Bab 12: Ritual di Bawah Bulan Purnama

0
0
Deskripsi

Topeng Hewan adalah simbol usaha manusia untuk kembali ke "kesatuan primitif" dengan alam, sebelum keterpisahan mengubah segalanya. Kartu Tarot Tiga Pedang mengalami evolusi makna yang mencerminkan tahap perkembangan manusia—dari korban luka menjadi subjek yang aktif merajut kembali. Nama versus Angka masih dipertahankan dalam bab ini. Pengakuan nama adalah bentuk perlawanan terhadap dehumanisasi, sekaligus pengakuan atas individuasi yang tak bisa direduksi. Air Kanal dijadikan semacam metafora...

Kabut malam di Negara Kanal terasa lebih pekat, seolah menyelimuti luka yang belum sembuh. Lara dan Raka duduk di tepi kanal yang sudah dipasang filter, mendengarkan gemericih air yang kini lebih jernih. Tapi kedamaian itu tak bertahan lama. Dari kejauhan, suara genderang dan nyanyian parau menggema. Para pekerja berkumpul di balik gudang tua—tempat yang biasanya dihindari karena bau pestisida.

“Mereka mengadakan ritual,” bisik Ibu Surti, yang tiba-tiba muncul dari kegelapan. “Setiap bulan purnama. Untuk melupakan bahwa mereka hanya angka.”

Lara dan Raka mengikutinya. Di tengah lingkaran api unggun, puluhan pekerja menari dengan kostum dari karung goni dan daun teh kering. Beberapa memakai topeng kayu kasar berbentuk hewan—kambing, burung, ular—seolah mencoba kembali ke masa ketika manusia dan alam masih satu. Bau minyak kayu putih dan tembakau liar menyengat, bercampur dengan asap api yang menari-nari.

“Dulu, sebelum Kanal AgriCorp datang, kami punya ritual menanam teh sambil menyanyikan doa ke bumi,” ucap Ibu Surti, matanya berkaca-kaca. “Sekarang, ini satu-satunya cara untuk merasa… utuh.”

Seorang lelaki muda mengedarkan mangkuk berisi cairan keruh. “Minum. Ini membuat kau lupa sejenak,” katanya pada Lara. Raka hendak menolak, tapi Lara sudah meneguknya—rasanya pahit, seperti akar yang dihancurkan.

Tak lama, dunia sekitar Lara mulai bergetar. Api unggun melebar jadi lingkaran cahaya, tarian para pekerja menyatu dengan bayangan mereka sendiri. Ia melihat Raka terseret ke tengah lingkaran, tubuhnya bergerak mengikuti irama genderang seperti ditarik oleh tali tak terlihat. Ini bukan tarian, pikir Lara. Ini teriakan sunyi.

Di puncak ritual, seorang wanita tua mengangkat tangan. “Malam ini, kita bukan angka! Kita binatang, pohon, angin!” Teriakan itu disambut lolongan panjang. Topeng-topeng hewan bergoyang liar, seolah jiwa mereka yang terpenjara keluar melalui celah kayu. Lara merasa bumi berputar, tapi ia tak mau menutup mata. Di antara asap, ia melihat bayangan para pekerja menyatu—menjadi satu tubuh raksasa yang bernapas dalam kesakitan dan harapan.

Keesokan pagi, Lara terbangun di gubuk tua dengan kepala berdenyut. Raka sudah duduk di sampingnya, wajahnya pucat. “Apa yang terjadi tadi malam?” tanyanya.

“Mereka mencoba kembali ke masa sebelum keterpisahan,” jawab Lara perlahan. “Seperti bayi yang merasa satu dengan ibunya. Tapi kita bukan bayi lagi, Raka. Kita tak bisa berpura-pura kembali ke hutan hanya dengan topeng dan obat-obatan.”

Raka mengangguk. “Aku melihatmu menari. Kau… berbeda.”

“Aku merasa seperti mereka—ingin lari dari kesadaran bahwa kita terpisah. Tapi ini hanya ilusi sementara.”

Di luar, pekerja sudah kembali ke shift pagi dengan mata sembap. Topeng-topeng hewan berserakan di tanah, diinjak-injak seperti sampah.

Malam berikutnya, Viktor mengirim anak buahnya merusak filter kanal. “Kalau air tak lagi mengalir kotor, pekerja tak punya alasan untuk mengeluh,” katanya sinis. Tapi aksinya memicu banjir lumpur pestisida ke perkebunan. Tanaman teh layu, ikan di kanal mati mengambang.

Para pekerja marah. Mereka mengancam mogok, tapi Viktor mengirim preman untuk mengintimidasi. Lara dan Raka terjebak di tengah—berjuang mempertahankan perubahan yang rapuh.

“Kita butuh cara baru,” desis Lara, memandang Raka. “Bukan ritual palsu, bukan juga perlawanan kasar.”

“Lalu apa?”

“Mungkin… kita perlu mengakui bahwa keterpisahan itu nyata. Dan hanya dengan menerimanya, kita bisa mulai menyambung kembali.”

Lara mengajak pekerja berkumpul di bawah pohon teh tua. Tanpa topeng, tanpa obat. Mereka duduk melingkar, berbagi cerita tentang nama asli mereka—bukan kode angka.

“Aku Dedi, bukan P-07,” ucap lelaki yang dulu pingsan di gudang.
“Aku Sari, bukan W-12,” tambah wanita muda yang selalu sembunyikan bekas luka di tangannya.

Lara mengeluarkan kartu Tiga Pedang. “Dulu, kartu ini mengingatkanku pada luka. Tapi malam ini, mari kita artikan ulang: pedang pertama untuk memotong kebisuan, pedang kedua untuk menembus rasa malu, pedang ketiga untuk mengukir nama kita di bumi ini.”

Mereka mengubur topeng hewan di bawah pohon, menggantinya dengan bibit teh baru. Viktor mengintip dari kejauhan, tapi tak berani mendekat—kamera wartawan masih mengawasi.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
#Cinta
Selanjutnya Bab 13: Tarian Rindu di Bawah Kabut
0
0
Bab ini menunjukkan bahwa ada banyak jalan menuju penyatuan—bukan hanya melalui ekstase fisik, tapi juga melalui pengakuan akan sejarah bersama dan kerinduan yang sama. Seperti teh yang baru menemukan aromanya setelah melalui proses, manusia juga perlu melalui berbagai tahap untuk menemukan cara terbaik bersatu.Tarian Rindu: gerakan yang lebih simbolik namun tetap kuat menyampaikan kerinduan akan penyatuan.Lilin Daun Teh: Metafora harapan yang rapuh tapi terus menyala, dibungkus oleh identitas sebagai pekerja teh.Transformasi Viktor:  kebutuhan akan penyatuan, sesuatu yang universal—bahkan bagi si penindas sekalipun.Kartu Tiga Pedang: Penyempurnaan transformasinya—tidak lagi alat untuk melukai, tapi untuk membangun. Semacam simbol kartu Tiga Pedang dalam posisi terbalik.Alkohol sebagai Pelarian:  manusia modern mencari penyatuan instan ketika cara tradisional hilang.Teh Ungu sebagai Simbol: hubungan yang tumbuh perlahan, bertolak belakang dengan ekstase instan.Peran Lara: bukan sebagai penyelamat, tapi fasilitator yang membantu menemukan jalan tengah.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan