Terlalu Cepat — 4. Ketakutan

25
2
Deskripsi

Ketakutan

==

Photoshoot hari itu sudah berakhir sejak dua puluh menit yang lalu, Shakira sudah selesai menghapus makeup di wajah dan juga mengganti kostum yang ia gunakan untuk pemotretan tadi. Akhirnya setelah memastikan dirinya sudah lebih sehat, Shaka mengizinkan Shakira untuk bekerja, tapi dengan catatan, ia akan diantar jemput oleh lelaki itu.

Baiklah, Shakira mengalah saja, dibanding sama sekali tak boleh bekerja.

Memilih mendaratkan pantatnya di kursi yang ada di ruang tunggu—setelah tadi Barbara mengatakan ingin buang air besar karena perutnya yang sakit, Shakira melamun dengan tangan yang terus mengusap perutnya yang rata. Entah mengapa, ia yakin dia ada di sana, makhluk itu tumbuh di dalam perutnya.

Sebulan ini ia belum mendapatkan tamu bulanan, pun mual dan pusing yang ia alami belakangan ini pasti merupakan salah satu efek kehamilan. Shakira bingung, ia tak siap, ia sangat takut. Kalau benar dia ada di perutnya, apa yang harus Shakira lakukan? Apa ia harus melahirkannya?

Bagaimana kalau ia tak bisa menjadi ibu yang baik? Apa dia akan tumbuh seperti dirinya?

Berbagai macam pikiran buruk bersarang di kepala, membuatnya tak bisa berpikir jernih.

Bukan tanpa alasan Shakira takut memiliki anak, ia adalah korban keegoisan orang tua. Shakira harus menanggung hidupnya sendiri setelah kedua orang tuanya berpisah, ia tertekan, kesepian, tak merasa kasih sayang.

Katanya, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, apa nanti ia akan menjadi ibu yang seperti ibunya? Apa ia akan menjadi tak peduli seperti ayahnya?

"Wihh, kayaknya ada yang lagi banyak pikiran nih."

Terhenyak karena suara Samuel—fotografer yang hari itu bertanggung jawab untuk memotretnya—berdenging di telinga dan membuat lamunannya buyar, Shakira menoleh seraya memberi dengusan sebal.

"Gak usah ganggu gue!" sungutnya galak.

"Siapa yang mau ganggu lo sih, Kir?" Samuel terkekeh dengan wajah nyeleneh lalu berdiri menyandar tembok seraya melipat tangan di bawah dada. "Gue malah mau menghibur lo."

"Gak perlu."

"Kenapa sih? Dari tadi lo kelihatan murung."

Sepanjang pemotretan tadi Shakira memang terlihat tak bersemangat, tapi ia sudah sebisa mungkin untuk menutupi itu dan bersikap profesional. Sialnya, Samuel bisa melihat itu.

Samuel adalah fotografer profesional yang sering dipakai oleh perusahaan besar untuk melakukan photoshoot pada iklan produk mereka. Shakira sudah beberapa kali terlibat dalam projek yang sama dengan lelaki itu, yang kemudian membuat mereka saling mengenal satu sama lain.

Samuel tentu bisa melihat mood Shakira, lelaki itu sering memotretnya dalam banyak keadaan hingga membuat Samuel hafal raut wajah yang biasa Shakira tunjukan. Mereka cukup dekat, dulu, bahkan sebelum ia berpacaran dengan Shaka. Beruntung suaminya tak tahu kalau fotografer kali ini adalah Samuel karena Shaka cemburu sekali dengan lelaki itu.

"Mending lo pergi!" usir Shakira setengah jengkel.

Samuel tentu tak mudah diusir. Lelaki itu malah semakin meledek Shakira. "Kenapa sih? Lo bisa cerita sama gue."

Memutar kedua bola matanya, menatap nyeleneh lelaki dengan rambut gondrong di depannya itu, Shakira lalu mendengus. "Gak usah sok akrab lo."

"Oh, gue tebak ...." Samuel menjilat bibirnya. "Lo lagi berantem sama laki lo ya?"

Di tangan Shakira tergenggam hape, ia baru saja bertukar kabar dengan suaminya. Memilih tak menjawab karena semakin diladeni, Samuel akan semakin banyak omong, Shakira sibuk dengan hapenya.

"Jelek banget muka lo kalo ditekuk kayak gitu, Kir," ledek lelaki itu."

Dibanding membuat mood-nya semakin hancur, lebih baik ia membalas pesan Shaka.

Samuel yang merasa diacuhan mendekat. "Gimana kalo kita ke Night House entar malem?"

"Berisik, Sam!"

"Ya elah, Kir, semenjak nikah lo jadi jarang ke Night House."

Night House adalah kelab malam yang dulu sering ia datangi saat butuh bersenang-senang, tentu setelah menikah Shakira menghentikan hobinya itu.

"Nggak minat."

"Kita seneng-seneng di sana."

"Di rumah gue udah seneng-seneng sama laki gue. Makanya nikah, biar lo tau rasanya seneng-seneng tanpa ke Night House."

Tawa Samuel semakin kencang, jenis tawa yang mencemooh. "Bentar lagi laki lo juga bosen sama lo, Kir."

Dalam hitungan detik, Shakira menaikkan wajah dan memberi tatapan tajam yang menghunus. Ia menggeram penuh emosi. "Jaga omongan lo!"

"Semua laki kan gitu."

"Suami gue enggak!" sungutnya marah, napasnya sedikit tercekat. "Pergi! Ngelihat muka lo ngebuat gue mual."

Tanpa rasa berdosa setelah melemparkan kalimat yang membuat hati Shakira menjadi tidak tenang, Samuel berseru heboh. "Wihhh, lo hamil, Kir?"

Sontak telaga bening yang memberi sorot tajam itu melebar, terpaku beberapa saat sebelum kemudian mengerjap cepat. Seperti biasa, membicarakan tentang kehamilan membuat emosi Shakira jadi tak terkontrol. Ia tak suka pembahasan itu.

"Tutup mulut lo, sialan!" Ia menyentak penuh emosi. "Mending lo pergi!!"

"Buset, biasa aja kali, Kir." Suara tawa Samuel memenuhi di sepanjang ruangan. "Kalo bener hamil, gue berdoa semoga anak lo lebih mirip bapaknya, kalo mirip lo bahaya, ya gak?" Lalu tergelak kencang, bermaksud meledek.

Namun Shakira yang emosinya tak stabil menganggap serius ucapan itu.

Tanpa sadar kedua tangan Shakira mengepal, ia mencengkram ponselnya dengan erat. Jauh di dalam hatinya, Shakira merasa terganggu sekali dengan ucapan Samuel barusan, ketakutannya seperti membenarkan ejekan lelaki itu.

Ia butuh seseorang untuk mengirim Samuel pergi dari hadapannya saat ini juga, dan beruntung tak lama Barbara datang lalu memukul kepala lelaki itu.

"Yey jangan gangguin model eik!"

Samuel meringis, berbalik dan menatap kesal ke arah Barbara yang merengut tapi juga memberi tatapan galak. "Apa sih lo bencong?!"

"Yey apain Shakira?!"

"Gue cuma lagi ngehibur dia."

"Heh!" Barbara bersidekap seraya menatap galak Samuel. "Mending yey pergi sebelum eik sosor itu bibir yey!!" Lalu membuat gerakan seperti ingin menerkam yang sontak membuat Samuel bergidik ngeri.

Lalu dengan dengusan ngeri lelaki itu pergi dari sana dan lari terbirit-birit. "Dasar becong gila!!"

Barbara tergelak, setelahnya ia mendekati Shakira yang terdiam mematung. "Nek? Yey okeyy?" tanyanya cemas.

Kepala Shakira mengangguk, ia berdiri dan berjalan melewati Barbara menuju mobil mereka. Sepanjang di parkiran, Shakira hanya diam tak mengucapkan apa pun. Barbara menjadi penasaran apa yang Samuel katakan hingga membuat modelnya itu berubah diam.

"Yey diapain sama si gondrong?" Barbara bertanya setelah mereka duduk di dalam mobil. "Kok pas eik dateng muka yey pucet gitu."

Shakira menarik napas dan membuangnya perlahan. "Biasa, dia ngeledekin gue."

"Ngedelekin apose?"

"Gak penting." Tapi berhasil membuat emosinya teraduk-aduk.

Shakira lalu membuang pandangannya ke luar jendela.

"Yey udah kasih tau si ganteng kan kalo mau ke apartemen eik?"

"Udah."

Mesin mobil menyala, Barbara segera membawa kereta besinya itu keluar dari pelataran parkir.

"Yey masih mual, Kir?"

"Nggak terlalu."

"Mau beli test pack?" tawar lelaki kemayu itu yang kembali membuat Shakira menegang, gemuruh riuh itu kembali menyerang dadanya, membuatnya tak nyaman.

Mengesah, Shakira menoleh. "Menurut lo gimana, Bar?" Karena ia benar-benar merasa bingung dan takut. "Apa gue harus tes?"

"Kalo menurut eik sih, yey kudu beli itu test pack, seenggaknya yey gak nerka-nerka itu debay beneran ada apose engga," jawab Barbara. "Mau nanti yey apain, ya dipikirin lagi bareng-bareng sama suami yey."

Kepala Shakira menggeleng cepat. "Shaka gak boleh tau dulu."

Barbara menghela pendek, melirik sebentar modelnya yang terlihat sedang galau gundah gulana itu. "Eik saranin, yey jujur sama doi, ngomong dari hati ke hati, ungkapin ketakutan yey."

"Dan ngebuat dia ngelihat gue sebagai istri yang sakit mental?" Shakira tersenyum miris. "Nggak deh."

"Ya udin, kalo gitu yey berobat sana."

"Gimana kalo keluarga dia tau?" Bayangan Shakira melalang jauh, pada ketakutan-ketakutan yang terus memerangkapnya. "Udah keluarga gue cacat, bokap nyokap gak beres, terus gue sakit mental." Kali ini kepalanya menggeleng lebih keras. "Nggak-nggak! Yang ada semakin diinjek-injek aja gue, dan yang pasti Shaka bakalan malu banget."

Barbara menghela lelah, masalah ini sudah sering ia bicarakan dengan modelnya itu, tapi Shakira selalu menolak setiap ia sarankan untuk berobat, yang wanita itu butuhkan saat ini adalah psikolog, tapi Shakira selalu menyangkal.

Sebelumnya Shakira memang pernah melakukan therapy, tapi berhenti di tengah jalan karena merasa sudah sembuh, tapi ternyata dirinya belum benar-benar sembuh.

"Oke, jangan dibahas lagi, gue laper, Bar."

Barbara merengut malas, kalau sudah begini Shakira pasti memilih untuk menghindar.

 

☆☆☆
 


Setelah membalas pesan sang istri yang meminta untuk dibelikan ketoprak, Shaka meletakan ponselnya ke atas meja dan meminta Roni untuk mencarikan tukang ketoprak langganannya yang biasa berjualan setiap weekend saja.

Tentu tak ada di hari kerja seperti ini, meski begitu ia tetap menurut. Shaka sendiri bingung mengapa istrinya mendadak minta dibelikan ketoprak, padahal dulu saat ia tawari, wanita itu menolak karena tak suka. Apalagi penjual ketoprak itu ada di pinggir jalan.

Yang lebih membuatnya bingung adalah ucapan Roni. Saat ia meminta Roni mencarikan tukang ketoprak yang ia maksud, asistennya itu menyeletukan sesuatu, yang membuat Shaka sedikit tergegap.

"Bu Shakira hamil kali, Bos."

Shaka tentu tak paham awalnya, tapi saat Roni menjelaskan kalau apa yang Shakira alami merupakan tanda-tanda kehamilan, ia menjadi berharap itu benar.

Namun Shaka tak mau langsung memaksa Shakira untuk melakukan tes, ia hanya tak ingin istrinya itu terbebani atau tertekan kalau ternyata hasilnya negatif. Ia tak ingin Shakira bersedih, apalagi saat ia teringat obrolan mereka tadi pagi.

Cukup tekanan itu datangnya dari keluarga besarnya saja, Shaka tak ingin menambah kesedihan Shakira.

"Bos ...."

Terhenyak, Shaka mendapati Roni masuk ke dalam ruangannya setelah mengetuk pintu sebanyak dua kali. Asistennya itu berdiri di depan meja kerjanya dengan wajah masam yang lelah.

"Duh, saya enggak nemu, Bos," adunya memelas. "Lagian, jualannya setiap minggu, mana ada hari gini."

"Udah kamu cari?:

"Saya udah muter-muter, gak nemu juga di daerah situ. Saya juga gak tau gerobaknya kayak gimana, warna apa."

"Terus?" Shaka menunjuk dengan dagu bungkusan yang ada di tangan Roni. "Itu apa?"

Meletakan plastik yang ia bawa ke depan bosnya, Roni meringis takut. "Saya beli di tempat lain, sama kok enaknya. Dijamin, yang ini malah lebih enak."

Shaka membuka bungkusan plastik itu melihat isinya, lalu terdiam. Shakira pasti juga tak akan sadar kalau ketoprak ini bukan beli di tempat yang biasa mereka beli, bukan? Bungkusannya terlihat sama.

"Bu Shakira beneran ngidam ya, Bos?"

Shaka menutup kembali bungkusan itu dan menggeleng. "Nggak. Bukan ngidam, cuma kepengen aja dia."

"Coba dites, Bos. Siapa tau beneran hamil."

"Nggak perlu, Ron."

Roni merapatkan bibirnya, tak kembali memaksa, paham dengan masalah rumah tangga atasannya itu. Roni sedikit banyak tahu kalau tak semua keluarga atasannya itu bisa menerima wanita yang bosnya nikahi. Apalagi dengan kasus yang masih hangat akhir-akhir ini.

"Oh ya, Bos ...."

Shaka menaikkan wajah, menunggu Roni melanjutkan kalimatnya.

"Umama Food menolak kerjasama yang kita ajuin." Sejenak Roni menahan ucapannya, menimbang untuk mengutarakan alasan perusahaan itu menolak kerjasama mereka. "Itu ... sebenarnya ... itu karena kasus mertua bos, mereka takut terseret opini buruk."

Terdiam sejenak, Shaka membuang napas dan mengangguk. Ia paham, bahkan sebelum membantu sang ayah mertua, Shaka sudah tahu hal seperti ini akan terjadi.

Namun ia tak akan membiarkan Shakira tahu itu.

 

☆☆☆☆
 


Kata Anna :

Part ini menjelaskan isi pikiran mereka masing-masing.

Semoga suka yaa, jangan lupa tinggalkan jejakkk

Ges, mohon maaf lahir batin yaa ❤️

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Terlalu Cepat
Selanjutnya Terlalu Cepat — 5. Dua Garis Merah
26
8
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan