Bab 10: Daun-Daun yang Tak Tersembunyi

0
0
Deskripsi

Simbolisme pohon tua dan air terjun merepresentasikan "Pohon Pengetahuan" yang memicu kesadaran akan keterpisahan, sekaligus aliran kehidupan yang membersihkan rasa malu. Dialog dalam bab ini menyoroti dinamika vulnerability sebagai jalan menuju penyatuan, yang terhubung dengan imajiasi tentang keterpisahan dan cinta. Konflik muncul karena kehadiran Dian sebagai pencerminan rasa bersalah Raka, serta bayangan Adrian yang masih mengganggu Lara, yang menegaskan bahwa "keterpisahan" adalah musuh bersama yang harus dihadapi, bukan dihindari.

Kabut pagi di Pangalengan masih setia menyelimuti lereng-lereng kebun teh, tapi hari ini, Lara merasa udara lebih menusuk. Ia berdiri di depan gubuk kayu tua di ujung kebun, tempat dulu ia dan Adrian sering bersembunyi dari hujan. Sekarang, atapnya bolong, menerawang ke langit kelabu seperti luka yang tak kunjung sembuh. Persis seperti kita, pikirnya. Selalu ada celah yang memungkinkan cahaya—atau hujan—masuk tanpa izin.

Raka sudah menunggu di bangku kayu dekat kolam kecil, tangan menggenggam cangkir teh yang lama dingin. Sejak kejadian di gudang, diam-diam mereka mulai menghindari tatapan. Bukan karena rahasia, tapi karena kebenaran yang terkuak membuat mereka sadar: mengenal seseorang sepenuhnya berarti menerima bahwa ada bagian yang mungkin tak pernah bisa dipahami.

“Apa kau masih percaya pada ‘bahasa baru’ yang kau bicarakan itu?” tanya Raka tiba-tiba, suaranya pecah oleh kesunyian pagi.

Lara menoleh, matanya menyipit. “Bahasa baru?”

“Yang kau sebut… cinta. Tentang saling memahami, bukan saling menguasai.”

Angin berhembus, menggoyangkan daun teh di sekeliling mereka. Lara menarik napas dalam. “Aku masih belajar. Tapi terkadang, aku merasa seperti Adam dan Hawa setelah makan buah—tahu terlalu banyak, tapi tak tahu cara merajut kembali yang pecah.”

Raka tertawa pendek. “Setidaknya mereka punya daun untuk menutupi malu. Kita?”

“Kita hanya punya pilihan: tetap telanjang, atau kabur.”

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang melingkari bukit. Di kejauhan, Maya sedang mengawasi para pemetik teh, suaranya sesekali terdengar memecah kesunyian. Tiba-tiba, langit menggelap. Awan hitam bergulung-gulung seperti amarah yang tertahan.

“Badai akan datang,” bisik Lara, tapi hujan sudah turun deras sebelum kalimatnya selesai. Mereka berlari ke gubuk tua itu, baju basah melekat di kulit. Di dalam, atap yang bolong membiarkan air hujan masuk, membentuk genangan di tanah tanah.

“Dulu, Adrian selalu bilang hujan adalah cara alam membersihkan dosa,” ucap Lara, matanya menatap remang-remang langit melalui lubang atap.

“Dan kau percaya?”

“Dulu. Sekarang, aku lebih percaya hujan hanya… hujan. Bukan metafora.”

Raka duduk di sudut, tubuhnya menggigil. “Aku pernah berpikir, kesendirian itu seperti hujan ini. Kita bisa basah kuyup, atau memilih berlari mencari tempat teduh.”

“Tapi terkadang, tempat teduh itu palsu,” sahut Lara. “Seperti daun yang dipakai Adam dan Hawa—hanya ilusi untuk menutupi ketakutan.”

Mereka terdiam, hanya suara hujan yang berbicara.

***

Konflik datang saat Dian muncul di pintu gubuk, rambutnya basah menempel di pipi. “Raka, kau pikir bisa kabur dari masa lalu hanya dengan bersembunyi di sini?”

Raka menatapnya, wajahnya pucat. “Aku tidak kabur. Aku sedang mencoba… bernapas.”

Dian melangkah masuk, matanya merah. “Kau selalu begitu. Menghindar saat segalanya terlalu nyata. Dulu, kau kabur dari aku. Sekarang, kau kabur dari dirimu sendiri!”

Lara ingin membela, tapi Raka sudah bangkit. “Aku tidak kabur, Dian. Aku sedang belajar—untuk tidak menyalahkanmu, atau diriku sendiri.”

Hujan semakin deras, suara mereka nyaris tenggelam. Dian melempar kalung perak ke tanah—hadiah yang dulu diberikan Raka saat mereka masih bersama. “Ini! Simbol kebohonganmu! Kau pikir cinta bisa dibungkus dengan benda mati?”

Raka memungutnya, lalu melemparkannya ke genangan air. “Aku tidak ingin lagi hidup dalam ilusi. Cinta bukan tentang hadiah, atau janji. Ini tentang… berdiri di tengah hujan bersama, tanpa berpikir siapa yang lebih basah.”

Dian terdiam, lalu pergi tanpa kata. Lara dan Raka tetap di tempat, basah kuyup, tapi entah mengapa merasa lebih hangat.

***

Keesokan pagi, matahari muncul setelah badai. Lara dan Raka duduk di tepi kolam, melihat para pekerja memperbaiki atap gubuk yang rusak.

“Kau tahu, daun teh yang rusak oleh hujan justru akan tumbuh lebih segar,” ucap Lara sambil menyentuh helai daun di tangannya.

“Seperti kita?”

“Mungkin. Atau seperti Adam dan Hawa—yang akhirnya sadar, telanjang bukan aib jika mereka berani menatap mata satu sama lain.”

Raka tersenyum, mengambil tangan Lara. “Kalau begitu, mari kita berhenti mencari daun. Biarkan matahari mengeringkan air hujan di kulit kita.”

Di kejauhan, kabut pagi mulai menipis. Para pemetik teh kembali bekerja, suara tawa mereka berbaur dengan desau angin. Lara mengeluarkan kartu Tiga Pedang dari sakunya, lalu meletakkannya di atas batu. Kali ini, pedang-pedang itu tak lagi menusuk hati—melainkan membentuk bayangan seperti jembatan di bawah sinar matahari.

“Kita tidak perlu sempurna,” bisik Lara. “Cukup menjadi dua orang yang memilih bertahan, meski tahu hujan akan datang lagi.”

Raka mengangguk, dan dalam diam, mereka sepakat: terkadang, telanjang bukanlah kelemahan—tapi keberanian untuk tidak lagi bersembunyi.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
#Cinta
Selanjutnya Bab 11: Akar di Bawah Menara Kaca
0
0
Simbol kanal buatan tidak hanya menjadi sarana irigasi, tapi juga metafora pembuluh darah yang menghubungkan kehidupan (teh, pekerja, alam) dengan eksploitasi sistem korporasi. Konflik terjadi. Pertarungan antara keterhubungan (Lara-Raka-pekerja) melawan keterpisahan (sistem angka, keserakahan Viktor). Kartu Tarot Tiga Pedang tidak lagi sekadar lambang luka, tapi menjadi jembatan yang menyatukan suara-suara terpinggirkan. Nama versus Angka: penggunaan nama di seragam pekerja adalah simbol kemenangan kecil atas dehumanisasi—pengingat bahwa identitas manusia tak bisa direduksi menjadi kode. Konflik dalam dunia percintaan tidak hanya sekadar masalah teknis, tapi cermin pergulatan universal manusia: merobek tembok keterasingan, atau membiarkan diri terpenjara olehnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan