KOMITMEN CHAPTER 2

3
0
Deskripsi

BUKAN YANG PERTAMA TAPI SANGAT BERKESAN

Seorang jurnalis berstatus freelance yang berada di ujung tanduk setelah ditinggal nikah oleh sang mantan. 
Ivana Nabila yang malang, bertemu dengan salah satu mantannya saat SMA, bernama Aditya.

Perpisahan tak mengenakan mereka membuat perasaan dulu yang menggantung, kini kembali muncul. Meskipun Aditya seorang duda, Ivana tak bisa membohongi kalau ia kembali terjebak dalam perasaan masa lalunya.
Dan Ivana tahu, ia akan kembali pada hubungan yang rumit jika bersama Aditya.

Saat itu, musim hujan di awal bulan September. Ivana baru saja duduk di kelas 12 di SMA 3 Bogor. Gadis remaja yang baru saja kehilangan sahabat sekaligus laki-laki yang ia suka.

"Anak-anak pada mau ke bioskop nanti sore, sekarang katanya makan-makan dulu di cafe. Lo mau ikut ga, Va?" tanya Hilda pada Ivana yang masih membereskan buku-bukunya di atas meja ke dalam tasnya.

“Engga deh, Hil. Gue harus balikin buku dulu ke perpustakaan, nanti kena denda lagi gue,” sahut Ivana dengan wajah memelas, berharap teman sebangkunya itu memahaminya.

"Sama Bima?"

“Enggak. Ngapain sama Bima,” jawab Ivana tertawa pelan.

"Biasanya juga lo ada aja urusan sama Bima. Tapi tumben belakangan ini sepi. Hari ini aja gue ga liat Bima nyamperin lo ke sini. Kalian ribut?" tanya Hilda tiba-tiba kembali duduk dan menatap Ivana penasaran.

“Ribut apaan sih? Udah ya gue duluan,” balas Ivana menyampirkan tas gendongnya di bahu kirinya.

"Hati-hati!"

Have fun ya, kalian!” seru Ivana sambil berjalan keluar kelas dengan buru-buru.

"Iva..."

“Hai, Ris,” sapa Ivana membalas sapaan temannya.

"Balik sekarang, Va?"

"Iya, nih ada utang buku."

"Ga asik nih..."

"Sorry..."

Hingga akhirnya Ivana sampai di halte bis di depan sekolahnya, ia memakai earphone ditelinganya.

Tepat tengah hari dan langit kota Bogor begitu mendung.

10 menit dalam perjalanan menuju perpustakaan umum kota Bogor, Ivana dengan cepat mengembalikan buku pinjamannya dan berniat untuk meminjam buku lagi.

Ivana menemukan buku dengan cover berwarna merah yang berada di rak atas. Sadar tak bisa mengambilnya, Ivana mencari alat bantu atau petugas perpustakaan.

Namun sebelum ia menemukannya, seseorang sudah lebih dulu mengambil buku tersebut sehingga Ivana hanya bisa menggigit bibirnya dengan kecewa melihat buku incarannya diambil orang lain.

Kemudian laki-laki yang saat itu memakai kaus polos berwarna putih dibalut jaket bomber hitam dan celana jeans yang juga berwarna hitam itu berbalik menghadapnya.

"Kamu mau pinjem buku ini?" tanya laki-laki itu menatap Ivana dengan dua bola mata cerahnya.

“Tadinya... Tapi ga apa-apa deh,” jawab Ivana tersenyum gugup ditatap seperti itu oleh seorang laki-laki berparas tampan itu. Jadi ia segera berbalik dan berniat langsung kabur.

Namun laki-laki itu menarik lengannya dan menempatkan buku tersebut di tangan kanannya.

“Minggu depan harus udah selesai bacanya,” ucap laki-laki itu masih menatap Ivana dengan tatapan yang sama.

Sementara Ivana bahkan tak berani menatap balik laki-laki itu. Pandangannya hanya tertuju pada buku dengan judul The Legend of Sleepy Hollow di tangannya.

“Makasih,” jawab Ivana akhirnya bisa membuka mulutnya.

Tanpa ia duga, laki-laki yang sejak tadi hanya memasang wajah tanpa ekspresi ini, tiba-tiba saja tersenyum manis.

Hal itu tentu saja membuat Ivana bertambah gugup sampai laki-laki itu benar-benar pergi meninggalkannya.
Ivana menghela napas lega, kemudian buru-buru kembali ke meja petugas penjaga perpustakaan untuk mengurus peminjaman buku ini.

"Bawa payung kan, dek?" tanya petugas perpustakaan itu sambil memberikan buku tadi kepada Ivana.

“Bawa kok Bu,” jawab Ivana tersenyum.
Petugas tersebut menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ramah dan membiarkan Ivana keluar dari perpustakaan.

Seolah sudah siap, Ivana dengan sigap membuka payungnya ketika keluar dari pintu perpustakaan. Namun pandangannya bertemu dengan laki-laki tadi yang berdiri sambil melipat tangan di depan dada seperti sedang menunggu hujan reda.

Tak enak karena sudah bertemu tatap, mau tak mau Ivana tersenyum ramah. Laki-laki itu menghampiri Ivana sambil melirik payung yang sudah terbuka di tangan Ivana.

"Boleh saya pinjem payung kamu?" tanya laki-laki itu dengan sopan. 
Sejujurnya Ivana masih terkejut dengan laki-laki ini yang langsung menghampirinya seperti ini. Tapi tatapannya membuat Ivana sulit untuk berpaling dan terkesan hilang kesadaran untuk beberapa saat.

"Saya bawa motor dan mantel, tapi parkiran cukup jauh dari sini."

“Oke, boleh. Pake aja,” jawab Ivana dengan cepat. Padahal ia sadar kalau saat ini ia hanya memiliki satu payung.

"Kamu pulang naik apa?"

“Ah, saya... Nanti minta jemput aja sama ayah,” jawab Ivana tersenyum tipis.

"Ayah?" tanya laki-laki itu terlihat menahan senyumnya, dan dari raut wajahnya ia terlihat semakin tertarik memerhatikan Ivana.

"Kamu mau ikut saya ke parkiran?"

"Apa?" tanya Ivana berharap ia salah mendengar.

Namun kali ini laki-laki itu tak mengulang perkataannya. Ia segera mengambil alih payung milik Ivana dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya merangkul bahu gadis berseragam SMA itu mengikutinya berjalan di bawah satu payung menuju parkiran utama gedung perpustakaan ini.

Dengan hati dan otak yang tak sejalan, Ivana membiarkan dirinya berjalan bersama laki-laki asing yang merangkulnya erat, dan beberapa kali melirik ke arahnya seolah memastikan kalau dirinya tidak terkena air hujan sedikitpun.

"Mau sekalian saya anter pulang?" tanya laki-laki itu ketika mereka sudah sampai di parkiran. Ivana ganti memegangi payung sementara laki-laki itu memakai mantelnya.

“Ga perlu, makasih,” jawab Ivana dengan cepat.

“Bagus. Kamu emang ga boleh sembarangan mau diajak pulang sama orang yang baru kamu kenal,” ucap laki-laki itu kembali tersenyum.

Sejak saat itulah, Ivana tak pernah melupakan sosoknya. Mereka bertemu karena buku pinjaman Ivana. Namun pertemuan-pertemuan berikutnya sengaja mereka atur untuk jalan-jalan. Laki-laki yang kemudian Ivana tahu bernama Aditya Permana itu merupakan seorang mahasiswa berusia 22 tahun.

Berawal dari buku, mereka mulai membicarakan hobi masing-masing hingga makanan favorit.
Ivana sangat nyaman berada di sekitar Aditya yang memiliki kepribadian hangat dan sangat peduli padanya.

Beberapa kali Aditya menjemput Ivana dari sekolah, dan beberapa kali juga Ivana dibanjiri pertanyaan dari teman-temannya mengenai siapa yang selalu menjemputnya itu.

"Dit, kalau cowok serius suka sama cewek itu gimana sih sikapnya?" tanya Ivana sambil mengerjakan tugas sekolahnya di halaman kampus Aditya dengan laptopnya. Sementara Aditya terlihat sibuk memotret objek-objek kecil di sekitar pohon yang mereka senderi.

"Adit?"

“Hmm... Yang pasti cowok itu akan bersikap baik sama cewek itu,” jawab Aditya dengan begitu sederhana hingga Ivana tertawa mendengarnya.

“Yee, itu mah semua cowok juga pasti lakuin. Jangankan ke cewek yang dia suka. Ke ibu kantin juga mereka sikapnya baik,” sahut Ivana meledek Aditya.

Ia tahu kalau Aditya tidak akan menjawab dengan benar hal semacam ini. Tapi Ivana hanya ingin memancing Aditya saja tentang hubungan mereka saat ini.

"Kenapa emangnya?" tanya Aditya akhirnya bertanya. Walaupun masih menaruh perhatiannya pada kamera miliknya.

“Ini... Temen aku. Dia nyatain perasaannya. Tapi ga tahu dia beneran suka aku atau cuma main-main aja,” jawab Ivana dengan sedikit gelagapan.

"Tolak aja."

"Kok gitu? Kalau dia beneran suka-"

“Salah dia. Kamu kan punya saya,” sergah Aditya menatap Ivana dalam-dalam.

"Maksudnya? Adit kita kan... Ga pacaran..."

"Kalau gitu sekarang kita pacaran. Kamu mau kan jadi pacar Adit?" tanya Aditya meraih tangan Ivana dan kembali menatap Ivana dengan mata cerah serta senyum manis dari bibir tipisnya yang berwarna merah muda itu.

Lagi-lagi ditatap seperti itu, ditambah tangan yang digenggam oleh Aditya, Ivana merasa salah satu organ tubuhnya telah di serang sebuah virus mematikan yang akan menggerogotinya.

"Ivana... Mau kan?"

"Iya, mau Dit."

Senyum Aditya semakin lebar kemudian tangan kanannya berpindah untuk mengelus rambut Ivana dengan lembut.

Saat itu, Ivana pun ikut tersenyum cerah dengan segala perhatian yang seorang Aditya berikan padanya.

Laki-laki yang lebih dewasa darinya itu selalu menjaganya dan menanyakan kabarnya hampir setiap saat.

"Pulang dijemput Adit lagi?" tanya Hilda saat mereka berada di tengah-tengah presentasi kelompok pelajaran sejarah.

Ivana yang sebenarnya sedang diam-diam membalas pesan Aditya jadi harus menoleh pada Hilda dan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

"Pergaulannya gimana? Bukannya pergaulan kampus itu... Bebas?" tanya Hilda berbisik lagi.

"Adit ga sebebas lo dan temen-temen lo itu. Paham?" balas Ivana lagi-lagi membuat Hilda tersenyum geli sambil mencibir.

Ivana sadar, perasaannya pada Aditya yang menggebu-gebu kadang memang membuatnya hampir kehilangan dirinya sendiri. Tapi sejauh ini, memang Aditya hanya menggenggam tangannya, menggandeng tangan, merangkul, dan sesekali memeluknya.

Awalnya semua berjalan sangat lancar, sampai Ivana mulai merasa kalau Aditya mengambil sebagian waktunya setelah pulang dari sekolah.

Bahkan saat Ivana mengatakan akan mengerjakan tugas bersama temannya, Aditya selalu bisa membujuknya untuk mengerjakan tugas dengannya di luar.

Ivana benar-benar merasa tak memiliki kesempatan bersama teman-temannya.

“Bisa ga kalau kamu lagi sama Adit, fokus dulu ke Adit. Jangan main handphone terus,” protes Aditya setelah mengambil alih ponsel Ivana dan menaruhnya di dalam tas gadis itu.

Padahal Ivana hanya sibuk membalas pesan dari teman-teman kelasnya dan juga klub Taekwondo.

"Hari minggu besok, ada pameran di aula kampus. Kamu ikut sama saya ya?" tanya Aditya.

“Aku mau ikut pertemuan klub Taekwondo minggu ini, Dit,” sahut Ivana dengan hati-hati berusaha menolak.

"Kamu mau jadi pelatih Taekwondo?"

"Apa?"

Aditya tertawa pelan kemudian menangkupkan kedua tangannya di wajah Ivana.

“Kalau kamu ga niat jadiin itu profesi kamu, ga perlu di prioritasin. Sementara di pameran itu, kamu bisa liat banyak hal yang mungkin akan bantu kamu dapet inspirasi mau jadi apa kamu kedepannya,” jawab Aditya menjelaskan kembali.

Ivana tahu yang dijelaskan Aditya tidak salah. Tapi maksudnya bukan itu sebenarnya. Ia hanya ingin kembali berkumpul dengan teman-temannya.

“Sebentar lagi kamu ujian kan? Jangan main-main terus, Ivana. Kamu harus fokus,” ucap Aditya menaruh kertas-kertas klip tugasnya di atas meja cafe kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

“Justru sebelum ujian, aku mau jalan bareng temen-temen dulu,” jawab Ivana masih tak terima.
Kali ini Aditya tak menjawab, ia menyodorkan sebuah paper bag kecil berwarna pink polos kepada Ivana.

"Ini apa?"
“Buka dulu biar tahu,” jawab Aditya tertawa pelan.

Dengan perasaan bingung, Ivana membuka paper bag kecil itu dan meraih sesuatu di dalamnya.

"Ini..." Ivana tertawa pelan saat melihat bandana tali yang hampir semuanya dipenuhi mutiara-mutiara kecil berwarna putih.

"Suka ga?" tanya Aditya.
Ivana tersenyum geli kemudian menganggukkan kepalanya.

Walaupun ia jarang memakai aksesoris apapun apalagi yang terlihat sangat feminim seperti ini, begitu Aditya yang memberikannya, Ivana tak pernah bisa menolaknya. Tanpa sadar seleranya berubah hanya karena Aditya.

“Sini saya pakein,” bisik Aditya beranjak dari kursinya dan duduk di sebelah Ivana.

Ivana berusaha menahan senyumnya dan tenang ketika Aditya memakaikan bandana kain itu di kepalanya dan mengikatnya dengan hati-hati.

“Cantik,” puji Aditya tersenyum sambil merapikan rambut Ivana. 
Sementara gadis itu hanya tersenyum malu sambil menundukkan kepalanya.

Semua perhatian yang Aditya berikan pada Ivana membuatnya begitu terhanyut pada perasaannya. Hingga tanpa ia sadari, Aditya mengubah banyak bagian dari hidupnya.

Meskipun begitu, hubungan mereka masih berlanjut bahkan sampai Ivana lulus SMA dan Aditya mulai disibukkan dengan tugas skripsi.

Saat itu, untuk pertama kalinya Ivana berbohong pada Aditya. Tahu Aditya sudah melarangnya ikut acara perayaan kelulusan dengan teman-temannya, malam itu Ivana tetap berangkat tanpa memberitahu Aditya.

Saat jam tangannya menunjukkan pukul 22:00 WIB, mereka semua 
mulai beriringan untuk pulang. Termasuk juga dengan Ivana.

“Jangan dulu pulang, Va. Masih ada ronde ke-2. Lebih seru tempatnya,” bisik Hilda menyusul Ivana keluar dari cafe.

“Iya, Va. Sekali-kali kan. Mumpung lo keluar,” sahut Bimo sambil merangkul bahu Ivana. Namun dengan hati-hati, Ivana segera menurunkan tangan laki-laki itu dari bahunya.

"Udah malem... Besok lagi aja, ya?" tolak Ivana dengan halus.

"Besok mah pasti sama Adit lagi. Udah lah, baru juga jam sepuluh. Di lantai atas cafe ini tuh ada klub malem. Lo belum pernah ke tempat gitu kan?" ucap Bimo lagi.

“Anak-anak yang lain juga pada mau ke atas. Mereka nunggu loh,” sambung Hilda sambil mengarahkan pandangannya pada teman-teman mereka yang mulai naik ke lantai atas.

Ivana menghela napas panjang kemudian menggelengkan kepalanya.
Bimo tertawa pelan kemudian menarik lengan Ivana untuk mengikutinya.

"Coba dulu, yuk. Sebentar aja... Serius deh, kalau emang lo ga suka tempatnya, lo langsung pulang aja-"
Suara teriakan dari beberapa pengunjung cafe terdengar cukup keras ketika Aditya menarik Bimo dari Ivana dan menghajarnya hingga laki-laki bertubuh kurus itu terperosok ke lantai.

Tanpa berkata apa-apa, Aditya segera menarik tangan Ivana yang masih sangat terkejut itu keluar dari cafe tersebut.

"Ivana, kamu tahu aku paling ga suka orang yang bohong. Kamu bilang ga akan ikut dan sekarang? Kamu bahkan mau diajak mereka ke tempat kaya gitu? Mau apa? Minum-minum? Joget-joget sama cowok yang seenaknya megang-megang kamu?"

Untuk pertama kalinya, Ivana dimarahi sekaligus direndahkan oleh laki-laki. Apalagi orang itu adalah Aditya. Ia tahu dirinya salah, dan ia juga tahu Aditya sedang sangat marah padanya.

Tapi saat itu, Ivana hanyalah seorang remaja yang tak suka ditekan dan diomeli serendah itu di hadapan banyak orang. Sehingga gadis itu pergi tanpa mengatakan apa-apa selain menangis.

"Ivana-"

“Jangan temuin aku lagi! Aku capek sama kamu, Aditya” marah Ivana.

"Kamu salah. Aku ga boleh marah sama kamu?"

"Aku tahu, aku salah. Tapi kamu keterlaluan! Aku malu, Dit!"

"Malu? Kamu lebih malu dimarahin aku daripada ketahuan main di tempat hiburan malam kaya gitu!?"

Ivana tak bisa berkata apa-apa lagi, ia menangis sambil menundukkan kepalanya. Bahkan ia mendorong Aditya yang hampir memeluknya.

"Terus kamu mau apa? Aku minta maaf ke kamu? Atau ke cowok brengsek itu?"

“Aku mau, kamu jangan temuin aku lagi,” jawab Ivana dengan tegas walaupun suaranya bergetar karena berusaha menahan tangisannya.

Aditya menahan napasnya, kemudian ia menatap Ivana dengan kesal.

Maka sejak saat itu, hubungan Ivana dan Aditya benar-benar putus. Berakhir dengan tidak menyenangkan.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Komitmen
Selanjutnya KOMITMEN CHAPTER 3
2
0
MALAM MINGGU KELABUSeorang jurnalis berstatus freelance yang berada di ujung tanduk setelah ditinggal nikah oleh sang mantan.  Ivana Nabila yang malang, bertemu dengan salah satu mantannya saat SMA, bernama Aditya.Perpisahan tak mengenakan mereka membuat perasaan dulu yang menggantung, kini kembali muncul. Meskipun Aditya seorang duda, Ivana tak bisa membohongi kalau ia kembali terjebak dalam perasaan masa lalunya. Dan Ivana tahu, ia akan kembali pada hubungan yang rumit jika bersama Aditya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan