

Senandung merdu menemani Anne Monica merapikan stasiun kerjanya. Gadis itu senang bukan kepalang pagi ini. Bukan karena ia berjumpa lagi dengan tumpukan dokumen di sudut mejanya –ia tidak sesubmisif itu, melainkan berkat akhir pekannya yang sempurna.
Sudah lama, ia tidak melalui hari Minggu yang semenggembirakan itu. Walaupun berawal dari kekacauan, tapi eksekusi hari kemarin itu melewati batas ekspektasinya. Anne Monica bahkan masih merasakan kenyang dan girang sebagai bentuk euforia atas makanan-makanan luar biasa nikmat yang memenuhi tiap lekuk rongga perutnya. Belum lagi, kabar mengenai kesuksesan liputan kulinernya yang disiarkan ulang di kanal Diksi makin memanjakan hati mungilnya.
Bayangkan! Satu juta lebih acungan ibu jari, ribuan komentar, dan pengikut media sosial pribadinya yang meningkat drastis dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Kurang terberkati apa lagi? Jika tiap minggu begini, sudah pasti ia akan diangkat menjadi karyawan tetap sebelum masa perjanjiannya dengan sang ayah usai.
“Eh, Jah. Tumben baru dateng jam segini?” Sapa Anne Monica terlampau riang sampai tidak menyadari raut wajah rekannya yang satu itu.
“Hmm.” Najah menggeletakkan tasnya begitu saja kemudian menelungkupkan kepalanya lesu di permukaan meja.
Kerutan halus di kening Anne Monica sontak menjelma menjadi garis-garis yang lebih tebal. “Kenapa lo? Masih pagi udah bete aja.”
Dan tidak ada balasan. Seolah ia berbicara pada jasad yang ruhnya telah terbang dan menghilang entah di mana. Agak membingungkan, tapi Anne Monica tidak mau ambil pusing. Harinya terlalu berharga untuk terinfeksi aura buruk yang menyuramkan dunia kecil di sekitarnya.
“Mo!” Seketika kepala Najah menegak, meski bukan namanya yang dipanggil. Ditatapnya sosok di balik pemanggilan itu dengan tatapan tidak biasa sebelum kembali menyembunyikan kepalanya di antara lipatan lengan.
“Kenapa, Mas?” Tanya Anne Monica pada Benji yang memanggilnya dari stasiun kerjanya sendiri.
Pria itu mengangkat map di tangannya tinggi-tinggi kemudian menggoyangkannya pelan. “Ayo ke ruang meeting. Mas Mada katanya mau ngomongin liputan kemaren sama liputan buat minggu depan.
“Bentar, Mas.” Anne Monica cepat-cepat menukar kanebo usangnya dengan seperangkat laptop dan map-map pentingnya.
Dengan langkah-langkah pendek, gadis itu berlari-lari kecil demi menyejajarkan dirinya dengan Benji yang sudah jauh di depan. Dan dalam perjalanan menuju meeting room itu, Anne Monica akhirnya menyadari sesuatu, yaitu tidak ada seorang betina pun yang tebar pesona pada seniornya atau sekadar sapa-sapa manja seperti yang biasa terjadi. Sesuatu yang belum pernah terjadi selama dua setengah tahun ia menjadi bagian dari Diksi.
“Mas, cewek-cewek ini lagi aneh, deh. Biasanya, kan, pada sibuk caper, tapi hari ini anteng banget. Tanda-tanda bencana alam gak, sih?” Bisik Anne Monica di bahu Benji ketika melewati gerombolan karyawati pucat yang berdesakan di pantry layaknya sedang melakukan ritual ilmu hitam.
“Wajar, Mo. Ini Senin.” Balas pria itu sambil lalu. Tidak menemukan sesuatu yang mengherankan ataupun spesial dari tingkah para perempuan itu.
“Bener juga.” Anne Monica mengangguk-angguk paham. Masuk akal. Tidak ada budak korporat normal di belahan dunia mana pun yang menyukai hari Senin. Termasuk dirinya, meski kali ini merupakan pengecualian.
Di tengah-tengah proses berpikirnya, tiba-tiba Anne Monica teringat sesuatu. “Oh, iya, Mas. Nanti Mbak Ratna gak bakal join kita, kan? Aku bawaannya tegang kalau ada dia. Seneng banget mojokin orang.”
“Entahlah.” Benji mengangkat kedua bahunya. “Gue juga berharap gak ada dia, sih. Risih sama cara dia mandang gue. Gue ngerti gue cakep, tapi tetap aja gue gak nyaman kalau diliatin seintens itu.”
Bola mata Anne Monica berputar malas. “Ck. Mulai, deh.”
Bibir yang mengerucut kian tajam itu lantas membuat Benji terbahak. Puas sekali dapat melukis rungutan di wajah mungil gadis itu. Rasanya segala kesinisan Anne Monica telah menjadi asupan wajib bagi Benji akhir-akhir ini. Sayangnya, tawa itu segera pudar tepat saat mereka menemukan sang editor telah menghuni meeting room 144 dengan ekspresi yang lebih mengerikan daripada biasanya.
“Mas, kita salah masuk gak, sih? Beneran di 144.” Tanya Anne Monica melalui gigi-giginya yang terkatup rapat.
Benji tidak menjawab. Ia hanya bergerak mundur, melirik plang nomor ruangan yang menempel di sebelah pintu, kemudian kembali melangkah maju dan memasuki ruang rapat itu dengan setengah hati.
“Ikut rapat juga, Mbak?” Sapa pria itu berbasa-basi.
“Hmm.” Balas Ratna singkat kemudian membuang muka begitu saja.
Fenomena barusan sontak membuat duo senior dan junior itu bertukar pandang. Seorang Ratna yang bertahun-tahun mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai ketua fanclub Benji mampu mengabaikan pesona pria itu. Ini baru mengherankan, sekaligus menyeramkan. Ada wabah apa yang melanda Senin yang –jujur saja– tidak terlalu buruk ini?
“Sorry, gue telat.” Pintu terbuka mempersembahkan Mada yang tergesa-gesa kemudian menempati kursi di kepala meja. “Langsung mulai aja. Gue harus berangkat ke DPR bentar lagi.”
Benji dan Anne Monica bersamaan menghela napas lega. Secara tidak langsung, Mada itu telah menyelamatkan junior-juniornya dari situasi tidak tertahankan yang bahkan belum tentu pria paruh baya itu sadari. Namun, keadaan tidak lantas menjadi lebih baik.
Setengah jam nonstop Ratna menghunuskan tatapan tajamnya hingga nyaris melubangi kening Benji. Entah ada dendam apa sampai perangai wanita itu berubah sedemikian rupa hanya dalam hitungan malam. Dan firasat Anne Monica mengatakan bahwa semua ini bukan hanya karena Benji melarangnya untuk ikut duduk di kursi belakang saat perjalanan pulang liputan lalu. Terlalu berlebihan jika hanya karena itu.
“Udah jelas, ya. Untuk minggu depan lokasi liputan bakal sesuai jadwal, sementara untuk yang minggu berikutnya lagi kita bakal ngikutin hasil polling di medsosnya Diksi. Oke?” Setelah menerima anggukan dari tiap kepala yang ada, Mada melirik jarum jam tangannya yang bergerak lebih cepat dari yang ia duga.
“Kalau masih bingung, tanya di grup aja. Nanti kita omongin bareng-bareng. Gue cabut duluan, ya.” Pria paruh baya itu keluar ruangan dengan tempo yang sama seperti saat ia memasukinya. “Tolong notulensinya juga dishare, Mo. Biar si Dimas bisa baca juga.”
“Oke, Mas.” Anne Monica segera mengirim catatan rapatnya ke grup chat mereka yang telah tersambung ke laptopnya.
Dan sebelum benar-benar, wartawan senior itu berbalik. Bibirnya yang gelap karena nikotin itu memulas seutas senyum usil. “Oh, satu lagi! Ben, lo kalau kapan-kapan mau ajak calon istri lo pas liputan bareng kita boleh banget. Gue pengen tau sosok hebat macam apa yang berhasil naklukin buaya kayak lo.”
Calon istri?! Kepala Anne Monica sontak terlempar ke arah Benji. Matanya yang membulat menuntut penjelasan. Bagaimana Mada bisa sampai tahu? Dari mana? Sejauh apa? Dan yang paling penting, selain pria paruh baya itu –dan juga Ratna tentunya– siapa lagi yang mengetahui persoalan ini?
Namun Benji mengabaikan tatapan itu, atau lebih tepatnya tuntutan di dalamnya. Tidak sepintas pun, pria itu membalasnya. Ia sibuk tertawa, melayani selorohan seniornya yang paling senior itu.
“Siap, Mas. Kebetulan calon istri gue doyan makan.” Tawa Benji. Bukan jenis tawa karir seperti yang biasa pria itu lakukan untuk memuaskan atasan dan senior-seniornya, melainkan tawa renyah penuh makna yang ditaburi sedikit ejekan.
“Oh, bagus itu. Kalau udah nikah, lo bisa ikutan subur juga, kayak gue.” Mada ikut tertawa sembari memainkan perut buncitnya sendiri. “Udah, ah. Gak kelar-kelar ngobrolnya. Gue duluan, ya.”
“Apa bagusnya coba cewek rakus?” Ketus Ratna. Wanita itu kembali menampakkan belangnya selepas kepergiaan Mada. Sambil menghentakkan heels sepatunya, Ratna keluar diikuti dengan bantingan pintu yang agaknya dapat membangunkan warga satu kecamatan saking kencangnya bunyi debuman yang dihasilkan.
Tidak profesional, tapi Anne Monica dapat memahami kekesalan wanita itu kali ini. Semua orang pasti akan kesal jika idolanya tiba-tiba menjatuhkan hatinya pada sosok asing yang tidak diketahui asal-usulnya dan memupuskan segala khayalan indah mereka begitu saja. Bahkan, Anne Monica yang tidak mengidolakan Benji saja merasakannya, meski dengan alasan yang berbeda.
Gadis itu mengumpulkan seluruh kesabarannya sebelum mengonfrontasi Benji. “Mas Ben–”
“Halo?” Anne Monica terpaksa menelan kata-katanya ketika Benji tiba-tiba menempelkan layar gawainya di telinga. “Oke. Iya. Gue otw turun.”
Panggilan itu selesai, tapi Anne Monica tetap tidak memiliki kesempatan untuk memuntahkan bola apinya. Ia tidak dapat beradu dengan kecepatan melarikan diri Benji yang terhitung kurang dari lima langkah. Selangkah untuk berdiri sekaligus menyambar jaket di punggung kursinya, selangkah lagi untuk menghampiri Anne Monica kemudian mengacak puncak kepala gadis itu, dan tiga langkah terakhir pria itu gunakan untuk menyusul para pendahulunya.
“Gue ke lapangan dulu, ya, Yang. Jangan bandel.” Ucap Benji dari ambang pintu dan menghilang sebelum Anne Monica sempat berkedip.
“Anak monyet.” Umpat gadis itu, menahan gemetar pada sepanjang rahang akibat ledakan emosi internalnya.
Di titik ini, panas telah menjalar ke seluruh tubuh Anne Monica. Gadis itu terlalu marah sampai ia merasa sia-sia saja meluapkan kemarahannya jika tidak pada orangnya langsung. Alhasil, yang dilakukannya adalah keluar dari ruangan beraura negatif ini dan berharap kesibukannya hari ini dapat mengalihkan isi hati dan pikirannya.
“Masih hidup lo, Bal?” Seru Anne Monica saat menemukan sosok yang beberapa hari terakhir ini timbul-tenggelam dari permukaan. “Anak lo gimana? Udah sembuh?”
“Masih rewel-rewel dikit, tapi untung udah pulang dari rumah sakit. Jadi, istri gue bisa jagain sendiri.” Ikbal mendesah lelah, meski lega tidak luput dari wajahnya yang kuyu. Menjadi orang rantau tidak pernah mudah bagi pria itu, apalagi pada masa-masa seperti saat anaknya terkena demam berdarah dan harus dirawat selama dua minggu. Ia terpaksa mengambil cuti agar istrinya tidak ikut tumbang. Namun, sekalinya kembali ke kantor ia malah dihadapkan dengan labilitas rekan-rekan kerjanya yang terjebak galau.
“Btw, kok, lo gak ada pucet-pucetnya? Emang lo gak patah hati denger headline soal Mas Ben? Tuh, Najah aja udah berubah kayak zombie gitu.” Tanya pria itu terheran-heran karena Anne Monica terlihat biasa-biasa saja.
“Hah?” Gadis itu terperanjat. Tidak menyangka jika kabar itu sudah sampai ke telinga Ikbal. “Lo juga tau kalau Mas Ben udah punya calon istri?”
Ikbal mengangguk. “Tau lah. Gak mungkin gak tau. Orang dia terang-terangan banget pake post di Instagram segala.”
“Di Instagram?!” Pekik Anne Monica.
“Baru diposting tadi subuh.” Balas Ikbal membenarkan dengan menambah detail informasi itu. Sambil mengerling usil, pria itu kemudian mengejek wajah Anne Monica yang perlahan tapi pasti kehilangan sebagian besar pasokan darahnya. “Kenapa? Mulai ada bunyi kretek-kretek di hati lo?”
Tanpa menunggu lebih lama, gadis itu membuka media sosialnya –hal yang jarang sekali ia lakukan pada jam kerja– dan kakinya seketika lemas.
“Gue ke Mas Bimo dulu, ya, Mo. Lo jangan tantrum kayak yang lain, oke?” Ejek Ikbal sekali lagi sebelum meninggalkan Anne Monica yang masih mencengkeram gawainya erat-erat.
Seolah tuli, gadis itu hanya meratapi sosok dirinya yang terpampang jelas di antara slide foto-foto makanan estetik festival kuliner kemarin. Meski hanya menampilkan wujud punggungnya di antara kerumunan, tapi tetap saja yang pria itu lakukan telah melanggar privasinya. Dan apa-apaan dengan caption di bawah fotonya itu?!
“Berburu makanan biar Ayang tambah tinggi <3.”
Lagi-lagi Benji merusak harinya. Tidak ada yang lebih buruk dari foto dan satu kalimat sialan itu. Seharusnya, ia lebih peka terhadap segala pertanda yang ada. Seharusnya juga, ia belajar dari fenomena yang lalu-lalu. Hari yang diawali dengan pagi yang cerah, pasti akan selalu berakhir dengan siang yang mendung serta malam yang lebih gelap.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
