

Teriknya hari tidak lantas menghentikan perlombaan yang sedang dimainkan oleh dua wanita beda zaman di pojokan kantin itu. Bagai kesetanan, duo Anne menyeruput habis kuah soto di mangkuk mereka, mengabaikan lidah masing-masing yang kebas karena terbakar panas.
Tidak ada pembicaraan sepatah kata pun yang menyelingi acara makan siang itu. Energi keduanya sudah habis setelah berkelana memburu berita sejak pagi buta. Apalagi gemetar akibat lapar yang melanda seolah menambah alasan untuk menghilangkan babak basa-basi paling tidak sampai makanan habis dan perut mereka puas.
“Kemaren lo ke mana, Ne? Sampe ambil cuti segala.” Tanya Anne senior begitu tetes terakhir di mangkuknya tandas.
Anne Monica mengintip seniornya dari balik gelas. Ia menenggak es teh manis sampai habis sebelum menjawab pertanyaan itu. “Aku ziarah ke makam ibuku, Mbak. Hari peringatan kematiannya. Makanya, sekalian abisin jatah cuti bulan ini.”
“Nyokap gue juga udah meninggal. Pas gue baru masuk kuliah.” Anne menyeka area mulutnya kemudian membuang tisu bekas itu ke mangkuk yang telah kosong. “Nyokap lo gimana? Udah lama meninggalnya?”
Kepala Anne Monica menggangguk beberapa kali, sementara giginya ramai memecah bongkahan es dalam tehnya. “Pas aku lahir, Mbak.”
“Oh… Berarti nyokap lo sekarang jadi senior nyokap gue di akhirat.” Canda wanita milenial itu yang tidak hanya sukses menghalau aura gelap di antara mereka, tapi juga berhasil menjemput tawa renyah gadis di hadapannya.
“Btw, tadinya gue sama anak-anak kira lo pergi sama Benji. Soalnya kemaren dia, kan, juga cuti.” Lanjut Anne, tanpa sadar telah meloloskan sebongkah es yang belum dikunyah langsung ke kerongkong juniornya.
Untung saja, sisa tawa dari lelucon sebelumnya dapat mengatasi situasi dengan cukup sempurna, meski mulai terdengar kering. “Hahaha. Ngapain banget aku ngeliat muka Mas Ben di luar kantor, Mbak? Lima hari seminggu aja udah kebanyakan.”
“Siapa tau, Ne.” Anne mengedikkan bahunya untuk melengkapi senyum usil yang menghias wajah ovalnya. “Lagian, tumben banget si Ben cuti. Satu setengah hari pula.”
“Satu setengah?” Bola mata Anne Monica seketika membulat. Informasi baru itu jelas terdengar asing di telinganya.
“Tumben, kan? Biasanya dateng pertama, tapi hari ini malah dateng siang.” Anne Monica menyetujui argumen itu.
“Enak juga, bisa dapet izin masuk siang.” Gumam gadis itu, mencomot satu lagi es batu dalam gelasnya.
Untuk sesaat, keduanya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Anne Monica sibuk dengan teh manis dan es bantunya, sedangkan Anne fokus membaca situasi dalam radius dua meter darinya. Diperhatikannya mood gadis di seberangnya dengan hati-hati. Tampaknya topik Benji tidak lagi mengobarkan kekesalan dalam diri Anne Monica. Gadis itu sudah berdamai dengan masalahnya. Dan Anne senior rasa, inilah saat yang tepat untuk menjalankan taktik kemenangannya.
“Oh, iya, Ne. Si Benji masih nguber-nguber lo dengan tawaran liputannya itu?” Mulai wanita itu sambil berdoa dalam hati agar rencananya berjalan lancar.
Mendengar pertanyaan itu, Anne Monica mengerucutkan bibirnya. “Masih. Tiap malem, dia nge-chat aku buat nawarin liputan bareng. Malah kayaknya hp-ku lebih sering bunyi karena Mas Ben daripada karena pacarku.”
“Mungkin dia ngerasa bersalah sama lo, Ne. Biarpun tengil dan agak somplak, Benji tuh hatinya soft parah. Lo gak mau gitu, coba kasih dia kesempatan lagi?” Ucap Anne, berjuang menahan ringisannya.
Walaupun yang dikatakannya adalah kebenaran, tapi tetap saja Anne merasa lidahnya pahit karena harus memuji rekan sintingnya itu. Andai saja daging tanpa tulang itu dapat dilepas pasang, ia pasti sudah membawanya ke kamar mandi dan mencuci lidahnya itu sampai bersih.
“Aku, sih, mau-mau aj– Hmm? Bentar. Kok, kayak ada yang aneh?” Anne Monica menghentikan jawabannya. Keningnya berkerut dalam-salam saat menyadari sesuatu yang aneh pada diri kata-kata seniornya barusan. “Gak biasanya Mbak Anne muji-muji Mas Ben begitu.”
“Hah? Gue gak muji Ben, kok. Kan emang–”
“Mbak, mending jujur aja, deh. Kenapa tiba-tiba belain Mas Ben?” Sepasang alis Anne Monica menukik tajam sampai-sampai Anne salah tingkah dibuatnya.
Dan benar saja, Anne akhirnya menyerah karena tatapan menelisik itu. “Hehe. Insting lo tajem banget, sih, Ne.”
“Gue bakal kasih tau, tapi jangan marah, ya, Ne.” Ujar wanita itu, mewanti-wanti dengan perasaan harap-harap cemas. “Sebenarnya, gue, Mas Bimo, sama Najah bikin taruhan soal lo sama Benji. Kalau misal lo jadi asisten Benji lagi, gue bakal menang 400 ribu.”
Anne Monica melongo. Sepertinya, akal sehat telah meninggalkan otaknya. Ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Sumpah? 400? Seorang 200 ribu dong berarti? Emang worth it, ya, taruhan sebanyak itu cuma buat aku sama Mas Ben?”
“Sial! Kenapa aku malah ngerasa bangga, ya, dihargain semahal itu.” Sambung Anne Monica bergumam kemudian memukul keningnya sendiri kencang-kencang.
“Makanya itu, Ne. Gue juga gak tau kenapa waktu itu gue setuju.” Dengan membawa tangan Anne Monica ke dalam genggamannya, Anne memohon sampai matanya berkaca-kaca. “Please lah, Ne… Tolongin gue sekali ini aja.”
Anne Monica berpikir sejenak sebelum melepaskan tangan seniornya yang mulai mengundang tatapan-tatapan tidak diinginkan dari pengunjung kantin yang lain. “Oke. Tapi uang taruhannya bagi dua sama aku.”
“Deal!” Sambar Anne cepat-cepat, menutup segala celah untuk berubah pikiran.
Mana mungkin ia menolak gagasan emas itu. Daripada kehilangan 200 ribu dari kantongnya sendiri, jelas lebih baik ia kehilangan nominal tersebut yang berasal dari kantong orang lain. Apalagi, ia akan tetap menerima jumlah yang sama. Sebagai manusia bijaksana, Anne mengutamakan keuntungan bersama. Tidak ada ruginya berbagi bahagia kemenangan. Baginya, separuh kemenangan tetaplah kemenangan. Titik.
Dan sebagai gestur syukur atas jasa gadis itu terhadap arus keluar keuangannya bulan ini, Anne mengambil alih tagihan makan siang barusan sebelum kembali ke sarang mereka di lantai 14.
“Lo ke ruang meeting duluan aja, Ne. Nanti gue nyusul.” Ujar Anne disusul dengan mulutnya yang menguap lebar. “Gue mau bikin kopi dulu di pantry. Kenyang bikin ngantuk. Lo mau juga, gak?”
“Mau, Mbak. Aku yang buat aja, gimana?” Tawar Anne Monica. Sepertinya, ia butuh waktu untuk mencerna makanannya sebelum kembali bekerja di ruangan tertutup dan ber-AC itu.
Dengan senang hati, Anne menerima niat baik itu. “Boleh. Kalau gitu, gue duluan, ya. Thanks, Ne.”
Bersamaan dengan ucapan terima kasih itu, duo Anne berpisah jalan menuju tujuannya masing-masing. Anne Monica segera menyalakan teko listrik sesampainya di pantry. Sembari menunggu lampu indikator teko listrik itu mati, ia menggunting kopi-kopi sasetnya. Namun belum sampai ia menuang bubuk-bubuk itu ke gelas kertas, bahunya sudah lebih dulu terasa berat oleh sentuhan telapak asing.
“Mo.” Panggil seseorang yang sangat Anne Monica kenali suaranya.
“Ya, kenap–” Gadis itu terpekik. Matanya menyorot cemas saat melihat sosok pemanggilnya. Secara refleks, ia melayangkan tangannya untuk menyentuh wajah babak belur itu. “Mas Ben, mukanya kenapa warna-warni?”
Benji memang tidak menghindari sentuhannya, tapi jelas sekali bahwa suasana hati pria itu sedang acak-acakan dan jauh dari kata bersahabat. “Lo gak ada jadwal malem, kan?”
Anne Monica menggeleng cepat dan menggiring Benji kembali ke pertanyaannya. “Mas, berantem sama siapa? Kemaren, kan, bentuknya masih bagus-bagus aja.”
“Pulang bareng gue.” Ucap Benji, sepenuhnya memerintah bukan mengajak.
Dan sudah pasti perintah dadakan itu mengacaukan fokus Anne Monica terhadap wajah bonyok Benji karena bagaimana pun juga waktu istirahatnya adalah yang utama.
“Tiba-tiba banget? Mau liputan? Eh? Mas Ben, mau kemana?! Pertanyaanku belum dijawab!!” Seru gadis itu heboh ketika Benji balik kanan begitu saja tanpa basa-basi lebih lanjut.
Anne Monica menggigit bibirnya gelisah sembari memperhatikan punggung Benji yang kini telah hilang di balik tikungan. Baik kekhawatirannya terhadap wajah pria itu, maupun terhadap agenda malamnya yang terancam, tidak ada satu pun yang tuntas. Semuanya menggunung di sudut otaknya bersama beban pikiran yang bertambah.
- - - - -
Hari ini, Benji sangat mencuri perhatian rekan-rekannya. Bukan hanya karena datang siangnya atau wajah tampannya yang babak belur, tapi juga karena tingkahnya yang jauh dari kata wajar. Pasalnya, sudah hampir seperempat jam lamanya pria itu mondar-mandir sembari merapalkan gerutuannya. Ia bergerak ke sana-kemari sampai tidak tersisa satu pun titik di lantai 14 yang belum diinjaknya.
“Lo kabur ke mana, sih?! Kan tadi gue bilang, lo pulang bareng gue.” Omel Benji begitu menemukan sosok gadis mini yang seharusnya sudah pergi bersamanya sejak 15 menit yang lalu.
Anne Monica berjalan santai keluar dari elevator sambil mengangkat kantong plastik putih di tangannya. “Santai, dong. Aku gak kabur. Cuma beli sesuatu di bawah. Tuh, tasku aja masih di situ.”
Benji melirik arah yang ditunjuk gadis itu menggunakan dagunya. Dan seketika, bibirnya mengatup rapat. Benji merutuki dirinya sendiri dalam hati. Kepalang emosi membuatnya tidak menyadari keberadaan ransel kulit Anne Monica yang masih tergeletak di atas meja kerja gadis itu.
“Ambil tas lo. Gue tunggu sini.” Ujar Benji, membuang muka demi menutupi rasa malu yang sukses menyentil dirinya.
Untungnya, semesta dan Anne Monica mau bekerja sama dengannya. Tanpa babibu, gadis itu melesat mengambil barang-barangnya. Meskipun begitu, Benji tidak lantas merasa tenang. Pria itu bolak-balik melihat jam di pergelangan tangannya sambil berharap bahwa mereka tidak akan terlambat sampai di tujuan.
“Ayo, Mas. Aku udah siap.” Ajak Anne Monica yang sudah lengkap dengan ransel di bahunya.
Tidak butuh waktu lama, pintu elevator terbuka. Benji segera melompat ke dalam kubus logam itu dengan terburu-buru. Adegan itu membuat kening Anne Monica berkerut. Tidak biasanya Benji bertingkah demikian. Namun, ia tidak berniat mengemukakan kebingungannya itu. Mengingat emosi Benji yang sedang tidak stabil seharian ini, Anne Monica memilih untuk memaklumi saja dan tidak bertanya apa-apa.
Masalahnya, taktiknya ternyata gagal. Makin dibiarkan, makin keanehan Benji makin tidak terkendali.
“Loh? Mas Ben, mobil kantor kan parkirnya di sana.” Seru Anne Monica saat Benji malah berbelok ke mobilnya sendiri yang berada di parkiran khusus eksekutif.
“Buruan masuk.” Balas pria itu sebelum sosoknya ditelan pintu mobilnya sendiri.
Anne Monica memejamkan matanya sejenak. Ubun-ubunnya sudah hampir meledak akibat frustrasi. Jika kelakuan normal Benji mampu membuatnya pusing tujuh keliling, maka saat ini pria itu sukses membuat Anne Monica gila dengan tingkahnya yang menjadi-jadi.
“Sebenernya mau ke mana, sih? Kenapa cuma berdua?” Anne Monica mengabsen alat-alat pendukung yang selalu mereka bawa tiap kali pergi liputan. Namun, di mobil ini, ia tidak dapat mencentang daftar absensi tersebut karena tidak menemukan hal-hal yang seharusnya ia temukan. “Mas, kita… bukan mau liputan, ya?”
“Bisa gak kalau ada orang nanya, tuh, dijawab. Jangan dikacangin kayak gini. Aku beneran bingung!” Amuk Anne Monica. Kesabarannya sudah habis ketika lagi-lagi hanya deru AC yang menjawab pertanyaannya.
Melalui sudut matanya, Benji melirik Anne Monica yang hampir terpanggang oleh amarahnya sendiri. “Nanti juga lo tau.”
“Wah, bermanfaat sekali jawabannya. Aku langsung tercerahkan. Terima kasih banyak.” Sarkas gadis itu.
Anne Monica menyerah. Gadis itu tidak mau mencoba peruntungannya lagi. Ia sudah tidak mau tahu isi kepala seorang Benji. Biar saja pria itu bergulat sendiri dengan suasana hatinya yang menyebalkan. Ia tidak peduli. Lebih baik ia menghemat energinya sambil menonton video binatang lucu di media sosial.
Entah sudah berapa lama ia menggulir layar gawainya, sampai tahu-tahu mobil yang dikemudikan Benji tidak lagi bergerak. Sontak mata Anne Monica hampir keluar dari rongganya saat ia menyadari di mana kuda besi Benji terparkir saat ini.
“Kita ngapain ke sini?! Mas Ben tau ini studionya Danny, kan?” Tanya gadis itu, merujuk pada bangunan urban di depan mereka.
Tanpa mengubah ekspresi datarnya, Benji menatap Anne Monica lurus-lurus. “Putusin pacar lo.”
“Put– Hah? Gimana? Bercanda aja.” Anne tertawa kikuk. Ia mencari-cari binar humor di netra gelap itu. Tapi sayangnya, harapan itu tidak bersambut dengan kenyataan. Benji benar-benar serius dengan kata-katanya. “Gak ada angin, gak ada hujan, tau-tau nyuruh orang putus. Mundur, Mas. jangan kelewatan. Kalau mau jomblo, sendiri aja. Gak usah ngajak-ngajak!”
Benji memutus tatapannya dengan Anne Monica. Pria itu mengeluarkan gawai dari saku jaketnya membuat Anne Monica kesal bukan main. Ia tidak habis pikir dengan Benji yang masih sempat-sempatnya memainkan gawainya pada saat-saat seperti ini.
“Nih, liat sendiri kelakuan cowok lo semalem.” Benji melempar ringan gawainya ke atas pangkuan gadis itu.
Saat itu juga, Anne Monica membatu di tempatnya. Sorot matanya mendadak kosong. Begitu pula dengan otaknya yang tidak dapat memproses foto di layar gawai Benji. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana setelah matanya dinodai oleh foto HD kekasihnya yang sedang bercumbu dengan wanita lain di antara temaram Glory Goldies.
“Sekarang lo masih mau sama monyet yang suka jajan sembarangan?” Tanya Benji bagai cahaya suci yang membawa Anne Monica keluar dari sumur kegelapan.
BRAKK!
Gadis itu tanpa sadar membanting pintu mobil Benji kencang-kencang. Dengan pertimbangan sepersekian detik, Anne Monica memilih untuk tidak menyia-nyiakan lebih banyak waktu lagi. Diraihnya pot tanaman berukuran sedang di teras studio yang akan ia jadikan hadiah kejutan untuk kekasihnya.
“Mbak Anne?” Sonya sang resepsionis tampak kaget dengan kemunculan Anne Monica yang tiba-tiba.
Firasatnya buruk ketika menyaksikan gadis itu menerobos masuk sambil membawa benda –yang ia asumsikan sebagai senjata tumpul– di tangan kanannya ke ruang pemotretan. Alhasil, ia mengejar Anne Monica sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi di dalam sana.
“Mbak. Mbak Anne. Mas Danny masih ada pemot–”
“Diem lo!” Bentakan itu tidak hanya membungkam Sonya, tapi juga seluruh penghuni ruang pemotretan.
Sonya sontak mundur beberapa langkah. Ia tidak lagi berani menghalangi Anne Monica. Dibiarkannya gadis itu bertindak sesuai kehendak hatinya. Sekalipun Anne Monica membakar studio ini, Sonya tidak akan mencegahnya. Jika hal itu benar terjadi, ia akan menyelamatkan dirinya terlebih dahulu sebelum menghubungi pemadam kebakaran.
Dengan langkah berderap layaknya seekor kuda, kaki-kaki pendek Anne Monica berayun cepat menuju target bidikannya. Makin dekat, makin erat juga cengkeramannya pada pinggiran pot curiannya. Dan begitu ia sampai di hadapan tukang selingkuh itu, Anne Monica mengguyurkan isi potnya ke puncak kepala Danny hingga mengundang pekik-pekik tertahan dari penonton di sekitar mereka.
“Ne, ngapain kam– Bangsat!” Danny menggelinjang panik karena batang tanaman kering beserta kerikil-kerikil kecil menyelinap ke dalam kaosnya. “Lo apa-apaan? Udah gila?!”
Anne Monica sama sekali tidak membalas makian itu. Ia hanya menyodorkan gawai Benji tepat di depan wajah Danny yang coreng-moreng oleh lebam dan noda tanah. Seketika, pupil pria itu membulat maksimal dan ia mulai memohon-mohon seperti narapidana di pengadilan.
“Ne, aku bisa jelasin. Tapi gak sekarang, aku masih kerja. Kamu tunggu aku, ya.” Danny meraih tangan kekasihnya dan menggiring gadis itu ke kursi plastik di sudut ruangan itu. Namun, Anne Monica menyentak tangan pria itu kuat-kuat.
“Gue gak butuh penjelasan. Gue cuma mau bilang putus.” Balas Anne Monica sesingkat-singkatnya sebelum berbalik meninggalkan Danny.
“Ne…”
“Lo gak usah pegang-pegang! Dia udah bilang putus.” Benji menepis tangan Danny yang berusaha meraih pergelangan Anne Monica sekali lagi.
Menerima campur tangan dari orang asing yang semalam memukulinya, Danny sontak memberang. Ditariknya kerah kemeja Benji dan ia siap melayangkan tinjunya. “Sialan! Lo gak usah ikut campur. Ini urusan gue sama pacar gue.”
BUGH!
Dan tinju itu melayang juga. Bukan ke pipi Benji, melainkan ke pipi Danny. Bukan juga dari Benji, melainkan dari Anne Monica yang kini harus menahan nyeri karena buku-buku jarinya menghantam tulang rahang mantan kekasihnya.
“Itu buat lo yang nyelingkuhin gue. Dan ini…”
BUGH!
“Karena lo udah berani bikin bonyok maskot kantor gue.” Ujar Anne Monica sebelum meninggalkan Danny yang mengerang kesakitan sampai terbungkuk-bungkuk.
Anne Monica menyeringai puas. Patah hati dibalas dengan patah tulang hidung. Anggap saja impas agar di masa yang akan datang ia tidak perlu buang-buang waktu untuk bertemu dengan pria problematik itu lagi ataupun wanita murahan di sisi tirai yang tampak pucat pasi.
“Titip beresin, ya, Nya. Semoga lo sama Danny langgeng. Cewek gatel emang cocoknya sama cowok mokondo kayak dia.” Ujar Anne Monica, menghadiahi bahu Sonya tepukan bersahabat sebelum pergi dari sarang penyakit kelamin itu.
Tidak ada amarah yang tersisa, apalagi air mata sekembalinya Anne Monica ke mobil Benji. Gadis itu hanya duduk diam sembari menunggu Benji menyalakan mesinnya dan memulangkannya ke kosan. Terlampau tenang sampai-sampai Benji harus melingkupi kedua tangannya yang terluka dan gemetar parah entah sejak kapan.
“Mas, tangannya luka.” Ucap Anne Monica tiba-tiba.
Benji kira luka yang gadis itu maksud adalah memar segar yang ada di tangannya sendiri. Cepat-cepat ia menarik tangannya agar tidak menekan luka Anne Monica. Tapi gadis itu malah menahan pergerakan Benji dan kembali menatap luka sobek yang menghiasi buku-buku jari tangan kanan pria itu.
“Aku obatin, ya.” Anne Monica mengeluarkan berbagai jenis perlengkapan pertolongan pertama dari bungkusan plastik putihnya.
Dengan perlahan, gadis itu mengoleskan salep antiseptik pada luka Benji. Ditiupinya satu per satu buku jari Benji hingga pria itu merasakan gelenyar asing yang menggelitik perutnya dari dalam. Setelah bagian tangan selesai, Anne Monica merambat ke luka-luka di wajah Benji yang tidak lebih baik dengan tangannya. Namun belum sampai luka itu dipoles obat, genggaman tangan Benji pada pergelangannya sudah lebih dulu menghentikan pergerakannya.
“Ne, gimana kalau lo sama gue aja? Nikah dan jadi istri gue.” Bersamaan dengan pertanyaan itu, telinga Anne Monica berdengung hebat dan perlahan tapi pasti pandangannya memburam kemudian menggelap.
Gadis itu jatuh ke pelukan Benji dalam artian yang sebenarnya. Anne Monica pingsan. Dan di ambang kesadarannya yang mulai hilang total, gadis itu terkekeh pelan. Ia menertawakan halusinasinya yang menggila hanya karena patah hati semata.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
