My Annoying Prosecutor: Chapter 4

4
0
Deskripsi

[04. Tak Sesuai Rencana]

TING!

Delia segera meraih ponselnya dan membuka foto-foto yang dikirimkan oleh Yudha. Seketika itu juga tawanya terhenti, mulutnya terbuka sedikit dan kedua matanya melebar saat melihat foto Adrian yang basah kuyup sangat jauh dari perkiraannya.

Wajahnya yang basah, handuk kecil di tangannya, kemejanya yang menempel di tubuhnya yang proposional, bahkan rambut Adrian yang basah malah semakin menambah ketampanan pria itu. 
 

***

 

Selamat membaca ❤

Delia duduk di salah satu kursi kantin kampus setelah Adrian menugaskannya untuk menemui teman-teman korban, sementara Adrian dan Yudha akan membuat surat perintah melakukan tindakan ekshumasi dan otopsi.

Kedua mata Delia masih tertuju pada foto-foto di TKP saat pertama kali jenazah korban ditemukan. Akhirnya dia mengerti kenapa Adrian melakukan tes semacam itu, dengan menyuruhnya naik ke kursi. Rasanya agak konyol, apalagi ketika mereka berdua menaiki kursi tersebut. Namun, itu sebagai bagian pembuktian bahwa kursi di kelas itu tidak akan membengkok jika hanya dinaiki seorang gadis seperti korban. Kursinya akan bengkok jika dinaiki oleh dua orang dengan bobot seperti dirinya.

Artinya, seseorang naik ke atas kursi itu sambil membawa korban yang tidak sadarkan diri, lalu menggantungnya. Delia yakin itu yang membuat Adrian semakin yakin untuk melakukan otopsi.

“Permisi …”

Delia mengangkat kepalanya ketika melihat seorang mahasiswi menghampirinya sambil tersenyum.

“Oh, kamu … Bianca?” tanya Delia membalas senyumnya, dia memerhatikan Bianca yang memiliki penampilan modis, penuh dengan aksesoris di tubuhnya, dan pandai memakai makeup. Delia sampai sedikit iri dengan penampilan gadis ini.

“Iya. Katanya Kakak nyari saya?” tanya Bianca sambil duduk di hadapan Delia dengan santai.

Delia tersenyum sambil mengangguk, dia baru menyadari kalau gadis ini memakai sweater turtle neck yang menutupi lehernya di tengah hari yang terik ini. Namun, dia berusaha untuk mengabaikannya, toh itu bukan urusannya.

“Saya mau tanya beberapa hal tentang kematian teman satu jurusan kamu, namanya Olivia.”

“Olivia …” Bianca terlihat menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Kemudian dia membuang tatapannya ke arah lain dengan raut wajah sedih. Tangannya mencengkeram roknya kuat-kuat.

“Apa yang perlu ditanyakan, saya akan jawab, Kak.”

“Oke. Jadi, mengenai tersebarnya video vulgar korban di grup chat kalian, apa kamu tahu soal itu?” tanya Delia yang menatap Bianca dengan memerhatikan gerak-geriknya.

Bianca mengangguk pelan, kemudian menjawab ragu-ragu.
“Saya udah bilang sama dia, kalau Johan itu bukan cowok baik-baik, Kak. Tapi dia percaya gitu aja sama pacarnya. Jadi … ketika orang-orang menuduh dia sebagai cewek yang suka jual diri, saya tahu kenyataannya bukan begitu, Kak. Dia dijebak sama pacarnya. Video vulgar yang dia kirim buat pacarnya, malah disebarin sama Johan …” Bianca menghentikan kalimatnya sebentar sambil menghembuskan napas pelan dan menyenderkan punggungnya ke kursi sambil melipat tangan.

“... Karena dia gak mendengarkan saya, jadi saya cuma diam waktu dia dihujat begitu. Saya gak mau bela dia, dan diam-diam menjauhi dia juga. Tapi … saya sama sekali gak menyangka dia akan … mengakhiri hidupnya gitu aja,” imbuh Bianca menjatuhkan wajahnya di atas meja dan menangis.

Delia memerhatikan Bianca dengan seksama, tiba-tiba emosionalnya menjadi sensitif lagi.

“Olivia itu orang yang keras kepala, percaya diri, dan ceria. Saya sama sekali gak kepikiran dia akan melakukan hal seekstrem itu, Kak. Ini gak mungkin rasanya.” Bianca dengan sedikit terbata-bata. Dia mendongakkan kepalanya ke atas dan menatap Delia yang memberikannya tissue.

“Katanya kasusnya mau diselidiki ulang, kan, Kak?” tanya Bianca sambil mengusap air matanya.

Delia mengangguk pelan, kedua matanya masih memerhatikan gestur Bianca.

“Penyidik menduga, ini bukan kasus bunuh diri. Kemungkinan pembunuhan. Dari sekian banyak teman dia, cuma kamu yang mau bertemu saya. Jadi, saya harap kamu mau membantu penyidikkan. Apapun yang kamu tahu, tolong kasih tahu saya, ya?”

Bianca menghela napas panjang, kemudian dia menatap Delia dengan putus asa. 
“Belakangan ini saya menjauhi dia karena rumor itu, Kak. Jadi, saya gak tahu apa-apa tentang insiden itu. Tapi, Kakak tanya apa saja, saya akan jawab kalau saya tahu.”

Delia segera membuka buku catatannya dan menoleh lagi kepada Bianca.

“Johan, pacarnya korban. Dia yang kamu bilang cowok gak bener itu, apa ada kemungkinan mereka bertengkar dan Johan melakukan pembunuhan pada Olivia?” tanya Delia.

Delia mengerutkan keningnya, kemudian menggeleng pelan seraya menjawab, “Saya gak tahu mereka bertengkar atau enggak. Yang saya tahu, Johan emang suka berantem dan kasar. Kalau mereka berantem hebat, mungkin karena video yang disebarin itu.”

Mendengar itu, Delia segera mencatat keterangan dari Bianca. Kemudian, dia melanjutkan pertanyaan, “Apa kamu kenal Alya?”

“Dia mahasiswa yang satu jurusan sama kami. Ada apa sama dia?”

“Tersangka bilang, dia yang meminta Johan untuk menjebak Olivia dengan memacarinya dan mengatur rencana untuk membuat korban mengirimkan video vulgar secara sukarela. Kamu tahu, apa hubungan Alya dengan Johan, dan gimana Alya menurut kamu?” tanya Delia lagi.

Bianca terdiam sejenak, kemudian dia menggelengkan kepala pelan. Delia menyadari kalau Bianca terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu, atau mungkin mengingat-ingat sesuatu.

“Saya gak tahu, ada hubungan apa antara Johan dan Alya. Tapi, Olivia pernah menampar Alya dan mereka ribut di kelas. Tapi kejadian itu udah sebulan yang lalu,” jawab Bianca.

Delia mengangguk pelan, kemudian mencatat kembali keterangan dari Bianca. Ponselnya berdering tanda panggilan masuk dari Yudha.

“Apa kamu tahu masalahnya apa di antara mereka?”

“Gak tahu, Kak. Olivia gak pernah cerita ke saya. Mungkin rebutan cowok,” jawab Bianca pelan.

“Ya udah, kalau gitu makasih atas waktu kamu, ya. Saya rasa udah cukup untuk hari ini,” ucap Delia sambil tersenyum. Dia beranjak dari kursi dan mengangkat panggilan telepon dari Yudha.

“Kenapa, Yud?” tanya Delia sambil berjalan ke arah lobi kampus.

“Lo udah selesai belum? Kalau udah selesai, cepet balik ke kantor, deh. Gue harus kumpulin bukti lain, Pak Adrian mau pulang sekarang.”

Delia mengerutkan keningnya ketika dia menyadari nada suara Yudha yang terdengar agak panik, ditambah dengan suara berisik seperti satu atau dua orang sedang marah-marah.

“Ada apa sih? Kok berisik gitu? Pak Adrian kenapa tiba-tiba mau pulang?” tanya Delia heran.

“Ini, keluarga korban ngamuk-ngamuk karena Pak Adrian terus mendesak untuk membongkar makam korban demi penyelidikan. Pak Adrian sampe disiram air sampe basah semua, makanya gue bakal saranin dia pulang aja. Kita harus pergi sebelum mereka manggil warga -”

“Halo? Yudha?” Delia menatap layar ponselnya dan ternyata sambungan teleponnya sudah berakhir. 
 

***

Yudha dan Adrian berakhir dengan meninggalkan kampung itu ketika keadaan semakin kacau. Sekarang, Yudha malah menatap atasannya itu prihatin. Adrian berdiri di samping pintu mobilnya sambil membuka jas hitamnya yang terasa berat karena basah.

“Mereka bener-bener keterlaluan sih begini ke penegak hukum. Coba aja mereka tahu kita lagi berusaha bantu ungkap kasus ini,” komentar Yudha sambil memberikan handuk kecil kepada Adrian untuk mengusap wajahnya dan rambutnya yang juga basah.

“Pengetahuan mereka masih minim tentang otopsi. Kayanya kata otopsi itu masih tabu untuk mereka. Jenazah diobrak-abrik pakai pisau bedah sampai hancur, itu yang mereka tahu tentang otopsi,” ujar Adrian sambil mengusap pipi dan lehernya yang basah. Dia menghembuskan napas panjang sambil menatap dirinya sendiri yang basah kuyup sampai ke bagian dalam.

“Kayanya saya emang harus balik ke apartemen dulu. Delia udah ada di kantor, kan?” tanya Adrian sambil melepaskan dasinya dan membuka satu kancing bagian atasnya.

“Tadi sih udah saya suruh balik ke kantor, Pak. Kayanya sekarang udah sampe. Pak Adrian pulang dulu aja, saya akan mampir ke kantor kepolisian dulu untuk nemuin Briptu Dani dan melihat barang bukti yang ditemukan polisi di TKP saat itu.”

Adrian mengangguk, lalu bergegas membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk, dia mengalasi kursinya dengan plastik yang ada di dashboard mobilnya agar tak ikut basah.

Sambil menyalakan mobil, Adrian melirik ke arah kaca spion mobilnya yang menunjukkan sekumpulan warga yang masih memerhatikan dari kejauhan. Ia tak mungkin menjelaskan pada mereka tentang pentingnya ekshumasi dan otopsi, itu hanya akan membuang waktu. Namun, bagaimana caranya melakukan kedua hal itu tanpa menimbulkan keributan begini?

***

Adrian disiram ibu-ibu. Itu adalah kalimat yang mampu membuat Delia tertawa tebahak-bahak sendirian di ruang kerjanya. Dia tak habis pikir, siapa orang di dunia ini yang berani menyiram jaksa muda itu?

Jarinya begitu cepat mengetik pesan pada Yudha sambil menahan tawanya.

Kirimin fotonya Pak Adrian basah kuyup dong!’

Demi Tuhan Delia akan menyimpan foto atasannya itu untuk menertawakannya terus menerus. Dia benar-benar tak bisa membayangkan bagaimana penampilan Adrian yang basah kuyup seperti kucing.

TING!

Delia segera meraih ponselnya dan membuka foto-foto yang dikirimkan oleh Yudha. Seketika itu juga tawanya terhenti, mulutnya terbuka sedikit dan kedua matanya melebar saat melihat foto Adrian yang basah kuyup sangat jauh dari perkiraannya.

Wajahnya yang basah, handuk kecil di tangannya, kemejanya yang menempel di tubuhnya yang proposional, bahkan rambut Adrian yang basah malah semakin menambah ketampanan pria itu.

Delia menggelengkan kepalanya pelan sambil menaruh kembali ponselnya di atas meja sambil menarik napas dalam-dalam. Dia membuka buku catatannya dan merangkum apa saja yang sudah dia temukan di kampus tadi.

“Kursi yang dinaiki 2 orang, kemungkinan pelaku yang menggendong tubuh korban dan menggantungnya. Semua CCTV lorong kampus mati, gak ada saksi, kemungkinan kejadian malam hari setelah kampus kosong. Orang itu punya akses untuk masuk ke kampus pada malam hari.” Delia bergumam sambil mencatat di komputernya. Kemudian, dia membalik lagi kertasnya.

“Alya Winata, orang yang pernah bertengkar dengan korban. Johan Farasya, pacar sekaligus orang yang menyebarkan video korban. Bianca Amelia, sahabat korban yang menjauhi korban karena rumor itu,” gumam Delia sambil menatap layar komputernya dan berpikir. Menurutnya, jika saja pernyataan Johan mengenai Alya yang menyuruhnya melakukan itu ada buktinya, mungkin kasusnya tak akan serumit ini.

Delia menambah tab baru di layar komputer untuk membuka akun instagramnya. Dia mencoba mengetik nama instagram milik Olivia. Untung saja akun gadis itu tidak di privat sehingga dia bisa menganalisis feed akun itu. Namun, Olivia mematikan kolom komentar pada beberapa postingan terakhirnya, sepertinya karena imbas video vulgar yang menyebar itu.

“Bener-bener orang yang ceria. Temennya juga cukup banyak,” gumam Delia melihat-lihat feed instagram Olivia yang kebanyakan memposting foto kebersamaannya dengan teman-teman dan kekasihnya. Namun, dari sekian banyak foto, Delia menyadari Bianca selalu ada pada foto-foto itu.

“Ternyata mereka berdua sedeket itu,” gumam Delia mulai meng-klik nama akun instagram Bianca yang ditandai oleh Olivia. Delia cukup terkejut melihat jumlah pengikut Bianca yang sangat banyak. Bahkan, wanita itu terlihat masih memposting foto-foto barunya.

“Ah, sial!”

Delia dikagetkan dengan suara Yudha yang baru saja masuk ke ruangan sambil membanting sebuah map di meja. Raut wajahnya terlihat kusut dan berkeringat.

“Kenapa? Ada apaan sih?”

“Kita gagal ngelakuin ekshumasi. Pihak korban malah ngeviralin Pak Adrian di sosial media. Udah gila!” umpat Yudha sambil mengacak rambutnya frustrasi. Perjuangannya kesana-kemari untuk mencari bukti akan sia-sia jika begini. Bahkan, mereka bisa kena teguran dari Kepala Kejaksaan.

“Sampe diviralin? Terus gimana? Kita gak bisa lanjut penyelidikan kalau jenazah gak diotopsi.”

“Ya gak bisa. Mau gimana ngelakuin ekshumasi, kalau pihak keluarga korban aja manggil warga buat ngusir kita.”

Delia menghembuskan napas berat, kemudian dia menatap buku catatannya. Padahal, dia berniat untuk menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya resign.

***

Jam tangan Delia menunjukkan pukul 16:30 WIB, hari ini dia pulang lebih cepat. Tubuhnya masih terasa lemah, sehingga Delia memutuskan untuk langsung pulang daripada pergi jalan-jalan keluar.

Jeremy, laki-laki yang sedang dekat dengannya, tak kunjung membalas pesan Delia. Membuat gadis itu tambah tak bersemangat. Padahal, dulu Jeremy yang menjadi satu-satunya hiburan baginya.

“Tuh, Tante Delia pulang!”

Delia yang sedang membuka sepatu flat-nya seketika terdiam ketika mendengar suara itu. Lantas dia menoleh dan benar saja, di ruang tamu, sedang berkumpul orang tua, kakak perempuannya, dan kakak iparnya bersama anak mereka yang masih berusia 1 tahun.

“Eh, lagi pada main?” tanya Delia sambil melangkahkan kakinya masuk. Dia tersenyum kepada bocah laki-laki yang sedang digendong oleh ibunya itu.

“Enggak, mereka gak cuma lagi main. Mulai hari ini, keluarga kecil Kakak kamu, tinggal di sini lagi,” ujar ayah Delia sambil menyeruput kopinya.

Saat itu juga Delia tercengang dan membeku di tempatnya berdiri. Jika Kakak perempuan dan Kakak iparnya tinggal di sini lagi, itu artinya, neraka bagi Delia akan segera dimulai.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya My Annoying Prosecutor: Chapter 5
6
3
[05. Hari yang Buruk!]“Adrian sialan. Apaan akhir bulan?! Gue gak akan nunggu sampe akhir bulan!” gerutu Delia buru-buru menyalakan ponselnya untuk mencari-cari soft file surat resign-nya.Setelah menemukannya, dia segera membuka file tersebut dan mengganti tanggalnya menjadi tanggal untuk hari senin besok. Setelah itu, dia menyimpan file-nya dan mengirimkan melalui email Adrian tanpa keraguan lagi. Dia sudah cukup frustrasi.***Selamat membaca ❤
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan