TENGGELAM 1

54
11
Deskripsi

[SHORT STORY] CERITA INI MEMUAT ADEGAN DEWASA, EXPLICIT SEXUAL CONTENT!

Kalau saja Ambar bisa memilih, ia ingin sekali untuk tak terlahir di keluarga ini, karena sungguh, hanya kesialan silih berganti yang ia dapati. Ditinggal pergi Bapak untuk selama-lamanya dari dunia ini, kiranya sudah cukup membuat Ambar sakit hati, tapi ternyata bukan hanya pergi tanpa pamit, Bapak juga meninggalkan mereka dengan hutang yang berhasil membuatnya melilit.  

Lelah dengan masalah yang rumit, Ambar memilih mengambil...

TENGGELAM 1

 

Kalau saja Ambar bisa memilih, ia ingin sekali untuk tak terlahir di keluarga ini, karena sungguh, hanya kesialan silih berganti yang ia dapati. Ditinggal pergi Bapak untuk selama-lamanya dari dunia ini, kiranya sudah cukup membuat Ambar sakit hati, tapi ternyata bukan hanya pergi tanpa pamit, Bapak juga meninggalkan mereka dengan hutang yang berhasil membuatnya melilit.

Harusnya, menjadi anak bungsu membuatnya tak banyak dibebani pengeluaran ini dan itu, apalagi harus menanggung semua beban keluarga. Amril kakak laki-laki Ambar satu-satunya, sosok yang seharusnya menggantikan Bapak sebagai kepala keluarga malah tampak seperti benalu di keluarga ini, selain pengangguran dan gemar bermain judi, Amril hanya terus membuat malu keluarga.

Jujur saja, kalau hanya itu Ambar tak masalah, ia akan menganggap kakaknya itu sudah mati menyusul Bapak, tapi yang membuat Ambar kesal adalah Amril sering sekali mengambil uang tabungannya yang sengaja ia sisihkan untuk membayar hutang-hutang Bapak. Dua ratus juta tidak sedikit, belum bunganya, apalagi untuk keluarga mereka yang makan saja harus diirit-irit, tapi si sialan Amril malah mencuri uang itu untuk modal berjudi.

"Ibu yakin Mas Amril nyuri?!" amuknya pada sang ibu yang menunduk dengan wajah takut. "Yakin bukan Ibu yang kasih?" tekannya lagi dengan amarah yang menggelegak. Ia baru saja pulang bekerja jam sebelas malam, rela mengambil lembur untuk bisa segera melunasi hutang Bapak, baru tertidur beberapa jam, suara gaduh di kamar Ibu membuatnya terbangun dan Ambar dapati celengan kayu yang digembok itu sudah raib isinya. "Amril gak akan bisa buka itu kalo Ibu gak kasih kuncinya."

Ya ampun ... ia capek bekerja, mengumpulkan uang di saat gadis seusianya sibuk flexing jalan-jalan dan membeli barang-barang mahal, tapi tak ada satu pun orang yang bisa memahaminya, bahkan ibunya sendiri, sosok yang seharusnya paling bisa mengerti dan memberi nyaman.

"Bu?!!" bentak Ambar murka, tak peduli siapa yang kini sedang ia marahi. "Ibu tau itu uang buat apa?! Ibu tau gimana Ambar nyarinya kan, Bu?"

Sang ibu pun mengangkat wajah, air mata sudah berlinang di pelupuk dan jatuh ke pipi. "Amril bilang dia mau cari kerja, Nduk, maka itu Ibu kasih dia uang buat ongkos."

"Ibu tuh masih aja bisa-bisanya dibohongin sama Amril!" Tak ada lagi kata Mas di depan nama sang kakak, karena lelaki itu memang tidak pantas dipanggil kakak. "Udah berapa kali kayak gini? Bukan sekali, Bu, dia bilang mau cari kerja, nyatanya uang yang Ibu kasih selalu berakhir buat judi! Mabok-mabokan!" Matanya memanas, hatinya terluka, tapi air mata Ambar sama sekali tidak bisa terjatuh saking sudah sering menahan sakit di dada.

"Maafin Ibu, Nduk, nanti uangnya Ibu ganti."

"Pake apa, Bu, gantinya?" jerit Ambar sekali lagi. Ia menjenggut rambutnya, gemas, kesal, marah, dan terluka menjadi satu.

Memang benar ya, seadil-adilnya orang tua, tetap saja membedakan anak laki-laki dan perempuan. Ambar yang mati-matian mencari uang, yang berusaha untuk mereka tetap makan di tengah setiap bulan harus mencicil hutang, tapi Ibu tetap saja membela Amril, tetap saja anak kesayangannya itu yang selalu Ibu berikan uang, padahal itu uang Ambar, ia yang dengan susah payah mendapatkannya.

"Lusa penagih hutang ke sini, Bu, mereka pasti minta uang cicilan hutang, terus mau Ibu bayar pakai apa??!"

"Nanti Ibu coba cari pinjeman, Nduk."

"Bu!!!” Ambar menggeram. “Hutang dibayar dengan hutang itu gimana sihhh?!" Napasnya menderu, dada bergerak naik turun, menunjukkan semarah apa dirinya saat ini. "Mau nyari uang lima juta dimana dalam waktu dua hari?! Ambar udah gak ada uang, Bu. Buat ongkos kerja aja Ambar ngirit, Bu. Berangkat pagi biar bisa kejar Bis."

Hari itu masih pukul tiga pagi, harusnya Ambar masih terlelap di ranjangnya, bukan malah mengomel pada Ibu seraya meminta belas kasih. Sungguh, Ambar lelah sekali. Tadi ia baru saja terkena semprot oleh atasannya yang galak, dan di rumah ia tak beri istirahat.

"Ambar tuh anak Ibu bukan sih? Kenapa beban seberat ini harus ditumpu ke Ambar?" Ia juga ingin seperti teman kantornya yang pergi ke mall setelah pulang bekerja, membeli baju, tas, dan sepatu setelah mereka mendapat gaji. Nongkrong di coffee shop membeli kopi mahal kekinian dengan cheese cake. Ambar ingin melakukan itu semua, tapi kalau ia egois, gimana dengan Ibu?

"Nduk ... maafin Ibu."

"Ambar gak butuh maaf Ibu, Ambar cuma minta tolong jangan terlalu baik sama anak lanang Ibu, tolong lihat Ambar yang udah capek cari uang," lirihnya. "Sekarang Ambar mohon sama Ibu, kalo Mas Amril pulang ke sini, jangan Ibu kasih uang, apalagi uang tabungan buat bayar hutang Bapak."

Lantas ia pergi masuk ke dalam kamar, menutup pintunya dengan kasar. Di sana Ambar hanya bisa meraup wajahnya, mengusap naik turun sambil tubuh beringsut jatuh ke lantai. Ia tak menangis, keadaan ini sudah sering ia lewati, Ambar hanya cukup tenang dan kembali berpikir, bagaimana cara mendapatkan uang lima juta sebelum rentenir itu datang.

"Ya Tuhan! Kenapa gak sekalian nyawa aku ikut diambil aja?" keluhnya yang sudah putus asa.

 

♧♧♧

 

Erwin berdecak dengan wajah mengeras saat Riko—sahabatnya semasa SMA mengiriminya sebuah foto yang berisi gambar sang kekasih sedang berada di lobby hotel bintang lima bersama lelaki lain. Di dalam foto itu langit masih tampak menggelap, kira-kira diambil tadi subuh. Erwin jelas tahu apa yang dilakukan dua orang itu di sana, tidak mungkin mereka baru tiba, bukan? Kalau keluarnya pun pagi-pagi sekali.

"Ck! Sialan," umpatnya marah.

Erwin tak perlu bertanya-tanya siapa lelaki yang berjalan bersama Nadine—kekasihnya di lobby hotel itu, nyaris lima tahun mereka berhubungan, Erwin mengenal siapa mantan kekasih dari pacarnya itu, dan bukan sekali ini ia memergoki mereka bersama, saat ia tegur, Nadine bilang khilaf, maka ia memaafkan.

Lalu saat terpergok untuk yang kedua kali, Nadine menjelaskan kalau mereka tidak sengaja bertemu. Erwin percaya, nyatanya setelah itu mereka tak lagi berhubungan, kiranya Nadine menepati janji untuk tak bertemu mantan kekasihnya, tapi hari ini Erwin kembali diperlihatkan keburukan wanita itu.

Kalau saja saat ini Erwin sedang berada di Jakarta, mungkin ia sudah mendatangi keduanya, lalu memukul lelaki keparat itu seperti yang sudah-sudah, tapi sayangnya ia sedang berada di Jogja, menemani sang atasan yang tak lain merupakan sahabatnya sendiri untuk melakukan kunjungan di kantor pusat yang ada di kota ini.

Erwin merupakan orang kepercayaan Mahesa—atasannya di perusahaan ini. Jabatannya mungkin setara dengan manajer, tapi ia selalu ada dimana sang atasan berada. Entah di Jakarta atau di Jogja, Erwin memiliki ruangannya sendiri, seperti saat ini, ia sedang terduduk di balik meja kerjanya dengan wajah yang terlipat kusut. Nyatanya, informasi barusan sangat menyesakkan untuk ia terima.

Lantas membalas pesan Riko yang telah memberi informasi mengenai kekasihnya dengan ucapan terima kasih, Erwin lantas mencari kontak wanita itu dan menghubunginya segera mungkin. Pada dering ke lima panggilannya baru terjawab.

"Hallo, Mas? Tumben jam segini telepon."

Ada decak samar yang keluar dari bibir Erwin, tapi tak bisa Nadine dengar. "Iya, soalnya aku abis dapet laporan kalo pacar aku baru aja keluar sama mantannya dari hotel."

"Mas?" Nadine di seberang sana terdengar terkejut, bahkan sampai tercekat.

"Enak gak, Din?"

"Aku bisa jelasin, Mas."

"Gak perlu, aku udah hafal di luar kepala kok penjelasan kamu."

"Kami gak ngapa-ngapain. Gak seperti yang kamu pikirin."

"Loh? Emang aku mikir apa?" Erwin terkekeh, tapi setiap tawa yang ia keluarkan malah terdengar menyedihkan. "Aku gak mikirin apa-apa kok, aku nelpon juga mau memastikan, enak gak tadi sama Gavin?"

"Mas! Omongan kamu nyakitin aku."

"Emang kamu pikir sikap kamu gak nyakitin aku?"

"Udah aku bilang, kami gak melakukan apa-apa, tadi cuma makan di resto yang ada di sana, ngobrolin tentang pekerjaan aja. Udah cuma itu."

"Subuh-subuh, Din?" Erwin berdecak. "Kamu pikir aku bodoh?"

"Mas, tapi aku berani sumpah, aku gak melakukan hal yang kamu pikirkan saat ini."

Lalu tergelak, Erwin sampai meneteskan air mata di sudut matanya. "Aku tanya kamu, memang aku lagi mikir apa?"

"Mas!"

"Kamu tidur sama dia, gitu?"

Nadine bungkam.

Di dalam ruangannya, Erwin menyandarkan tubuh pada badan kursi lalu memijat pelipisnya yang berat. "Din, aku tanya sekali lagi sama kamu." Lalu menghela pelan, pijatan di pelipisnya terhenti, kedua kelopak matanya terbuka. "Kamu yakin mau lanjutin hubungan ini?"

"Mas, jangan ngomong gitu. Aku mau sama kamu."

"Kalo mau sama aku, kamu gak mungkin masih jalan sama mantan kamu itu kan?"

"Kami gak ada hubungan apa-apa, Mas."

"Dan kamu pikir aku percaya?"

Terdengar isakan di ujung sana. Seperti yang sudah-sudah, Nadine pasti akan menangis.

Erwin bosan sekali dengan wanita yang selalu menggunakan air mata saat terpojokkan oleh kesalahan. Seperti Nadine ini.

"Tolong percaya aku, Mas."

"Gimana caranya? Gimana aku mau percaya kalo kamu terus menghancurkan itu."

"Aku berani sumpah kalo aku sama Gavin udah selesai sejak saat itu, aku ketemu dia cuma membahas kerjaan, Mas." Nadine dan Gavin memang bekerja di satu perusahaan yang sama, mungkin karena itu mereka berselingkuh, Gavin yang selalu ada untuk Nadine, sementara dirinya terlalu sibuk.

"Mas ... apa pun yang kamu pikirin saat ini, tolong buang jauh-jauh. Sampai kapan pun aku gak mau putus sama kamu. Aku sayang kamu."

"Kalo gitu, kita lihat aja siapa yang hancur duluan, Din." Lantas Erwin mematikan sambungan itu, melempar pelan ponselnya ke atas meja lalu menangkup wajah dan menjatuhkan kepala pada sandaran kursi. Isi kepalanya saat ini tertuju pada sang ibu.

Kalau saja tidak ada janji yang harus ditepati di antara Bunda dan mendiang ibunya Nadine, mungkin Erwin sudah memilih berpisah sejak kekasihnya terpergok selingkuh untuk pertama kali. Erwin memang mencintai Nadine, tapi bukan berarti ia bisa diinjak-injak seperti ini, bukan?

 

♧♧♧

 

Karena bangun terlalu pagi akibat huru-hara yang terjadi di rumah, pun rasanya tak bisa lagi terlelap setelah mendapati uang cicilan hutang Bapak lenyap begitu saja, Ambar memilih untuk bergegas berangkat bekerja, tak sarapan karena uang untuk membeli makan pun sudah Ibu berikan pada anak laki-lakinya itu. Sudah terbiasa setiap kali Amril pulang ke rumah, hanya ada masalah yang lelaki itu bawa. Anehnya, Ibu selalu saja luluh dengan segala kebohongan yang anak sulungnya itu katakan.

Kantor pagi itu masih sangat sepi, tentu saja, siapa manusia yang begitu rajin datang setengah jam sebelum jam masuk kerja tiba, hanya Ambar yang melakukan itu. Bahkan ia merasa merinding saat masuk ke dalam ruang kerjanya, seluruh kubikel masih tampak kosong, pun dengan ruangan sang atasan.

Ngomong-ngomong Ambar sudah tiga tahun bekerja di perusahaan ini, awalnya ia bertugas hanya sebagai admin, tapi saat itu sekretaris bos cuti melahirkan, lalu tak kembali. Karena butuh dengan segera sekretaris baru, akhirnya Ambar terpilih. Mungkin memang sudah rezekinya, karena menjadi sekretaris bos, gajinya lebih besar dari menjadi admin.

"Loh? Udah dateng, Mbar?"

Ambar menoleh terkejut saat pintu pantry terbuka, dan disusul sebuah suara yang sangat ia kenali. "Eh, Pak Erwin ... pagi, Pak," sapanya penuh sopan.

"Tumben udah di sini." Erwin bertanya lagi sambil mendekat, berdiri di sebelah Ambar yang sedang membuat minuman sereal.

"Iya nih, Pak, lagi kepengen dateng cepet," kilahnya menyengir, ah padahal kalau bukan karena masalah di rumah, ia mana mungkin datang sepagi ini. "Bapak juga, tumben pagi-pagi udah di kantor? Pak Hesa juga udah dateng, Pak?"

"Belum, saya cuma lagi bosen aja di hotel, jadi datang lebih pagi."

Oh ... Ambar mangut-mangut mengerti. "Em, Bapak mau saya buatin kopi?" tawarnya menatap Erwin.

Lelaki itu membalas dengan anggukan. "Boleh," sahutnya.

Lantas membuatkan kopi untuk atasannya itu, Ambar menyingkirkan sejenak gelasnya dan mengambil kopi kapsul dari kotak kecil yang kemudian ia masukan ke dalam mesin kopi. Sejujurnya semua yang ada di pantry adalah fasilitas gratis yang diberikan perusahaan, jadi meski tidak sarapan di rumah, ia masih bisa mengisi perutnya dengan secangkir sereal.

Menunggu sejenak hingga mesin itu mengeluarkan cairan pekat, Erwin terus memperhatikan Ambar yang tampak menarik napas dan membuangnya dengan gusar. Sebagai orang yang sering berinteraksi dengan orang lain, Erwin tentu bisa membaca kalau ada sesuatu yang sedang gadis itu pikirkan.

"Lagi ada masalah, Mbar?" tanyanya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam kantung celana. Erwin menyandarkan pinggul pada meja pantry, yang membuatnya langsung berhadapan dengan Ambar.

"Ya?" Ditanya seperti itu Ambar terkejut, salah tingkah ia menyentuh tengkuknya. "Kelihatan banget ya, Pak?" cengirnya.

Erwin tersenyum. "Ada masalah apa?"

Tadinya tak mau menjawab, tapi ia sedang ingin mengeluh, maka tanpa sadar Ambar bercerita. "Apalagi sih, Pak, masalah buat orang kayak saya kalo bukan tentang uang," cerocosnya dengan wajah sendu.

"Kamu lagi butuh uang?" Erwin kembali bertanya yang Ambar jawab dengan anggukan. "Pasti mau pinjem seratus?" candanya terkekeh.

Ambar merespon dengan senyuman. "Boleh deh, Pak, tapi seratus juta ya?"

Erwin terhenyak, menatap Ambar dengan lipatan kecil di dahi, berusaha mencari keseriusan dari ucapan gadis itu. "Ini kamu beneran apa lagi bercanda sih, Mbar? Serem banget butuh uang seratus juta."

"Bapak lihatnya gimana?" cebik Ambar manyun. "Tapi seratus juta kebanyakan, Pak. Saya nanti bingung balikinnya."

Lalu obrolan mereka terinterupsi dengan bunyi mesin kopi. Cairan pekat keluar dan terjatuh di atas cangkir yang sudah Ambar siapkan. Lalu ia menyerahkan kopi itu pada sang atasan yang belum mengalihkan atensinya. "Silakan, Pak."

"Makasih, Mbar." Erwin menyeruput sedikit isinya, lalu kembali melirik Ambar yang kini juga menyesap minumannya. Ia tatap gadis itu dengan mata menyipit. "Kamu serius butuh uang?"

Ambar menyengir, bertingkah baik-baik saja. "Lupain aja, Pak, saya jadi makin pusing kalo mikirin uang."

"Kalo memang butuh banget, coba aja ajuin pinjaman ke koperasi perusahaan."

"Kan udah pernah, Pak, saya juga masih nyicil pinjaman itu," jawabnya lesuh.

Melihatnya, Erwin tak tega. Meski mereka bertemu hanya saat Erwin dan Mahesa melakukan kunjungan ke Jogja, tapi Erwin sudah mengenal Ambar sejak tiga tahun lalu. Mereka cukup dekat dan saling membantu dalam mengurus jadwal Mahesa. Erwin ingin menawarkan pinjaman, tapi ucapan Ambar selanjutnya sontak membuat kalimat Erwin tertelan kembali. Lelaki itu melotot horor.

"Pak, kira-kira kalo saya open BO dengan tarif 20 juta ada yang mau gak ya?"

Sontak terbatuk-batuk, Erwin meletakan cangkir kopinya ke atas meja dan memukul pelan dadanya untuk menghilangkan sesak. Rasa panas menjalar langsung dari tenggorokan ke hidung. Matanya seketika berembun, wajahnya memerah, ia lantas bergerak menjauhi Ambar.

"Duh, minum kopinya pelan-pelan aja, Pak," seloroh gadis itu, tampak cemas. "Bapak gak apa-apa?" tanyanya perhatian.

Erwin berusaha menghentikan batuknya, menarik napas dan membuangnya dengan perlahan. Saat dirasa mulai mereda, ia berbalik menatap Ambar galak. "Kamu mau jual diri?" tanyanya sedikit membentak. Ambar mengangguk. "Jalan pintas, Pak," jawab gadis itu santai. "Kalo menurut Bapak, keperawanan saya bisa dihargain berapa? 20 juta kemurahan gak, Pak?"

"Mbar?" Erwin sampai speechless. Ia kehilangan kalimatnya bahkan untuk sekedar memarahi Ambar. 

Gadis itu tidak serius, bukan?

"Tapi saya bingung mau jual ke siapa." Ambar menoleh ke arahnya. "Ke Bapak mau gak?"

Eh?

Erwin terbatuk lagi, kali ini wajahnya memerah padam. Ia berbalik, memunggungi gadis itu.

"Aduh, maaf, Pak. Bukan maksud saya lancang." Ambar meringis sambil memukul bibirnya, sadar ucapannya sudah keterlaluan dengan atasannya sendiri. Tak seharusnya ia menawarkan diri pada Erwin. "Saya cuma ngasal aja kok, Pak. Maaf ya, Pak, ucapan saya jangan Bapak anggap serius."

Ia bergerak salah tingkah, membuang serealnya ke atas wastafel dan mencuci gelas pakainya. Ambar berbalik, menghadap Erwin yang masih berdiri memunggunginya. Wajahnya tampak cemas, bibir bawahnya digigit pelan, apalagi saat tiba-tiba Erwin membalik tubuh dan menatap ke arahnya.

"Pak, saya beneran gak ada maksud ngomong ini ke Bapak. Jangan dianggap serius ya, Pak. Sekali lagi saya minta maaf." Ia membungkuk kecil dan hendak berlalu dari sana saat tiba-tiba saja pintu yang sudah sedikit ia buka ditutup lagi oleh sebuah tangan.

Jantung Ambar nyaris lepas detik itu juga. Ia berdoa agar kelancangannya tidak membuat dirinya dipecat dari perusahaan. Duh, kalau menganggur, mau makan apa ia dan Ibu?

"P—pak?"

"Saya yang beli, Mbar," bisik Erwin tepat di telinga Ambar, mencipta aura gelap dan rasa merinding yang membuat sekujur bulu halusnya berdiri.

Ambar menoleh ke belakang, membuat mereka saling berhadapan. Ia dapat melihat mata Erwin yang menatapnya tajam. "Mak—sudnya, Pak?"

"Keperawanan kamu, saya yang beli. Biar itu jadi milik saya."

"Pak, tapi saya—"

"40 juta, saya memberi penawaran."

Mata Ambar membola.

Jika tadi jantungnya berdetak keras sekali, kini ia merasa organ tubuhnya itu sudah terjun bebas ke dasar perut, mengaduk-aduk di sana, menyulut rasa mulas dan membuatnya mematung.

Astaga! Ia harus menjawab apa?

 

♧♧♧
 

Kata Anna : 

Udah aku coba update 10.000 kata, malah jadi ngelaq karyakarsa aku haha jadi aku update per part aja yaa

Cerita ini cuma sedikit kok, tenang gak akan mahal

Tes ombak yukk, komen dong komen 😆😆 tekan like ya kalo mau entar malem akyu update lagi

Dan WARNING! INI CERITA DEWASA YAAAAAA

Buat yang gak suka, gak apa-apa gak baca dulu ceritaku yang ini, karena ke depannya bakalan banyak berisi adegan warwerwor yaa 🔞🔞

Buat yang suka, duhhhhh dasar ya kalian 😆😆😆

Tunggu part selanjutnya, maachii gess ❤️❤️

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Tenggelam
Selanjutnya TENGGELAM 2
56
9
[SHORT STORY] CERITA INI MEMUAT ADEGAN DEWASA, EXPLICIT SEXUAL CONTENT! 🔞🔞
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan