Pepromeno 1 - 4

18
0
Deskripsi

Berisi Part 1 sampai 4

1. Pesta Tahun Baru

( Juna )

Suara musik yang memekakan telinga, serta lampu remang-remang yang menyulitkan penglihatan orang-orang menjadi bagian dari pesta penutupan akhir tahun yang diadakan oleh Juna dan teman-temannya.

Bertempat di salah satu rumah mewah di kawasan elit, pesta itu digelar secara terbuka dan dihadiri lebih dari 20 orang. Hampir seluruh teman-teman Juna hadir di dalam pesta tersebut. Pesta tahun baru yang dimaksud oleh teman-teman Juna adalah pesta alkohol dan sex bebas.

Taman belakang rumah dan kolam renang dipenuhi oleh puluhan perempuan dengan pakaian sexy dan laki-laki yang sedang bercumbu mesra. Mereka bergerak bebas mengikuti alunan musik dari DJ terkenal.

Dan dimana Juna sekarang? Ia sedang duduk santai di ruang tengah sembari menikmati sekaleng bir.

"Lo ngajak Nadia, Jun?" tanya Bima pada Juna yang sedang duduk di atas sofa dengan rokok terselip di jari tangan.

Juna hanya mengangguk sembari menghembuskan asap rokoknya menjauh. Kepalanya bergerak-gerak mengikuti alunan musik.

"Dasar abang gila lo!" Bima ikut menghempaskan tubuhnya di sebelah Juna. "Kalo dia bilang sama nyokap bokap lo gimana? Lagian ini pesta dewasa, men! Banyak alkohol, kalo dia sampe minum bahaya!"

"Gak bakal ... dia sama si Tita kok, mana mau itu anak minum minuman kayak gitu."

Bima menggeleng heran. "Pea! Adek lo cewek gila, di sini banyak anak-anak cowok yang mabok. Sinting nih abang!"

"Nyantai aja sih, Bim, gak akan kenapa-kenapa dia." Juna mematikan rokoknya ke atas asbak, lalu menatap Bima nyeleneh. "Lagian si Nadia sendiri yang minta ikut, katanya mau ngerasaain pesta orang dewasa."

"Terus lo iyain gitu aja?"

"Gak ada salahnya, kan?"

"Biar kata dia yang mau juga di sini bukan tempat mereka." Bima mendengkus. Tidak habis pikir dengan isi kepala sahabatnya ini. "Jun, pokoknya lo ha—"

"Woiiiii, Juna ...."

Belum sempat Bima menyelesaikan kalimatnya. Bobby dan teman-teman mereka datang menghampiri. Juna tertawa menyambut kedatangan mereka.

"Berduan aja lo kayak homo," celetuk Marcell yang membawa beberapa kaleng bir di tangan.

"Idih najis, homo juga milih-milih gue." Juna membalas sembari menggeser tubuhnya menjauhi Bima. Ia juga menambahkan kedikan bahu geli saat mengatakannya.

Ketiga cowok yang baru datang itu langsung tergelak kencang, sementara Bima hanya mendengkus tanpa mau ikut menyahuti.

"Bima sih seneng-seneng aja ye, kan?" ledek Bobby yang langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.

Bima benar-benar tidak ingin menyahuti ledekan teman-temannya itu. Kepalanya sudah terlalu pusing untuk memikirkan hal lain karena sekarang isi kepalanya sudah dipenuhi oleh dua anak gadis yang Juna bawa ke dalam pesta ini.

"Gimana? Keren gak pestanya?" Bobby bertanya pada Juna sambil membuka tutup kaleng bir. "DJ di kolam renang katanya lagi terkenal tuh gara-gara dilecehin Yutuber."

"Elo banget ye, suka ngelecehin cewek-cewek," timpal Bima mengejek dengan sedikit menambahkan nada sinis.

Bobby mendengkus, lalu menggeleng. "Gue gak nanya lo, homo!" Lalu beralih lagi pada sosok Juna. "Suka gak lo?"

Juna mengangguk dengan bibir menipis. Tangannya lalu meraih sekaleng bir yang tadi di bawa oleh Marcell dan membukanya. "Lumayan lah ...," jawabnya seraya meneguk minuman itu. Rasa panas langsung menjalar turun melewati tenggorokannya.

"Tayi lo! Udah keren kayak gini masih lo bilang lumayan," sahut Dery dengan sebatang rokok terselip di antara dua jarinya. "Elo lihat tuh Bima, enjoy banget dia."

"Enjoy dari mana?" Bima menjawab sambil sibuk mengotak-atik hapenya. Bagaimana enjoy kalau sejak tadi ia duduk dengan perasaan cemas dan takut karena sulit menghubungi Nadia? Bima takut terjadi sesuatu pada gadis itu.

"Bima enjoy karena gak pernah ikut beginian, dikasih cewek juga gak bakalan mau dia," sambar Bobby yang langsung membuat semuanya tergelak.

"Makanya Bim, insyaf lo jangan doyan sama cowok," tambah Dery.

Sontak derai tawa mereka semua membahana beriringan dengan suara musik yang memekakan telinga. Sejujurnya Bima tidak terlalu suka dengan Bobby dan kedua temannya itu. Bima mengenal mereka bertiga dari Juna. Di kampus, Juna pernah masuk ke dalam komunitas pecinta alam. Tapi hanya sebentar, lalu ia mengundurkan diri. Dari sanalah Juna mengenal Bobby dan yang lainnya.

Bima dan Juna sendiri berteman sudah sangat lama, sejak mereka duduk di bangku SMP. Dulu mereka bertetangga, tapi Bima pindah karena ayahnya mendapatkan pekerjaan baru. Masih di daerah Jakarta, hanya beda kawasan.

Bobby dan yang lainnya masih asik tertawa, dan sesekali terlibat percakapan seru yang hanya dimengerti oleh mereka berlima. Juna kembali meneguk minuman haram itu, menjalarinya masuk ke dalam tenggorokan. Menikmati detik demi detik pergantian tahun dengan cara paling keren menurut dirinya. Hingga kemudian suara Marcell kembali terdengar.

"Bobby bawa cewek buat lo, Jun."

Kedua alis Juna terangkat, lalu tidak lama bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah seringai. "Gak minat."

"Mana minat dia, hatinya masih nyantol sama si Arin," sahut Dery.

Air wajah Juna seketika berubah. Arin adalah mantan pacar Juna, mereka putus karena Arin berselingkuh dengan Jerry. Padahal Juna cinta mati dengan gadis itu. Bahkan ia rela meminta Arin kembali padanya walaupun telah diselingkuhi.

Salah satu contoh budak cinta, kalau kata anak jaman sekarang.

"Makanya, Jun, jangan kebanyak maen sama Bima. Lo jadi lupakan kalo lo punya burung." Marcell berujar meledek.

"Maen pedang mereka." Dery menimpali.

Baik Bima ataupun Juna tidak ada yang ingin membalas ledekan itu. Pertama : karena bagi mereka tidak penting. Kedua : menyahuti ledekan itu hanya buang-buang tenaga. Ketiga : membicarakan Arin sama saja membunuh Juna secara perlahan.

"Move on, Jun. Arin udah bahagia sama cowoknya yang baru," ujar Marcell meledek.

Juna memicik tajam, lalu mendengkus. "Gak usah bawa-bawa Arin, njir ... emang kapan sih gue pernah mau kalo Bobby nyodorin cewek."

"Widih ... gak usah marah gitu dong, Bro." Bobby menenangkan, sedikit menyeringai. "Nyantai aja, mending lo nikmatin pestanya. Gak masalah kalo lo gak mau, Marcell siap menerima buangan dari lo, kok."

Ketiga cowok itu lantas tertawa kembali, hampir terlihat seperti meledeknya. Sementara Bima hanya terdiam tanpa mau ikut campur.

"Nih ...," Dery menggeser satu kaleng bir ke arah Juna. "Minum dulu, Jun. Siapa tau lo berubah pikiran," ujarnya diselingi oleh tawa meledek.

Dengan decakan malas yang keluar dari bibirnya, Juna menegak minuman itu dalam sekali teguk. Tanpa ia tahu, Dery telah mencampurkan sesuatu di dalamnya.

 

 

2. Arjuna Mencari Tita

( Juna )

Tita mendesah bingung sembari menarik lengan Nadia untuk mendekat. "Nad, kamu yakin kita gak apa-apa ke pesta kayak gini?"

"Tenang aja, Ta. Aku udah bilang sama Abang, kok. Dia bilang gak apa-apa, lagian 'kan kita udah tujuh belas tahun, udah punya KTP, ikut pesta kayak gini gak masalah."

Tita melirik takut pada sekitarnya. "Tapi kamu liat deh, banyak yang mabuk gitu, Nad. Aku takut."

Nadia hanya terkekeh sembari menggerak-gerakan tubuhnya mengikuti alunan musik. "Kamu nikmatin aja pestanya. Kapan lagi kita bisa ikutan pesta kayak anak-anak gaul gini."

Mungkin Tita salah, harusnya ia menolak saat Nadia mengajaknya ikut ke pesta ini, nyatanya ia sama sekali tidak menikmati ini semua. 

Kepala Tita terasa pusing karena lampu remang-remang yang ada di sana.

"Kamu mau minum gak, Ta?"

"Aku minum air putih aja, Nad."

"Ih, maksud aku bukan minum itu. Ini loh, Ta, yang anak-anak gaul sering minum. Wine sama bir, aku pengin tahu rasanya."

"Jangan, Nad. Nanti kalo kamu mabok gimana? Kak Juna bisa marah-marah nanti."

"Ya nggak sampe mabok dong, Ta, kan aku cuma nyoba, sedikit aja. Aku juga kepengin tahu rasanya tuh kayak apa." Lalu Nadia berbisik, "jangan bilang Abang, ya."

"Nad ...!"

Gadis itu terkekeh, menarik lengan Tita menuju meja di sudut ruangan. "Sedikit, Ta, aku penasaran."

"Kamu aja deh, Nad, aku gak mau."

"Ihh Tita, gak asik dong. Nanti kamu penasaran loh."

Tita menggeleng cepat, lalu mengedikan bahunya jijik. "Nad, aku sama sekali gak penasaran sama minuman kayak gitu. Coba kamu lihat orang-orang yang minum alkohol."

Nadia memutar kepalanya untuk memperhatikan satu persatu orang-orang yang berada di dekat mereka. Semuanya sedang asik bergoyang seperti hilang kendali karena mabuk.

"Nanti kamu juga bakalan kayak mereka kalo kamu minum itu, mabuk terus joget-joget gak jelas."

Nadia menghela. "Ta ... kita cuma minum sedikit kok, gak akan mabuk."

"Enggak! Pokoknya aku gak mau."

"Ya udah kalo kamu gak mau, aku aja yang minum."

Tita menatap kesal ke arah Nadia. Keras kepala, sama seperti abangnya. Tangan Nadia mulai mengambil satu gelas minuman beralkohol di atas meja. Ia sedikit berjengit begitu mencium bau tidak enak dari minuman tersebut.

"Tuh kan, udah deh kamu gak usah minum itu." Lagi-lagi Tita menahan Nadia untuk mencoba minuman berbahaya itu.

Tapi, Nadia tetaplah Nadia, adik dari Arjuna Kainaka yang memiliki sifat keras kepala dan tidak suka dilarang. Nadia meneguk sedikit cairan memabukan itu, lalu berjengit saat rasa panas menjalar di tenggorokannya.

"Gak enak, Ta."

"Iyalah, kan tadi aku udah bilang."

Nadia menyengir, lalu tak berapa lama kepalanya terasa berat sedikit. Apa mungkin ini efek minuman yang barusan ia minum?

"Nad, aku ke toilet dulu ya," ujar Tita.

Nadia mengangguk samar dengan kerjapan mata pelan karena pandangannya mulai tidak jelas.

Lampu temaram dan dentuman musik yang memekakan telinga membuat Tita kesulitan mencari dimana letak kamar mandi itu. Setiap ia melangkah, yang Tita temukan hanyalah beberapa pasang kekasih yang sedang asik bercumbu. Ia sampai berjengit jijik melihat itu.

Langkah kaki Tita membawanya naik sampai ke lantai dua. Tidak jauh berbeda dari lantai bawah, di sini Tita juga menemukan banyaknya pasangan yang sedang melakukan kegiatan haram itu. Ia benar-benar menyesal telah mengikuti Nadia untuk datang ke pesta ini. Mungkin setelahnya Tita akan meminta Nadia untuk pulang.

Selesai menggunakan toilet, Tita lalu bergegas keluar untuk cepat-cepat sampai ke tempat Nadia berada saat ini. Tita merasa mulai tidak nyaman, apalagi ketika ia melewati lorong gelap di dalam rumah itu. Rasanya ia ingin segera bertemu Nadia, tapi di langkahnya yang hampir dekat dengan anak tangga, tiba-tiba Tita dikejutkan oleh sebuah tarikan keras yang membuat tubuhnya berbalik dan langsung menabrak dada bidang seseorang.

Tita tentu terkejut. Dadanya berdebar tidak karuan. Ia baru saja ingin berteriak saat kemudian matanya menangkap wajah seseorang yang ia kenali. Tita mengela napas lega.

"Kak Juna? Ngagetin aja sih," keluhnya tanpa menyisahkan jarak di antara mereka sedikitpun. Tangan Juna pun masih melingkar indah di pinggang Tita.

"Lo mau kemana?" Tanya cowok itu.

Dahi Tita mengernyit. "Ke bawah."

"Di sini aja."

"Kenapa?"

"Nanti kalo gue nyariin lo gimana?" rancau Juna dengan lirih dan mata yang sayu. Ia lantas tertawa. "Arjuna mencari Tita."

Dari jarak sedekat ini, ia bisa mencium bau alkohol yang cukup menyengat menguar dari mulut Juna. Pantas saja ucapannya sudah tidak benar, ternyata Juna mabuk.

"Kak Juna mabuk, ya?"

Seulas senyum miring tercetak jelas di wajah lelaki itu saat pertanyaan Tita terlontar. Juna mengumpat dalam hati, kenapa Tita terlihat sangat cantik malam ini. Gaun berwarna hitam itu begitu pas di tubuhnya, dan dada Tita, Juna tidak tahu kalau gadis itu memiliki dada yang lumayan besar.

Sial! Kepala Juna jadi berpikiran yang tidak-tidak. Apalagi saat wangi vanilla tercium jelas dari tubuh Tita. Juna tidak kuat, ia ingin gadis itu. Ingin semuanya, tubuhnya, bibirnya, kulitnya. Juna ingin masuk ke dalam tubuh Tita. Mengoyaknya tanpa ampun, menggigit bibirnya dengan sensual dan mendengar suara desahan nikmat saat gadis itu menyebut namanya.

Shit!

"Kak Juna kenapa?" Tita bertanya dengan raut bingung, yang dibalas senyuman oleh lelaki itu. Wajah Juna terlihat sedikit pucat dengan butiran keringat yang memenuhi dahinya. Tita yang sadar akan hal itu tiba-tiba berubah panik. "Kak Juna sakit?"

Juna menggeleng. Entah apa yang ada di pikiran Tita kali ini, tanpa sadar ia mengangkat tangannya untuk mengusap peluh di dahi Juna. Kulit mereka saling bersentuhan. Sengatan listrik tiba-tiba menjalar masuk bersama aliran darah yang memanas, lalu naik hingga ke kepala.

Gairah itu datang lagi.

"Pulang aja yuk, Kak?" ajak Tita dengan nada takut.

Juna termangu untuk beberapa saat, menatap setiap gerakan yang Tita lakukan padanya. Ia juga bisa melihat dua bola bening itu menatapnya penuh khawatir. Juna tertawa sebentar sebelum kemudian menyerukan wajahnya ke atas perpotongan leher gadis itu.

Tita tersentak dengan tangan mencengkram pinggiran baju Juna. "Kak—"

"Kepala gue pusing." Tita meremang saat merasakan sapuan hangat dari napas Juna yang menerpa kulitnya. Laki-laki itu memeluknya dengan kedua tangan merayap di sepanjang punggung. "Pusing banget, Ta."

"Kakak mau aku cariin obat?"

Hening sesaat. Tita masih bisa merasakan sapuan hangat di tengkuknya yang perlahan berubah menjadi basah saat bibir Juna mengecupi kulitnya. "K–kak Juna ngapain?"

Ia berusah mendorong, tapi hisapan kecil di lehernya membuat dorongan itu berubah menjadi cengkraman.

"Ta.."

"I–iya, Kak?" Suaranya tiba-tiba saja bergetar.

"Gue mau lo."

 

3. Malam Pergantian Tahun

( Nadia )

"Nad ...," Bima berteriak panik begitu melihat Nadia yang berjalan sempoyongan di depan sana. Ia segera menghampiri gadis itu dan memeluk bahunya erat. "Lo kenapa?"

"Aku tadi minum itu, Kak." Dilihatnya gelas yang berjejer di atas meja. Bima tahu itu adalah minuman beralkohol.

"Lo bego ya? Ngapain minum itu!"

Nadia meringis, lalu mencebik sebal. Tidak bisakah Bima mengomelinya nanti saja. Jelas-jelas kepalanya sedang sakit seperti ini. Bahkan Nadia tidak bisa membuka kedua matanya lebar-lebar karena pandangannya yang buram. Benar kata Tita, minuman itu memang berbahaya.

"Tita mana?" Bima menunduk untuk menjangkau pandangannya dengan Nadia.

"Tadi izin ke toilet." Gadis itu kembali meringis, memijat-mijat keningnya yang terasa berat. "Kak Bima ... aku gak kuat."

"Ya udah lo ke mobil aja."

"Tapi Tita?" tanya Nadia khawatir. Pasalnya sejak Tita izin ke toilet, gadis itu belum juga kembali.

"Nanti gue minta Juna buat cari dia."

Ia menurut saja, bahkan saat Bima menuntun tubuhnya sampai ke dalam mobil. Mata Nadia terpejam dan napasnya sedikti tersengal. Minuman itu benar-benar membuat kepalanya terasa sakit. Kesadarannya pun mulai terbagi.

"Kak ...," lirihnya. Bima berdehem pelan menyahuti. "Jangan pulang ya, aku takut sama Ayah."

Wajah Bima langsung merengut heboh. "Siapa juga yang mau bawa lo pulang? Bisa digantung di tiang bendera gue sama bokap lo!"

Ayah Nadia adalah seorang Perwira Tinggi TNI Angkatan Darat. Seseorang yang sangat tegas dan berwibawa. Menjadi anak dari seorang tentara menuntut Juna dan Nadia untuk selalu berani dan bertanggung jawab. Bagi Ayah, tidak masalah kalau mereka berkelahi, asalkan mereka berada di sisi yang benar. Setiap kali Juna pulang dalam keadaan menangis, pasti ayah akan memarahinya. Kata Ayah, anak laki-laki itu tidak boleh menangis. Begitupun saat Juna dan Nadia melakukan kesalahan, Ayah tidak akan segan-segan untuk memberi hukuman.

Di luar rumah mungkin Juna tidak menunjukan rasa takut itu. Ia merokok, minum minuman keras, dan beberapa kali keluar masuk kelab malam bersama teman-temannya. Tapi semua itu akan berubah saat ia berada di dalam rumah. Juna akan berubah menjadi anak baik-baik yang menuruti semua ucapan kedua orang tuanya. Belajar dengan rajin, dan rokok? Itu sama sekali tidak ia sentuh.

"Si Juna kemana sih? Telepon gue gak diangkat sama dia," keluh Bima setelah panggilannya yang ke lima tidak kunjung diangkat oleh Juna. Ia hendak kembali masuk ke dalam, tapi Nadia menahan tangannya.

"Kak Bima jangan kemana-mana, kepala aku pusing."

Laki-laki itu mendesah. Mungkin tidak akan sekacau ini jadinya kalau saja Juna tidak membawa Nadia dan Tita ikut masuk ke dalam pesta mereka. Lagian, Juna bisa-bisanya tetap santai padahal ia membawa sang adik.

Mau mati kali itu anak kalo bokapnya tau.

"Ke rumah gue aja ya, Nad."

"Emang boleh sama Mama Papanya Kak Bima?"

"Nyokap Bokap gue lagi pergi, rumah kosong."

Nadia langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia menatap Bima dengan mata memicik tajam. "Kak Bima mau ngapa-ngapain aku, ya?"

Bima terbelalak dengan rahang terbuka lebar. "Buseeeet ... lo kira gue gila. Gue masih sayang nyawa, Nad. Mau mampus apa gue di tangan Abang lo!" sahutnya cepat.

"Ya kali aja gitu."

"Kalo mau macem-macem juga gue mikir, sama aja gue ngelepas nyawa gue buat dikulitin sama Bokap lo!"

Tidak sadarkah Nadia kalau ia memiliki dua Monster di hidupnya. Ayah dan juga Juna. Bisa mati konyol Bima kalau berani-berani berbuat mesum padanya. "Jadi gimana nih, mau gak?"

"Mau ... tapi Tita gimana?"

"Nanti gue chat Juna, suruh dia yang anter Tita pulang. Sekalian ngasih tau kalo lo ada sama gue."

Nadia merenung sebentar, tidak apa-apa 'kan kalau abangnya itu mengantar Tita? Lagi pula Juna tidak akan macam-macam sama sahabatnya itu. "Ya udah, aku mau."

 

***

 

Tita mengerang merasakan sakit yang teramat sangat saat Juna menyatukan tubuh mereka. Kedua tangannya mencengkram sprei dengan kuat, dan matanya mulai berair. Tadi saat Tita ingin mengajak Juna pulang, laki-laki itu menyeretnya masuk ke dalam sebuah kamar, lalu mengunci pintu itu dari dalam. Tita tidak tahu apa yang akan Juna lakukan padanya sampai kemudian tubuhnya dibaringkan ke atas tempat tidur dan Juna mulai melucuti seluruh pakaiannya.

Tita meronta, menahan Juna untuk tidak melakukan hal itu. Tapi kekuatannya sangat jauh dibandingkan dengan Juna. Tita bisa apa saat kedua tangannya di tahan ke atas oleh lelaki itu. Ia bahkan tidak bisa melawan saat Juna membuka pahanya lebar-lebar dan menyatukan tubuh mereka dengan sekali hentak.

Tita menangis, menjerit, menjangkau apapun yang bisa ia remas saat selaput keperawanannya terkoyak oleh batang besar yang membuatnya berdarah. Tangisan itu terdengar sangat pilu, tapi Juna tidak peduli. Setiap kali Tita akan berteriak, Juna pasti akan membungkam bibir gadis itu dengan sebuah ciuman. Rasanya sakit, sesak sampai Tita tidak bisa lagi merasakan apapun.

Persetubuhan itu terjadi dengan sangat kasar. Tidak ada kelembutan sama sekali ketika Juna menyentuhnya. Apalagi ketika cowok itu mulai bergerak, Tita merasakan rasa nyeri yang teramat sangat di inti tubuhnya.

Juna sudah dibutakan oleh hawa nafsu. Kesadarannya semakin menipis karena pengaruh obat yang Dery masukan ke dalam minumannya.

"Kak sakit ... stop, please." Tita terisak dengan kedua tangan mencengkram bahu Juna erat.

Tanpa memperdulikan jeritan Tita, Juna terus memompa tubuhnya keluar masuk di bawah sana.

"Kak ...."

"Elo nikmatin aja, Ta."

Tita menggeleng. "Kak ... sakit banget."

Juna mengerang, mendesah, dan sesekali mencumbui dada Tita dengan rakus. Tita bukan tidak mengerti apa yang sedang ia dan Juna lakukan, tapi ia tidak pernah menyangka jika rasanya akan sesakit ini.

Tita merasakan pinggulnya di dorong berlawanan dari gerakan tubuh Juna, lalu kembali di tarik untuk disatukan kembali. Ia mencakar pundak Juna setiap kali rasa sakit itu datang, lalu menangis menyembunyikan wajahnya di ceruk leher lelaki itu.

"K—kak ... please."

Juna sedikit sadar apa yang telah ia lakukan pada Tita. Tapi rasa panas yang menjalar ke seluruh saraf tubuhnya seolah membuat Juna benar-benar gila dan hilang kendali. Ia terus menyebar jejak-jejak kepemilikannya pada tubuh Tita. Mengulum, menyentuh, meraba. Tita tidak mengerti mengapa Juna bisa melakukan itu padanya. Tita sangat menghormati Juna, sudah menganggap lelaki itu seperti kakaknya sendiri.

"K—kak Junaaaa."

Perlahan gerakan Juna memelan diiringi kecupan-kecupan di bahu telanjangnya. Sekali lagi, Tita mencengkram punggung Juna saat ia merasakan ada sesuatu yang siap meledak dari dalam tubuhnya. Tita menjerit tertahan, dan tak lama ia merasakan cairan hangat lain masuk ke dalam tubuhnya.

Juna ambruk di atas tubuh Tita, memeluk gadis itu erat, lalu berbisik pelan di telinganya. "Maaf..."

Dan malam itu, bersamaan dengan bunyi kembang api di malam pergantian tahun, Tita telah kehilangan mahkotanya.

 

 

4. Jangan Sentuh Dia

( Nadia )

Juna menggerakan tubuhnya perlahan, merasa terusik dengan suara tangis Tita sejak tadi. Belum ada sejam ia tertidur setelah puas dengan kegiatan mereka, Juna sudah harus memaksakan diri membuka matanya lebar-lebar untuk berbalik dan menatap punggung telanjang itu.

Tubuh Tita bergetar hebat seiring dengan isak tangisnya yang keluar.

Juna sudah berusaha menulikan diri dari suara tangisan Tita. Tapi sulit. Setiap ia mendengar itu, membuat dada Juna semakin berdenyut nyeri.

"Ta, jangan nangis. Gue gak bisa tidur."

Tita semakin menyembunyikan dirinya pada balik selimut. Demi apapun, Juna juga menyesal telah melakukan hal brengsek itu pada Tita, tapi tidak bisakah ia mendapatkan waktu tidur sebentar saja. Kepalanya benar-benar sakit.

"Ta ...," sentuhan di punggungnya membuat Tita bergerak menjauh ketakutan. Juna menarik tangannya kembali. "Jangan nangis ... gue minta maaf, okay?"

Tangisan itu semakin keras terdengar, dan kepala Juna rasanya semakin terasa berat. Juna masih mencoba mengendalikan emosinya agar tidak terpancing, karena sepertinya efek obat itu masih bekerja pada tubuhnya.

Butuh beberapa menit untuk Juna mengendalikan diri, hingga perlahan ia mengacak rambutnya kasar dan bangkit dari tidur. Ia terduduk, mengamati tubuh Tita yang terus bergetar.

"Elo mau gue apain, Ta? Udah kejadian, gue gak bisa balikin semuanya kayak semula. Kepala gue sakit banget denger lo nangis dari tadi! Please, berhenti!"

Tersentak. Mendengar bentakan itu membuat bahu Tita semakin bergetar dan batinnya terguncang hebat. Isak tangis itupun semakin membuat kepala Juna berdenyut berkali-kali lipat. Ia mendesah frustasi. Bukan hanya Tita, pergumulan ini juga yang pertama kali untuk Juna. Maka itu, ia bingung harus berbuat apa.

"Oke, gue minta maaf! Sekarang pake baju lo, gue anter pulang." Juna lantas beranjak, memungut pakaiannya di lantai dan memakainya.

Tita terus menyembunyikan wajahnya yang sudah sangat berantakan. Seluruh tubuhnya remuk, sakit. Apalagi hatinya. Sungguh, Juna tidak akan tahu bagaimana rasanya jadi Tita saat ini.

"Ta ...," Juna menghampiri sisi ranjang Tita, mengambil semua pakaian gadis itu yang berserakan di lantai, lalu menyerahkannya. "Pake baju lo."

Tita masih bergeming. Semakin menutupi wajahnya dari Juna. Ia sama sekali tidak berani menatap lelaki itu.

"Gue minta maaf," ujarnya lagi seraya menyentuh puncak kepala Tita.

Gadis itu kembali menjauh. "Jangan sentuh Tita."

"Gue gak tahu harus gimana, Ta." Ia menghela napas kasar. "Semua di luar kendali gue."

"Kak Juna jahat."

"Iya gue tahu ... elo boleh maki-maki gue, boleh pukul gue. Tapi please, maafin gue. Gue gak pernah berniat ngerusak lo. Kejadian ini murni kecelakaan."

Perlahan selimut yang menutupi kepala Tita tersibak. Hal pertama yang dapat Juna lihat adalah dua bola mata gadis itu yang menatapnya dengan linangan air mata. Dada Juna kembali berdesir ngilu.

"Kenapa Kak Juna lakuin itu ke Tita?"

"Gue gak sadar, Ta, ini bukan kemauan gue. Semua terjadi karena ulah temen-temen gue yang sengaja nyampurin obat itu ke dalam minuman gue!"

Juna sadar apa yang sudah ia lakukan pada Tita semua di luar kendalinya. Maka itu, pasti ada seseorang yang sengaja memasukan obat perangsang ke dalam minumannya dan membuat Juna melakukan hal itu pada Tita.

Siapa lagi kalau bukan Bobby, si manusia keparat!

"Terus ... Tita gimana?" Bibir Tita bergetar saat mengatakan itu. Rasa malu, hancur, takut, semua menjadi satu di dalam dirinya. Ia kotor. Ternodai. Dan yang lebih parah, Tita merasa ada yang hilang dari dirinya.

She lose her crown!

"Kita bahas itu nanti, ya." Juna sendiri terlalu bingung untuk menyikapinya, yang bisa ia lakukan hanyalah mencoba membuat Tita merasa tenang saat ini. "Sekarang lo pake baju dulu, nanti gue anter pulang."

"Nggak mau pulang." Mata bening itu menatapnya tanpa binar. "Tita takut kalo Papi tahu."

Juna terpejam sesaat, meraup udara sebanyak-banyaknya untuk memasok oksigen ke dalam rongga dada. "Iya, gak pulang. Tapi pake baju lo dulu."

Tita beranjak duduk sembari tetap berusaha menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Lalu ringisan kecil terdengar saat rasa sakit pada pangkal pahanya kembali terasa. Detik itu juga suara tangis Tita kembali pecah. Sungguh, Juna tidak akan pernah tau bagaimana rasanya hymen yang dirobek secara paksa.

"Kenapa nangis lagi?" Juna mengatakan itu dengan nada penuh keputusasaan. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Tita saat ini.

"Sakit," rengeknya. "Sakit banget."

Juna mendesah pasrah, bahkan bahunya sampai merosot lemas. "Mau gue pakein?"

Tita menggeleng sembari menghapus air matanya. Kemudian mencebik, bagaimana bisa ia membiarkan Juna melihat tubuhnya lagi. Yang semalam saja Tita sudah merasa sangat malu.

"Ya udah buruan pake."

"Kak Juna jangan lihat." Tita segera meraih semua pakaiannya yang berada di tangan Juna. Mendekapnya menjadi satu. Wajah Tita tiba-tiba merona saat menyadari Juna sedang memegang dalamannya. Tita segera merampas itu. "Kak Juna balik badan."

Juna menggeleng samar seraya menghela napas. Ia sudah tidak punya kekuatan lagi untuk berdebat kali ini. Apapun itu, asal Tita tidak merengek, Juna pasti akan menuruti.

Lantas yang ia lakukan selanjutnya adalah membalikan badannya, lalu memunggungi Tita dengan cepat. Juna hampir saja menyemburkan tawanya ketika melihat pantulan kaca meja rias di depan sana. Ia bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan Tita di belakang punggungnya.

Gadis itu tidak menyadari kalau segala pergerakannya diamati oleh Juna dari sana.

Juna tersenyum lalu menggelengkan kepalanya gemas. Tita benar-benar sangat polos. Bagaimana bisa gadis itu menyuruhnya berbalik sedangkan di depan sana Juna masih bisa melihatnya dengan jelas.

Lalu ketika secara tiba-tiba Tita membuka selimut yang melilit di tubuhnya, Juna dengan cepat memalingkan wajahnya dengan kedua mata terpejam erat. Juna masih memiliki akal untuk tidak berlaku jahat pada gadis itu. Lagi.

Cukup lama Juna memejamkan matanya hingga kemudian suara Tita yang mengizinkannya berbalik terdengar.

"Udah selesai?" Tita mengangguk. Hidungnya memerah dan matanya sembab. Bibir Tita yang mencebik juga terlihat lucu. Sungguh perpaduan yang sangat menggemaskan bagi Juna dari wajah Tita. "Mau makan dulu gak?" tanyanya hati-hati.

Gadis itu mengangguk. "Mau, tapi Tita gak mau makan di sini." Jawaban itu terdengar sangat polos.

Perut Juna rasanya menggelitik. Lucu dan menggemaskan menjadi satu. Gadis mana yang masih bisa sepolos ini setelah keperawanannya direnggut paksa oleh seorang lelaki.

Tita itu aneh.

"Iya, kita cari makan di luar."

Ini masih pukul tiga malam atau menjelang pagi, paling hanya ada restoran cepat saji yang buka 24 jam. Juna sebenarnya tidak terlalu lapar, ia hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan masalah ini dengan Tita.

Gadis itu membuntutinya keluar dari kamar hingga turun sampai ke lantai satu.

Keadaan rumah saat itu benar-benar berantakan. Botol alkohol dimana-mana, sampah makanan dan camilan berserakan, dan Juna juga bisa melihat ada beberapa kondom bekas yang berceceran di lantai.

Tapi Juna tidak peduli, yang ia pikirkan saat ini adalah membawa Tita keluar dari sana secepat mungkin sebelum Bobby melihatnya. Bisa gawat kalau cowok itu melihat Tita.

Bobby itu predator, tidak bisa melihat gadis cantik sebentar saja. Mau ataupun tidak mau, gadis-gadis itu pasti akan ia ajak ke atas ranjangnya.

Pokoknya tidak boleh.

Tapi ternyata, ketakutannya itu terjadi. Di langkahnya yang hampir mencapai pintu keluar, sebuah suara membuat kaki Juna tiba-tiba berhenti.

"Buru-buru amat lo?"

Juna melihat Bobby yang sudah mabuk menghampirinya. Lalu ia menggengam tangan Tita erat. "Gue mau anter temen adek gue pulang dulu."

Cowok itu melirik ke arah Tita yang berada di sebelah Juna. Ia tersenyum miring, menjilat bibirnya seolah Tita adalah santapan lezat.

"Serius temen adek lo? Boleh lah kalo gitu."

Juna langsung menyembunyikan Tita pada balik punggungnya. "Jangan dia."

"Pelit banget, Jun."

"Gue gak ada waktu, Bob." Ia masih mencoba menjawab dengan santai. Juna tidak suka keributan, apalagi dengan orang yang sudah ia anggap sebagai teman.

"Bekas lo, kan?" Bobby mendekat. "Bagi-bagilah, Jun. Gue gak masalah kok kalo nih cewek bekas lo."

"Gue gak mau ribut."

"Gak ada yang ngajakin lo ribut."

Pening yang bersarang di kepala Juna belum sepenuhnya hilang. Ia masih mencoba mengatur emosinya, namun perkataan Bobby seolah menyulut bara api di dalam dirinya berkobar semakin besar.

"Mending elo diem! Gue gak mau mukul siapapun saat ini, walaupun sebenernya gue kepengen banget mukul elo!"

Bobby tertawa sarkas, seakan meledek ucapan Juna barusan. Ia lantas bergerak mendekati Tita, membuat gadis itu semakin ketakutan dan menyembunyikan wajahnya di punggung Juna.

"Takut, Kak ...."

"Jangan takut, sayang—"

"Bob," Juna menahan tangan Bobby saat cowok itu hendak menyentuh Tita. "Sekali lo sentuh dia, gue pastiin pertemanan kita hancur."

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Pepromeno
Selanjutnya Pepromeno 5 - 8
19
0
Masih gratis ya
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan