
Jauh di dalam tubuh Kepala Desa Gayam dan Bu Ros Kepala Desa Kampung Tujuh, yang tampak biasa di mata manusia, bersemayam entitas kuno. Ni Grenjeng, dedemit penguasa mata air purba, telah menyusup ke dalam kedua raga itu, menjadikannya wadah untuk mengamati dan mempengaruhi dunia manusia. Bukan sebagai Kepala Desa itu sendiri, Ni Grenjeng mengintai dan merencanakan pergerakan Desa Gayam dan Kampung Tujuh dari balik tabir kesadaran-tubuh para Kepala Desa.
Seratus purnama berlalu. Malam Jum’at Legi. Senja merayap di Desa Gayam, menyelimuti hamparan sawah dengan kabut tipis. Ki Rajendra, Mudra, Vanua dan Sari tiba di sebuah rumah tua di pinggir desa, seolah dipanggil oleh bisikan angin yang tak terlihat.
Ki Rajendra, berdiri di depan gerbang rumah, menatapnya dengan tatapan penuh arti. "Tempat ini... seolah memanggilku," gumamnya, lebih pada diri sendiri.
Mudra, dengan kotak kayu di tangannya, datang dengan langkah ragu. "Aku tidak tahu mengapa aku di sini," katanya pada Ki Rajendra, alisnya berkerut. "Tapi ada dorongan kuat yang menarikku."
Vanua, dengan mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan, tampak gelisah. "Aku mendapat pesan aneh, sebuah undangan yang tidak jelas," katanya sambil melirik jam tangannya. "Aku harus segera pergi, tapi... sesuatu menahanku."
Sari, dengan gaun putihnya yang lusuh dan bunga layu di tangan, tiba dengan tatapan kosong. "Aku hanya mengikuti jalan ini," katanya dengan suara pelan, seolah berbicara pada angin. "Aku tidak tahu ke mana tujuanku."
Pintu rumah tua itu terbuka perlahan, seolah menyambut mereka. Mereka saling bertukar pandang, kebingungan dan kecurigaan bercampur di udara.
"Apakah ada yang tahu mengapa kita berkumpul di sini?" tanya Vanua, memecah keheningan.
Ki Rajendra menggeleng. "Aku merasa ada kekuatan kuno di tempat ini," katanya, matanya menatap rumah tua itu dengan intens.
Mudra mengangguk. "Aku merasakan hal yang sama," katanya, menggenggam kotak kayunya erat-erat. "Ada sesuatu yang tersembunyi di sini."
Sari hanya diam, menatap rumah itu dengan tatapan kosong, seolah melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain.
Malam tiba, dan mereka berempat mendapati diri mereka terjebak di dalam rumah itu. Pintu-pintu terkunci rapat, dan tidak ada cermin di mana pun.
"Kita tidak bisa keluar?" tanya Vanua, suaranya meninggi. "Apa maksud semua ini?"
Ki Rajendra mencoba menenangkan. "Tenanglah, ada alasan mengapa kita di sini," katanya.
"Alasan apa?" bentak Mudra. "Aku merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk."
Sari duduk diam di sudut ruangan, memeluk lututnya. "Aku merasa kenangan masa laluku menghantuiku di tempat ini," katanya lirih.
Mereka mulai bercerita, mengungkapkan potongan-potongan masa lalu mereka. Vanua menceritakan tentang beban utang dan tekanan bisnisnya sebelum pandemi Covid-19, Mudra tentang pengkhianatan yang menghancurkan hidupnya ketika masih kuliah, dan Sari tentang kehilangan dan kesedihan yang tak tersembuhkan. Ki Rajendra, dengan enggan, mulai membuka tabir masa lalunya yang penuh rahasia meskipun ia sangat memahami ilmu tarot.
Setiap cerita membawa mereka lebih dalam ke dalam labirin penyesalan dan ketakutan mereka. Rumah tua itu seolah menjadi wadah bagi kenangan kelam mereka.
Ketegangan di antara mereka semakin meningkat, kebenaran dan kebohongan bercampur.
"Kita tidak di sini secara kebetulan," kata Ki Rajendra, matanya menatap tajam ke arah mereka. "Ada sesuatu yang menghubungkan kita."
"Apa maksudmu?" tanya Vanua, curiga.
"Mata air purba," kata Ki Rajendra, suaranya berbisik. "Desa ini menyimpan rahasia kelam, dan kita semua terhubung dengannya."
Mudra membuka kotak kayunya, mengeluarkan gulungan kertas berisi simbol-simbol aneh. "Simbol-simbol ini... mereka mengarah ke mata air," katanya.
"Dan perusahaan air kemasan yang saat ini kukelola bersama perusahaan milik BUM Desa Gayam..." Vanua terdiam, matanya terbelalak. "Perusahaanku menyedot mata air secara berlebihan, aku tidak tahu dampaknya akan seperti ini."
Sari menatap mereka dengan tatapan sedih. "Kalian semua... kalian semua terlibat dalam kehancuran desa ini," katanya.
Mereka mulai menyadari bahwa kehadiran mereka di rumah tua itu bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari takdir yang lebih besar.
Mereka memutuskan untuk pergi ke mata air purba, mencari jawaban atas misteri desa dan masa lalu mereka.
Di mata air, mereka menghadapi konfrontasi dengan masa lalu mereka, dengan kesalahan dan penyesalan mereka. Rumah tua, dan mata air purba, sudah menjadi satu kesatuan cerita.
Mereka berempat tiba di mata air purba, tempat airnya berputar-putar dengan kekuatan yang menakutkan, memancarkan kabut tebal yang menyelimuti area sekitarnya. Suara gemuruh air yang tak henti-hentinya bergema, menciptakan suasana yang mencekam.
"Di sinilah pusat dari segala misteri," kata Ki Rajendra, menunjuk ke pusaran air dengan tongkatnya. "Kekuatan kuno bersemayam di sini, dan kita harus menghadapinya."
"Bagaimana cara kita menghadapinya?" tanya Vanua, matanya menunjukkan ketakutan. "Air ini... terasa hidup."
Mudra membuka gulungan kertasnya dan membaca simbol-simbol yang tertulis di sana. "Simbol-simbol ini mengatakan bahwa kita harus menenangkan amarah yang terpendam di dalam air," ujarnya, suaranya bergetar.
Sari melangkah mendekati pusaran air, wajahnya pucat namun tatapannya tegas. "Aku akan berbicara dengan mereka," katanya, suaranya lirih namun penuh tekad. "Aku adalah keturunan mereka."
"Mereka? Siapa yang kau maksud?" tanya Vanua, kebingungan.
"Roh-roh yang menjaga mata air ini, Ni Grenjeng" jawab Sari, tanpa mengalihkan pandangannya dari pusaran air. "Mereka marah karena desa telah melupakan janji mereka."
Sari mulai berbicara dalam bahasa kuno, suaranya bergaung di atas suara gemuruh air. Ia memohon pengampunan, mengakui dosa-dosa masa lalu desa, dan berjanji untuk memulihkan keseimbangan.
"Kami telah melupakan jalan leluhur kami," ujarnya, air mata mengalir di pipinya. "Kami telah merusak alam, dan kami pantas mendapatkan kemarahan kalian."
Mudra, dengan tangannya yang gemetar, mulai menuliskan simbol-simbol di tanah, menciptakan lingkaran pelindung di sekitar mereka. "Simbol-simbol ini adalah jembatan antara dunia kita dan dunia mereka," katanya. "Mereka harus melihat ketulusan kita."
Vanua, dengan rasa bersalah yang membebani hatinya, mengeluarkan dokumen-dokumen perusahaannya dan melemparkannya ke dalam pusaran air. "Aku akan mengembalikan semua yang telah aku ambil," katanya, suaranya penuh penyesalan. "Aku akan memperbaiki kesalahan ini."
Ki Rajendra, dengan kebijaksanaannya, berdiri di tengah lingkaran, menjadi penghubung antara mereka dan roh-roh kuno. "Kita semua memiliki dosa masa lalu," katanya. "Tapi kita juga memiliki kekuatan untuk menebusnya."
Pusaran air mulai bergejolak, dan kabut tebal semakin pekat. Suara gemuruh air berubah menjadi raungan yang menggelegar, dan tanah di bawah kaki mereka bergetar.
"Mereka mendengar kita," kata Sari, suaranya berbisik. "Mereka marah."
"Kita harus menunjukkan bahwa kita tulus," kata Ki Rajendra, suaranya tegas. "Kita harus melepaskan ego kita, ambisi kita, dan semua yang telah merusak kita."
Vanua, dengan rasa bersalah yang mendalam, mengakui bahwa keserakahannya telah membutakan dirinya. Mudra, dengan air mata di pipinya, mengakui bahwa egonya telah menghancurkan hidupnya. Sari, dengan kepedihan yang tak tersembuhkan, mengakui bahwa kebenciannya telah membuatnya buta.
Mereka berempat, di tengah pusaran air yang mengamuk, melepaskan beban masa lalu mereka. Pengakuan dosa, penyesalan yang mendalam, menjadi persembahan yang menyentuh roh-roh kuno.
Pusaran air perlahan-lahan tenang, dan kabut tebal mulai menghilang. Suara gemuruh air mereda, dan digantikan oleh suara gemericik air yang menenangkan. Sebuah cahaya biru lembut muncul dari dasar pusaran, menyinari wajah-wajah mereka.
"Mereka menerima kita," kata Sari, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. "Mereka melihat ketulusan kita."
Ki Rajendra mengangguk. "Kedamaian telah lahir kembali di desa ini," katanya.
Mereka berempat, yang tadinya terperangkap dalam lingkaran setan masa lalu, kini menemukan kedamaian dan tujuan hidup baru. Mata air purba, yang tadinya menjadi sumber kutukan, kini menjadi simbol harapan dan penebusan.
***
Mereka kembali menuju rumah tua. Menghabiskan malam Jum’at Legi. Mereka berempat, yang tadinya asing satu sama lain, kini menjadi sahabat yang terikat oleh pengalaman yang mengubah hidup masing-masing. Mudra tetap menjaga keseimbangan cintanya di antara Sari dan Vanua. Ki Rajendra semakin mendalami ilmu tarot dengan berbagai aliran.
"Kita semua datang ke sini ternyata dengan beban masa lalu," kata Ki Rajendra, menatap wajah-wajah mereka. "Tapi kita pergi dengan hati yang ringan."
"Kita semua telah menemukan tujuan baru," kata Mudra, tersenyum. "Kita telah menemukan cara untuk menebus kesalahan kita."
"Kita semua telah menemukan kedamaian," kata Vanua, matanya berkaca-kaca. "Kedamaian yang tidak pernah kita bayangkan. Rumah tua ini mengajarkan seperti inilah neraka. Tatapan mata manusia dan dedemit adalah neraka bagi orang lain."
"Dan kita semua telah menemukan persahabatan," kata Sari, menatap mereka dengan tatapan penuh kasih. "Persahabatan yang akan bertahan selamanya."
Mereka berempat mengangkat gelas mereka, bersulang untuk masa depan yang lebih baik, untuk desa yang telah mereka selamatkan, dan untuk persahabatan yang telah mereka temukan. Rumah tua itu, dalam keheningannya, seolah ikut bersulang bersama mereka.
Kisah Ki Rajendra, Mudra, Vanua, dan Sari diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi legenda tentang penebusan, persahabatan, dan kekuatan cinta. Ki Rajendra mengembara di berbagai pusat-pusat keilmuan tarot, sedangkan Mudra hidup bersama dengan Vanua dan Sari di Desa Gayam dan Kampung Tujuh. Mata air purba di Desa Gayam dan Gunung Api Purba di Kampung Tujuh, menjadi legenda pembebasan diri bagi mereka yang lelah menjumpai kerumunan dan neraka.
***
Jauh di dalam tubuh Kepala Desa Gayam dan Bu Ros Kepala Desa Kampung Tujuh, yang tampak biasa di mata manusia, bersemayam entitas kuno. Ni Grenjeng, dedemit penguasa mata air purba, telah menyusup ke dalam kedua raga itu, menjadikannya wadah untuk mengamati dan mempengaruhi dunia manusia. Bukan sebagai Kepala Desa itu sendiri, Ni Grenjeng mengintai dan merencanakan pergerakan Desa Gayam dan Kampung Tujuh dari balik tabir kesadaran-tubuh para Kepala Desa.
Matanya yang gaib, tersembunyi di balik mata manusia, mengamati setiap gerak Mudra, Clara, Ki Rajendra, dan Vanua. Ia merekam jejak tekad mereka, mendengarkan rencana yang terjalin dalam bisikan malam. Ia merasakan getaran semangat perlawanan yang membara di Desa Gayam, Kampung Tujuh, Depok dan Surabaya.
Bukan dengan suara Kepala Desa, tetapi dengan bisikan gaibnya, Ni Grenjeng menyampaikan: "Kerumunan yang mereka tangani... pernah menjadi bara api, membakar keserakahan yang merajalela." Ia melihat bagaimana aliansi terbentuk, bagaimana dana dikumpulkan, bagaimana strategi disusun oleh Mudra, Sari, Vanua dan Ki Rajendra.
Ni Grenjeng, dari balik tirai kesadaran sang Kepala Desa, memandu arus peristiwa di desa dan kota yang disinggahi mereka. Ia tidak mengambil alih kepemimpinan, tetapi ia memastikan bahwa takdir Desa Gayam dan Kampung Tujuh berjalan sesuai kehendak alam. Ia mendorong, memberi petunjuk samar melalui simbol-simbol kartu Tarot, dan menjamin bahwa setiap tindakan selaras dengan keseimbangan kosmik dedemit.
Ia menyaksikan keberhasilan Mudra dan kawan-kawan, bangkitnya Desa Gayam dan Kampung Tujuh sebagai simbol perlawanan. Ia tahu, di tengah kerumunan itu, ada kekuatan yang tak terbendung, yang akan mengguncang pondasi keserakahan.
Ni Grenjeng, dalam kesunyian jiwanya, tersenyum. Bukan senyum manusia, tetapi senyum entitas dedemit yang menyaksikan siklus kehidupan dan kematian, kehancuran dan kebangkitan. Ya! Kerumunan adalah neraka. Neraka bagi para penindas, dan fajar harapan bagi yang tertindas.
*** THE END ***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
