Kairo Series — Vol.1 (Bab 1)

43
10
Deskripsi
  1. Dia yang Berbunga-bunga.

***
Dari dia yang berbunga-bunga; yang mencintai Mesir dengan segala isinya.

Naufal datang seorang diri. Tidak ada maksud apa-apa selain karena dirinya merindukan sang kakak. Berjauh-jauh datang ke sini setelah pekerjaannya rampung yang akhir-akhir ini lumayan membuatnya sering mencengkram rambut tak keruan, dengan kemeja yang mulai tak berbentuk, atau tas selempang yang kadang kala malah ia lilitkan di kepala—saat tak ada orang lewat. Hari ini cukup berat.

Tubuhnya melunglai di atas pusara Syawal Alhakim. Bahunya yang melesak itu seolah siap menumpahkan kegundahan—yang andai Naufal tahu, kakaknya bisa saja sedang geleng-geleng kepala melihat kehidupannya sekarang. Dahulu ia sendiri yang berucap tidak akan menginjakkan kaki di Mesir untuk apapun alasannya. Tetapi di sinilah ia sekarang, menjadi mahasiswa sekaligus seorang ayah dan suami. Mengemban beberapa peran setelah puas meludah dan menelannya kembali.

Kakaknya meninggal dunia karena sakit, hanya sempat mendapat gelar S1 dan S2-nya harus terhenti untuk selamanya setelah perjuangan yang begitu panjang. Ada cerita pilu di balik kematian sang kakak. Ada pengorbanan yang mungkin tidak akan mampu Naufal balas dengan cara apapun. Terlalu berharga. Yang pada akhirnya menjadi penuntun dirinya menikahi Nehza Yasmin dan mencintai Mesir dengan segala isinya.

“Kepala saya rasanya mau meledak, Mas.” Naufal membuka kata. “Saya rasa, bukan hanya Abi penyebab kamu jatuh sakit, tetapi juga karena tekanan di kampus dan hidupmu yang morat-marit karena dicap anak durhaka. Saya benar, kan, Mas?” Ia mengajak sang kakak bercanda. “Beruntung kepalamu tidak meledak. Semoga kepala saya juga masih aman. Repot juga kalau betulan sampai meledak.” Naufal terkekeh di akhir kalimatnya.

Syawal Alhakim adalah kebanggan keluarganya. Si sulung yang mengemban harapan setinggi langit itu. Rasa pilu dan kematiannya masih sangat melekat dalam benak Naufal.

“Saya akan wafat di sini, Fal. Di tanah yang saya cintai. Di tanah tempat saya menimba ilmu. Saya tahu tidak akan bisa, tetapi jika ada sesuatu hal yang memungkinkan bisa membawa pulang jasad saya ke tanah air, saya tidak ingin. Saya ingin menyatu dengan tanah ini, dengan Kairo, dengan yang saya cintai.”

Kalimat itu ternyata hanya alasan. Ketidakinginan jasadnya dibawa pulang ke tanah air bukan semata-mata karena Syawal tidak ingin berpisah dengan Mesir, tetapi itulah bentuk dari perlawanan, pemberontakan dan pembuktian terakhir Syawal kepada ayahnya. Naufal baru menyadarinya.

“Saya datang sendiri, Mas. Sebetulnya, sudah sejak minggu lalu Malik ingin ikut ke sini, sayangnya saya belum bisa membawa dia. Saya dari kantor, langsung ke sini,” lanjutnya.

Fawwaz Malik Ramadhan adalah putra pertama Naufal dengan Nehza. Usianya sekarang tujuh tahun. Cerita tentang sosok Syawal Alhakim melekat dengan sangat baik di dalam kepala bocah itu. Malik tahu betul Pakdhe-nya itu adalah sosok yang sangat baik dan penyayang. Saat tahu Pakdhe-nya wafat karena sakit, ia sangat sedih, dan menangis sepanjang malam karena memikirkan rasa sakit yang diderita Syawal. Anak sekecil itu sudah mampu memikirkan rasa sakit orang lain dengan penuh kasih sayang.

“Dia pasti marah kalau tahu saya datang ke sini tanpa mengajak dia,” ucap Naufal pelan-pelan dengan tangan yang mulai bergerak membersihkan sekitaran tanah makam Syawal.

Ada banyak sekali hal yang ia bicarakan sampai rasanya enggan beranjak, tetapi hari semakin sore, dan ia sudah berjanji akan kembali ke rumah sebelum malam datang.

“Saya harus pulang, Mas. Anak-anak dan Nehza menunggu saya di rumah. Maaf, saya belum bisa memberikan apa-apa kepadamu. Saya belum bisa membalas apapun atas semua pemberian dan pengorbananmu terhadap saya dan Nehza. Syurga untukmu.” Meski berat hati, Naufal akhirnya melangkah pergi. 

Ia bergegas. Seorang bidadari dan dua malaikat kecilnya pasti sangat menanti kepulangannya di rumah.


***

Jejak langkah kaki sepanjang itu selalu meninggalkan aroma harum. Sekilas, selalu ada kelopak-kelopak bunga yang bertebaran atau kepak-kepakkan sayap kupu-kupu. Pertanda ada seseorang yang teramat bahagia hatinya. Dialah lelaki terbahagia di dunia ini. Bagaimana tidak? Dia beristrikan seorang Nehza Yasmin. 

Jika ia terlahir sebagai kupu-kupu dan hanya mempunyai kesempatan hidup hingga empat minggu lamanya, tentulah ia akan tetap memilih mencintai Nehza Yasmin karena Allah di sisa hidupnya. Anna Uhibbuki Fillah. Dia tak pernah lupa mengucapkan kalimat itu. Tak pernah ingin pula ketinggalan melihat rona pipi sang istri yang cantik karena tersipu malu.

Aduh, hidup ini. Pernah dipikirnya terlalu sempurna. Too good, to be true-lah. Hidup di Mesir, beristrikan seorang Nehza Yasmin, dan memiliki seorang putra dan putri yang sangat rupawan. Beberapa manusia mungkin sangat ingin berada di posisinya. Belakangan, ia menyadari bahwa segala hal indah yang ia dapatkan itu bukan karena hasil dari apa yang ia upayakan sendiri, melainkan karena adanya pengorbanan dari Syawal. Seharusnya dialah yang berada di sini. Dialah seharusnya yang menikahi Nehza Yasmin.

Naufal tiba di rumah. Sebuah bangunan sederhana milik orangtua Nehza, yang kelak akan ia beli dan menjadi miliknya. Rumah ini pula yang langsung ditempati Naufal dan Nehza setelah halal menjadi pasangan suami istri. 

Untuk sekarang ini, tabungannya belum mencukupi untuk membeli rumah tersebut meski sebetulnya orangtua Nehza tidak mempermasalahkan hal itu. Rumah itu bisa ditinggalinya tanpa membayar sepeserpun, selamanya. Tetapi wajah Naufal tak cukup tebal untuk itu. Ia memutuskan menyewanya saja. Pembayarannya setiap akhir bulan.

Namun sebetulnya, tanpa Naufal ketahui, uang dari pembayaran sewa rumah itu disimpan baik-baik oleh ibu mertuanya hingga kini. Tidak pernah sekalipun dipakai. Nehza pun diminta untuk tidak bicara apa-apa. Biarlah uang itu dianggap seperti tabungan. Kelak untuk masa depan Malik atau Ruya. Pun bisa dipakai nanti, jikalau ada keadaan yang mendesak. Dan kepemilikan rumah itu tentu saja sudah diurus sejak lama. Sudah atas nama Naufal.

“Assalamualaikum.” Ia membuka pintu, rumah dalam keadaan hening. Dipastikan anak-anak mereka sudah tertidur.

Ternyata ia salah memperkirakan waktu. Ia tiba di rumah pada pukul delapan malam. Naufal segera melepas sepatu dan meletakannya di rak. Tak lama Nehza Yasmin muncul dari dalam rumah; dengan kecantikannya, dengan kelembutan, dan keramah-tamahannya.

“Walaikumsalam.” Wanita itu segera menghampiri suaminya, mengambil tangan lalu mengecupnya, dan mengambil tas yang dipakai suaminya untuk ia bantu letakkan di tempat yang seharusnya.

Sejurus dengan itu, Naufal juga mendaratkan satu kecup hangat di kening istrinya. “Maaf saya terlambat. Salah memperkirakan waktu.”

“Iya, tidak apa-apa. Anak-anak sudah tidur. Saya sudah siapkan air hangat. Sementara kamu mandi, saya akan siapkan makan, lalu kita salat bersama dahulu.”

“Syukran Ya Ghali! Ya Roohi!” Naufal mengangkat tangannya ke udara, matanya terpejam saat bicara, seolah itu adalah ungkapan terima kasihnya bukan hanya kepada sang istri, tetapi juga kepada pemilik alam semesta. 

Nehza langsung mendesis. “Jangan keras-keras. Nanti anak-anak terbangun.”

Lelaki penuh humor itu segera menutup mulut. Memeluk dan mengecup kening Nehza sekali lagi. “Maaf. Saya selalu antusias dan bahagia.”

Satu lekuk indah terbit di bibir Nehza. Keduanya berjalan bersisian menuju dapur. Naufal segera membasuh diri sementara Nehza menyiapkan makan malam. 

Meski sudah akan memasuki tahun ke-9 pernikahannya, Nehza selalu merasa bahwa mereka masih seperti pengantin baru. Cinta itu selalu dan tetap tumbuh di setiap harinya. Menggunung dan membesar. Bahkan, saat teringat betapa indah mahligai rumah tangganya bersama Naufal, Nehza kerap meloloskan senyum secara tak sadar saat sedang melakukan sesuatu. Indah sekali. Pernah suatu waktu tertangkap penglihatan putra sulungnya.

“Umi, ada apa? Kok tersenyum-senyum sendiri?”

“Oh? Tidak, Nak. Umi teringat akan membuatkan sarapan yang lezat untuk putra Umi. Hal ini sangat menyenangkan sampai-sampai membuat Umi selalu tersenyum.”

“Oh, begitu.”

Padahal, malam harinya Nehza baru dibuat berbunga-bunga hatinya oleh Naufal. Terbawa sampai fajar datang dan mungkin akan terulang di malam yang akan datang lagi.

Setelah menyiapkan makan malam yang hanya perlu dipanaskan saja, Nehza pergi ke kamar untuk menyiapkan perlengkapan salat. Ia menggelar sajadah, gamis, dan peci untuk suaminya. Sebelum Naufal selesai, ia sudah selesai mensucikan diri lalu duduk menunggui suaminya di atas sajadah.

“Tadi siang Fahri telepon saya, katanya besok ada acara di rumahnya. Ada acara apa? Kamu tahu? Tadi saya tidak sempat bertanya lebih lanjut karena sedang naik bis.” Naufal sudah berada di kamar dan sedang berpakaian.

“Hanya silaturahim biasa. Sebetulnya itu ajakannya Yazid dan dia memilih diadakan di rumah Fahri karena lebih dekat dengan kita atau yang lain. Khadijah bilang, Bilal dan Dwi juga diundang, tetapi keduanya belum memutuskan akan datang atau tidak. Mas Khairul Malik juga sudah dihubungi, tetapi beliau tidak bisa datang.”

Naufal mengangguk. Nama-nama yang disebutkan adalah kebanyakan rekan kuliah sang kakak dan pria bernama Yazid itu adalah sepupu Naufal. Ia adalah anak dari kakak tertua ibunya. Yazid pula yang dulu menjadi perantara dari pihak kakaknya saat proses khitbah yang diajukan Syawal pada pihak Nehza.

“Kenapa Mas Malik tidak bisa datang?”

“Beliau sedang sibuk. Urusan kuliahnya tidak bisa ditinggalkan. Katanya supaya cepat lulus. Dia lelah memakan buku setiap hari,” ungkap Nehza dengan nada bercanda.

“Buku-buku itu memang enak rasanya, tetapi sebaiknya tidak perlu dimakan setiap hari juga,” balas Naufal. “Atau akan berdiri sebuah perpustakaan di dalam perut.”

“Kamu ini….” Nehza terkekeh sendiri.

Khairul Malik diketahui tengah mengejar gelar S3-nya. Iya, tidak salah dengar. Sepupu tertua Nehza itu adalah calon doktor lulusan Al Azhar. Tentulah ucapan lelah memakan buku setiap hari itu hanya bualan. Khairul Malik sejatinya adalah sebuah mesin pemakan buku. Rak-rak buku besar berjejer-jejer di rumahnya. Segala jenis sejarah peradaban dunia sudah di luar kepalanya. Isi hadist dan Al-Quran tak perlu ditanyakan lagi. Beliau adalah seorang hafiz.

Sosoknya menjadi salah satu alasan mengapa Naufal memberikan nama Malik pada putra pertamanya.

“Jika ada waktu luang, Mas Malik bilang dia akan datang ke sini mengunjungi kita.”

“Kita bisa menyuruh Fahri dan Khadijah ke sini jika Mas Malik datang.”

Nehza mengangguk. Sementara Naufal sudah dengan penampilan terbaiknya. Ia segera mengambil tempat lalu memimpin salat isya’.

Segala apapun yang didasari karena kecintaan kepada Allah akan terasa sangat indah dan mendamaikan. Selesai salat, Naufal langsung berbalik dan Nehza mengambil tangannya untuk dikecup. Tangan Naufal berada di puncak kepala istrinya. Mulutnya merapalkan doa.

Alloohumma Bariklana Fii Asmaa’inaa wa abshoorinaa Wa quluubinaa wa azwaajina wa dzurriyyatinaa wa tub’alainaa innaka antattawwabur rohim.”

Satu kecupan lagi Nehza dapatkan di keningnya. Lalu sekilas di bibir. Ia tak bisa menahan dorongan rasa bahagia. Bibirnya melekuk sempurna. Sementara Naufal memandanginya dengan penuh kasih sayang yang begitu dalam.

Siapa sangka? Pernikahan yang seolah terjadi di atas duka dan kematian seseorang telah berhasil mengubah hidup dua orang yang tak pernah saling mengenal sebelumnya. Cinta yang semula jauh dari jangkauan, kini tumbuh subur dan merekah di setiap harinya.



***



Halo guys 👋🏻

Terima kasih sudah mampir dan kasih dukungan ya 💕 Kairo Series ini bisa dibilang sekuel dari AU Tanah Gersang yaa, nggak baca AU-nya dulu pun nggak apa-apa karena nanti seiring sama diupdatenya part Kairo Series, bakal ada penjelasan dan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kalian tentang Syawal Alhakim atau perjalanan hidup Naufal selama ini.

Untuk setiap partnya akan diupdate setiap Sabtu malam. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan ya, sila memberi kritik dan saran yang membangun. Jangan galak-galak 🫠💓

p.s tulisan ini dipersembahkan untuk anak pertamaku. Untukmu sayangku, Baila Air Rumi, tumbuh sehat dan bahagia, ya, nak. Ini salah satu bagian ‘peninggalan’ dari Ibu, sampai berjumpa lagi di sini ketika kamu dewasa nanti. Kalau Ibu nggak bisa membersamai kamu sampai kamu dewasa, kamu bisa mengenang Ibu di sini. 💓 Tapi tenang, Ibu juga sedang berusaha untuk bisa hidup lebih lama, kok. ✌🏻💓

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kairo Series — Vol.1 (Bab 2)
8
4
2. Tali PersaudaraanNaufal mungkin jauh dari keluarganya. Kakaknya yang telah lama wafat juga hanya bisa ia rindukan. Tanpa Nehza dan kedua buah hatinya, ia adalah seorang sebatang kara di negeri orang.Tetapi sebuah tali mengikatnya dengan beberapa orang, yang menjadikannya keluarga, menjadikannya orang-orang terdekat yang saling peduli.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan