocah kecil yang melihat Ayahnya pulang ke rumah membawa mainan baru.
"Kamu beruntung, tidak banyak orang yang tumbalnya diterima oleh Sang Penunggu Gunung," jawab beliau dengan tersenyum. Kemudian menyodorkan batu merah, kotak kayu milikku, sekotak korek api, dan sebilah belati.
"Samsul sudah memberitahu apa yang berikutnya harus kamu lakukan?" lanjutnya.
"Sudah, Mbah." Aku kemudian masuk ke kamar dan melakukan apa yang sudah di katakan Samsul kepadaku beberapa saat yang lalu.
Aku tutup pintu rapat-rapat, dan memulai dari menyalakan lilin dengan korek api yang sudah diberikan oleh Mbah Nur tadi. Kemudian membuka kain penutup kotak kayu milikku dan meletakkannya persis di tengah meja.
Aku mengambil kantong kecil yang berisi kuku si bocah pembawa sial dari tas dan memasukkan kuku-kuku itu ke dalam kotak bersama batu merah yang aku dapatkan tadi.
Berikutnya adalah bagian yang paling tidak aku suka, aku harus menyayat jariku dengan belati dan meneteskan darahku ke atas kotak, sangat menyakitkan. Kemudian langkah terakhir, aku harus membaca mantra yang telah di ajarkan Mbah Nur padaku. Jujur, aku sangat tegang saat ini.
Kotak kecil yang terbuat dari kayu jati, yang sering aku bawa kesana-kemari. Saat ini benda itu bergetar perlahan dan berangsung-angsur menjadi getaran yang sangat keras, tepat di depan kedua mataku.
Aku tak pernah melihat ini sebelumnya. Saking keras getaran tersebut menyebabkan meja pun ikut bergetar, yang menyebabkan lilin-lilin di sampingnya berjatuhan. Badanku gemetar dan aku jatuh terjengkang, perasaanku campur aduk antara takjub dan takut.
Takjub karena aku belum pernah melihat hal yang seperti ini sebelumnya. Takut karena aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kemudian saat kotak tersebut tiba-tiba berhenti, tetesan darah yang ada di atas kotak itu seperti mendidih dan menguap ke udara, dan kemudian hilang tanpa bekas. Masih dengan perasaan takut yang menyelimuti, kuberanikan diri untuk membuka kotak itu.
Saat aku menyentuhnya, kotak itu terasa sangat panas seperti kayu yang terbakar, hingga aku tak mampu membukanya dengan tangan telanjang. Aku melepas pakaianku yang aku kenakan, melilitkannya ke tangan, dan akhirnya berhasil membuka kotak itu.
Mataku berbinar-binar, senyum lebar langsung menghiasi wajahku. Tanganku merogoh isi kotak itu dengan gemetar. Aku menggenggam tiga lembar uang seratus ribu dan dua lembar uang lima puluh ribu.
Tapi, senyuman itu tak bertahan lama. Perasaan senang yang beberapa saat tadi aku rasakan berubah menjadi kekecewaan, saat mendapati uang yang aku dapat dari ritual ini tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.
"Kreeekk..." kamar terbuka. Mbah Nur masuk ke kamar dan Samsul yang hanya diam di depan kamar dengan wajah penasaran.
"Bagaimana? Sudah dapat apa yang kamu mau?"
"Sudah. Tapi, kenapa yang aku dapat hanya segini, Mbah? Apa tumbalku kurang?"
"Hahaha. Biar aku jelaskan dulu. Apa yang kamu lihat barusan cuma permulaan. Di detik ini, jiwa dari orang yang anggota badannya kamu jadikan tumbal sepenuhnya akan menjadi milik Sang Penunggu Gunung. Raga orang itu tidak mati, tapi kondisinya akan sekarat seperti mayat hidup, karena jiwanya sudah kosong. Lalu setiap kali kamu memasukkan anggota badan orang itu ke kotak kayu, itu akan berbah menjadi uang. Semakin besar anggota badannya, semakin banyak uang yang kamu dapat. Tapi, jika raga orang itu meninggal, maka perjanjianmu juga akan selesai. Jadi, lebih baik kamu rawat orang itu, dan mengambil anggota badannya yang bisa terus tumbuh. Seperti kuku atau rambut. Walaupun yang kamu dapat tidak seberapa banyak, tapi paling tidak raganya masih bisa terus hidup."
"Jadi selama orang itu hidup, aku bisa terus dapat uang, Mbah?"
"Benar. Dan sekarang ritual pesugihan ini sudah selesai. Kamu bisa istirahat dan pulang besok pagi." Kalimat dari Mbah Nur itu mengakhiri percakapan kami malam ini, dan beliau keluar dari kamar.
Aku pun membereskan kamar, membungkus kotak kayu milikku dengan kain seperti semula dan memutuskan untuk tidur. Karena aku tak sabar menunggu pagi tiba dan pulang ke rumah untuk menuai hasil dari semua yang aku lakukan kemarin.
*****
Cahaya mentari menyusup dari celah genteng dan langsung menusuk mataku yang masih terpejam. Seketika aku terbangun dan menyadari hari sudah siang. Sejenak kuregangkan otot-ototku, bangkit dari ranjang, dan ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil. Aku buka pintu kamar, di ruang tengah aku melihat sudah ada sepiring nasi goreng dan segelas teh di sebelahnya.
"Udah bangun, toh." Terdengar suara Samsul dari arah kamar mandi.
"Kok kamu gak bangunin aku? Udah siang gini."
"Semalem kamu pasti capek banget, jadi sengaja nggak aku bangunin, tuh udah aku bikinin nasi goreng. Abis itu langsung aku anterin kamu ke terminal."
"Ngomong-ngomong, Mbah Nur mana?"
"Biasa, orang sibuk. Lagi banyak urusan." Kemudian Samsul pergi ke teras depan rumah
Setelah menyelesaikan urusanku di kamar mandi, aku berkemas. Membereskan semua barang bawaanku, termasuk kotak kayu yang kini menjadi barangku yang paling berharga. Kemudian aku berusaha sekuat tenaga menghabiskan nasi goreng buatan Samsul yang rasanya amburadul.
Setelah menyelesaikannya, aku menghampiri Samsul yang sedang asyik membersihkan motor yang entah bagaimana caranya dia bisa membawanya kesini. Aku pun mengatakan padanya kalau aku sudah siap pulang.
Kami melakukan perjalanan pulang melalui jalan lain, karena tidak mungkin mengendarai motor melewati jalan setapak di hutan pinus kemari. Di tengah perjalanan, aku masih membayangkan tentang sosok berbaju putih yang membuatku jatuh pingsan malam itu.
Apakah benar dia Sang Penunggu Gunung? Apa dia sudah mengetahui maksud kedatanganku kemari sebelum aku melakukan ritual? Entahlah. Yang penting aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan. Mungkin tak akan pernah menginjakkan kaki ke tempat ini lagi.
Udara dingin dataran tinggi yang menyentuh kulitku beberapa jam yang lalu tak lagi terasa. Digantikan oleh panasnya udara terminal yang disertai debu yang beterbangan.
Aku dan Samsul duduk di kursi deret yang tak jauh dari tempat pemberhentian bus. Sambil menolehkan kepala ke semua penjuru terminal untuk mencari penjual rokok asongan yang masih belum nampak batang hidungnya.
"Kayaknya bus yang kamu tunggu agak telat datangnya. Mending aku balik dulu, deh." Samsul berpamitan.
"Ok, terima kasih banyak kamu sudah mau bantu aku," jawabku sambil menjabat tangannya
"Nggak apa-apa. Namanya juga teman. Harus saling bantu. Kalau ada apa-apa lagi, hubungi aku aja," balas Samsul mengakhiri percakapan kemudian pergi dan menghilang dibalik kerumunan orang.
Aku tiba-tiba teringat selama beberapa hari aku belum mengecek ponsel sama sekali. Kurogoh isi tas, dan aku menemukan ponselku yang sudah mati. Aku terpaksa berjalan mencari warung makanan di depan terminal untuk hanya sekedar menumpang mengisi baterai ponselku.
Aku masuk ke warung, memesan segelas teh hangat hanya agar bisa duduk dan meminjam colokan listrik yang ada di sana. Lagi pula uangku tak akan cukup untuk naik bus jika harus membeli makanan disini.
Kabel pengisi baterai sudah tertancap ke ponsel. Aku menyalakannya untuk melihat apakah ada pesan atau panggilan masuk selama aku berada di dusun terpencil itu. Kemudian secara bertubi-tubi muncul pemberitahuan di ponselku.
Tiga puluh pesan masuk dan lima puluh panggilan tak terjawab. Aku dikagetkan oleh sebuah pesan dari Angga yang bertuliskan "Bima, kamu di mana?! cepat pulang! Eyang tiba-tiba jatuh sakit sampai nggak sadar, kami butuh bantuan di rumah!"
Seketika aku terdiam. Kenapa jadi Eyang? Bukannya seharusnya bocah pembawa sial itu yang sekarat? Apa jangan-jangan kemarin aku salah mengambil kuku yang ada di tempat sampah?
Tapi aku yakin tidak salah karena aku tidak pernah melihat Eyang memotong kuku dan membuangnya di tempat sampah ruang tengah. Perasaanku campur aduk. Perasaanku yang sebelumnya sangat senang, seketika berubah menjadi ketakutan dan penuh rasa bersalah karena khawatir aku menumbalkan orang yang salah.
Dari kejauhan nampak bus berwarna hijau datang dari pintu masuk terminal menuju ke tempat pemberhentian bus, itu bus yang aku tunggu. Tanpa banyak kata aku meninggalkan uang teh di meja dan langsung berlari ke arah bus. Aku ingin segera pulang untuk mengetahui apakah aku telah melakukan kesalahan atau itu hanya sebuah kebetulan belaka.
-Bersambung-
****************************************************
Terima kasih, teman-teman telah meluangkan waktu untuk membaca tulisan saya ^_^
Tapi, sebelumnya saya ucapkan permohonan maaf, karena cerita Belenggu Hitam BAB VII sampai XVI harus saya tarik karena tulisan saya ini akan diterbitkan dalam bentuk buku. Kalau teman-teman tertarik dengan kisah kelanjutannya, tunggu info lebih lanjut dari saya, ya.
Sekali lagi saya ucapkan mohon maaf, dan terima kasih ^_^V
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
