11. KUNTILANAK

0
0
Deskripsi

Api unggun yang memancarkan kehangatan tiba-tiba padam oleh lengkingan kuntilanak. Suara yang bukan sekadar horor, melainkan seismograf luka kolektif yang belum sembuh. Kegembiraan warga buyar dalam sekejap, bukan karena ketakutan akan makhluk gaib, tapi karena pengakuan bawah sadar. Dendam Bu Lastri adalah cermin retak dosa mereka sendiri. Pengabaian, kesepian, dan kebisuan yang membunuh perlahan.

Pengejaran Mudra dan Vanua ke dalam hutan bukan hanya perburuan, melainkan juga ziarah ke gua psike...

Mudra dan Vanua duduk di tepi api unggun, mengamati warga desa yang untuk pertama kalinya dalam waktu lama bisa tersenyum kembali. Namun, di balik kegembiraan itu, mereka berdua merasakan kegelisahan yang sulit dijelaskan.

"Kita telah mengalahkan dukun itu," kata Vanua, menatap api unggun yang berkedip-kedip. "Tapi, apakah ini benar-benar akhir dari segalanya?"

Mudra menghela napas, matanya menatap gelapnya hutan keramat di kejauhan. "Aku juga tidak yakin. Ada sesuatu yang masih mengintai di sana. Aku bisa merasakannya."

"Mungkin kita hanya paranoid," kata Vanua, mencoba merasionalisasi perasaannya sendiri. "Mungkin kita sudah terlalu lama menghadapi kekuatan gaib."

"Mungkin," jawab Mudra. "Tapi aku tidak bisa mengabaikan firasat ini. Rasanya seperti ada sesuatu yang menunggu—sesuatu yang lebih besar dari dukun itu."

Saat itu juga, suara tangisan melengking terdengar dari arah hutan. Tangisan itu bukan suara manusia biasa, melainkan sesuatu yang lebih tajam, lebih menusuk, membuat bulu kuduk berdiri.

"Kuntilanak!" seru seorang warga, wajahnya pucat pasi.

Kegembiraan desa langsung buyar. Warga yang baru saja merasa aman kembali berlarian ke rumah masing-masing, menutup pintu dan jendela mereka dengan tergesa-gesa. Api unggun dipadamkan, seolah-olah cahaya bisa menarik makhluk itu lebih dekat.

Mudra dan Vanua menatap satu sama lain. Mereka tahu, tugas mereka belum selesai.

Dengan obor menyala di tangan, mereka melangkah menuju sumber suara, mengikuti jejak samar di tanah. Sesosok bayangan putih melayang di antara pepohonan, bergerak dengan cara yang tidak manusiawi—kadang cepat, kadang seakan melayang di tempat, seolah sedang menggoda mereka untuk mengejar.

"Kita harus menghentikannya," kata Mudra, mempererat genggamannya pada obor.

"Tapi bagaimana?" tanya Vanua, suaranya dipenuhi keraguan. "Kita tidak punya kekuatan gaib, Mudra. Kita hanya manusia biasa."

"Kita punya keberanian dan akal sehat," jawab Mudra. "Dan itu lebih dari cukup."

Kuntilanak itu terus memimpin mereka lebih dalam ke dalam hutan, menuju sebuah tempat yang terasa berbeda. Suasananya lebih berat, udara lebih dingin. Di depan mereka terbentang sebuah gua besar dengan dinding-dinding batu hitam yang basah. Dari dalam gua, terdengar suara gemuruh samar, seolah-olah tempat itu menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar kegelapan.

Lalu, kuntilanak itu menoleh. Mata merahnya berpendar di kegelapan, wajahnya... bukan lagi wajah manusia. Itu wajah Bu Lastri, tetapi dipenuhi kebencian yang mendalam.

"Kalian tidak akan bisa mengusirku!" suara kuntilanak itu melengking, membuat dedaunan di sekitar mereka bergetar. "Aku adalah penguasa hutan ini! Aku akan membuat kalian merasakan penderitaan yang sama denganku!"

"Bu Lastri," kata Mudra, suaranya mantap. "Kamu bukan penguasa hutan ini. Kamu adalah arwah yang tersesat, yang dikuasai oleh dendam."

"Diam!" bentak kuntilanak itu, suaranya menggelegar seperti badai. "Kalian tidak tahu apa yang telah mereka lakukan padaku! Mereka membiarkan aku mati dalam kesepian! Mereka lupa aku pernah ada!"

Vanua maju selangkah. "Kami tahu kamu merasa terkhianati. Kami tahu kamu merasa sakit hati. Tapi membalas dendam tidak akan mengembalikan apa pun. Itu hanya akan membuatmu semakin terikat di dunia ini."

Kuntilanak itu terdiam, tubuhnya bergetar. "Aku... aku tidak bisa pergi. Aku masih... marah. Aku masih ingin mereka merasakan penderitaanku."

"Lepaskan itu," kata Mudra. "Lepaskan kemarahan dan kebencianmu. Maafkan mereka yang telah menyakitimu, dan maafkan dirimu sendiri."

Tangisan kuntilanak itu berubah. Bukan lagi tangisan kemarahan, tetapi tangisan kepedihan yang mendalam. Air mata darah mengalir di pipinya.

"Aku sudah terlalu lama di sini," katanya lirih. "Aku ingin pulang..."

Sinar keemasan mulai muncul dari dalam gua, menyelimuti sosoknya yang perlahan-lahan memudar. Angin berhembus lembut, membawa kelegaan yang tak bisa dijelaskan. Kuntilanak itu akhirnya lenyap, meninggalkan keheningan yang dalam.

Mudra dan Vanua menatap gua itu, merasakan ketenangan yang baru pertama kali mereka rasakan sejak memasuki hutan ini.

Saat mereka kembali ke desa, fajar mulai menyingsing. Warga desa keluar perlahan dari rumah mereka, masih takut, tetapi berharap.

"Apakah... sudah berakhir?" tanya Kepala Desa dengan suara bergetar.

Mudra mengangguk. "Bu Lastri telah menemukan jalannya."

Warga desa saling berpandangan, lalu pelan-pelan tersenyum. Untuk pertama kalinya, rasa takut tidak lagi membayangi mereka.

Namun, baik Mudra maupun Vanua tahu bahwa ini bukanlah akhir. Masih ada hal-hal yang harus dibenahi di Desa Gayam. Ketakutan yang pernah mengakar tak akan hilang dalam semalam. Tetapi mereka telah membuktikan satu hal—bahwa keberanian, kebersamaan, dan keyakinan bisa mengalahkan kegelapan apa pun.

Dan bagi mereka, itu adalah awal dari harapan yang baru.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
#Neraka
Selanjutnya 12. DUA SISI KERUMUNAN
0
0
Di puing-puing Desa Gayam yang baru saja keluar dari teror, hadir pertarungan ontologis yang mengoyak jantung komunitas. Mudra melihat kerumunan sebagai sungai pengair kehidupan. Gotong royong adalah nadi yang menghidupkan sawah-sawah solidaritas. Vanua menyaksikannya sebagai api liar. Reinkarnasi teori Le Bon tentang massa irasional yang pernah menghanguskan kota yang pernah disinggahinya.Perdebatan mereka bukan sekadar strategi pemulihan desa tapi konflik dua kosmologi. Kita butuh kehadiran, sentuhan, musyawarah di balai! seru Mudra, mengingatkan bahwa subsidiaritas mati tanpa fisikalitas. Teknologi bisa jadi jembatan! balas Vanua, waswas akan amnesia sejarah yang mana kerumunan warga berubah jadi kawanan panik berebut beras.Warga terbelah seperti batang singkong retak. Yang pro-Mudra berkumpul di pohon beringin, merajut kembali memori kolektif sebagai tameng. Yang pro-Vanua mengunci diri, menjadikan gawai sebagai kandang besi melindungi rasionalitas.Dalam diam, Vanua mengutuk ironi: Desa yang ia damba sebagai anti-tesis kota, justru mengulangi psikologi kerumunan yang sama, hanya berbalut sarung dan caping.Tapi Mudra menangkap peluang di retakan itu. Saat ia berbisik Kerumunan punya dua wajah, ia menawarkan dialektika baru. Pertama, wajah buruk adalah massa histeris yang melahap desas-desus. Kedua, wajah baik adalah kumpulan tubuh yang bersila merajut anyaman keputusan. Kita harus mencari keseimbangan, katanya, frasa yang bukan kompromi, melainkan jalan ketiga: Bagaimana merawat kebersamaan tanpa terjebak romantisme? Bagaimana menghormati trauma tanpa membalsem desa dalam formalin ketakutan?Perdebatan mereka yang tak terselesaikan adalah metafora untuk zaman pasca-pandemi: Balai desa versus ruang digital, Tradisi lisan versus algoritma, dan keberanian berkumpul versus fetis jarak aman.Di tepi sawah yang mulai menghijau, satu pertanyaan menggantung lebih berat daripada gabah: Ketika kerumunan bisa menjadi baik dan buruk, bukankah neraka atau surganya ditentukan bukan oleh jumlah orang, tapi oleh kualitas kepercayaan di antara mereka?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan