Pepromeno 5 - 8

19
0
Deskripsi

Masih gratis ya

5. Melupakan

 

Juna memijat pangkal hidungnya yang terasa berat. Pikirannya sedang berkecamuk saat ini. Ia merasa melayang-layang seperti tidak berpijak pada tempatnya. Teman-teman Juna memang brengsek, bercanda dengan obat perangsang itu bukan hal yang lucu. Seharusnya ia juga sadar kalau pesta seperti itu bukan tempat yang baik untuk Tita dan Nadia.

Omong-omong tentang Nadia, kepala Juna jadi semakin terasa sakit. Tadi ia sempat membaca chat dari Bima yang mengatakan jika Nadia sedang bersamanya. Juna sampai melupakan adiknya itu. Untung saja ia memiliki teman maha baik dari segala teman di penjuru bumi ini. Bima memang yang paling bisa ia andalkan.

Kalau terjadi hal buruk pada adiknya, Juna yakin sang ayah akan langsung menembak kepalanya dengan senapan. Saat meminta izin keluar tadi, Juna mengatakan pada Ayah kalau mereka akan pergi ke pesta kembang api biasa, melihat petasan tahun baru, lalu memakan sosis bakar. Tentu saja Juna berbohong, mungkin ia bisa mati berdiri kalau berkata jujur.

"Susunya, Kak." Juna segera tersadar saat tangan Tita menyodorkan satu kotak susu ke depannya. "Biar kepala Kak Juna gak pusing."

Ia menerima itu dalam diam. Juna masih mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara dengan Tita. Ia tidak tahu harus memulai darimana semua pembicaraan ini. Tita gadis lembut yang memiliki kebaikan hati seluas samudera. Sekali ia berkata kasar, Juna yakin Tita akan langsung menangis.

Juna mengenal Tita cukup baik. Gadis itu adalah teman akrab adiknya, bahkan terlalu akrabnya mereka sudah seperti saudara kandung. Mungkin kalau dirinya dan Tita tenggelam, dan Nadia disuruh memilih untuk menyelamatkan salah satu di antara mereka, adiknya itu pasti akan langsung memilih Tita. Sebegitu dekatnya mereka.

Tita pun sudah sering menginap di rumah mereka. Bunda dan ayah menerima Tita dengan baik. Bahkan Juna juga sering mengatarkan Tita dan Nadia ke sekolah. Walau tidak terlalu dekat dan jarang berbicara, tapi Juna tahu kalau Tita adalah gadis lembut dan polos.

"Ta," Tita menoleh. Mengamati wajah Juna yang ingin mengatakan sesuatu. "Yang tadi ... hmm ... itu."

Juna kehilangan kalimatnya. Padahal ia tidak pernah segugup ini saat berdekatan dengan perempuan. Jelas saja berbeda, ia baru saja membobol keperawanan seorang gadis. Dan lebih parahnya, gadis itu adalah teman adiknya sendiri.

"Hmm ... itu ... masih sakit gak?" Dari banyaknya kosa kata yang bisa ia lontarkan, kenapa harus kalimat itu yang ia tanyakan. Juna sedikit merutuki dirinya. "Eh ... maksud gue—"

"Udah enggak," jawab Tita pelan.

Bego! Juna jadi gugup sendiri.

"Mau makan lagi?"

"Enggak." Singkat, tapi membuat Juna takut.

"Atau mau minum susu ini?" ujarnya menyodorkan kotak susu yang tadi Tita beli.

"Gak usah."

Juna menggerakan matanya ke segala arah. Dimana kalimat yang sudah ia rangkai sejak tadi. Mengapa tiba-tiba kepalanya tidak bisa berpikir seperti ini. "Hmm ... Ta, gue—"

"Tita takut, Kak." Rahang Juna seketika mengatup. Ia terdiam dengan kerjapan mata bingung sambil menatap ke arah Tita yang menunduk. "Takut papi tahu," lanjutnya.

Masih bergeming, Juna berusaha mencari kalimat yang pas untuk ia ucapkan pada Tita. Kalau bisa kata-kata mutiara yang dapat menenangkan hati agar tidak menyakiti gadis itu. Tapi Juna sadar, ia tidak memiliki kalimat yang baik untuk diucapkan saat ini.

"Papi lo gak akan tahu kalo lo gak cerita." Tita lantas langsung mengangkat wajahnya, membuat mata mereka saling bertemu. "Mungkin ini terdengar nyakitin buat lo dan juga sedikit kurang ajar. Tapi ... bisa gak gue minta elo buat lupain semuanya ... gue tahu salah, dan gue juga gak bisa balikin mahkota lo lagi. Tapi, Ta ... kita gak bisa terus-terusan inget kejadian tadi."

"Kakak tahukan yang tadi itu ... itu yang pertama buat Tita." Juna mengangguk. "Gimana Tita bisa lupain itu?" Air matanya tiba-tiba menetes lagi. Malu dan hancur bercampur menjadi satu di dadanya.

Ada yang hilang dari dirinya.

Juna mengerti itu. Dari semua kejadian ini, memang Tita lah yang paling dirugikan. Bagi Juna sendiri, kejadian itu tidak akan berbekas padanya, tapi untuk Tita? Gadis itu harus kehilangan mahkotanya.

Tangan Juna terangkat untuk menghapus air mata Tita. Ia tahu akan sangat brengsek sekali kalau ia mengatakan ini, tapi tidak ada cara lain. Juna hanya laki-laki berusia 21 tahun yang pikiran dan kelakuannya masih sangat labil. Ia masih suka bersenang-senang.

"Jangan dateng ke rumah gue lagi."

Tita terdiam.

"Kita jangan ketemu dulu, Ta. Mungkin elo bisa ngelupain kejadian itu kalo kita gak ketemu," kata Juna seraya menatap mata Tita.

"Maksud Kak Juna?"

"Gue gak mau terus terbayang-bayang sama masalah ini, dengan elo gak dateng ke rumah, itu akan jadi salah satu cara buat kita untuk gak ketemu dan ngelupain malam ini. Jadi ... gue minta elo jangan dateng ke rumah gue."

Brengsek! Mulutnya memang sangat jahat! Juna bahkan sudah siap jika setelah ini Tita akan menampar wajahnya atau mungkin memaki-maki dirinya, Juna siap untuk itu.

"Kak ..." Tita melirih, membuat Juna bergerak takut-takut, sedikit menjauh darinya. "Berarti Tita gak boleh ketemu Nadia dong?"

Hah? Ia mengerjap bingung. Di luar dugaan sekali. Juna kira gadis itu akan marah-marah setelah mendengar kalimatnya. Karena jujur, ucapan Juna tadi itu terdengar sangat jahat.

Juna tahu, Tita itu terlalu polos untuk ukuran anak seusianya. Tapi, apa ia gadis itu sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Juna?

"Bukan ...," duh, ia jadi salah tingkah sendiri. "Maksud gue, kita yang jangan ketemu ... untuk beberapa waktu jangan ke rumah gue, apa lagi nginep."

Tita merengut, lalu menunduk lagi. Ini keterlaluan bukan? Mengapa seolah-olah Tita lah yang bersalah di sini.

"Sorry, Ta. Gue pikir ini jalan yang terbaik. Kita gak saling cinta, dan kejadian tadi itu murni kecelakaan. Emang sih gue yang maksa, tapi saat itu gue juga lagi di bawah pengaruh obat." Juna menghela, gadis itu tidak menunjukan ekspresi apapun. Entah kecewa, marah, atau setuju dengan usulnya tadi.

"E—lo gak masalah, kan?"

Tita mengangguk samar. Masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan. Tita takut, tapi Tita juga bingung rasa takut seperti apa yang melingkupi dirinya saat ini. Tita hanya merasa tidak nyaman mendengar kalimat Juna barusan.

Seolah mengerti apa yang sedang gadis itu pikirkan, Juna lalu menarik dagu Tita dan mengangkat wajahnya. "Lo gak usah takut, gue pastiin gak akan terjadi apa-apa sama lo."

Tita mengangguk dengan mata bening yang menggenang. "Dan satu lagi ... jangan ceritain masalah ini sama siapapun, termasuk sama Nadia. Pokoknya elo gak boleh cerita-cerita."

 

 

6. Sebuah Rencana

 

"Lo yakin, Bob?" Dengan rokok yang terselip di jari tangannya, Dery bertanya pada Bobby untuk memastikan seorang gadis yang keluar bersama Juna pada malam tahun baru kemarin.

Bobby mengangguk seraya menghembuskan asap mengepul dari bibirnya. "Yakin gue ... walaupun gue mabok, gue masih bisa ngelihat dengan jelas cewek yang Juna bawa keluar dari kamar ... sexy banget, bray."

"Temen adeknya kan itu, ya?" sambar Marcell.

"Yup ... gak nyangka gue kalo si Juna bakalan melepas keperjakaannya sama itu cewek. Harusnya dia berterima kasih sama gue, gara-gara tuh obat dia bisa ngejebol perawan." Seringai tipis tercetak jelas di bibir Bobby saat mengatakan itu. "Padahal gue gak masalah kalo dia mau kasih tuh cewek ke gue. Bekas, baru dipake sekali."

"Rapet banget pasti, Bob," ledek Dery yang menyulut gelak tawa di antara mereka.

"Ya iyalah Juna gak bakalan ngasih tuh cewek ke elo, dia mau make sendirian. Ya kali barang segel mau dibagi-bagi," timpal Marcell.

Bobby kembali menghisap batang rokok itu, lalu menghembuskan asapnya menjauh. Pikirannya melalang jauh pada tubuh molek Tita yang ia lihat kemarin malam di dalam rumah. Gadis itu benar-benar menggoda.

"Berengsek emang si Juna, kalo aja selama ini bukan dia yang suka traktir kita makan, gak masalah deh gue berantem sama dia. Seharusnya udah gue tarik tuh cewek ke kamar." Dilemparnya batang rokok yang tinggal sedikit itu ke tanah, lalu menginjaknya kesal.

Juna bagi mereka adalah tambang emas. Pesta tahun baru kemarin tidak akan semewah itu kalau bukan sumbangan dari uang Juna.

"Gue jadi penasaran kayak gimana sih bentuk ceweknya. Sebohay apa sampe si Bobby ngebet banget sama dia," celetuk Marcell sambil menguyah keripik kentangnya.

"Emang cantik, Bob?" tanya Dery penasaran.

Bobby tersenyum miring, menggusar rambutnya ke belakang. "Biasa aja."

"Biasa tapi bisa bikin lo horny? Basi lo, Bob!" sahut Dery.

"Ya ... gue cuma penasaran aja."

"Kalo gitu, kenapa gak lo samperin ke sekolahannya? Jemput dia, terus lo ajak jalan. Maen halus lah." Dery kembali berujar untuk memberi usul.

Marcell lalu menambahi. "Tahu, Bob. Usaha dong. Siapa sih cewek yang bisa nolak lo."

Niat Bobby mengajak tidur Tita semakin besar rasanya, apalagi setelah kedua temannya berhasil memanas-manasinya. "Lo berdua tahu dimana dia sekolah?"

Dery menggeleng. "Tanya Bima coba, dia kan tahu segalanya tentang Juna."

"Nah bener tuh," timpal Marcell.

Bobby tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Sejak kapan ia jadi senang bersusah payah untuk mengajak tidur seorang perempuan. Semenjak melihat Tita berdiri di dalam rumahnya, Bobby seperti ingin sekali memiliki tubuh gadis itu.

"Elo tahu dimana Bima sekarang?"

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Memang panjang umur cowok itu. Belum lama dibicarakan, motor Bima sudah melintas tepat di depan mata mereka. Cowok itu berhenti dan memarkirkan motornya di dalam parkiran kampus.

Tak lama kemudian Bima berjalan menghampiri Bobby dan kedua teman lainnya.

"Udah pada lama di sini?" tanya Bima seraya memberikan tos pada teman-temannya.

"Gak lama banget. Sekalian nunggu lo." Marcell menjawab.

Dery membuang putung rokoknya. "Juna mana, Bim? Gak ngampus?"

"Sakit katanya."

Dery dan Marcell menganggukan kepala mereka, lalu melirik Bobby memberikan isyarat untuk segera bertanya tentang gadis yang bersama Juna pada malam tahun baru itu.

"Bim," Bima berdehem sembari membuka chat obrolan di hapenya. "Kemaren elo pergi sama adeknya Juna?"

"Iya."

"Oh pantes gue cariin gak ada."

Masih sibuk dengan hapenya, lalu Bima menyahut. "Kenapa emangnya?"

"Gak." Bobby menegakan tubuhnya dari sandaran kursi. "Sekolah dimana dia?"

Awalnya Bima tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan Bobby. Tapi entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak. "Kenapa lo nanyain sekolahan adeknya Juna?"

Bobby tahu, Bima bukanlah orang yang suka berbasa-basi. Semenjak Juna mengenalkan mereka pada Bima, sikap cowok itu terkesan dingin.

"Cewek yang kemarin sama Juna, gue pengen kenalan sama dia," kata Bobby diiringi seringai tipis.

"Tita maksud lo?"

"Ohhhh namanya Tita." Marcell menyeletuk.

"Tunggu-tunggu, ini maksudnya apa sih?" Wajah Bima mulai tidak santai, ia menegakan tubuhnya sembari memasukan hapenya ke dalam kantong jaket.

"Gini deh, Bim, gue gak mau basa basi sama lo. Gue yakin elo juga gak suka sama hal itu—"

"Buru deh, Bob, maksud lo apa!?" Bima memotong ucapan Bobby.

"Oke," membasahi bibirnya, Bobby lalu menatap Bima dengan yakin. "Gue mau Tita!"

Tentu saja Bima tercengang. Apa yang Bobby maksud dengan kata 'mau' ia memahaminya. Bobby bukan tipe cowok yang akan mengencani perempuan selain untuk sex. Di sinilah emosinya mulai tersulut. "Jangan gila! Tita gak kayak cewek-cewek yang sering elo tidurin, Bob! Jaga omongan lo."

Bobby berdecak. "Yakin dia enggak kayak gitu?"

"Gue kenal dia!"

"Mungkin sekarang gak lagi." Dery menyahut.

"Apaan sih lo bertiga?" Emosi Bima sudah tidak terkontrol.

Bobby mengedik santai, memutar-mutar bungkus rokoknya tanpa takut pada tatapan Bima yang menyorotinya tajam. "Kemaren Juna nidurin tuh cewek."

Kening Bima menyerngit. Omong kosong apa lagi yang mereka katakan di sini. Juna tidak mungkin sebodoh itu untuk meniduri seorang gadis, apalagi itu Tita.

"Jangan ngomong yang enggak-enggak deh lo semua! Gue dari kemarin diem aja ya, tapi sekarang becanda lo udah pada kelewatan!"

"Gue becanda tapi omongan gue selalu bener." Bobby menyahuti.

Dengan amarah yang sudah menggebu-gebu. Bima beranjak dengan cepat, menarik kerah kemeja Bobby dan bersiap memukul wajah cowok itu. "Anjing! Maksud lo apa?"

"Bim ... woi, kampus nih. Santai dong." Marcell mencoba menengahi dengan menahan tangan Bima.

"Tahu lo, gak enak dilihat yang lain. Lo mau dilaporin?" timpal Dery. "Lepas buruan."

"Gue gak peduli!"

Tenaga Bima menjadi dua kali lebih kuat saat emosinya terpancing oleh Bobby. Dery dan Marcell sampai tidak bisa menariknya menjauh.

"Gue bilangin sama lo." Bobby menyeringai, menatapnya penuh ledek. "Kemarin ... gue sengaja masukin obat perangsang ke dalam minum—"

Bugh

Tanpa menunggu Bobby menyelesaikan kalimatnya, Bima melayangkan sebuah pukulan ke wajah cowok itu. Bobby tersungkur dari bangkunya dengan darah segar keluar dari sudut bibir.

"Bangsat!"

Para mahasiswa yang baru saja keluar dari parkiran langsung melihat itu, dan mengerubungi tempat mereka. Dery dan Marcell sibuk memegangi Bima.

"Lepas anjing! Biar gue kasih dia pelajaran!" Bima meronta, amarahnya benar-benar sudah terpancing. Ia ingin sekali membuat babak belur wajah Bobby. Sudah sejak lama Bima menginginkan itu. "SINI LO, BANCI! NGGAK TAHU DIRI!!!"

"Bim ... udah, ini kampus. Elo mau kena skorsing?" Dery memperingati.

Marcell lalu membantu Bobby berdiri. Cowok itu masih saja terus menyeringai, berusaha untuk memancing emosi Bima agar semakin berkobar.

"Udah-udah ... malu, Bim, udah banyak anak-anak yang kumpul! Lo mau jadi tontonan mereka dan pihak kampus tahu semua ini," kata Dery masih dengan usaha menahan tubuhnya.

Kepalan tangan Bima terlepas, dan tubuhnya tidak lagi meronta seperti tadi. Ia melihat ke sekeliling, dan memang benar. Ada banyak pasang mata yang sedang melihat ke arah mereka, lebih tepatnya ke arah dirinya.

Bima berdecak, menyingkrikan cekalan Dery di bahunya. "Gue belom selesai sama lo, Bob! Bangsat!!" katanya seraya berlalu memasuki parkiran, mengambil motornya dan melaju menuju ke tempat dimana Juna berada saat ini.

 

7. Bukan Sebuah Solusi

 

Bima tidak perlu terkejut saat mendapati pintu rumahnya sudah tidak lagi terkunci. Apalagi dengan kehadiran satu buah mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Bima yakin jika pemilik mobil itu sedang ada di dalam kamarnya saat ini.

Dengan langkah yang menggebu-gebu, Bima menaiki anak tangga dan membuka pintu kamarnya cepat. Ia langsung menemukan tubuh jangkung sedang berbaring terlentang di atas ranjangnya dengan satu tangan menutupi mata.

Tiba-tiba saja emosinya sedikit menguar ketika melihat penampilan sang sahabat yang sangat acak-acakan. Bima tahu baju yang Juna gunakan saat ini adalah baju yang sama dengan malam tahun baru saat terakhir kali mereka bertemu. Padahal pagi tadi cowok itu sempat mengabari kalau ia tidak bisa ke kampus karena tidak enak badan.

"Bangun lo!" sentak Bima sembari melemparkan kunci motornya ke atas ranjang, mencoba membuat Juna terusik. "Elo harus ngejelasin sesuatu sama gue!"

Juna tampak tidak merubah posisi tidurnya sama sekali. Ia seakan tidak terusik dengan suara Bima yang menjadi satu-satunya pengisi kekosongan sejak tadi. Bersama decakan keras, Bima melempar tasnya ke atas ranjang hingga menyentuh tangan Juna.

"Gue pusing, Bim." Terdengar helaan napas lelah saat Juna mengatakan itu. "Biarin gue tidur sebentar aja, kepala gue pusing banget," ujarnya lemah.

"Lo kira rumah gue tempat penampungan cowok-cowok berengsek!" Bima berdecak. Membuka jaketnya dan menggantungnya pada balik pintu. "Elo belom pulang?"

"Gue udah bilang Bunda bakalan nginep di rumah lo sampe bokap nyokap lo pulang."

"Dua hari ini lo tidur dimana?"

"Arin."

Bima mendengkus. "Tayiii!"

Salah satu yang membuat ia membenci Bobby adalah Arin. Kalau saja Bobby tidak mengenalkan Arin pada Juna saat cowok itu sedang ada masalah, pasti Juna masih bisa berpikir waras sampai saat ini.

Bima tidak menyukai Arin. Bukan karena perempuan itu pernah mematahkan hati sahabatnya. Hanya saja Arin selalu membawa dampak buruk untuk Juna, seperti mabuk-mabukan dan keluar masuk klub malam.

"Elo kenapa gak cerita langsung sama gue, sih? Kenapa gue harus tahu masalah ini dari si manusia kampret itu!?"

"Gue ... bingung," ujar Juna lagi. Ia masih menutupi matanya dengan tangan berharap mengurangi rasa sakit di kepalanya.

"Ini Tita, Jun, Tita!! Lo gila apa!?"

Akhirnya ia beranjak, memijat dahinya untuk mengurangi rasa sakit di kepala. "Gue gak bisa ngendaliin diri gue waktu itu, Bim! Semua terjadi gitu aja. Gue mabuk, dan gue tergoda! Lo harus tahu, gue di bawah pengaruh obat saat itu!"

"Nah ... bego, kan! Bego lo, Jun. Tolol!" Dengan masih terus mengumpat pada Juna, Bima lalu melangkah dan duduk di kursi meja belajarnya "Gue udah bilang sama lo berkali-kali, kalo Bobby sama temen-temennya itu bahaya! Elo lihat sendiri sekarang akibatnya!"

Juna tertohok. Harusnya ia mendengarkan semua perkataan Bima waktu itu. Harusnya ia menjauhi Bobby dan tidak perlu masuk ke dalam lingkaran pertemanan mereka. Juna masih ingat dengan jelas awal dirinya dan Bobby berteman. Waktu itu Ayah meminta Juna untuk masuk ke Akademi Militer, tapi ia menolak dan dari situlah terjadi pertengkaran hebat antara dirinya dan Ayah.

Bobby saat itu mengajaknya untuk berkumpul bersama teman-temannya, membuat Juna melupakan masalahnya dengan sang ayah. Lalu membawanya masuk pada kehidupan malam, Bobby jugalah yang mengenalkan Juna pada Arin. Hingga sampai saat ini Arin seolah menjadi dunianya.

"Terus gimana sama Tita?" Bima bertanya, tanpa mengurangi rasa kesalnya.

"Menurut lo gimana lagi? Ya nangis lah!"

"Dia gak minta lo tanggung jawab?"

Juna menggeleng. Satu yang membuat ia semakin merasa bersalah, Tita tidak pernah meminta apapun darinya, gadis itu juga tidak menunjukan rasa bencinya pada Juna sedikitpun. "Gue minta dia buat lupain itu."

Bima terdiam. "Maksud lo?"

Butuh beberapa detik baginya untuk bisa bercerita pada Bima. Juna seperti kehilangan kalimatnya. Awalnya, ia berniat untuk menutupi ini dari Bima, tapi ternyata Juna membutuhkan seorang teman untuk berbagi.

"Gue jahat banget, Bim. Gue minta Tita buat lupain kejadian itu, gue juga minta dia buat gak dateng ke rumah—"

"Berengsek lo, Jun!" teriak Bima begitu saja bersama tinju yang melayang ke wajahnya. "Gue tahu Tita anak polos dan gampang dibegoin! Tapi bukan berarti elo bisa ngomong sejahat itu sama dia!"

Juna mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Ia tertawa hambar mengejek dirinya sendiri. "Gue terpaksa! Elo pikir dong gimana rasanya jadi gue, Bim?? Gue udah nidurin cewek yang seumuran sama adek gue, sedangkan gue? Gue masih 21 tahun! Apa yang bisa gue lakuin??"

"Seenggaknya elo gak perlu ngomong itu!"

"Gue kalut, Bima! Gue takut!" Juna mengusap wajahnya, merasa frustrasi dan tertekan. Ia hanya butuh seseorang yang mengerti keadaanya saat ini. Karena jujur, rasa bersalah membuatnya hidup seperti orang mati.

Kepala Juna terasa sangat berat, dan rasa sakitnya bertambah menjadi dua kali lipat saat Bima kembali bertanya, "Lo pake pengaman kan?"

Ingin rasanya Juna menenggelamkan kepalanya pada rawa-rawa saat ini juga. Pertanyaan itu sebenarnya tidak patut untuk dipertanyakan.

"Elo tahu orang mabok gak? Mana adanya gue mikir make kondom dulu buat hiya-hiya sama Tita!?"

"Kacau lo, Jun! Kacau!"

Juna berusaha untuk tenang. "Terus gue harus apa? Gue bingung!"

"Mati! Nyemplung aja lo ke laut sana!"

"Ide bagus."

"Elo berdoa aja semoga cacing-cacing sperma lo gak berhasil membuahi sel telurnya Tita. Atau lo berdoa, semoga karena lo kebanyakan coli, sperma lo jadi busuk!"

"Kalo gue tendang pala lo aja, gimana Bim?"

 

8. Kaca Spion

 

Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sudah hampir sebulan setelah insiden dirinya dan Juna di malam pergantian tahun terjadi. Tita seolah melupakan itu karena terlalu sibuk dengan persiapan Ujian Nasional yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi.

Tita merasa waktunya sudah tersita hanya untuk belajar tanpa memikirkan hal lain. Apalagi semenjak pihak sekolah memberikan mereka jam pelajaran tambahan yang membuat seluruh murid kelas 12 selalu pulang ketika hari sudah menjelang sore.

Itu juga yang menjadi alasan Tita setiap kali Nadia mengajaknya menginap.

Setelah Juna mengantarnya pulang pagi itu, Tita tidak pernah lagi bertemu dengan cowok itu. Setiap kali Nadia mengajaknya untuk main atau menginap di rumahnya, Tita akan menolak dengan alasan ingin belajar untuk Ujian nanti.

Padahal Tita hanya ingin menghindar agar tidak bertemu dengan Juna lagi. Benar apa kata cowok itu, dengan tidak bertemu Tita perlahan bisa melupakannya.

Bel pulang berbunyi setelah jam pelajaran tambahan berakhir. Semua murid langsung merapihkan buku-buku mereka dan keluar kelas sebelum langit mulai menggelap.

Nadia mendesah lelah, lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku. "Capek, Ta," keluhnya.

"Iya, aku juga," jawab Tita sembari melakukan hal yang sama seperti Nadia. "Kepala aku pusing banget, Nad. Lemes rasanya."

Nadia menoleh cepat ke arah Tita. "Kamu sakit ya, Ta?"

Tita menggeleng. "Enggak."

"Beneran? Kok pucet gitu." Nadia menegakan tubuhnya, lalu salah satu tangannya terangkat menyentuh kening Tita. "Gak panas sih, tapi kok bisa pucet kayak gitu, ya?"

"Gak tahu juga, Nad. Kemarin seharian aku mual banget, terus badan aku juga lemes. Tidur aku jadi gak tenang. Apa mungkin aku stres karena mau ujian, ya?"

"Masa sih kamu sampe segitunya. Gak mungkin lah, Ta. Aku yang otaknya di bawah kamu aja gak begitu." Nadia menjenda sebentar. "Atau itu tanda-tanda kamu mau menstruasi, bulan ini kamu belum dapet kan?"

Tita langsung terdiam, dan jantungnya berdebar secara abnormal. Ia tidak berkutik saat ditanya seperti itu oleh Nadia. Tubuhnya kaku dalam sekejap saat mengetahui satu fakta yang sudah ia lewatkan. Sudah hampir sebulan ini ia tidak mendapatkan periode menstruasinya. Sejak malam tahun baru itu.

"Ta, hei?"

"Nad ...," pandangan Tita kosong ke depan. Menatap papan tulis di kelas. Pikiran Tita berkecamuk, ia masih terlalu muda, baru berumur 17 tahun dan sebentar lagi akan menghadapi Ujian Akhir. Tidak mungkin kan kalau ia hamil?

"Ada apa sih, Ta, kamu abis lihat setan ya? Jangan bikin aku takut gitu dong." Nadia mengguncang bahu Tita pelan. "Udah yuk pulang aja, aku jadi takut."

Tita masih mencoba menyangkal pikiran-pikiran buruk yang berputar di kepalanya. Tidak, ia hanya kelelahan saja, karena sibuk mempersiapkan Ujian Nasional hingga membuatnya telat menstruasi. Ia hanya sedang stress saja.

"Tita!" Ia tersentak, buru-buru meyadarkan dirinya dari pikiran buruk dan kemudian menatap Nadia dengan senyum tipis. "Kamu ngelamun bikin aku takut tahu, Ta."

"Oh ... maaf, ya."

"Pulang yuk," ajak Nadia lagi.

Tita lalu beranjak dari kursinya, merapihkan barang-barangnya dan keluar dari kelas bersama Nadia. Perasaan Tita masih belum tenang, ada rasa takut yang sangat besar melingkupi dirinya.

Bukan hamil, Ta, bukan. Kamu cuma kelelahan aja.

"Kamu dijemput, Ta?"

"Hah? Kenapa?" jawab Tita gelagapan.

Nadia mendengkus. "Ngelamun mulu sih kamu ... aku tanya, kamu dijemput?"

"Enggak, aku naek ojol aja."

"Mau bareng gak? Aku dijemput Abang nih."

"Hah?" Lagi-lagi Tita dibuat blingsatan mendengar itu. Gawat, Juna akan menjemput Nadia dan secara otomatis ia akan bertemu dengan cowok itu. "Emm ... gak usah, Nad, aku udah pesen ojol."

"Batalin aja."

"Gak bisa, Nad. Lagian aku mau beli sesuatu dulu."

"Nah ... karena mau beli sesuatu makanya bareng aku aja." Nadia memaksa.

Duh ... Tita jadi pusing. Rasa mual di perutnya kembali datang dan sekujur tubuh Tita langsung panas dingin, apalagi ketika matanya melihat tubuh Juna yang sedang bersandar pada badan mobil dengan rokok terselip di jari tangannya.

"Abang ...."

Juna menoleh saat mendengar panggilan Nadia. Dari raut wajah yang Tita lihat, tidak ada keterkejutan sama sekali di wajah Juna saat melihat dirinya. Sudah seharusnya memang seperti itu, mereka kan sudah sepakat untuk tidak mengingat kejadian yang terjadi di malam tahun baru itu.

"Tita ikut yak, Bang. Kasian dia gak dijemput."

"Gak usah, Nad." Tita menolak, matanya berpaling tidak ingin melihat Juna. "Aku naek ojol aja, nanti juga mau beli sesuatu."

"Gak pa-pa, nanti Bang Juna anter. Iya kan, Bang?"

Juna mengangguk, sembari membuang putung rokoknya ke tanah. Ia menatap Tita yang menunduk. "Emang mau beli apa?"

Untuk pertama kali selama sebulan mereka tidak bertemu, suara Juna kembali terdengar di telinganya. Seketika Tita menjadi salah tingkah.

Tita mau beli testpack, Kak, testpack! Gara-gara kamu nih!

"Gak penting sih ... besok aja deh aku belinya."

"Bener?" tanya Nadia memastikan.

"Iya, gak apa-apa kok, besok juga bisa," balas Tita meyakinkan.

 

***

 

Perjalanan dari sekolah ke rumah jadi terasa begitu lama. Entah kenapa, padahal biasanya Tita hanya membutuhkan waktu 30 menit saja untuk sampai ke rumah. Selama di mobil, baik Tita dan Juna tidak ada yang bersuara. Hanya terdengar suara Nadia yang terus mengoceh sejak tadi.

Tita merasakan dadanya berdebar tidak karuan, dan tubuhnya mendadak gelisah. Sejak mereka bertiga masuk ke dalam mobil, Juna tidak lepas memandangi dirinya dari balik kaca spion yang ada di dalam mobil. Sesekali ia menatap ke arah jalan raya, lalu kembali memandangi Tita.

Tentu saja aksinya itu menyulut kegugupan pada diri gadis itu, hingga Tita hanya bisa menunduk sambil meremat tali tas sekolahnya dengan gelisah.

"Ta, kamu kenapa sih sekarang jadi gak pernah nginep di rumah aku?" Nadia bertanya, membuat Tita mengangkat wajahnya, lalu berpaling saat matanya tidak sengaja bertubrukan dengan mata Juna dari balik spion.

"Aku kan harus belajar, Nad."

Nadia mendengkus. "Kamu kan udah pinter, gak usah belajar terlalu keras, Ta."

"Tapi tetep harus belajar, Nad," balas Tita.

Lalu tiba-tiba Juna menyahut. "Emangnya elo, gak pernah belajar."

"Gue belajar kok." Nadia mencebik tidak terima ke arah abangnya.

"Apaan gue lihat lo maenan hape mulu."

"Emang harus di depan lo kalo mau belajar!" balas Nadia nyolot. "Lagian, gak bagus belajar banyak-banyak, tuh kayak Tita."

"Kenapa aku?" tanya Tita bingung.

Nadia memiringkan tubuhnya. "Bang Juna tahu gak? Tita pucet banget tadi, terus dia bilang kalo kemarin dia mual-mual, itu gara-gara Tita kebanyakan belajar tau!"

Tita langsung menelan ludahnya dengan susah payah. Membicarakan ini di depan Juna mengapa rasanya berdebar sekali. Tita sampai bingung harus menjawab apa. "Gak karena itu kok, Nad."

Nadia menoleh ke belakang. "Karena apa?"

Sekali lagi, matanya tidak sengaja bertubrukan dengan mata Juna dari balik kaca spion. "Itu—"

"Jangan bilang karena kamu kebanyakan pacaran sama Rama," sambar Nadia.

Kaki Juna sontak menginjak rem secara mendadak hingga tubuh Nadia dan Tita langsung terdorong ke depan. Suara decitan ban mobil yang beradu dengan aspal terdengar nyaring di sana. Untung saja tidak ada kendaraan lain yang belaju di belakang mereka.

"Apa sih, Bang!" sergah Nadia kesal karena kepalanya hampir menyentuh dashboard mobil.

Tita meringis, lalu memperbaiki duduknya sembari menyentuh keningnya yang terbentur jok penumpang tadi.

"Kamu gak apa-apa, Ta?" tanya Nadia khawatir.

Tita menggeleng dengan tangan masih mengusap keningnya. "Gak apa-apa, Nad, cuma kejedot jok tadi."

Nadia meradang, memukul pundak sang kakak dengan keras. "Kenapa sih lo, Bang, kalo ngerem jangan dadakan gitu dong. Untung Tita gak kenapa-napa!"

Tidak memperdulikan kemarahan Nadia, Juna malah menoleh ke belakang, menatap Tita lalu bertanya, "elo punya pacar?"

"Hah?" Tita jadi melongo bingung. Tatapannya bahkan seperti ayam yang sebentar lagi akan mati.

"Iya, namanya Rama." Nadia yang menyahuti. "Lagian kenapa sih, Bang? Sampe ngerem mendadak kayak gitu cuma mau nanyain pacarnya Tita?"

"A—aku gak punya pacar kok," sela Tita meluruskan. "Rama cuma temen."

Juna mendengkus, lalu menatap Nadia tajam. "Lo jangan asal ngomong, dia bilang cuma temen."

"Ya kan gue lihatnya kayak pacaran, lagian bukan urusan lo! Kenapa jadi lo yang nyolot?" balas Nadia tidak terima.

"Itu namanya fitnah!"

"Gue gak fitnah, gue ngomong di depan orangnya kok. Iya gak, Ta?"

"Hah?" Tita kembali melongo bingung. Sebenarnya siapa yang sedang mereka perdebatkan?

"Ish! Kalo bukan adek udah gue turunin lo!" gerutu Juna kesal.

Ia kemudian kembali menjalankan mobilnya. Sedikit merutuki diri kenapa harus begitu terkejut mendengar Tita memiliki pacar. Memangnya ia siapa?

"Dasar aneh," cibir Nadia.

Suasana mobil kembali menjadi hening. Juna memilih untuk fokus pada jalanan di depannya sambil mentralkan denyut kepalanya yang tiba-tiba memanas ketika mendengar Tita memiliki pacar. Ralat, bukan pacar! Tapi teman.

Sedangkan Tita hanya menunduk bingung, mencoba menerka-nerka tentang perubahan sikap Juna barusan.

Dan Nadia? Gadis itu mulai sibuk memainkan handphone-nya dengan wajah berseri-seri tanpa menyadari keanehan pada dua orang lainnya di dalam sana. "Lo tahu rumahnya Tita kan, Bang?" tanyanya setelah setengah perjalanan terlewati.

"Iya." Hanya sahutan dingin yang keluar dari bibir Juna, tapi mata cowok itu tidak lepas memandangi Tita dari kaca spion.

Tita kembali menyadari itu.

Ini bahaya, bisa-bisa jantungnya terjun bebas ke dasar perut nanti. Dengan menguras akal di dalam otaknya, Tita secara perlahan menggeser duduknya ke kiri sedikit demi sedikit hingga kaca spion yang menggantung di atas sana tidak lagi terpantul ke arahnya.

Tanpa disadari, Juna tersenyum dari balik kemudi saat melihat itu. Tita benar-benar menggemaskan, enak untuk dijahilin. Lalu ide jahil muncul di kepalanya. Dengan perlahan Juna membetulkan kaca spion itu, merubahnya ke kiri hingga kemudian kaca tersebut kembali memantulkan wajah Tita di dalamnya.

Duh ... Tita jadi ingin cepat-cepat sampai rumah.

"Ta ... Tita."

"Hah? Ya, Nad, kenapa?"

Kepala Nadia menyembul dari kursi depan. "Ngapain sih duduk mojok kayak gitu."

Tira menyengir kaku. "Gak apa-apa, enak aja."

Juna lalu terkekeh pelan. Tita bisa melihat itu. Ia malu ... benar-benar malu. Ada apa sih dengan Juna? Kenapa cowok itu tiba-tiba berubah seperti tidak terjadi apapun di antara mereka.

Tita harus bagaimana sekarang?

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Pepromeno
Selanjutnya Pepromeno 9 - 13
16
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan