Deskripsi

Hormatilah, hargailah, dan cintailah ibumu sampai ajal menjemputmu.

“Assholatu khairum minannaum………”

Uuuuufgh……aku menggeliat terbangun, kukejapkan mata di kegelapan dan berusaha mencari tombol lampu tidur. Klik……..bohlam biru 5 watt temaram menerangi kamar, kurebahkan kembali tubuhku di ranjang mengumpulkan energi yang entah berterbangan ke mana saja semalaman ini.

Semangat…..semangat…..semangat,” suara hatiku menghentak hari. 

Kuseduh secangkir kopi dan menghangatkan singkong rebus sisa tadi malam. Lalu berwudhu dan melaksanakan kewajiban utamaku sebagai umat muslim. Kunikmati kopi dan singkongku di dapur, lalu kubuka dompet lusuhku…..berhitung dimulai, 50 ribuan 4 lembar, 20 ribuan 3 lembar, 10 ribuan 6 lembar,  5 ribuan 11 lembar…….dan sisanya 2 ribuan serta koin tak kuhitung.  Sisa  uangku hari ini tinggal 375 ribu, itupun masih dipotong untuk  bekal dan makan siang si sulung Yus dan adiknya Yana masing-masing 20 ribu, lalu Asih 15 ribu karena dia masih SMP, sedangkan si bontot Andin 5 ribu karena dia setelah pulang sekolah selalu bersamaku. Dengan 315 ribu semoga cukup untuk 5 hari kedepan saat aku menerima gajiku.

"Maaasss......cepetan. Lama amat siiih!!"

 Yana berteriak sambil menggedor pintu kamar mandi.

"Brisik aaaakkkhhh," jawab Yus tak kalah kerasnya.

"Pagi-pagi selalu ribut. Yus, cepatlah sedikit, gantian dengan adikmu." 

Aku menengahi sambil menyiapkan teh dan singkong goreng untuk sarapan mereka. Asih dan Andin sudah selesai sarapan, dan Asih sekarang sedang mengepang rambut adiknya.

"Bu.....rambut Andin dipotong pendek aja, biar gak ribet kalau pagi."

Tak kujawab, aku mengumpulkan pakaian kotor dan merendamnya, lalu mandi. 

"Buuu.....berangkat," suara Yus dan Yana hampir bersamaan.

"Buu...Asih berangkat yaaa, adek aku bawa sekalian."

"Yaaa.....hati hati nyebrangnya. Jangan lupa tutup pintunya lhooo!" 

Keempat anakku sudah berangkat sekolah, aku segera menyelesaikan mandiku dan berdandan sekedarnya. Setelah memasak nasi dan memeriksa lampu serta jendela, aku keluar, mengunci pintu  lalu meletakkannya di tempat tersembunyi yang telah aku dan anak-anakku sepakati bersama. Aku bergegas ketempat kerjaku. 
 
Sejak suamiku meninggal 5 tahun silam, aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di komplek perumahan tidak jauh dari tempatku tinggal. Terlihat sedan putih pak Bonar masih ada di car port. 

“Tumben Bapak masih di rumah," aku membatin. 

Aku masuk melalui garasi langsung ke dapur, meletakkan tasku kemudian ke dalam untuk menemui mereka. Ah...ternyata mereka masih di ruang makan baru selesai sarapan.

"Selamat pagi pak...buu...," ujarku.

"Pagiii biii....," serempak mereka menjawab.

"Oh ya bi, nanti kami pulang terlambat, mungkin agak malam," bu Bonar berkata sambil memegang lenganku. 

"Bibi jangan pulang dulu yaa....gak sampai malem banget kok," lanjutnya.

“Baik bu, nanti malam perlu saya siapkan untuk makan malamnya tidak bu?” tanyaku.

“Gak usah bi, nanti kami sekalian makan di luar.  Oh ya bi, di kulkas kan ada 2 dus ayam bakar…..nanti dibawa pulang saja ya. Sudah 2 hari itu dus bermalam di kulkas, nanti keburu basi,” kata bu Bonar sambal berdiri dan berjalan menuju kulkas, membukanya dan menunjuk pada 2 buah dus besar berwarna putih. Aku mengikutinya dan ikut melongok ke dalam kulkas.

“Baik bu, dan terima kasih ya bu. Nanti malam saja saya keluarkan bila sudah mau pulang,” aku menjawab dengan hati senang.

“Ya sama-sama bi. Ya sudah bi, saya dan bapak berangkat  ya, jangan lupa kunci pagarnya,” bu Bonar berjalan keluar dan aku mengikuti di belakangnya.

Setelah mobil keluar rumah, aku segera menutup pagar menggemboknya, lalu mengunci pintu ruang tamu, juga pintu garasi. Sebelum melakukan rutinitas kerjaku di rumah itu, aku mengeluarkan hp jadulku dari tas, hp yang hanya bisa untuk menelpon, menerima telpon dan mengirim pesan saja, Kukabari anak-anakku kalau nanti aku pulang agak malam dan kuminta Asih untuk menjemput Andin sepulang sekolah nanti di tempatku bekerja. Lalu kumasukkan hpku ke kantong apronku. 

Pak Bonar dan bu Bonar adalah pasangan suami isteri yang harmonis, mungkin berusia sekitar 50 tahunan. Mereka mempunyai 2 orang anak, yang pertama perempuan seusia anakku yang sulung dan sekolah di Amerika, sedangkan adiknya, laki-laki , seusia anakku Asih, ikut kakek neneknya di Australia dan sekolah di sana.
Pak Bonar bekerja sebagai pengacara, sedangkan bu Bonar adalah notaris. Tempat kerja mereka tidak berjauhan, sehingga mereka sering berangkat kerja bersama-sama. Meskipun mereka keluarga Kristiani tetapi mereka sangat menghormati agamaku. Aku teringat pernah suatu kali aku sedang terlalu asyik menata ulang taman kecil di teras samping padahal gema adzan asar telah terlewat hampir 1 jam. Bu Bonar baru keluar dari kamarnya, sambil berjalan mendekatiku beliau berkata,

“Bi, berhenti dulu, dahulukan dulu sholatmu, kerjaan itu kan bisa dilanjutkan nanti atau besok. Kita harus mengutamakan pengabdian kita pada Tuhan Sang Pencipta,” begitu nasihat bu Bonar. 

Saat itu aku merasa malu pada diriku sendiri. Namun entah mengapa sejak saat itu pula aku merasa aku menemukan seseorang yang bisa aku jadikan tempat untuk sharing masalah masalah kehidupan apapun yang kuhadapi.
Selesai sudah aku menyapu dan membereskan kamar kamar, tinggal mengepel lantai. Aku membuat teh dan meyeruput teh panas itu sedikit, lalu ke gudang mengambil peralatan pel. Saat menuang karbol ke ember, tiba-tiba kepalaku terasa berat berdenyut. 

“Akh, migrainku kambuhkah?” 

Lalu aku minum 2 butir obat migrain dan melanjutkan pekerjaanku. 
Setelah sholat dhuhur, aku menikmati aliran teh panas yang masuk ke perutku sambil membuka kulkas.

“Masak apa hari ini ya? Tadi lupa gak nanya.”

“Eeeh….hari ini gak perlu masak ding, ibu tadi kan udah pesen.”

Lalu kukeluarkan dus ayam yang tadi ibu berikan, kubuka tutupnya. 
Woooww…..satu dus berisi 1 ekor bebek panggang. Aku dan Andin nanti makan siang dengan ini saja, tinggal bikin sambal terasinya. Aku memotong 1 bagian kaki atas dan bawah, mengambil cabai dan memasukkan kembali dus tadi. Tiba-tiba suara bel pintu terdengar.

“Ting tong……..” Aku melihat jam dinding, pukul 12.25. 

“Itu Andin datang.” Aku bergegas ke garasi, terdengar teriakan Andin.

“Ibuuuu…….ini aku, Andin.”

“Yaaa….sebentar nduk,” sahutku sambil membuka pintu garasi.

Setelah menutup dan menggembok kembali pintu pagar, kami masuk ke dalam sambil Andin berceloteh menceritakan kegiatannya di sekolah.

“Buu….aku lapar,” kata Andin setengah merajuk.

“Ya…ibu tahu. Tapiii cuci tanganmu dulu, lalu sholat nanti kita makan sama sama. Ibu mau bikin sambal dulu.”

“Asyiiiikkk……bu bikin sambal matang pake terasi dan tomat yaaa,” seru Andin sambil meloncat loncat riang menuju kamar mandi.
Aku tak menjawab, hanya tersenyum kecil sambil menyiangi cabe dan tomat. Huuuffff……aroma terasi menyebar saat kugoreng. Saat aku bersiap akan mengulek sambal, tiba-tiba bel pintu berbunyi lagi.

“Ting tong………” Aku bergegas ke garasi, lalu mengintai dari lubang kecil untuk mengetahui siapa yang datang. 

“Lhooo…..Asih? Koq sudah pulang?” Aku bergegas membukakan pintu.

“Bu…aku pulang cepat. Mata pelajaran terakhir gak ada, gurunya gak masuk, sakit katanya,”
kata Asih sebelum aku bertanya, seolah bisa membaca pikiranku.

“Ooohhh…..ya sudah kamu cuci tangan trus sholat saja dulu, nanti kita makan sama sama. Ibu baru mau ngulek sambal, kamu dateng.”

Asih masuk kedalam, aku membuat sambal, lalu kukeluarkan dua potong ayam dari micro wave, kuletakkan di piring Asih dan Andin.  Biarlah untuk anak-anak saja, aku cukup dengan sambal dan lalapannya. 

“Asih … Andin … yuk makan. Nanti selesai makan kalian langsung pulang saja dan bawa dus itu,” ujarku sambil menunjuk 2 dus ayam yang sudah kupanaskan juga tadi dengan micro wave. 

Selesai makan aku mengantar anak-anakku keluar sambil berpesan pada Asih untuk tidak lupa memasukkan 1 dus ayam yang masih utuh ke kulkas, sedangkan yang 1 dus lagi untuk mereka makan malam.
Selesai mencuci piring dan peralatan lainnya yang kotor, kulanjutkan menyeterika. Biasanya bila pekerjaanku sudah selesai aku bisa pulang sebelum azar, tapi hari ini aku harus menunggu mereka pulang. 

Kurebahkan tubuhku di ranjang kamar pembantu, terbayang rendaman pakaian kotor di rumah. Kupejamkan mata dan memutuskan tidur satu jam agar nanti malam aku mempunyai tenaga untuk mencuci. Aku terbangun saat adzan magrib bergema, terkejut dan tergesa-gesa aku menyalakan lampu-lampu. Kubuat teh panas lalu mandi. Kesegaran dan hangatnya teh yang kusruput saat duduk termangu sendirian di dapur membuat pikiranku mengembara tanpa arah. Tiba tiba dering telpon di saku apronku membuatku melonjak terkejut, ternyata panggilan dari bu Bonar.

“Ya bu….halo….”

“Bi…..kami sudah di depan. Tolong bukakan pintu.”

“Oh baik bu….” Setengah berlari aku keluar membukakan pintu.

Setelah di dalam, sebelum aku bertanya, bu Bonar sudah menjelaskan.

“Acaranya ditunda tapi kami sudah makan tadi. Jadi bibi bisa pulang sekarang. Jangan lupa kunci semua pintu ya.”

Mereka mempercayaiku untuk membawa kunci duplikat pintu garasi dan pintu gerbang.

“Oh, baiklah bu, saya pamit pulang.” 

Segera kubalikkan badan, mengambil tas dan agak tergesa keluar, khawatir kalau ibu memberikan tugas mendadak. Jujur, tadi saat tahu mereka pulang awal, aku merasa lega karena nanti aku bisa mencuci tidak terlalu malam.

Sampai di dekat rumah…..aaakh ….. lampu jalan dan teras belum dinyalakan. Ribuan kali bahkan mungkin ribuan juta kali kuminta Yus atau Yana menyalakan lampu-lampu luar, namun sebanyak itu pula diabailkan dan pada akhirnya aku sendiri yang melakukannya.

“Assalamu’alaikum…..,” kuberi salam bersamaan dengan membuka pintu dan melangkah masuk. 

Tak ada jawaban, padahal Yana duduk di sofa ruang tamu, Yus tak terlihat, mungkin di kamar. Yus dan Yana berbagi kamar, namun Yana lebih suka tidur di sofa diruang tamu. Sedangkan Asih dan Andin satu kamar, tapi sering sekali malam malam Andin membawa bantal dan bonekanya ke kamarku. Kamarku dan kamar Asih bersebrangan terpisah oleh ruang makan. Kamar kamar kami tak berpintu, hanya ditutup dengan gorden usang.

Setelah mengganti bajuku dengan daster, aku menghampiri kamar Asih, menyibak gordennya. Asih sedang menulis, mungkin sedang mengerjakan tugas PR nya, sedangkan Andin asyik dengan bonekanya.

“Andin sudah bikin PR?"

Tak dijawab.

“Andin sudah bikin PR belum?" Aku bertanya untuk kedua kalinya.

“Oh ibu sudah pulang….” jawabnya tanpa menoleh. 

Lain yang ditanya, lain pula jawabannya. Kebiasaan Andin. “Heeeehhh….terserahlah…..” 

Aku menghela nafas sambil kutinggalkan kamar mereka menuju kebelakang. Anak-anak pasti sudah makan, kubuka kulkas, dus putih masih utuh di dalam kulkas, kukeluarkan dua duanya. Kubuka tutupnya sambil berjalan menuju meja makan. Ya Allah…… dus pertama yang kubuka berisi tulang tulang sisa makan berserakan diatas daun slada dan potongan timun. Lalu kubuka dus kedua, ternyata tidak ada bedanya, hanya yang ini tinggal dadanya saja yang masih utuh. Kuambil daun-daun slada dan timunnya, kusisihkan di mangkuk bersih, begitu juga dengan daging dadanya ku suir-suir. Besok pagi akan kucampurkan dengan nasi goreng untuk sarapan mereka.

Aku hendak minum obat migran dulu sebelum mulai mencuci, namun obatku sudah habis dan aku lupa mampir ke warung saat pulang tadi. Semoga baik baik saja. Hampir 2 jam aku bergelut dengan cucianku dan kini tinggal kurang dari separuh lagi yang belum digantung. Tiba tiba kepalaku bagian samping dan belakang berdenyut nyeri sekali. Kupegangi kepaku dengan kencang sambil jongkok dan menunduk.

“Ya Allah……..ya Gusti……. jangan sakit…..jangan sakit, biar kuselesaikan dulu pekerjaanku.”

Setelah nyerinya agak mereda, cepat cepat kuselesaikan pekerjanku. Dengan terhuyung huyung aku menuju lemari makan, membuka lacinya dan mencari apapun yang berbentuk obat, aku sudah tak perduli obat untuk apa, yang penting berbentuk obat dan kuminum. Lalu segera masuk kamar dan berusaha untuk tidur setelah mengikat kepalaku dengan handuk kecil.

Entah berapa lama aku menahan sakit dan tertidur, serasa baru sebentar saat aku terbangun ingin ke kamar mandi, aku menghela nafas dan bersyukur sakitnya sudah menghilang. Aku melihat jam di hpku, pukul 03:11, perlahan aku bangun dari tempat tidurku, Setelah sholat tahajud, aku ke dapur membuat nasi goreng dan mempersiapkan sarapan anak-anakku. Begitulah rutinitasku sehari-hari.

Enam bulan waktu terlewati tak terasa, dua minggu lagi si sulung Yus akan ujian akhir SMA.
Seperti biasa sepulang kerja aku memeriksa apakah anak anakku sudah di rumah semua.
Yana ada, aku melongok kekamar depan, Yus tidak ada di kamarnya.

“Yana…..masmu di mana? Belum pulang?”

“Gak tau….” Jawabnya tanpa menoleh.

Aku kedalam dan masuk kamarku, sepintas kulihat kamar Andin dibuka gordennya dan Andin sedang di meja belajar. Sambil mengganti baju kerjakku dengan daster, aku bertanya pada Asih.

“Asih…kamu tau masmu Yus kemana…?”
 
Karena tak dijawab, aku mendekatinya dan bertanya lagi sambil melepaskan headset dari telinganya.

“Asiiiih…..kamu tau gak mas Yus kemana?”

“Aduuuhhh ibuuuu…..aku lagi hafalin lagu kesayanganku niiiih," sambil menarik headsetnya untuk dipasang ke telinganya, namun kutahan.

“Masmuuu……masmu Yuuussss….. kemanaaa? Setengah gemas aku bertanya.

“Lhaaaahhh gak tauuuuk. Emang dia pernah bilang kalau mau pergi.”  
Asih menjawab dengan nada agak keras.

Kutinggalkan Asih dengan perasaan agak kecewa, mengambil obat migrainku yang tadi kubeli di warung bu Broto tak jauh dari rumah kami. Setelah meminumnya, aku ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Kupanaskan sisa masakan menu tadi pagi dan sore dari tempat kerjaku, ada sayur sop, telur balado 2 butir, ikan pindang 2 ekor dan orek tempe cabai hijau. Telur dan ikan pindang masing masing kupotong jadi 2. Bu Bonar tak pernah mau makan menu yang sama untuk pagi, siang ataupun sore, selalu berbeda. Sehingga beliau selalu menyuruhku membawanya pulang apabila tersisa.
Kupanggil anak-anakku untuk makan malam, kubiarkan mereka makan lebih dulu. Aku mencuci pakaian kemudian mandi.

“Uuufffhhhh…..” terasa segar sekali. 

Sebelum makan kusisihkan dulu lauk untuk Yus. Meskipun aku hanya makan dengan sisa kuah sop dan cabai dari orek tempe yang disisihkan karena anak-anakku tidak suka cabai hijau, sudah cukup untukku. Aku bersyukur karena bisa bekerja pada orang seperti bu Bonar sehingga bisa mencukupi kebutuhan gizi anak-anakku.
Ruang makan sudah bersih. Dapur juga sudah rapih dan bersih. Cucian sudah selesai kujemur. Kulirik jam dinding di ruang makan. Sudah lebih dari jam setengah sebelas malam.

Yus belum juga pulang. Sebandel bandelnya Yus, dia tidak pernah pulang lebih dari jam sepuluh malam. Pelipisku mulai berdenyut dan terasa agak nyeri, kuminum lagi obatku, dan duduk termangu diruang makan menahan kantuk. Mendekati tengah malam terdengar derit suara pintu pagar. Bergegas aku keruang tamu, menyibak gorden sedikit, mengintai siapa yang datang, Akh Yus pulang, kubukakan pintu dan berkata,
 
“Darimana kamu Yus, jam segini baru pulang?”

Dia tak menjawab dan langsung masuk ke kamarnya. Sambil berjalan ke kamarku dengan rasa kesal dan kecewa aku menggerutu lirih ….

"Kan ada hp, apa tak bisa sms memberi kabar. Apa dia pikir ini hotel atau losmen yang bisa seenaknya keluar dan masuk ?!”
Kurebahkan tubuhku yang letih, kutarik selembar kain untuk selimut, …..akh sudahlah.

Aku harus segera mengistirahatkan otot_ototku, syarafku, pikiranku dan emosiku juga jiwaku.
Hari ini Yus mulai ujian. Dalam do’aku tadi saat tahajud, kumintakan pada Sang Khalik agar anakku diberikan ketenangan dalam berpikir dan dimudahkan dalam meyelesaikan soal soal ujiannya.

“Berangkat bu…” 

Yana berpamitan tanpa menoleh ataupun mendekat, langsung pergi. Begitupun Asih dan Andin. Yus yang sudah terlebih dulu keluar, kembali masuk, mendekatiku, meraih tanganku lalu menciumnya. Aku tercekat…tumben….

“Bu, Yus pamit berangkat yaa…” dan langsung membalikkan badan, pergi tanpa menunggu jawabanmu.

“Iiiyyaaa…..hati hati nak,” aku tergagap setengah berteriak.

Setelah memeriksa jendela, pintu dan lampu2, akupun segera berangkat. Sambil berjalan aku teringat tingkah aneh Yus tadi dan kata-kataku padanya. Mengapa kukatakan untuk hati-hati. Timbul rasa gelisah dalam hatiku. 

“Akh…semoga tak terjadi apa apa. Semoga semua baik baik saja. Mungkin dia memang betul betul tulus minta restu dariku,” batinku mencoba menenangkan hati dan pikiranku. 

Seperti biasanya sesampai di rumah bu Bonar, aku langsung mengerjakan rutinitasku. Sesekali pikiranku masih melayang pada Yus.
“Tumben tidak masuk kedalam, saya kira belum datang,” tiba tiba suara bu Bonar di belakangku.

“Oh iya bu….maaf sampai lupa…” jawabku tergagap. Lalu kuceritakan kejadian tadi pagi di rumah yang agak mengganggu pikiranku sambil tetap melakukan pekerjaanku.

“Sudahlah bi…..tenang saja, tidak usah khawatir, nanti anaknya ikut ikutan gelisah malah konsentrasinya buyar.” 

Bu Bonar tersenyum menghibur sambil berjalan kedalam,  kemudian berangkat ke kantor bersama suaminya. Aku melanjutkan pekerjaanku, dan serasa waktu berjalan sangat amat perlahan. Tepat jam 12.00 bersamaan dengan dentang jam dinding, kukirimkan pesan ke Yus, menanyakan kabarnya. Sebentar sebentar kulihat hpku, namun tetap tidak ada jawaban. Kutanyakan pada anak-anakku yang lain, juga tidak mendapat jawaban. Kegelisahanku semakin menjadi, aku ingin segera pulang dan menelpon bu Bonar untuk minta ijin pada majikanku itu. Namun rasanya tidak sopan dan tidak pantas. 
Selepas jam 5 sore, majikanku pulang. Begitu bu Bonar keluar dari mobil, aku langsung memberondongnya dengan kata-kata,

“Bu….saya minta maaf, saya tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Saya harus segera pulang, karena sejak dari tadi siang tidak ada kabar dari anak-anak. Sekali lagi maaf ya buu…”  

Kubalikkan badan dan melangkah pergi.

“Lhoooo biiii…..bibiii….” terdengar bu Bonar memanggil tepat sebelum tanganku menggapai pintu gerbang. 

“Tasmu manaaa….?

“Oh iyaa……maaf bu.” 

Segera aku kembali masuk kedalam mengambil tasku. Di luar, kedua majikanku sudah berdiri di dekat pintu gerbang. Bu Bonar meraih tanganku, menggenggam jemariku dan menepuk-nepuknya sambil berkata,

“Atur nafasmu dulu, tenangkan dirimu. Jangan berpikiran yang tidak tidak yaaa…”
“Kalau ada apa-apa cepat kabari kami,” pak Bonar menimpali.

“Baik pak, bu……saya pamit dulu.” 

Bergegas aku pergi dan setelah berbelok di pertigaan ujung jalan aku mempercepat langkahku setengah berlari. Sedangkan benakku seakan sudah lebih dulu sampai di rumah. Sesampai dekat rumah, aku tercekat. Teras yang biasanya masih gelap saat aku pulang lampunya sudah menyala. Aku mendorong pintu pagar dengan keras dan berlari masuk…

 

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
AnakIbu
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan