
Ini tentang Keira. Perempuan biasa yang dikhianati cintanya dan mencoba melawan stigma masyarakat tentang perempuan yang telah berpisah dengan suaminya.
Meskipun harus menjanda dan mengurus bayi yang tak diinginkan dari adiknya, Keira berusaha hidup mandiri. Namun bagaimana jika bayang-bayang Gibran dan segala pengkhianatannya masih merundungi batinnya?
Apakah hatinya akan luluh pada sosok baru bernama Agara? Ataukah selamanya Keira akan bersikeras pada pendiriannya untuk hidup mandiri bersama putri kecilnya?
Seluruh bagian wajah Keira terasa sedikit memanas, kedua matanya terlihat menatap lurus ke depan, terlihat ada sedikit kantung mata dan berair. Rasanya sudah lelah menangis, jika waktu bisa diulang kembali, sudah pasti Keira tak akan ada di ruang persidangan ini sekarang.
“Dengan ini kami menyatakan bahwa gugatan perceraian oleh saudari Keira Aninditha kepada saudara Gibran Mahendra, telah dikabulkan.”
Jika waktu bisa diulang kembali, sudah pasti Keira tak akan pernah menerima lamaran dari laki-laki yang sudah ia kenal dekat selama lima tahun lalu ini. Sebesar apapun rasa cintanya, jika tahu kalau Gibran memiliki hati yang busuk, Keira masih bisa berpikiran waras dengan menghindarinya. Namun segalanya sudah terlanjur terjadi.
“Kamu itu baru satu bulan lho menikah dengan Gibran. Masa iya sudah berani menuntut cerai?”
“Anak saya tuh sudah baik sama kamu Keira. Dia bawa kamu dari kampung untuk hidup enak di kota. Apa salahnya sih kalau kamu dimadu saja? Toh semuanya sudah terjadi. Yang malu itu bukan kita doang lho nanti, tapi kamu juga.”
“Kamu yakin bisa hidup sebagai janda sendirian di kota ini? Apa kata orang? Untuk perempuan kaya kamu susah hidup sendiri kalau nggak dinafkahi suami. Sudahlah, maafkan suami mu yang khilaf. Sekarang kita fokus untuk mengurus agar kejadian ini gak diketahui orang luar.”
Bukannya Keira tak terpengaruh sama sekali dengan kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh pihak keluarga Gibran yang seolah memintanya untuk berpikir dengan bijak, padahal malah menjerumuskan. Keira sudah mencoba memaafkan, ia sudah mencoba untuk menerima, namun semakin hari hanya sesak yang semakin mencekiknya.
“Segala tuntutan oleh saudari Keira Anindhita kepada saudara Gibran Mahendra, telah disetujui.”
Tepat setelah hakim mengetuk palu tiga kali, perasaan lega dan plong seketika menjalar ke seluruh tubuh Keira yang sejak tadi seolah kaku. Ia menundukkan kepalanya mengucapkan syukur kepada Tuhan karena proses perceraiannya berjalan begitu lancar.
“Kei,” bisik Gibran lirih. Laki-laki itu beranjak dari kursinya hendak menghampiri Keira seolah masih tak rela hubungannya dengan gadis itu benar-benar berakhir hari ini. Namun kedua orang tuanya segera menahan Gibran. Mereka mengarahkan Gibran untuk langsung keluar dari ruang persidangan dengan pandangan marah kepada Keira.
“Mbak Keira,” panggil Rumi, sang pengacara yang dibayar oleh sahabatnya yang bernama Winda. Rumi menuntun Keira untuk pergi keluar persidangan sambil merangkul perempuan itu dengan hati-hati berusaha menyalurkan kekuatan kepada Keira yang terlihat sudah sangat kacau ini sejak memutuskan untuk melayangkan gugatan cerai pada suami yang baru dinikahinya selam satu bulan itu.
Di luar gedung Pengadilan Agama Kota Jakarta, Keira bisa melihat seorang perempuan muda yang berjalan menuntun Gibran masuk ke dalam mobil. Perempuan yang sudah membuatnya sadar kalau Gibran bukanlah laki-laki sempurna seperti apa yang selama ini ia katakan kepada almarhum neneknya. Tak sebaik apa yang selama ini Keira bangga-banggakan di hadapan makam kedua orang tuanya. Sungguh, Keira merasa sangat hancur, bahkan ia tak akan berani mendatangi makam mereka lagi.
“Minum dulu, Mbak,” ucap Rumi menyodorkan satu botol air mineral kepada Keira ketika mereka berdua sudah masuk ke dalam mobil milik Rumi untuk ke alamat rumah Winda. Dan selama perjalanan, Keira berpikir apa yang akan ia lakukan setelah ini? Apakah ia akan tetap bisa melanjutkan hidupnya? Dunianya sudah benar-benar mati ketika menyadari ia tak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini yang dapat menjadi sandaran, yang dapat membelanya dalam kasus ini.
Keira yakin, jika kedua orang tuanya masih hidup, jika neneknya bisa hidup sedikit lebih lama lagi, pasti mereka yang akan maju paling depan ketika dirinya disakiti sedemikian rupa seperti ini. Sementara itu Keira akan tetap larut dalam kesedihannya, tak berhenti menyalahkan diri atas kebodohannya yang keliru mengenal laki-laki, keliru mengambil keputusan, dan menyesali begitu dalam atas kesalahan yang disebabkan oleh orang lain. Keira memiliki satu adik perempuan yang usianya masih pertengahan dua puluhan, namun Keira sengaja tak memberitahu adiknya masalah ini, karena adiknya pun sedang berada di situasi yang sangat hancur saat ini.
Mirisnya, seperti sebuah kutukan, kakak beradik ini berada di titik terendah di waktu yang sama.
***
17 Maret 2018, Kota Jakarta – Satu bulan sebelum perceraian.
Pernikahan Keira dan Gibran baru menginjak satu minggu. Tepat ketika Keira akhirnya menyelesaikan masa menstruasinya, Gibran sudah mengatur jadwal keberangkatan bulan madu mereka ke Yogyakarta. Keira begitu bersemangat, pasalnya selama lima tahun berpacaran dengan Gibran, Keira selau dijanjikan untuk pergi ke banyak kota berdua. Hal itu belum terwujud dulu, karena neneknya melarang, pasalnya mereka belum menikah sehingga sang nenek khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan di luar kota.
Tapi hari itu, akhirnya Gibran tak lagi meninggalkannya saat dirinya ingin pergi jalan-jalan keluar kota. Karena mereka sudah diizinkan pergi kemana pun berdua. Usia Keira saat itu masih dua puluh tiga tahun, begitu pun dengan Gibran yang statusnya masih seorang mahasiswa kedokteran.
Tapia pa mau dikata, sebelum rencana bulan madu itu terlaksana, Keira lebih dulu mendapatkan kiriman video dari Winda. Satu potongan video berdurasi satu menitan yang mampu menghancurkannya.
“Udah, fix, Kei. He’s cheating.”
Tanpa perlu memberikan caption pada video itu pun, Keira sudah mengerti lewat video suaminya yang bergandengan tangan dengan wanita muda di sebuah mall, sudah pasti mereka sedang mengkhianatinya.
“Dari mana kamu dapat video itu, Kei?” tanya Gibran terlihat berusaha tenang setelah Keira menanyakan dengan baik-baik mengenai rekaman video tersebut. Meskipun rasanya Keira ingin marah, ia ingin sekali membentak Gibran dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun Keira masih berharap Gibran bisa memberikan alasan yang masuk akal.
“Gak penting aku dapet dari mana, Mas. Kamu tinggal jawab aja, dia siapa, dan kenapa kalian jalan berdua sambil rangkulan begini?”
“Dia temen ku. Mahasiswi baru ditempat ku kuliah. Udah itu aja.”
“Itu aja? Mas aku itu bukan anak kecil lho. Aku udah cukup dewasa untuk tahu … kalian ini ngapain. Aku tahu Mas. Yang aku tanyain, siapa perempuan ini? Dan apa hubungan kalian?”
Gibran diam sambil melemparkan pandangannya ke arah lain. Ia mengunci pintu kamarnya, berusaha agar tidak membuat anggota keluarganya yang lain terbangun.
“Udah, gak perlu bahas hal beginian, Kei. Mending kita fokus sama bulan madu kita, oke?”
“Kamu masih kepikiran kita akan bulan madu? Aku gak akan kemana-mana sampai kamu jawab…”
“Oke, dia perempuan yang cukup dekat dengan aku,” jawab Gibran pelan.
“Dia selingkuhan kamu,” ralat Keira menegaskan.
Gibran kembali terdiam. Tak membantah, namun tak membenarkan juga. Tapi bagi Keira, itu adalah sebuah jawaban yang jelas apa artinya.
“Mana handphone kamu,” pinta Keira menahan tangisnya.
“Mau ngapain?”
“Selama ini aku gak pernah periksa handphone kamu karena aku tuh percaya sama kamu, tahu? Lima tahun kita pacaran, Mas! Lima tahun mungkin bagi kamu kurang ya? Apalagi pernikahan kita yang baru satu minggu. Kamu pasti masih berpikir gak apa-apa selingkuh!" Keira masih berusaha merebut ponsel Gibran, tapi laki-laki itu malah mendorong Keira agar menjauh darinya hingga perempuan itu menghantam lemari kayu kamar mereka. Rasa sakit berdenyut langsung menyebar di sekitar punggung Keira yang hanya bisa tertegun menahan tangis.
“Bisa gak sih kamu gak usah bikin kita berantem begini? Kamu nih -”
“Kamu yang bikin kita berantem! Bukan satu orang yang bilang begini ke aku! Selama ini aku diem karena aku percaya sama kamu! Tapi coba sekarang liat handphone kamu, ada video kalian berdua lagi di kamar -'
Sekali lagi Keira hanya bisa terdiam ketika Gibran menamparnya. Jika sudah begini, alhasil Keira hanya bisa diam tak berani melawan lagi jika tak ingin dirinya babak belur.
“Oke, aku minta maaf, Kei. Aku bener-bener khilaf. Please, aku gak mau kehilangan kamu. Kita gak perlu bicarain ini lagi, ya? Aku minta maaf, sayang…”
Jika dulu, pelukan Gibran selalu berhasil menenangkan Keira. Entah kenapa kali ini pelukan itu terasa hambar. Keira tak bisa merasakan kehangatan pelukan Gibran lagi. Bahkan, Keira memutuskan untuk tidur di sofa sejak saat itu, karena ia masih merasa risih. Setiap melihat Gibran atau berada di sisinya, Keira selalu terpikirkan apa saja yang dilakukan oleh Gibran dan perempuan itu selama ini? Apakah Gibran sudah benar-benar melupakan perempuan itu?
“Saya pikir orang desa itu ramah-ramah, baik anaknya. Ternyata kamu nggak ya, Keira. Semarah itu kamu sama suami kamu? Padahal semua yang kamu tuduhkan itu belum tentu benar,” ucap Tika, mertua Keira. Karena mereka masih tinggal menumpang di rumah orang tua Gibran, maka pertengkaran rumah tangga itupun jelas terlihat bagi orang tuanya. Namun, Keira memilih untuk diam. Meskipun ia bisa saja menimpali mertuanya itu kalau Gibran memang sudah mengakui selingkuh.
“Katanya, perempuan yang gak melaksanakan kewajiban sebagai istri, itu dosanya besar lho, Keira.”
Lagi-lagi Keira hanya diam. Ia tahu, apapun jawabannya akan terdengar salah. Setidaknya, Keira melakukan segala kewajibannya sebagai istri dan menantu yag baik selama di rumah ini. Bahkan, tugasnya bisa sama atau lebih dari seorang asisten rumah tangga.
Sampai suatu hari, Winda yang memang seorang manager sebuah perusahaan Wedding Organizer, kembali bertemu dengan perempuan muda selingkuhan suami sahabatnya itu. Kebetulan hari itu Winda diharuskan untuk berada di kantor seharian. Sehingga ia mengetahui sebuah kejadian yang mengejutkannya. Si perempuan muda selingkuhan Gibran tadi hampir lompat dari lantai dua gedung ini. Sebagai penanggung jawab perusahaan, alhasil Winda pun ikut membawa perempuan itu ke rumah sakit karena pingsan setelah berhasil dicegah untuk lompat.
Di sisi lain, Winda sebenarnya penasaran dengan perempuan ini. Hingga akhirnya mengetahui identitas perempuan ini yang bernama Arini. Usianya baru menginjak 19 tahun dan merupakan seorang mahasiswa baru di universitas yang sama dengan Gibran. Saat itu juga Winda menelepon Keira untuk bertemu.
Begitu Keira sampai di tempat yang diberitahukan Winda, ternyata saat itu Winda tak sendirian. Ada perempuan yang ia lihat di dalam video, saat ini duduk di sebelah Winda sambil menundukkan kepalanya.
Melihat Keira hanya berdiri mematung di tempatnya, akhirnya Winda pun berdiri menghampiri Keira dan merangkul sahabatnya yang mungkin akan lebih terkejut setelah ini.
“Kei, dia masih muda banget. Dia empat tahun lebih muda dari lo. Gue ketemu dia hari ini di butik Nami’s Wedding Organizer. Awalnya dia kaya lagi lihat-lihat gaun pernikahan gitu, ditanya sama staf ga jawab, jadi dia dibiarin aja. Dan…” Winda berhenti berbisik, ia menoleh ke belakang. Perempuan bernama Arini itu masih diam sambil menundukkan kepala.
“Tiba-tiba dia mau loncat dari lantai dua. Untungnya ada staf yang berhasil megangin dia. Gue bawa dia ke rumah sakit dan dokter bilang, dia hamil, Kei.”
Keira merasa jantungnya mencelos ke kaki, tubuhnya merinding, dadanya begitu sesak, saat itu Keira ingin sekali menangis. Namun dadanya terlalu sesak. Keira lebih dulu menyalakan ponselnya untuk menghubungi Gibran.
“Kamu ke Kotaku Café sekarang ya,” ucap Keira menahan suaranya agar tak tedengar bergetar.
“Aku masih ada –”
“Sebentar aja, penting Mas,” potong Keira singkat lalu mengakhiri sambungan teleponnya.
Keira berbalik dan menghampiri perempuan itu. Amarahnya sudah sampai ke ubun-ubun. Namun begitu dirinya sampai di depan Arini, perempuan itu malah bersimpuh di hadapan Keira sambil menangis tersedu-sedu memegangi tangan Keira hingga beberapa pengunjung café mulai menaruh perhatian mereka kepada Arini dan Keira.
“Maafin saya, Mbak. Saya yang salah, saya tahu Kak Gibran sudah menikah,” lirih Arini menangis terisak.
“Kamu tahu dia sudah menikah, tapi kenapa kamu mau melakukan hal itu sama dia?” tanya Keira pelan. Ia berusaha keras untuk menahan emosinya agar tak menjadi pusat perhatian. Bahkan Keira menarik Arini untuk kembali duduk di kursinya.
“Kenapa?”
“Karena saya mencintai Kak Gibran, Mbak. Dan… waktu itu Kak Gibran bilang akan bertanggung jawab,” jawab Arini menutupi wajahnya yang kembali menangis tersedu-sedu.
“Pertanggung jawaban apa yang kamu harapkan dari laki-laki yang sudah menikah? Pilihannya hanya dua, kamu mau jadi yang kedua, atau kamu mau dia menceraikan istrinya?”
Arini semakin menangis terisak hingga memukul-mukul perutnya. Namun Keira menahan tangan Arini meskipun ia enggan menatapnya.
“Saya takut, Mbak. Saya… takut nanti orang tua saya tahu. Saya takut… dikucilkan. Tapi saya sangat mencintai Kak Gibran,” isak Arini pelan.
Keira tak menyahut apa-apa, pikirannya benar-benar kacau. Ia hanya diam sementara Winda terus mengusap-usap bahu Keira.
Sampai akhirnya peran utama masalah mereka itu pun datang. Mungkin jika Keira tak lebih dulu melihat kedatangannya, Gibran memilih untuk berbalik dan pergi diam-diam saat ini.
Tapi karena semuanya sudah terlanjur, akhirnya Gibran menghampiri mereka, dan Winda terpaksa harus menyingkir dari obrolan mereka.
Gibran menahan napasnya, ia bingung dengan keadaan Keira dan Arini yang berada di satu tempat yang sama dengan kondisi seperti ini.
“Keira …”
“Talak aku sekarang, Mas.”
Dalam satu helaan napas, Keira mengucapkan keputusannya. Kehamilan wanita itu, seolah menjadi jawaban atas doa nya mengenai keputusan apa yang sebaiknya ia ambil.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
