
8. Sambutan dari Tanah Air.
***
Ayahnya tak bisa menunggu. Naufal gagal melihat wajah ayahnya untuk yang terakhir kali. Ia disambut haru biru. Ibunya bahkan sempat jatuh pingsan beberapa kali. Naufal memutuskan untuk tetap berada di tanah air sampai tujuh hari ke depan. Gagal pula ia menjadi saksi di pernikahan Kautsar Ramlan.
Beberapa sahabat lamanya ada di sana untuk ikut berduka. Naufal mencuri kesempatan untuk mengobrol dengan mereka, melepas rindu. Salah satunya memberi kabar kepada Naufal tentang...
Naufal merasa berat hati sekali. Ini pertama kalinya ia akan bepergian jauh tanpa anak-anak dan istrinya. Harusnya, kesempatan ini menjadi sudut pandang lain andaikan hubungan ia dengan ayahnya tak pernah memburuk. Akan jadi yang pertama kalinya ia membawa pulang anak-anak dan istrinya ke tanah air. Disambut penuh kehangatan dan cinta kasih dari ayahnya. Ia pernah membayangkan hal itu. Matanya tak jarang langsung memanas. Betapa indahnya.
Tetapi sebelum bayang-bayang itu mengubah pandangan Naufal, benang merahnya harus berubah dari nasib kakaknya terlebih dahulu. Bisa jadi, yang akan pulang membawa anak-anak dan istrinya untuk yang pertama kali ke tanah air adalah Syawal. Naufal hanya akan menjadi pelengkap dari keindahan itu. Keindahan di mata sang kakak.
Ia sudah bersiap. Nehza menyiapkan segala kebutuhannya dengan teliti. Beberapa teman kerabat juga sudah mengetahui bahwa Naufal akan segera terbang ke tanah air. Mereka ada di sini sekarang.
“Pakaian untukmu cukup sampai tujuh hari selama di sana. Semua yang kamu butuhkan sudah tersedia. Jaga dirimu. Kembalilah ke sini dengan keadaan yang sama seperti saat kamu pergi. Akan saya jaga anak-anak dengan baik.” Nehza menatap Naufal dengan sedikit mendongak. Kedua tangannya berada di dadanya.
Lelaki itu membalasnya dengan luapan cinta yang terpancar dari kedua matanya. Andai situasinya memungkinkan dan jauh dari kata berantakan, Naufal sangat ingin memboyong anak-anak dan istrinya sekaligus. Sepertinya Nehza harus bersabar sedikit lebih lama lagi. Entah di kesempatan yang mana, yang jelas, ia butuh waktu. Tetapi Nehza berharap segalanya akan jadi lebih mudah setelah ini. Mungkin saja Naufal tidak perlu banyak berpikir jika ingin kembali lagi ke tanah air membawa dirinya juga anak-anak mereka.
“Maafkan saya harus meninggalkanmu dan anak-anak.”
Nehza menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Saya justru sangat bersyukur bahwa kamu akhirnya mau kembali ke tanah air. Walaupun tak bisa lagi bertemu dengan Abi.”
Naufal segera memberi dekapan tanpa bicara apa-apa.
“Tabahkan hatimu.”
Saat kata-kata itu terlontar, Nehza merasakan tangan suaminya makin erat mendekap. Tubuhnya yang kecil sampai terangkat, membuat kakinya berjinjit.
“Sampaikan maaf saya pada Umi, Mas.”
“Akan saya sampaikan.”
“Ayo bersiap. Mereka menunggu kita.”
Sebelum benar-benar meninggalkan kamar, Naufal menghujani pipi, kening, dan bibir istrinya dengan cumbu mesra cepat-cepat. Tujuh hari ke depan mungkin akan terasa seperti tujuh tahun lamanya.
“Jangan temui siapapun selain kerabat kita. Saya sudah memberi kabar pada Kautsar bahwa saya tidak bisa menghadiri pernikahannya. Jika terjadi sesuatu, kamu tahu harus menghubungi siapa.”
“Saya akan terus terhubung denganmu, Khadijah, dan Mas Malik.”
Terakhir. Naufal mendaratkan satu kecup hangat di puncak kepala Nehza. Nehza bantu membawakan ransel kecil sementara Naufal menarik kopernya. Di luar, kedua anak mereka berada di tengah-tengah pengasuhan Khadijah, Fahri, Khairul Malik, Bilal, dan Dwi. Sayangnya Yazid tak bisa datang karena kondisi Khumaira tak memungkinkan untuk beranjak dari tempat tidur.
Sore tadi Naufal sudah terhubung dengan kakak sepupunya itu. Ia sudah berpamitan. Betapa senangnya Yazid sampai terdengar isak tangis di tengah-tengah sambungan telepon keduanya. Yazid juga jadi salah satu yang paling berisik dan menginginkan Naufal ‘berdamai’ dengan keadaan. Meski sampai saat ini, bayang-bayang ‘siksaan’ yang entah mencambuk Naufal atau Syawal masih sering berlalu-lalang. Lantas, memangnya mau sampai kapan memelihara perasaan seperti itu?
“Sudah siap semuanya, Fal?” Melihat Naufal dan Nehza keluar dari kamar pertama kali, Dwi langsung beranjak, dan menghampiri.
“Sudah, Mas. Saya mau berangkat.”
Kemudian Naufal menghampiri putranya yang tampak begitu terpukul. Ia sedih karena akan berpisah sementara dengan ayahnya, lalu juga sedih karena seumur hidupnya, tak pernah melihat bagaimana rupa sang kakek yang selalu diceritakan ibunya penuh dengan kebaikan itu. Nehza tak pernah mengungkit kejelekan-kejelekan atau bahkan perlakuan yang membuat hati ayahnya membatu, pun, dengan kejadian yang menimpa Syawal.
Naufal menggenggam kedua tangan Malik sambil berjongkok. “Jaga umi dan adikmu, ya.”
Malik hanya mengusak-usak bola matanya sambil menunduk. Hatinya berteriak ingin sekali mengekori sang ayah sampai ke tanah air. Celetuknya siang tadi bahkan tak masalah jika harus menyusup masuk ke koper atau dilipat-lipat saja tubuhnya agar bisa menempati ruang kecil di ransel ayahnya.
“Abi hanya sebentar. Minggu depan kita sudah berkumpul lagi.” Naufal segera memberi dekapan, sebagai bentuk penenang bagi Malik yang murung. “Selama abi tidak ada, turuti semua ucapan pakde Malik ya atau pakde Yazid, ya. Jangan nakal, bantu umi-mu.”
Malik mengangguk dalam dekapan Naufal. Sementara si kecil yang masih dalam gendongan Khadijah mulai memberontak. Seolah tahu bahwa ia juga akan berpisah dengan ayahnya untuk sementara waktu. Naufal menepi dari hadapan Malik dan mengambil Ruya dari tangan Khadijah.
“Abi izin pergi dulu, ya, nak. Baik-baik dengan umi dan kakakmu.” Naufal menciumi pipi, kening, serta tangan si kecil. Hatinya malah semakin memberat. Tak bisa sekali berjauhan dengan anak-anak dan istrinya. Tetapi ia tetap harus pergi. Di lain kesempatan, semoga Allah yang maha membolak-balikan hati manusia itu, bisa membuatnya memboyong keluarga ke tanah air tanpa hati yang mengganjal lagi. Tanpa perasaan yang memberatkan dirinya lagi.
Terakhir, Naufal kembali mencium kening Nehza, memeluknya, sambil menggendong Ruya, dan merangkul Malik. Oh, lelaki itu. Tak pernah disangka akan mengalami perubahan yang sangat besar dalam hidupnya. Sebelum hijrah ke Mesir, Naufal hanyalah seorang pemuda yang sangat biasa-biasa saja. Saat itu, bahkan, ia tengah menjalani hubungan beda agama dengan seseorang, lalu mencoba dijodohkan juga oleh orangtuanya. Namun ia memberontak. Mesir yang pernah disumpah tidak akan ia datangi seumur hidupnya, malah jadi tempat pelariannya.
Sekali lagi, pemuda biasa-biasa saja itu kini memiliki keluarga yang nyaris sempurna dan harmonis.
***
Sembilan tahun tak pernah bersentuhan dengan udara tanah air, Naufal merasa asing berpijak di kampung halamannya sendiri. Ada banyak hal yang berubah. Kondisi bangunan-bangunan yang sebelumnya tak ada, kini tinggi menjulang. Jalan-jalan yang sebelumnya rusak, kini bertambah hancur. Anak-anak yang terakhir kali ia lihat sebelum pindah ke Mesir masih sepinggangnya, kini sudah setinggi dirinya.
Berjam-jam mengudara, Naufal agak limbung saat akhirnya bisa bertemu lagi dengan Lek Hafiz yang menjemputnya di bandara. Ternyata beliau tak seorang diri. Ada seseorang yang telah Naufal anggap jadi bagian dari separuh perjalanan hidupnya, sahabat karibnya sejak ia kuliah, ikut menjemputnya.
Ia menyapa Lek Hafiz terlebih dahulu. Pelukan mendalam bercampur isak tangis seketika mengubah langit Jakarta yang semula cerah menjadi mendung. Setelah itu, Naufal langsung menyapa dan mendekap sahabatnya. Sabiru Wistara. Keduanya pun larut dalam perasaan rindu serta haru.
“Yang tabah, Fal.” Satu kalimat terlontar dari mulut Sabiru. Membuat tangisan Naufal makin meledak. Keduanya cukup lama saling mendekap. Sebelum pergi ke Mesir, Sabirulah orang terakhir yang ditemui Naufal. Dia pula satu-satunya orang yang mengetahui kelumit kisah cinta serta perjodohan dirinya dengan seorang wanita bernama Salma Khairani Ar-rasyid, serta dengan seorang lagi yang berbeda keyakinan.
Begitu pertemuan yang mengharu-biru itu diputus, Naufal kini sudah dalam perjalanan menuju rumahnya.
“Bagaimana kabar Malik dan Ruya, Fal?” Tanya Lek Hafiz yang duduk di kursi penumpang depan. Mendampingi seseorang yang entah siapa tengah menyetir. Naufal tak mengenalinya.
“Alhamdulillah keduanya baik, Pak Lek. Malik menangis saat saya akan pergi.”
“Ya, sudah pasti. Dia pasti menangis. Semoga Allah panjangkan umur kita semua. Kembalilah lagi ke sini, nanti. Dan bawa anak-anak serta istrimu.”
“Insya Allah, Pak Lek.”
Sepanjang perjalanan, Naufal merasa seperti tengah dipandu oleh Sabiru. Temannya itu mengatakan bahwa pernah ada gedung yang dirobohkan karena menjadi sengketa. Atau persekusi seorang kepala daerah yang terungkap korupsi. Juga kondisi tanah air sekarang, lalu, berakhir dengan ditariknya memori masa muda keduanya saat masih menjadi mahasiswa dan tinggal di satu atap yang sama.
Naufal akhirnya tiba di rumah. Ia merasakan ada sesuatu yang menghantam hatinya. Membuat semua bulu kuduknya berdiri. Tangannya mendadak dingin dan basah. Ia masih ingat jika di tempat itu, di bawah sebuah pohon tua yang konon sudah tumbuh setengah besar saat Syawal Alhakim dilahirkan, ia tak diakui anak oleh ayahnya. Terusir begitu saja. Diminta untuk mengikuti jejak sang kakak yang berkelana, terlunta di negeri orang.
Naufal melipat bibir. Mencoba untuk tak meloloskan apapun, entah dari mulut atau matanya. Ayahnya dulu duduk di sana, sementara dirinya mengiba di tengah-tengah persimpangan, berharap ayahnya akan peduli pada perasaannya, tetapi ternyata jauh dari angan. Ibunya saat itu juga pasrah. Tak bisa memihak, karena di satu sisi ada putranya, sisi lain adalah suaminya.
Lek Hafiz berdiri bersisian dengannya. Ikut menatap ke arah itu, seolah tahu apa yang sedang Naufal rasakan. Bahunya diremat. Selain si pohon tua yang menjadi saksi bisu, Lek Hafiz juga berada di sana saat itu meski hanya melihatnya dari kejauhan.
“Ibumu menunggu.”
Naufal diboyong masuk. Sekali lagi, bulu kuduknya berdiri. Memberikan sebuah sensasi yang membuat Naufal tak bisa membendung air mata. Begitu melihat dirinya berdiri di ambang pintu, Umi Hani langsung berhambur. Beliau mendekap putranya yang tinggi menjulang, yang membuat tubuh tuanya seketika tenggelam.
Lek Hafiz dan Sabiru menepi, memberi ruang kepada ibu dan anak itu untuk melepas rindu dan menyatukan kesedihan serta air mata.
***
Naufal memutuskan untuk pergi ke makam ayahnya pada esok hari. Selain karena tubuhnya masih terasa cukup lelah karena penerbangan selama berjam-jam itu, juga karena hari mulai berangsur malam. Setelah berbicara banyak dengan ibunya serta Lek Hafiz, Naufal menghabiskan sisa hari bertukar cerita dengan Sabiru, di halaman belakang rumahnya.
“Gue kaget waktu dengar Abi meninggal. Mau ngehubungin lo juga nanggung. Gue pikir Lek Hafiz nggak mungkin nggak kasih tau lo.” Sabiru menyambung ucapannya. “Cuma yang gue pikirin, lo mau pulang atau nggak. Terakhir kita ketemu, sambil nangis-nangis lo bilang apapun yang terjadi, lo nggak bakal pulang lagi ke sini.”
Naufal menghela napas sambil matanya menerawang jauh ke langit yang menghitam itu. “Ada satu omongan yang akhirnya bisa bikin hati gue tergugah, Yu.”
Sabiru menunggu.
“Ada yang bilang ke gue kalau mungkin aja wajah yang bakal gue lihat buat terakhir kali itu adalah wajah permintaan maaf yang selama ini gue mau. Dan, ya, buat yang terakhir. Gue nggak akan ketemu lagi, nggak akan lihat wajah Abi lagi.”
Sabiru tak berkata apa-apa karena ia tahu betul betapa tersiksanya, betapa hancurnya Naufal hari itu. Jalinan cintanya dengan seorang wanita berbeda keyakinan ditentang habis-habisan oleh ayahnya. Katanya, ia akan dijodohkan dengan seorang gadis, anak dari sahabat ayahnya saat masih menjadi mahasiswa Al Azhar dulu.
Perjodohan itupun akhirnya digagalkan oleh Naufal. Ia melarikan diri ke Mesir. Ia memilih untuk menemani masa-masa sulit sang kakak, sampai akhir hayatnya. Lalu, tidak ada angin, tidak ada hujan, Syawal malah meminta Naufal menggantikan dirinya untuk menikahi Nehza Yasmin. Dari situlah hidupnya berubah. Sebuah perubahan yang besar dan tak pernah disangkanya.
“Doakan beliau, Fal. Cuma itu yang dibutuhin.”
Naufal menyunggingkan bibir dengan getir.
“Lo udah denger kabar dari Salma?”
Naufal menggeleng. “Kenapa lo tiba-tiba ngomongin Salma? Lo masih ada komunikasi sama dia?”
“Ke bini gue. Dua mingguan yang lalu kayaknya. Dia ada telepon. Ternyata dia di Mesir, Fal. Udah dua tahun ini.”
Naufal cukup terkejut mendengarnya. Sudah lama ia tak pernah mendengar kabar soal Salma.
“Dia basa-basi gitu, cuma agak aneh menurut gue. Dia tiba-tiba aja ngabarin. Berasa deket banget sama gue kali, ya? Padahal kan enggak. Kenal pun cuma kenal gitu-gitu aja. Tapi dia kayak perlu banget ngabarin ke gue kalau dia mau nikah.”
Naufal mendengarkan dengan sabar.
“Calon suaminya orang Indonesia juga yang kerja di Mesir. Sama kayak lo gitu. Dia sebut nama calonnya tapi, duh, gue agak lupa. Kalau nggak salah ada Ramlan-ramlannya gitu namanya. Bakal nikah minggu ini.”
Naufal tercekat. Mulutnya menganga di hadapan Sabiru. Inikah alasan Kautsar Ramlan tak pernah menyebutkan nama perempuan yang akan dinikahinya pada Naufal?
***
SALMAAAAAA TOBAT NENGGGGGG 😭😭
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
