To Call It A Day | Chapter 5

2
0
Deskripsi

“I saw myself at her.”

Akhirnya aku tau kenapa dia bersikap angkuh, karena dia sedang rapuh.

[]

Chapter 5

Setelah aku mengetahui nomor ponsel Arabella di Gridhouse pagi itu, sampai hari ini, meski satu bulan sudah berlalu, aku masih belum menghubunginya. Sama sekali.

Jangan tanya kenapa. Aku rasa, aku hanya... tidak punya alasan kenapa aku harus menghubunginya. Dan aku juga tidak tau apa yang harus aku katakan padanya. Lupakan saja saat aku mengatakan padanya kalau aku juga tidak ingin sendirian. Kenyataannya setelah beberapa kali kami tidak sengaja bertemu Arabella tidak se-menyenangkan itu. Dia hanya membuatku sedikit penasaran.

Saat ini sudah pukul sepuluh malam. Aku sedang dalam perjalanan pulang dengan kondisi kepala yang agak pening, mungkin karena saat ini aku mengambil lebih banyak klien yang memiliki kasus sulit sehingga perlu tenaga dan pikiran ekstra untuk menanganinya. Meskipun begitu tak masalah, aku perlu sesuatu yang bisa membuatku sibuk agar tidak melulu memikirkan Qiara, dan aku akan mulai berusaha untuk tidak terus menyebut namanya.

Ngomong-ngomong, beberapa hari lagi natal. Orang-orang pasti sedang sibuk menyiapkan berbagai hal dengan orang terkasih. Entah pergi berlibur ataupun hanya sekadar membuat pesta kecil di rumah ditemani oleh pohon natal yang sebelumnya sudah dihias bersama-sama lalu saling bertukar hadiah. Pasti menyenangkan. Tapi aku tidak tau akan menghabiskan natal tahun ini bersama siapa.

Aku masih mengemudi dengan hati-hati karena jalanan licin oleh salju. Rasanya sepi sekali karena aku terlalu malas untuk sekedar menyalakan musik. Saat mobil memasuki area tempat tinggalku, aku menyapu pandangan pada suasana di luar sana. Tidak ada yang istimewa, jalanan yang tidak terlalu luas ini sepi, salju masih turun dari langit yang hitam pekat, hanya cahaya dari lampu jalan dan dari gedung-gedung kecil yang membuat keadaan tidak terlalu menyeramkan. Lalu ketika sampai di persimpangan jalan, aku melihat seseorang berjalan kaki sendirian. Dari kejauhan aku merasa seperti mengenalnya, dan saat melewatinya aku menolehkan kepala untuk melihatnya lebih jelas.

Benar, dia lagi.

Arabella berjalan sendirian, mantel hijau army dan rambut sebahu yang tergerai sudah banyak dijejaki oleh butiran salju. Mataku terus mengikutinya meski mobil sudah berada jauh di depannya. Benar, bukan? Dia selalu di luar dugaan tiap kali aku melihatnya. Dalam hati aku mengumpat dengan apa yang sedang dia lakukan. Berjalan sendirian pukul sepuluh malam di tengah hujan salju? Aku rasa Arabella memang sedikit tidak waras.

Akhirnya aku sampai di depan gedung apartemen, namun aku tetap berada di balik kemudi untuk berpikir. Setelah beberapa menit berlalu aku memutuskan untuk memutar kemudi kembali ke arah tadi. Aku tiba-tiba memikirkan Arabella. Apa dia tidak bisa menyetir? Atau agensinya tidak memberinya fasilitas mobil dan supir? Lokasi jalan saat aku melihatnya tadi masih lumayan jauh dari Brackley St di mana rumahnya berada, dan dia pasti kedinginan.

Gadis itu aku temukan masih berjalan sendirian, dengan satu tangan mengayun-ayunkan tas sambil menengadah menatap langit, seolah sengaja membiarkan salju-salju dingin itu mengenai wajahnya yang putih. Aku menghentikan mobil tepat di sampingnya, dia menatap ke arah pintu pengemudi dengan tatapan datar.

Aku pun menurunkan kaca jendela dan berseru. “Masuklah!”

Arabella masih menatap datar, lalu dia memalingkan wajah dan kembali melangkah. Tentu saja aku berdecak kesal karena sikapnya itu sambil menekan klakson agar dia berhenti, tapi dia sama sekali tidak menghiraukan. Mau tidak mau akhirnya aku keluar dari mobil, mengejar langkahnya yang belum terlalu jauh.

“Aku antar kamu pulang.” Kataku setelah menarik tangannya dan membuatnya berhenti melangkah.

“Tidak perlu.”

“Aku memaksa.”

Aku menarik tangannya yang masih berada dalam genggaman menuju mobil dan aku yakin dia mengikutiku bukan karena ingin tapi karena tidak bisa melepaskan diri.

“Jeremy!” Dia menyentak.

Setelah membuka pintu penumpang aku menoleh ke arahnya dan tertegun. Sepasang mata itu kemerahan dan sedikit sembab. Seperti habis menangis.

“Masuklah, aku antar kamu pulang. Kamu bisa kedinginan kalau berjalan kaki.”

Arabella berhasil melepas genggaman tanganku. “Aku bilang tidak perlu.” Katanya.

“Arabella!” Tanpa sadar aku menaikkan nada suara, membuatnya sedikit terkejut, lalu aku berdeham pelan. “Apa sesulit itu untukmu menerima bantuan seseorang?”

“Apa aku mengatakan padamu kalau aku butuh bantuan?”

Sepasang mata itu menatapku tajam, dan aku tau ada begitu banyak emosi di dalamnya. Marah, kesal, dan... sedih?

“Kalau begitu sekarang aku tawarkan bantuan itu padamu. Aku antar kamu pulang, okay?” Aku mencoba dengan cara yang lebih halus.

“Tidak. Tujuanku bukan rumah.”

“Lalu?” Aku mengernyit bingung, sedangkan Arabella memalingkan wajahnya lagi, menolak menjawab. Akhirnya aku mendesah keras. “Baiklah, kemana pun kamu mau pergi, biarkan aku mengantarmu. Ini sudah malam dan aku tidak bisa membiarkan seorang gadis berjalan sendirian.”

Arabella kembali menatapku dan aku pun masih menatapnya. Lalu dengan isyarat mata aku memintanya masuk ke dalam mobil yang pintunya masih terbuka. Gadis itu mendelik sebelum —pada akhirnya— masuk ke dalam mobil meski dengan kaki yang menghentak-hentak.

“Jadi, kalau tujuanmu bukan rumah, kemana?” Aku bertanya setelah duduk di balik kemudi.

“Terserah.”

Aku memejamkan mata dan menghela nafas keras, sungguh, sepertinya menghadapi Arabella memang memerlukan kesabaran yang tak terbatas. Tanpa bertanya lagi aku mulai melajukan mobil justru keluar dari area di mana apartemen kami berada. Arabella duduk tenang di sampingku, hanya terus memandang keluar jendela tanpa berkata apa-apa. Untuk sementara waktu hanya keheningan yang mendominasi dan aku terus mengemudi berkeliling Barbican tanpa tujuan yang jelas.

Sekarang sudah nyaris pukul sebelas malam saat aku mendekati St. Luke's Garden, dan percaya atau tidak, aku dan Arabella sama sekali belum bicara apa-apa. Gadis itu tetap menutup mulut rapat-rapat seolah tidak peduli kalau aku menculiknya ke Mars sekalipun. Bahkan kukira dia tertidur, tapi saat aku menoleh kearahnya, meski hanya sekilas dan dalam keremangan cahaya, aku bisa melihat sudut matanya berair.

Aku terkejut, tentu saja. Maksudku, apa dia menangis? Ah, aku malas sekali kalau harus berurusan dengan gadis yang menangis. Lalu dalam hati aku mengumpat pada diriku sendiri karena memiliki rasa empati yang terlalu besar.

Berniat mencari tempat yang nyaman karena lelah mengemudi aku pun memutuskan untuk parkir di dekat taman walaupun tempat itu sudah agak sepi. Tapi aku tau ada taman kecil yang mengarah ke danau dekat mini market di area tersebut. Setelah memarkirkan mobil di sana, aku diam, hanya memandang kearah danau buatan yang disinari beberapa lampu.

“Aku beli minuman sebentar.” Kataku seraya keluar dari mobil.

Tanpa diduga Arabella mengikuti, meski tetap tidak mengeluarkan suara dia mengikutiku ke mini market dan aku membiarkannya saja. Aku langsung mengambil beberapa kaleng kopi dan langsung menuju kasir. Sedangkan Arabella menaruh tiga kaleng bir di samping kopi-kopiku tadi di meja kasir. Aku mengernyit, merasa sangsi apa dia akan menghabiskan tiga kaleng bir sekaligus. Dan yang membuatku semakin mengernyit adalah saat dia mengulurkan kartu miliknya pada petugas kasir.

“Tunggu, ini saja.” Aku mengulurkan kartu milikku juga.

Si kasir terlihat bingung, melihat aku dan Arabella bergantian, kartu milik gadis itu juga masih ada di tangannya.

“Lanjutkan saja, pakai itu.”

Mungkin karena nada rendah Arabella dan raut wajahnya yang tidak ramah maka si kasir langsung menurut, mengabaikan tanganku yang masih mengulurkan kartu. Mau tidak mau aku mengalah. Setelah transaksi selesai aku langsung menyambar kantung plastik berisi minuman kami sebelum gadis –yang–sangat–sulit–dimengerti– itu mendahului, lagi. Dan berjalan lebih dulu kembali ke mobil.

Aku bersandar pada kap mobil, membuka kaleng kopi sambil melihat kearah danau, Arabella melakukan hal yang sama pada bir miliknya di sampingku. Dia meneguk bir sambil memejamkan mata, tangis kecilnya tadi sudah berhenti, hanya menyisakan bekas sembab yang kentara.

“Kamu baik-baik saja?”

Arabella tidak langsung menjawab, dia melihat danau dengan tatapan kosong. Sedikit-banyak aku paham kalau pertanyaan ku barusan bisa jadi terasa sangat sulit dijawab meski terdengar sederhana.

“Tidak,” lirihnya.

Aku juga tau, jawaban satu kata itu pasti mengandung banyak makna. Tapi lebih baik, karena dia mengakuinya.

“Kalau mau mengatakan sesuatu, katakan saja.”

Arabella meneguk birnya lagi. Mungkin dia tidak akan mengatakan apapun dan aku juga tidak akan memaksa. Untuk beberapa waktu kami hanya mendengarkan suara angin. Dan karena area taman yang sepi, tidak ada apapun yang bisa mengganggu keheningan kami.

“Baru-baru ini aku putus.” Ucap Arabella tiba-tiba.

Aku sempat terhenyak, namun kembali menguasai diri dan meneguk kopi dengan santai seolah apa yang aku dengar darinya bukanlah apa-apa. Lagi pula, putus cinta itu, memang hal biasa 'kan?

Arabella membuka kaleng bir kedua lalu melanjutkan, “karena dia bermain dengan gadis lain.”

“Dia selingkuh? Bagaimana kamu tau?”

Arabella mengangguk lalu meneguk bir lagi. “Aku melihatnya langsung dan mereka sudah mengakuinya. Terdengar bukan masalah besar, bukan?”

Aku menoleh sekilas namun tidak menjawab pertanyaannya karena tidak ingin salah bicara. Jadi aku hanya membiarkannya saja untuk melanjutkan apa yang ingin dia katakan.

“Hal biasa seseorang selingkuh dalam suatu hubungan kemudian putus. Meskipun aku sudah menghabiskan lima tahun bersamanya, dan semua ini sangat tidak mudah untukku.” Arabella melihatku sekilas lalu mengibaskan tangan sebelum melanjutkan, “mungkin kamu tidak pernah merasa patah hati, jadi wajar kalau kamu tidak mengerti.”

“Menurutmu begitu?” tanyaku datar. Arabella hanya mengangkat bahu tak acuh. “Aku memang tidak pernah berada dalam posisi itu, tapi tentu aku pernah patah hati. Jadi kalau kamu katakan rasanya sakit, percayalah, aku paham maksudmu.”

Setelah mengatakan itu aku menatapnya lagi, begitu pun dia yang juga sedang menatapku, membiarkan mata kami bertemu lebih lama, seolah sedang menyelami pikiran masing-masing. Akhirnya aku mengerti akan satu hal. Tentang kenapa aku merasa begitu penasaran pada sosok gadis di hadapanku ini.

Dia, Arabella Flavia Stina, sama sepertiku.

Pada dirinya, aku seolah melihat diriku sendiri.

Kacau.

Sakit hati.

Kesepian.

Aku dan dia, sedang mencoba untuk tetap hidup meskipun penuh luka.

 

 

[to be continued]

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya To Call It A Day | Chapter 3-4
2
0
“Her face is like a wet weekend everytime I met her.”Aku ingin bertanya, kenapa raut wajahnya selalu seperti itu? Hal apa yang membuatnya sesedih itu? Namun nyatanya aku hanya memandangnya dalam diam.   []
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan