02. PANDEMI DATANG MENGHANTUI

1
0
Deskripsi

Desa Gayam yang dulu bernapas dalam irama gotong royong, kini tersedak oleh pandemi yang merayap bagai kabut racun. Kenaikan harga beras di warung Bu Minah menjadi termometer kepanikan—sebuah pertanda bahwa logika pasar global telah membajak spirit rekognisi-subsidiaritas Desa: hak merawat diri sendiri yang dijamin negara, kini tergadaikan oleh inflasi. Di balik keluhan Bu Karti tentang mi instan yang tak terjangkau, tersembunyi tragedi daulat pangan yang terenggut. Lapangan desa yang dulu bergema...

Kabar tentang pandemi COVID-19 akhirnya mencapai Desa Gayam. Awalnya, warga masih menyimpan ketenangan, meyakini bahwa desa mereka yang terpencil akan terhindar dari ancaman ini. Namun, seiring waktu, bayang-bayang ketakutan mulai menghantui. Dampak pandemi merayap masuk, mengubah kehidupan yang selama ini mereka kenal.

Harga kebutuhan pokok melambung tinggi, roda ekonomi desa tersendat, dan kecemasan mulai menyelimuti benak mereka. Pasar desa yang biasanya ramai oleh aktivitas jual beli kini terasa lengang. Para pedagang mengeluhkan sepinya pembeli, sementara warga yang ingin berbelanja enggan keluar rumah, khawatir akan bahaya yang tak terlihat.

"Ya ampun, harga beras kok naik lagi," keluh Bu Minah di warung kelontongnya, tempat biasa ibu-ibu desa berkumpul. "Biasanya saya beli sekilo cuma sepuluh ribu, sekarang sudah lima belas ribu."

"Kalau harga beras naik, harga mi instan juga ikut naik," timpal Bu Karti, pelanggan setia warung Bu Minah. "Anak-anak saya suka minta mi instan, tapi dompet saya tidak sanggup."

Kepala Desa, yang biasanya aktif membahas soal irigasi, kini lebih sering berbicara tentang pandemi. "Virus ini menyebar cepat dan membuat orang takut keluar rumah. Akibatnya, ekonomi kita terganggu. Tak hanya harga naik, tapi juga rasa percaya di antara kita."

Ketakutan merayap, membayangi hari-hari warga desa. Mereka tidak hanya khawatir tertular penyakit, tetapi juga cemas akan masa depan. Bagaimana mereka bisa bertahan jika ekonomi terus merosot? Bagaimana jika virus ini benar-benar sampai ke desa mereka?

Pemerintah desa mengeluarkan imbauan untuk menjaga jarak, mengenakan masker, dan menghindari kerumunan. Kegiatan-kegiatan yang biasa menjadi sumber kebersamaan kini dihentikan. Balai desa yang dulunya jantung aktivitas masyarakat kini kosong dan sunyi. Lapangan desa, yang biasanya riuh oleh tawa anak-anak yang bermain sepak bola dan layang-layang, perlahan kehilangan penghuninya.

Warung Bu Minah, tempat orang tua biasa berbagi cerita sambil menyeruput kopi, kini hanya menyisakan keheningan. Orang-orang datang dan pergi dengan tergesa-gesa, takut berlama-lama. Semua orang terpaksa mengurung diri di rumah masing-masing, terisolasi dalam ketakutan yang semakin hari semakin pekat.

Mudra, yang selalu menjadi penopang bagi masyarakat desa, merasa perih melihat perubahan ini. Ia berusaha tetap optimis, mengajak warga untuk tetap bersatu dan saling membantu seperti tradisi gotong royong yang mereka junjung tinggi. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia pun merasakan ketakutan yang sama.

Desa Gayam, yang dulunya penuh kehangatan, kini berubah menjadi desa yang sunyi dan mencekam. Kabar tentang pandemi bukan hanya merenggut kebahagiaan mereka, tetapi juga mengikis kepercayaan yang selama ini menjadi kekuatan utama desa. Rasa curiga mulai tumbuh di antara warga. Setiap batuk atau bersin membuat orang-orang saling melirik penuh waspada.

"Saya dengar, di kota sebelah, banyak orang meninggal karena virus ini," kata Pak Karto dengan suara bergetar.

"Jangan bikin takut, Pak Karto," sahut Bu Parmi, meskipun wajahnya menunjukkan ketakutan yang sama. "Kita di desa, insya Allah aman."

"Aman dari mana, Bu?" timpal Kepala Desa dengan nada getir. "Virus ini sudah menyebar ke mana-mana. Kita tidak tahu kapan akan sampai ke desa kita."

Malam semakin mencekam. Hujan turun deras, membawa suasana suram ke Desa Gayam. Tiba-tiba, terdengar lolongan anjing yang panjang dan menyayat hati. Warga desa yang sudah dicekam ketakutan semakin gelisah.

"Ini pertanda buruk," bisik seorang warga, suaranya gemetar. "Ini pasti ulah makhluk halus."

Desas-desus mulai menyebar. Ada yang mengaku melihat bayangan putih bergentayangan di pemakaman, ada yang mendengar suara tawa menyeramkan dari pohon beringin tua. Ketakutan akan pandemi bercampur dengan takhayul yang sudah lama tertanam di benak warga.

"Kemarin malam, saya melihat sendiri," kata Pak Karto dengan suara bergetar. "Sosoknya tinggi besar, matanya merah menyala. Saya langsung lari terbirit-birit."

"Saya juga mendengar suara-suara aneh," timpal Bu Minah. "Seperti suara orang menangis, tapi bukan suara manusia."

Ketakutan warga semakin menjadi-jadi. Pandemi bukan hanya membawa penyakit, tetapi juga memicu kepanikan yang tidak masuk akal. Mereka mulai mencari-cari pertanda, menghubungkan kejadian-kejadian aneh dengan situasi yang mereka hadapi.

"Ini pasti hukuman karena kita sudah melupakan gotong royong," kata seorang tetua desa. "Kita sudah saling curiga. Makhluk-makhluk halus itu marah karena kita tidak lagi bersatu."

Mudra mencoba menenangkan warga, menjelaskan bahwa semua itu hanyalah ketakutan yang berlebihan. Namun, kata-katanya mulai kehilangan makna. Warga desa lebih percaya pada desas-desus dan takhayul, pada kekuatan gaib yang mereka anggap lebih nyata daripada virus yang tak kasatmata.

Malam itu, hujan mengguyur desa tanpa ampun, seolah langit ikut menangisi keadaan yang semakin memburuk. Listrik padam, menyisakan kegelapan pekat yang hanya sesekali dipecah oleh kilatan petir. Di tengah keheningan itu, suara-suara aneh kembali terdengar.

"Suara apa itu?" bisik Bu Parmi kepada suaminya, Pak Slamet, sambil memeluk erat anak mereka.

"Entahlah, Bu," jawab Pak Slamet, meskipun wajahnya menunjukkan kecemasan. "Mungkin hanya suara angin."

Tiba-tiba, terdengar suara tawa melengking yang menusuk telinga, diikuti oleh lolongan anjing yang panjang dan menyayat hati. Suara-suara itu seolah datang dari segala arah, membuat bulu kuduk berdiri.

"Itu... itu pasti kuntilanak!" bisik Bu Parmi, wajahnya pucat pasi.

Keesokan harinya, desas-desus semakin liar. Warga desa mulai percaya bahwa pandemi ini bukan hanya ujian kesehatan, tetapi juga pertanda buruk yang berhubungan dengan dunia gaib. Mereka kehilangan harapan, kehilangan kepercayaan, dan kehilangan jati diri mereka sebagai komunitas yang kuat dan bersatu.

Pandemi COVID-19 telah merenggut lebih dari sekadar kesehatan fisik. Ia telah menciptakan ketakutan yang meresap ke dalam jiwa warga desa, menggantikan kebersamaan dengan kecurigaan, menggantikan harapan dengan keputusasaan. Akankah Desa Gayam mampu bangkit dari keterpurukan ini?

***

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
#Neraka
Selanjutnya 03. MUDRA, PENJAGA HARAPAN
1
0
Di jantung Desa Gayam yang terinfeksi ketakutan, Mudra bergerak bagai petani menabur benih di tanah gersang. Tubuhnya adalah peta desa yang hidup: otot-ototnya mengenal lekuk sawah, nadinya berdenyut bersama irama gotong royong. Ketika pandemi mengubah kerumunan menjadi dosa dan balai desa menjadi mausoleum kebersamaan, ia menyadari bahwa harapan adalah satu-satunya virus yang bisa dilawannya dengan tangan kosong.Perjalanannya menyusuri desa yang terfragmentasi adalah ziarah melawan keputusasaan. Di warung Bu Minah—kini kuburan percakapan—ia membaca kecemasan Bu Karti tentang mi instan sebagai gejala kolonisasi pasar atas subsidiaritas desa. Di teras rumah Pak Karto, ia menyaksikan fosil semangat warga berserakan seperti karung beras kosong. Di ruang tamu Kepala Desa, ia menemukan krisis legitimasi: pemimpin yang dulu panglima irigasi kini jadi tawanan ketakutan sendiri.Kita harus mandiri, bisiknya—sebuah manifesto epistemik yang mengubah lahan kosong di belakang balai desa menjadi laboratorium subsidiaritas. Tanaman kangkung Roni adalah perlawanan terhadap inflasi, kerajinan tangan Budi adalah senjata melawan ketergantungan, pelatihan daring Siti adalah dekolonisasi pengetahuan. Di ruang rapat BUM Desa yang pengap, gotong royong tak lagi romantisme—ia menjadi strategi ontologis. Ketika para pemuda merancang investasi bagi hasil, mereka sedang menulis konstitusi ekonomi alternatif: sistem di mana uang bukan tuhan, melainkan pupuk untuk menumbuhkan kedaulatan.Teknologi yang dulu asing menjelma pisau bermata dua: membelah pasar global sambil mengukir identitas lokal. Tapi di balik tiap klik penjualan daring, tersembunyi pertanyaan reflektif: akankah virtualisasi merampas keakraban fisik yang jadi jiwa desa?Mudra bukan pahlawan tragis. Ia petani harapan yang bekerja dalam sunyi. Senyumnya yang mencoba menenangkan adalah senjata melawan nihilisme. Di tangan yang sama yang pernah memegang cangkul, kini ia memegang gawai—alat-alat yang ia bajak menjadi protesis gotong royong.Ketika benih kangkung pertama tumbuh di belakang balai desa yang sunyi, akankah akarnya cukup kuat menembus beton ketakutan yang sudah mengeras?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan