BELENGGU HITAM [BAB II : PARFUM]

0
0
Deskripsi

Bercerita tentang keluarga yang sebelumnya hidup bahagia dan serba berkecukupan, tiba-tiba harus mengalami kejadian buruk yang bertubi-tubi.

Diawali dengan meninggalnya sang kepala keluarga, hingga akhirnya mereka kehilangan semua harta bendanya. Sampai akhirnya, mereka tak punya tempat tinggal dan harus mengungsi ke rumah anggota keluarga mereka yang paling tua.

Kejadian buruk tidak hanya sampai di situ. Sejak kedatangan mereka di rumah yang mereka tempati saat ini, satu-persatu dari anggota keluarga...

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Di sini aku hanya ditemani oleh suara detak jam dinding dan suara air yang keluar dari keran.

Seperti inilah kegiatanku setiap hari, yang selalu berulang, berulang, dan berulang. Bosan? Pasti. Tapi, inilah yang harus aku jalani sebagai Ibu Rumah Tangga.

Semua piring dan gelas di depanku telah tercuci bersih. Sekarang saatnya aku beristirahat dengan duduk di kursi goyang milik Eyang di ruang tengah sambil menonton televisi.

Aku ingin meluruskan kaki dan merebahkan punggung sejenak. Tak lupa aku mengambil ponsel dan mengirim pesan singkat ke Mas Angga, mengabarinya bahwa adiknya sudah pulang beberapa saat yang lalu.

Setelah itu tak lupa aku melihat kumpulan foto yang tersimpan di ponselku. Aku melihat satu persatu foto dari saat Raka masih bayi, foto saat resepsi pernihakanku dengan Mas Angga, hingga foto-foto saat aku masih lajang dulu.

Untuk beberapa saat, pikiranku sempat melayang ke masa-masa indah itu. Tapi, aku tak mau berlama-lama terlarut dalam lamunan. Aku memutuskan untuk menyimpan ponselku dan kembali meregangkan otot-otot yang mulai kaku. Sungguh, rasanya aku sangat malas melakukan apa pun hari ini.

"Mama.. Mama.. aem." Raka muncul dari ruang tamu dan menggoyang-goyangkan lenganku.

"Makan lagi? Masih lapar? Tadi kan sudah makan banyak, nak? Ya udah ambil sendiri di dapur, ya?". Lalu Raka pun pergi untuk mengambil pancake yang masih tersisa di meja dapur.

"Praaangg!" tak lama setelah itu terdengar suara sesuatu yang pecah dari arah dapur, aku terperanjat dan langsung berlari ke sana, khawatir sesuatu yang buruk terjadi kepada Anakku.

Sesampainya di sana aku mengelus dada dan bernafas lega, Raka masih duduk di atas kursi dan hanya menjatuhkan gelas yang ada di meja. Lantas aku mengambil sapu dan membereskan pecahan gelas itu.

"Ada apa ini? Apa yang pecah?" tanya Ibu yang tiba-tiba berdiri di belakangku.

"Tadi gelasnya tersenggol Raka waktu lagi makan di meja, Bu". Jawabku.

"Aduuh, Raka. Lain kali hati-hati ya! Bahaya kalau sampai kamu injak pecahan gelas!" Ibu menasehati Raka dengan nada agak tinggi, dan Raka hanya membalasnya dengan anggukan, kemudian dia melanjutkan makannya lagi dengan sangat lahap.

"Udah, nggak apa-apa, Bu. Toh, Raka juga masih kecil, masih kurang hati-hati," balasku untuk meredam suasana yang mulai terasa kurang nyaman.

"Kamu juga jangan terlalu memanjakan Anakmu, bisa kebawa sampai dia besar nanti," lanjut Ibu yang masih belum menurunkan nada bicaranya.

"Iya, Bu," Jawabku singkat, agar pembicaraan ini segera berakhir.

"Emang ibu-ibu muda jaman sekarang nggak pernah bisa tegas sama anaknya, nggak kayak jamanku dulu." Ibu melanjutkan ocehan sambil berjalan masuk ke kamarnya.

Kekacauan di dapur telah usai. Raka juga sudah kembali bermain mobil-mobilannya, kali ini dia bermain di ruang tengah. Aku memutuskan untuk masuk ke kamar untuk mengembalikan suasana hatiku yang rusak barusan. Kurebahkan badanku ke kasur yang empuk sambil melamun.

Di benakku selalu terlintas pikiran untuk segera pergi dari rumah ini. Memiliki rumah sendiri, kecil pun tak apa-apa, dan tinggal bertiga dengan Mas Angga dan Raka.

Bukan karena rumah ini tidak nyaman, tapi aku hanya tak ingin tinggal bersama Mertua. Aku sering sekali berselisih paham dengan beliau, terutama dalam mengasuh anak.

Ibu Mertuaku selalu menginginkan aku mendidik Raka dengan disiplin dan agak keras, itu sangat berbanding terbalik dengan caraku.

Dalam perkembangan zaman seperti sekarang, tentu cara mengasuh anak ibu-ibu terdahulu sudah tidak relevan lagi. Terlebih lagi terasa sangat ironis saat mendengar Ibu mengkuliahiku tentang bagaimana cara mendidik anak, dan melihat cara beliau memperlakukan kedua anak lelakinya sendiri dengan sangat tidak adil.

Bima, si Anak bungsu. Dia sangat disayang oleh Ibu. Mungkin karena dia Anak yang paling pintar dan sukses dalam hal ekonomi di keluarga kami. Aku tidak tahu pasti apa usahanya. Tapi, apa pun itu, yang pasti cukup menghasilkan.

Rumah mewah, tiga mobil, dan beberapa hektare tanah di desa. Hal tersebut juga membuat dia memandang sebelah mata kakaknya. Ibu selalu memberikan apa pun untuk dia.

Bahkan, dulu aku pernah mencuri dengar saat Ibu minta kepada izin pada Eyang untuk menggadaikan sertifikat rumah sebagai tambahan modal usaha Bima. Padahal, pada waktu itu dia sudah punya segalanya.

Sedangkan Mas Angga, Suamiku. Dia hanya karyawan swasta dengan gaji sedikit di atas standar upah minimum. Sebetulnya dia orang yang cerdas, dia juga berpendidikan tinggi. Sayangnya Mas Angga tak seberuntung adiknya.

Di samping pekerjaan utamanya, Mas Angga dan aku pernah beberapa kali membuka usaha, dari menjual makanan hingga pakaian. Dengan maksud apabila usaha kami berjalan lancar dan menghasilkan uang, Mas Angga ingin keluar dari pekerjaannya dan hanya fokus menjalankan usahanya sendiri.

Tapi, semuanya gagal ditengah jalan karena kami kurang cakap dalam mengelola usaha. Modal yang kami ambil dari tabungan pun habis. Kami bangkrut. Yang lebih menyedihkan, tak ada sedikit pun uluran tangan dari Ibu kepada kami yang kala itu benar-benar membutuhkan bantuan.

Tiga tahun, waktu yang termasuk singkat untuk memutarbalikkan nasib seseorang. Bima bangkrut, entah karena apa sebabnya. Apa yang dia punya habis tak tersisa.

Kebangkrutan tersebut membuatnya terpaksa tinggal di rumah ini bersama kami, karena dia sudah tidak punya lagi tempat untuk bersinggah. Kejadian itu membuatnya menjadi seorang yang pendiam, pemurung, dan sangat tertutup.

Dia menjadi orang yang aneh. Terkadang aku memergokinya berbicara seorang diri, dan langsung terdiam seolah tak terjadi apa-apa saat mengetahui ada orang yang memperhatikannya.

Akhir-akhir ini dia juga sering membawa pulang benda-benda aneh ke kamarnya. Kami tak mengetahui untuk apa kegunaan benda-benda tersebut.

Aku menjadi takut dan kawatir suatu saat dia melakukan sesuatu di luar akal sehat kepada kami. Hal itu membuatku semakin tidak betah berada di rumah ini.

Sebenarnya rumah yang kami tempati saat ini cukup luas. Hanya satu lantai. Di rumah utama terdiri dari ruang tamu, ruang tengah, dapur, dan empat kamar. Di kamar depan ditempati oleh aku, Mas Angga, dan Raka. Kamar tengah ditempati oleh Bima. Kamar samping ditempati oleh Ibu Mertua. Yang terakhir, kamar belakang ditempati oleh Eyang.

Di bangunan terpisah di belakang rumah ada gudang dan kamar mandi. Ada juga halaman yang lumayan luas di samping rumah. Di sana terdapat pohon mangga, sangat besar dan rindang. Dari bentuknya terlihat pohon itu berumur sudah puluhan tahun. Buahnya sangat manis, kami baru memanennya dua bulan yang lalu.

Kalau dilihat dari bentuknya, rumah kami sepertinya bangunan peninggalan Belanda. Terlihat dari tembok, bentuk atap, dan pagar beton pendeknya yang masih kokoh. Tapi Ibu dan Eyang pun tak tahu tentang sejarah rumah ini, karena kata mereka rumah ini sudah ditempati keluarga secara turun-temurun.

Ada hal lain yang aku keluhkan dari rumah ini. Yaitu, di kamar samping, tengah, dan belakang sama sekali tidak ada jendela. Hanya ada lubang kecil berbentuk persegi di bagian atas tembok kamar. Tentu saja itu tidak cukup untuk sirkulasi udara yang ideal.

Apalagi jika lampu dimatikan, kamar akan terlihat gelap walaupun siang hari. Dari keempat kamar di rumah kami, hanya kamar Ibu Mertua yang paling bagus sirkulasi udaranya. Di sana ada jendela yang langsung menghadap halaman samping. Sangat tidak adil.

Tapi di luar hal-hal yang membuatku muak tentang isi rumah ini, Raka-lah yang menjadi satu-satunya alasanku untuk bertahan. Anak laki-lakiku yang pemberani dan selalu ceria. Dia hadir di tengah-tengah kami setelah sepuluh tahun pernikahanku dengan Mas Angga.

Aku butuh waktu lama untuk memiliki keturunan karena kecelakaan yang aku dan Mas Angga alami tiga bulan setelah pernikahan. Di mana aku sempat divonis oleh Dokter tidak akan bisa memiliki keturunan setelah musibah itu. Maka dari itu, Raka adalah sebuah anugerah buatku.

Raka sangat dekat dengan Nenek dan Buyutnya. Bahkan ketika baru membuka mata di pagi hari, dia akan langsung pergi ke ruang tamu untuk bermain bersama Buyut.

Lalu setelah sarapan pagi dia akan selalu bermain di halaman samping rumah untuk menemani Nenek yang menyapu dedaunan kering. Walaupun Eyang tidak selalu bisa bermain dengannya karena sudah terlalu tua, dan Ibu yang agak galak padanya, Raka tetap sayang pada mereka.

Raka berusia empat tahun. Dibanding dengan anak balita lain yang seumuran dengannya, tinggi badan Raka termasuk di atas rata-rata, pertumbuhannya sangat bagus. Tapi, ada hal yang sedikit mengganggu pikiranku, dia mengalami kondisi speech delay, kondisi di mana anak terlambat berbicara.

Anak seusianya seharusnya sudah bisa mengucap satu sampai dua kalimat. Tetapi, Raka baru bisa mengucap beberapa kata yang utuh, selebihnya hanya penggalan kata-kata. Untungnya aku bisa memahami apa yang dia maksud, dan aku berharap hal itu tidak mengganggunya saat berkomunikasi hingga dia dewasa nanti.

Tak terasa satu jam berlalu, di bawah lampu kamar yang redup aku terhanyut dalam lamunan. Saatnya aku bergegas bangkit dan melanjutkan pekerjaan rumah yang sudah menunggu.

Namun, sebelum itu aku terlebih dahulu berjalan ke meja rias untuk memoles bedak di wajahku yang sedikit luntur karena berkeringat, dan juga menyemprotkan parfum ke badanku. Karena aku adalah orang yang ingin selalu terlihat cantik dan wangi setiap saat, bahkan saat berada di rumah sekalipun.

Setelah selesai, aku membuka pintu kamar. Tapi, tiba-tiba tercium bau tidak sedap yang sangat menyengat, seperti bau sampah sisa makanan busuk. Sambil menutup hidung, aku pun teringat bahwa sudah membuang sampah di dapur ke tempat sampah di depan rumah. Lalu bau apa ini?

Aku menyisir penjuru rumah sambil mengendus-endus untuk mencari sumber bau itu. Suasana rumah sangat sepi. Pertama-tama aku memeriksa ruang tamu, di sana sama sekali tidak ada benda yang mencurigakan.

Kemudian aku berjalan ke arah kamar tengah, pintunya tertutup rapat. Sempat terlintas keinginan untuk mengetuk pintu dan bertanya pada Bima, apakah dia juga mencium bau ini. Tapi, kuurungkan niatku, karena tidak mau berurusan dengannya.

Aku menoleh ke sebelah kiri. Terlihat pintu kamar Ibu terbuka dan beliau tidak berada di sana. Mungkin beliau sedang di halaman samping dengan Raka. Sedangkan di ruang tengah hanya ada televisi yang dibiarkan menyala, tapi tak ada siapa pun di sana.

Kulanjutkan langkahku, di sebelah kanan ada kamar Eyang pintunya juga tertutup. Aku enggan mengetuknya, karena mungkin beliau sedang istirahat.

Tersisa satu ruangan yang belum aku datangi, dapur. Aku langsung menuju ke tempat sampah yang ada di sana, bersih, tidak ada sedikit pun sampah yang tersisa.

Di tengah rasa penasaranku karena tak kunjung menemukan sumber bau, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari lemari bumbu yang berada di bawah kompor. Seketika itu pula aku yakin bau tersebut bersumber dari sana.

"Tok.. tok.. tok..TOK..TOK..TOK.." ketukan yang awalnya pelan itu pun semakin lama semakin keras, seolah-olah sesuatu di dalam sana ingin aku segera pintunya. Aku kumpulkan keberanianku untuk membukanya.

Tanganku memegang gagang pintu lemari, kemudian membukanya secara perlahan dengan mata tertutup dan sedikit mengintip dari celah kelopak mata.

"KREEEKKK...." suara engsel pintu yang terbuka lebar. Tidak ada benda asing disana, hanya tumpukan toples bumbu yang tertata rapi di tempatnya. Anehnya bau tersebut hilang seketika.

Fiuh, lega rasanya. Mungkin itu hanya halusinasiku karena kelelahan saja, atau memang karena rumah ini sudah sangat tua sehingga ada beberapa titik rumah yang lembab dan mengeluarkan bau tak sedap.

Kututup kembali pintu lemari bumbu tersebut dan ingin memberitahukan kepada Ibu tentang bau tersebut. Aku berdiri dan langsung bergegas ke halaman samping. Tapi, tiba-tiba...

"Kamu suka bauku? Hi..hi.. hi.." terdengar jelas suara perempuan di sebelah kananku. Aku langsung menoleh, mencari sumber suara itu.

"KAMU SUKA BAUKU, KAN?!" suara itu berubah menjadi teriakan dan berpindah ke sebelah kiri.

Bulu kuduk ku berdiri, aku tertegun, badanku kaku tak bisa bergerak setelah mendengar suara yang entah darimana asalnya. Mataku melihat ke setiap sisi dapur, tapi tak ada siapa pun disana. Suara itu mendekat perlahan dan akhirnya terdengar sangat dekat di telingaku.

Sumber suara itu seperti berjalan mengelilingiku, kemudian badanku tiba-tiba terasa lemas hingga roboh ke lantai. Suara itu berputar-putar disekitarku, dengan nada yang meninggi, seolah dia meminta aku segera menjawab pertanyaannya. Aku tak tahan, kututup kedua telingaku dengan tangan yang gemetar.

"Siapa kamu? Ka... kamu mau apa?" tanyaku terbata-bata.

"KAMU SUKA BAUKU, KAN?!" alih-alih menjawab, suara itu justru bertanya dengan lebih keras hingga menggema ke seluruh penjuru dapur.

Lalu aku merasa ada sesuatu yang menyentuh pergelangan kakiku, tapi aku tak bisa melihat wujudnya. Diiringi dengan suara tawa yang mengerikan, perlahan-lahan sesuatu itu terasa naik hingga mencengkeram lenganku, dan kemudian seperti hendak memelukku dengan sangat erat. Aku mencoba melawan, meronta-ronta, dan berteriak sekuat tenaga untuk meminta pertolongan.

"DOR! DOR! DOR!... Sari! Sari! Kamu kenapa? Buka pintunya!" Terdengar suara Ibu menggedor pintu kamar dengan sangat keras. Seketika aku terhentak dan membuka mata. Astaga, hanya mimpi. Aku terdiam sejenak dan melihat-lihat sekitar. Ternyata aku masih berada di dalam kamar. Aku pun bangkit dari kasur, dan kemudian membuka pintu.

"Maaf bu, saya ketiduran dan mimpi kurang bagus." Jawabku sambil mengusap keringat yang jatuh ke pipi.

"Aduh, Ibu kira kamu kenapa-kenapa. Apa kamu sudah salat zuhur? Memang kurang baik kalau tidur di saat azan berkumandang."

"Hah? Salat?" Tanyaku dengan wajah bingung. Aku langsung menoleh ke arah jam dinding di dalam kamar. Betapa kagetnya aku ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang.

"Kamu ini! Pasti gara-gara kamu nggak pernah salat, sampai-sampai lupa jam salat." Jawab Ibu dengan nada tinggi.

"I..iya Bu, nanti saya salat." Jawabku kepala yang masih penuh dengan kebingungan. Kemudian Ibu pun pergi ke kamarnya.

Dengan keringat yang masih bercucuran, aku kembali duduk di kasur dengan bertanya-tanya. Ternyata aku tertidur lebih dari dua jam. Padahal, aku merasa sama sekali tidak pernah memejamkan mata semenit pun. Jadi, sejak kapan aku tertidur? Aku sama sekali tak ingat.

Tapi, mimpi buruk itu terasa sangat nyata. Aku masih bisa mengingat dengan jelas bau busuk yang aku cium. Ketika aku terjatuh ke lantai, telapak tanganku masih bisa merasakan kerasnya ubin saat aku menahan badanku.

Aku juga bisa merasakan dengan jelas saat sesuatu yang tak terlihat tadi mencengkeram lenganku, terasa sangat kasar dan dingin. Sepertinya ini akan menjadi mimpi buruk yang tak akan terlupakan.

Lagi-lagi aku melamun, sepuluh menit berlalu hanya untuk meyakinkan diriku apa yang baru saja kualami. Teringat kata Ibu, mungkin ada sesuatu yang mengingatkan aku untuk segera salat. Kegiatan yang sudah tidak aku lakukan sejak bertahun-tahun yang lalu.

Keluarga kami bukan keluarga yang religius. Hanya Ibu yang selalu melakukan salat lima waktu, Aku dan Mas Angga paling hanya melakukan salat pada saat hari raya saja.

Aku berjalan ke kamar mandi untuk wudu. Kubasuh tangan, wajah, dan kakiku. Airnya terasa dingin, sangat menyegarkan. Sedikit mengurangi rasa takut akibat kejadian yang kualami sebelumnya. Setelah selesai bersuci di kamar mandi, aku pun ke kamar dan bersiap untuk salat.

Kubuka pintu lemari dan mencari rak demi rak, aku sudah tidak ingat lagi di mana mukenah dan sajadahku berada. Setelah aku bongkar sebagian besar isi lemari, akhirnya ketemu. Benda yang aku cari berada di tempat paling dasar, di bawah tumpukan baju bekas yang berdebu.

Kukenakan mukenah, lalu aku pun mulai salat. Dengan terbata-bata aku berusaha mengucap bacaan yang sudah lama tak keluar dari mulutku. Di saat aku mencoba fokus beribadah, sayup-sayup terdengar suara Bima dari kamar sebelah. Dia seperti bergumam mengucap kata-kata yang aku tak pahami artinya. Sambil sesekali tertawa tak jelas. Terus terang, itu sangat mengganggu.

Aku berusaha tidak memperdulikannya dan hanya mencoba fokus beribadah. Lalu tiba-tiba muncul lagi sesuatu yang membuyarkan konsentrasiku. Bau busuk tadi tercium lagi. Aku menutup mata, dan tetap melanjutkan ibadahku. Semoga ini cuma halusinasi dan suara perempuan itu tadi tidaklah nyata. Aku hanya bisa berharap energi positif yang ada disekitarku melindungiku.

"Cekreeeeekkk.." terdengar suara pintu terbuka perlahan. Tubuhku mulai gemetar. Aku masih terus melanjutkan bacaan salat dengan terbata-bata dan mata terpejam. "Mama? Mama? Nana.. nini..nunu..ninunu.." Terdengar suara Raka memasuki kamar sambil bernyanyi, naik ke kasur dan bermain mobil-mobilan di sana.

Seketika perasaanku langsung lega, bagaikan ribuan ton beban yang ada di hatiku tersapu angin dan hilang seketika. Aku kembali berkonsentrasi menyelesaikan kegiatan yang sedang aku lakukan saat ini. Kali ini aku merasa aman karena ada malaikat kecil yang berada di dekatku.

*****

"Pip pip pip" Alarm berbunyi dari ponselku. Suara itu membuatku terbangun tadi tidur yang nyenyak setelah melewati siang hari yang kurang baik. Aku membuka mata lebar-lebar dan merenggangkan otot-otot badanku di atas ranjang. Ditemani aroma pewangi pakaian yang masih menempel pada seprai yang baru aku cuci beberapa hari yang lalu.

Lega rasanya bisa tidur sejenak setelah menyelesaikan pekerjaan rumah hari ini. Pekerjaan rumahku berikutnya hanya tinggal memandikan Raka yang masih tidur pulas di sampingku. Dia tidur sambil memeluk mobil-mobilan dan mengenyot ujung botol susunya. Sungguh menggemaskan, rasanya tidak tega membangunkannya di saat dia mungkin sedang bermimpi indah.

"Raka, Raka. Ayo bangun, Nak! Mandi. Habis itu kita jalan-jalan sore." Ucapku lirih. Sambil menggoyang-goyangkan badan Raka secara perlahan, agar dia tidak kaget saat terbangun.

Bocah kecil itu pun terbangun dengan sedikit merengek karena masih ingin melanjutkan tidurnya. Aku menepuk-nepuk pipinya agar dia tersadar sepenuhnya. Memang dasar bocah pintar, dia pun menghentikan rengekannya, bangun dari ranjang, dan kemudian langsung berjalan keluar kamar.

Saat aku hendak mengikutinya, mataku tertuju ke arah sudut kamar, di mana aku melipat sajadah dan mukenah yang kugunakan untuk salat tadi. "Apa aku harus salat dulu?" tanyaku dalam hati, mengingat sekarang sudah memasuki waktu salat Asar.

Tapi, sepertinya nanti saja. Toh sekarang sudah tak ada lagi gangguan yang aku alami. Mungkin bisa saja apa yang terjadi padaku tadi hanya sebuah mimpi buruk karena aku terlalu capek dan banyak pikiran. Setelah memantapkan hati, aku pun pergi keluar dari kamar.

"Raka! Raka!" Aku berseru memanggil Raka karena aku tak bisa menemukannya. Aku sudah mencarinya di ruang tengah, ruang tamu, hingga dapur. Masih juga belum terlihat batang hidungnya, atau bahkan sekedar sahutan darinya.

Kucoba mencarinya di belakang, siapa tahu dia sudah menunggu di kamar mandi. Tapi, sesampainya di sana hanya terlihat ibu dan Eyang yang sedang asyik mengobrol.

"Cari siapa?" Tanya Ibu dan Eyang dengan nada heran.

"Cari Raka, Bu. Tadi dia keluar kamar, tapi waktu saya ikutin dia udah ng..." belum selesai aku menjelaskan ke mereka, tiba-tiba terdengar suara tawa Raka yang sepertinya berasal dari halaman samping. Dengan langkah cepat, aku bergegas menghampirinya. Ketika aku sudah melihat Raka di sana, rasa kawatiranku pun sirna.

Dia berdiri di bawah pohon mangga sambil menghadap ke arah jendela kamar Ibu. Dia tertawa cekikikan dengan wajah sangat riang, sambil melambai-lambai seolah bercanda dengan seseorang di dalam kamar.

Kulihat ke arah jendela, tapi tak nampak siapa pun. Hanya bayangannya sendiri yang terpantul di kaca, mungkin dia sedang bermain dengan imajinasinya sendiri.

"Ayo, Raka. Mandi dulu." ucapku sambil menggandeng tangannya masuk ke dalam rumah. Tapi, dia berontak. Dia melepaskan tanganku dan kembali bermain di depan kaca jendela. Aku coba kembali menggandengnya dengan sedikit paksaan.

Tapi dia malah meronta lebih keras hingga kuku-kukunya yang sudah panjang melukai pergelangan tanganku. Secara spontan aku pun membentaknya dengan nada yang sangat tinggi, yang membuat tangisan pecah dari bibirnya.

Aku yang panik pun mencoba menenangkannya, dan membujuknya agar diam, atau paling tidak agar dia tenang terlebih dahulu. Selain itu, aku juga tidak mau mendengar ocehan Ibu jika aku tidak segera menghentikan tangisan Raka, karena hari ini aku sudah lelah mendengar ceramah orang tua itu.

Aku bersimpuh di depan Raka, memegang pundaknya, mengusap air mata di pipinya, dan sambil tersenyum aku berkata "Sttt... cup.. cup.. Udah, jangan nangis ya. Nanti Mama kasih permen." Seperti biasa, dia langsung mengangguk dan seketika menghentikan tangisannya. Cara itu selalu ampuh untuk menenangkan Raka. Dengan bergandengan tangan, akhirnya aku berhasil mengajaknya ke kamar mandi.

*****

Pekerjaan rumah sore ini telah selesai. Raka berlari meninggalkan kamar mandi dengan handuk yang masih melilit badannya, sementara aku masih membereskan kamar mandi.

Semerbak aroma shampoo dan sabun anak-anak yang tertinggal masih tercium di hidungku. Aku melangkahkan kaki ke kamar, dan di sana Raka sudah menyambutku sambil membawa pakaian di tangannya, yaitu kaos kesayangannya.

"Mama.. au.. ini.." Ucap Raka dengan suaranya yang menggemaskan sambil memberikan pakaian itu padaku, dia ingin aku segera memakaikan kaos itu padanya.

Betapa senangnya dia setelah mengenakan kaos itu. Berlagak seperti sosok pahlawan super yang ada di kaosnya dan ingin segera keluar jalan-jalan sore untuk sekedar memamerkan kaos kesayangannya pada orang-orang. Sifaf khas anak-anak.

Ketika dia menggandeng tanganku untuk keluar rumah, aku menahannya. Karena aku teringat tadi melihat kukunya yang sudah panjang, aku memutuskan untuk memotongnya terlebih dahulu.

"Raka tunggu depan televisi dulu ya, kukunya mau Mama potong dulu. Baru nanti kita keluar jalan-jalan." Raka pun menurut dan langsung duduk manis di sana. Aku memotong dan membersihkan satu persatu kotoran kukunya yang berwarna kehitaman. Aku tidak menyangka kukunya pancang secepat ini, padahal aku baru memotongnya tiga hari yang lalu.

"Selesai. Sekarang Raka tunggu dulu di teras dulu ya, nanti Mama nyusul." Ucapku sambil membersihkan potongan kuku yang masih tercecer. Tanpa menunggu lama, Raka langsung berlari dengan bersemangat menuju teras. Tak lupa membawa kedua mobil-mobilannya. Aku berjalan ke dapur dan membuang potongan kuku itu di tempat sampah yang ada di sana, lalu aku bergegas ke kamar untuk bersiap.

Di saat melewati ruang tengah aku terkaget setengah mati, hingga jantungku berdegup sangat kencang. Aku melihat pintu kamar Bima yang sedikit terbuka dan nampak setengah wajahnya yang mengintip dari celah tersebut. Entah apa yang dia lakukan.

Dia terlihat seperti mengawasi sesuatu. Aku sendiri tak tahu sejak kapan dia mengintip seperti itu. Bahkan, bisa jadi dia sudah mengintipku saat sedang memotong kuku Raka tadi. Aku tak nyaman dengan situasi ini, dan langsung memilih pergi ke kamar daripada harus bertanya maksud dari orang aneh itu.

Sesampainya di kamar aku langsung mengganti pakaian dan duduk di meja riasku. Aku mengoleskan bedak di wajah beberapa kali.

Selain untuk menutupi kulitku yang mulai berkerut dimakan usia, juga untuk menutupi bekas luka di pipi karena kecelakaan yang aku alami dulu. Itulah alasan yang membuatku tidak percaya diri apabila harus keluar rumah tanpa berdandan.

Karena hal itu membuatku terlihat tidak cantik lagi. Setelah selesai berdandan, aku tak lupa menyemprotkan lagi parfum ke tubuhku, agar penampilanku terlihat semakin sempurna.

Aku berjalan ke teras rumah, di situ Raka sudah menungguku dengan duduk manis di kursi kayu. Begitu dia melihatku, dia langsung menggandeng tanganku dan mengajakku keluar rumah. Paras yang tampan dan lucu terlihat semakin berseri saat mentari sore menyentuh wajahnya.

Kami berencana berjalan keliling kampung seperti biasa. Mengitari gang demi gang, hingga akhirnya kembali ke rumah dari arah yang lain. Lalu diakhiri dengan menyambut Mas Angga di teras rumah saat dia pulang kerja nanti.

Entah kenapa aku selalu suka saat menyambut suamiku ketika dia pulang kerja. Karena menurutku itu adalah hal yang romantis.

Baru saja berjalan keluar rumah, terdengar suara yang sudah tak asing bagi kami, suara Bu Darmi. Tetangga sebelah rumah. "Halo, Raka. Aduh, keliatan ganteng banget hari ini. Sini mampir, Eyang kasih Kue." Ucapnya sambil duduk santai di halaman rumah.

Raka berteriak kegirangan. Dia melepaskan gandengan dan berlari ke arah rumah Bu Darmi. Mau tak mau aku juga harus mampir ke rumah itu.

"Nih, Kuenya." Ucap Bu Darmi sambil memberikan sebungkus donat yang terlihat masih hangat.

"Acii..." Balas Raka sambil memakan salah satu donat tersebut.

"Terima Kasih, Bu. Aduh, jadi ngerepotin nih." Ucapku berbasa-basi.

"Hahaha, nggak apa-apa. Oh, iya. melatinya sudah mulai tumbuh, nanti kalau sudah mekar aku kabari Ibumu."

"Iya, Bu. Makasih. Soalnya melati di halaman rumah juga sudah saya petik minggu kemarin. Kata Ibu di pasar sekarang juga lagi susah cari bunga melati yang masih segar. Lagi pula persediaan melati kayaknya juga tinggal sedikit, nggak tahu harus beli cari di mana lagi."

"Coba cari di kota, siapa tahu aja yang jual. Ngomong-ngomong, apa nak Bima sudah pulang?" tiba-tiba Bu Darmi mengganti topik pembicaraan.

"Sudah. Bima sudah pulang, kok. Kenapa, Bu? kok tiba-tiba tanya masalah Bima. " jawabku heran karena pertanyaan yang tak pernah aku duga sebelumnya.

"Kata ibumu kan dia sudah seminggu lebih belum pulang. Tadi waktu aku pulang dari kota sebelah, Aku ketemu Bima di terminal. Tapi, waktu aku tegur dia diam saja. Malah kelihatan kayak orang ketakutan dan langsung pergi."

"Mungkin waktu itu dia sedang buru-buru, Bu. Atau mungkin karena capek, nggak fokus dan pengen cepat-cepat pulang. Sekarang dia sedang istirahat di kamarnya." Balasku yang berniat mengakhiri pembicaraan.

"Mama Ayo!" Raka menarik-narik tanganku, mengajak agar segera melanjutkan jalan-jalan sore kami. Hal tersebut aku manfaatkan untuk berpamitan dengan Bu Darmi. Karena aku tidak mau mengorbrol lebih lama tentang Bima.

"Mari, Bu. Kami lanjut jalan dulu." Ucapku

"Iya, hati-hati dijalan." Jawab Bu Darmi sambil melambaikan tangannya pada Raka.

Dari sekian banyak tetangga, hanya bu Darmi yang sering berinteraksi dengan kami. Beliau berusia sedikit lebih tua dari Ibu. Kata Eyang, beliau adalah salah satu dari segelintir penduduk yang sudah lama tinggal di kampung ini. Di mana sebagian besar masyarakat sekitar adalah pendatang dari kota yang membeli tanah di kampung ini karena harganya yang lebih rendah dari tempat asal mereka.

Aku dan Raka melanjutkan perjalanan. Kami jalan perlahan sambil menikmati langit sore yang berwarna jingga. Hingga kami akan sampai pada tempat di mana Raka paling sering menghabiskan waktu saat jalan-jalan sore, di depan rumah pak Adnan.

Karena di pekarangan rumah itu terdapat monyet peliharaan yang ditempatkan pada kandang berukuran cukup besar. Raka sangat suka dengan monyet. Kandang monyet pak Adnan terletak lebih dekat dengan sisi jalan. Jadi kami bisa melihat dengan jelas tanpa harus masuk ke pekarangannya.

Pada saat kami lewat, pak Adnan sedang memberi makan monyet-monyet itu. Ketika aku sapa, dia hanya membalas dengan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan, dan kemudian masuk ke rumah sambil menggerutu. Sama persis seperti sebelum-sebelumnya.

Aku tak tahu apa yang terjadi pada orang itu, hingga selalu terlihat risih ketika bertemu dengan orang lain di kampung ini. Apa mungkin dulu dia orang yang punya masalah dengan semua warga kampung ini? Entahlah.

Dia tinggal seorang diri di rumah itu dan jarang berinteraksi dengan orang sekitar. Kakek-kakek tua yang misterius. Tapi, jika dilihat dari perawakannya, Pak Adnan terlihat berusia tidak jauh berbeda dengan Eyang. Mungkin lain kali aku bisa bertanya pada beliau. Mengingat rumah kami saling membelakangi, tidak mungkin rasanya jika Eyang tidak mengenalnya.

Di tengah semua pertanyaan yang muncul di kepalaku, lamunanku dipecahkan oleh ponsel yang bergetar di saku celanaku. Terdapat sebuah pesan dari Mas Angga yang mengabari kalau dia pulang terlambat karena urusan pekerjaan. Suasana hatiku rusak seketika.

Sudah dua minggu ini Mas Angga selalu pulang terlambat. Sehingga apa yang sudah aku rencanakan hari ini tidak berjalan dengan semestinya. Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang romantis layaknya yang dilakukan oleh istri-istri lain di luar sana.

Tapi, semua sirna hanya karena satu kalimat pesan singkat. Awas saja kalau ternyata dia pulang terlambat karena berbuat yang macam-macam dengan perempuan genit itu lagi.

"Raka, ayo pulang!" Ucapku dengan sedikit terbawa emosi. Aku menggandeng tangan Raka yang sedang memegang mobil-mobilannya. Tentu saja dia menolak. Aku menarik tangannya lebih keras, hingga kedua mobil-mobilan yang sedang dia pegang jatuh ke saluran air dan terhanyut.

Raka pun menangis dengan kencang hingga menjadi pusat perhatian orang sekitar. Aku menggendongnya dan segera membawanya pulang. Sesampainya di teras rumah, Ibu menyambutku dengan wajah panik.

"Raka kenapa?" Tanya Ibu

"Anu, tadi dia rewel. Mau masuk ke pekarangan rumah pak Adnan lihat monyet. Saya ajak pulang nggak mau. Akhirnya saya gendong paksa" Jawabku untuk mencari aman.

"Astaga. Jangan boleh main kesana! Mulai sekarang jangan ajak dia lewat situ lagi." Seperti biasa, Ibu berucap dengan nada agak tinggi. Kemudian Ibu menepuk-nepuk Raka yang masih ada di gendonganku untuk menenangkan cucu semata wayangnnya itu.

Beberapa menit berlalu, usahaku dan Ibu untuk menenangkan Raka sia-sia karena dua masih tetap menangis. Aku membujuknya dengan berjanji padanya akan membelikan mainan baru sebagai ganti mainannya yang jatuh tadi.

Karena dia masih menangis aku pun mengusap air mata di pipinya, dan berucap "Sudah, berhenti dulu nangisnya. Besok Mama belikan permen dan mainan yang banyaaaak." Dan dia pun mulai tenang. Jurus andalan itu kembali berhasil.

Kami bertiga duduk di kursi kayu di teras rumah sambil memandangi langit sore yang berangsur gelap. Raka duduk dipangkuanku dan bersandar di dadaku.

"Papa..uum.. uyang?" Raka bertanya.

"Belum, sayang. Papa pulang agak telat." Jawabku sambil mengelus-elus kepalanya. Aku bisa merasakan kekecewaannya.

"Angga pulang telat lagi? Heran. Dari dulu kok nggak pernah berubah. Padahal dia tahu kalau Anaknya selalu nungguin dia pulang kerja." Ibu menyahuti ucapanku dengan nada sinis.

"Katanya sedang banyak kerjaan, Bu. Maklum sedang sekarang mendekati akhir tahun." Aku berusaha membela Mas Angga walaupun aku juga sangat kesal padanya.

"Bu. Sari mau tanya. Sebenernya pak Adnan itu kenapa ya? kok setiap kali kita ketemu sama dia selalu saja nggak menyenangkan." Lanjutku.

Ibu berpikir sejenak, lalu berkata "Nggak tahu, ya. Ibu pernah dengar dari orang-orang kampung kalau waktu muda dulu dia pernah hampir masuk penjara karena dituduh menculik dan membunuh anak kecil di kampung ini."

"Hah? Yang benar, Bu?" Aku sangat terkejut dengan yang aku dengar barusan.

"Tapi, katanya dia bebas karena nggak ada bukti. Tapi sebagai gantinya orang kampung sepakat buat mengucilkan dia. Mungkin karena orang-orang tua dulu sudah banyak yang meninggal, jadi banyak yang nggak tahu berita itu benar atau nggak. Jadi, aku juga nggak yakin. Lagipula, sejak kita pindah kesini Eyangmu juga nggak pernah ngomong tentang tetangga kita yang satu itu." Lanjut Ibu.

Kendatipun masih kabar burung, bagaimana bisa informasi seperti itu tidak pernah diperbincangkan di dalam keluarga ini. Padahal beliau juga punya cucu yang masih kecil. Sepatutnya beliau juga harus mewanti-wanti agar lebih waspada saat Raka berada di luar rumah.

Ingin rasanya aku menyampaikan kekesalanku. Tapi aku menahannya, aku mengalihkan rasa kesalku dengan tetap diam dan mengelus-elus kepala Raka.

Setelah beberapa lama kami duduk, aku baru sadar kalau ternyata Raka sudah tertidur, entah sejak kapan. Mungkin dia kecapekan setelah jalan-jalan sore dan sempat menangis beberapa saat tadi. Aku menggendongnya, meninggalkan Ibu yang masih duduk di teras rumah.

Aku membawanya masuk ke kamar kemudian merebahkannya ke kasur. Sayup-sayup terdengar azan magrib berkumandang. Aku kembali menoleh ke arah sajadah dan mukenah di sudut kamar. "Kayaknya sementara ini aku nggak butuh benda itu deh" Ucapku dalam hati. Kemudian kembali kupalingkan wajah ke arah Raka dan memberikan kecupan manis di pipinya.

"Mimpi indah, sayang."

 -Bersambung-

****************************************************

Terima kasih, teman-teman telah meluangkan waktu untuk membaca tulisan saya ^_^

Jangan lupa like kalau teman-teman suka sama tulisannya.

Lalu juga jangan sungkan-sungkan comment kalau memang ada kritik dan kata-kata yang kurang berkenan. Agar saya bisa menghasilkan tulisan yang lebih baik kedepannya.

Selamat menikmati ^_^V

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya BELENGGU HITAM [BAB IV : TAMU]
0
0
Bercerita tentang keluarga yang sebelumnya hidup bahagia dan serba berkecukupan, tiba-tiba harus mengalami kejadian buruk yang bertubi-tubi.Diawali dengan meninggalnya sang kepala keluarga, hingga akhirnya mereka kehilangan semua harta bendanya. Sampai akhirnya, mereka tak punya tempat tinggal dan harus mengungsi ke rumah anggota keluarga mereka yang paling tua.Kejadian buruk tidak hanya sampai di situ. Sejak kedatangan mereka di rumah yang mereka tempati saat ini, satu-persatu dari anggota keluarga itu di ganggu oleh kehadiran makhluk gaib yang selalu menghantui mereka.Eyang Buyut, orang yang paling tua di keluarga itu. Rini, sang Nenek yang juga anak dari Eyang Buyut. Angga, sang anak sulung. Bima, sang anak bungsu. Sari, istri dari Angga. Raka, anak dari Angga dan Sari yang masih berusia empat tahun.Mereka semua mendapatkan gangguan masing-masing. Gangguan yang tak akan pernah bisa mereka lupakan seumur hidup mereka.Apakah penyebab semua rentetan kejadian buruk yang selalu melekat pada mereka?Siapakah yang harus bertanggung jawab atas semua hal itu?========== - BEBERAPA KEJADIAN DI TULISAN INI TERINSPIRASI KISAH NYATA.- TULISAN INI 100% KARANGAN DAN IDE DARI PENULIS. JIKA ADA KESAMAAN NAMA KARAKTER ATAU CERITA YANG SAMA DENGAN TULISAN LAIN, BISA DIPASTIKAN HAL TERSEBUT HANYA KEBETULAN SEMATA. TANPA ADANYA UNSUR KESENGAJAAN.- TERIMA KASIH. SELAMAT MEMBACA ^_^
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan