Part 6. Sebuah Misi

40
2
Deskripsi

Part 6. Sebuah Misi

 

Setelah nyaris dua minggu tak ada job yang masuk untuknya, seminggu Shakira disibukkan dengan pekerjaannya sebagai model iklan dari minuman berenergi. Ia jarang pulang ke apartemen dan lebih sering menghabiskan waktu di apartemen Barbara. Selain karena jarak yang lebih dekat dari tempat event promosi minuman berenergi itu, Shakira juga sedikit malas kembali ke apartemen karena ia pikir Hani pasti akan datang lagi ke sana untuk kembali mengancamnya.

Sampai saat ini Shakira belum berkomunikasi lagi dengan sang ayah, memang sudah biasa, Papi akan datang menemuinya di saat sedang butuh bantuan. Jujur, Shakira malah berharap Papi tak lagi menghubunginya, lebih baik ia dicap sebagai anak yatim dibanding harus kembali berkomunikasi dengan sang ayah yang pasti ada inginnya saat mencarinya.

Tengah malam tadi ia baru saja tiba di apartemen, badannya masih remuk. Sebagai model dari salah satu minuman berenergi, Shakira diminta benar-benar berenergi saat melakukan promosi di event terbuka kemarin, padahal olah raga saja ia malas. Tidurnya sangat nyenyak meski ketika pagi datang, Shakira dikejutkan dengan kehadiran Tante Rengganis di apartemennya. Lebih dari itu, harusnya Shakira sudah memprediksi akan ada sebuah tamparan saat Tante Rengganis tahu apa yang sudah ia dan Sagara lakukan.

Bukan hanya menahan sakit karena ditampar, ia juga harus menahan malu karena saat kejadian itu berlangsung, tetangganya yang menyebalkan keluar dan melihat semua adegan itu. Ughh! Shakira benar-benar tak punya muka, maka itu cara terbaik agar tidak terlihat mengenaskan ia bersikap galak dan menyebalkan, tapi yang terjadi selanjutnya, tetangga resek itu malah membuat Shakira lumer seperti jelly.

Duh!! Shaka kemasukan setan apa sih? Sudah dua kali lelaki itu membuat dadanya berdebar hanya karena tingkahnya yang di luar prediksi. Setelah seminggu yang lalu membantunya terbebas dari ancaman Hani, kali ini Shaka memberinya obat gel pereda memar. Coba bayangkan, wanita mana yang tidak melayang diperlakukan seperti itu, meski Shaka melakukannya hanya karena bentuk kemanusiaan, tapi hati Shakira kan mudah lumer.

"Ini obat gue balikin gak ya?" gumamnya seraya menatap obat oles di tangan yang tadi Shaka berikan. "Masa balikin ginian doang? Apa gue traktir dia makan aja ya?" ucapnya lagi seraya berpikir. Tak lama kepalanya menggeleng. "Eh, jangan deh, emang gue cewek apaan traktir cowok." Shakira lantas berguling-guling di atas kasur.

Tadi saat ditampar oleh Tante Rengganis, pipinya sakit sekali, tapi setelah diberi obat oleh Shaka, mendadak sakitnya hilang. Duh! Kenapa sih ia mudah sekali terbuai? Padahal Shaka melakukan itu tak lebih karena kasihan padanya. Atau, bisa saja karena lelaki itu ingin meledeknya?

"Sshh, pikiran gue buruk mulu sama tuh tetangga." Lalu beranjak, duduk sambil menatap obat gel di tangan. "Tapi gue harus berterima kasih sama dia, kan? Kira-kira kasih apa ya? Gak mungkin dong gue berterima kasih gak ngasih apa-apa?"

Shakira lantas berpikir, karena sudah dua kali ia dibantu oleh Shaka, jadi pemberiannya juga harus yang spesial, sesuatu yang harus dibuat sendiri. Mungkin, seperti sarapan buatannya?

"Ahh, ide bagus. Besok gue buatin omelet deh."

 

☆☆☆

 

Senin pagi adalah hari yang harus Shaka mulai dengan menghubungi sang asisten untuk mengetahui jadwalnya selama sehari ke depan. Perusahaan sedang sibuk-sibuknya karena akan ada produk baru yang akan launching satu bulan ke depan, tapi sampai saat ini produk itu masih dalam perbaikan komposisi hingga membuat jadwal launching mengalami keterlambatan.

Shaka menikmati kesibukannya, ia melakukan itu karena ingin segera meminta cuti untuk bisa berangkat ke Bogor dan menemani Nazeera yang akan melakukan gugatan cerai pada sang suami. Shaka tahu, banyak yang mengatakan ia bodoh karena menunggu Nazeera menjanda, padahal ia bisa mendapatkan wanita mana pun yang lebih dari wanita itu, tapi Shaka tak bisa membohongi hatinya kalau ia memang menginginkan wanita itu.

"Selamat pagi, tetangga ...."

Sapaan mendayu-dayu yang dilantunkan dengan manis terdengar di telinga Shaka saat ia baru saja membuka pintu apartemennya. Shaka sedikit tersentak begitu mendapati sosok Shakira yang masih mengenakan gaun tidur mini berbahan satin lengkap dengan kimono tidurnya sudah berdiri di depan sana dengan senyum lebar di wajah. Di kepalanya bertengger sebuah bando berbentuk kepiting.

Dahi Shaka mengerut lalu matanya memicik menatap wanita itu.

"Hai ...."

Ia tak salah lihat, kan? Untuk apa sepagi ini Shakira dengan penampilan seperti itu sudah berdiri di depan unit apartemennya? Apalagi wajahnya terlihat cerah dan tak menunjukkan raut marah. Bukannya wanita itu sendiri yang meminta Shaka untuk jangan memunculkan wajah di depannya karena masih kesal?

"Pasti lo kaget, kan, lihat gue pagi-pagi udah ada di sini?" tanya wanita itu seraya menampikan senyum lebar yang berbanding terbalik dengan raut wajahnya saat kemarin bertemu Shaka di depan lift. "Ini." Shakira mengulurkan tangan untuk mengembalikan obat gel yang kemarin Shaka beri. "Gue balikin, makasih loh, lo udah kasih gue obat ini."

"Buat lo aja."

Shakira menggeleng. "Nanti gue beli sendiri."

Akhirnya Shaka menerima uluran obat itu. Selain obat, Shakira juga memberikan satu paper bag berisi kotak sarapan ke depan Shaka. Ia menatap paper bag itu dan pemiliknya bergantian "Apaan nih?"

"Sarapan." Shakira mengalihkan perhatiannya ke samping. "Ucapan terima kasih karena lo udah pinjemin gue obat memar." Ia berujar dengan mata yang berlarian ke mana-mana, asal tidak ke mata Shaka yang kini menatapnya heran.

Mendadak Shakira menciut, masa ditantang Hani ia berani tapi ditatap Shaka saja ia melemah?

"Udah ah, gue sibuk. Bye." Lalu Shakira berbalik dan berjalan cepat menuju unit apartemennya.

Wanita itu dalam sekejap hilang dari pandangan Shaka. Ia mematung kaku, cukup bingung dengan sikap Shakira. Benar ya, mood wanita itu mudah sekali berubah, kemarin galak, sekarang terlihat manis. Shaka tak habis pikir sebenarnya berapa kepribadian yang Shakira punya.

Ia tatap paper bag di tangannya dengan heran. "Dia nggak lagi nyoba ngeracunin gue, kan?" gumamnya seraya bergerak ke depan lift dan masuk ke dalam benda itu.

Shaka tiba di parkiran, masuk ke dalam mobilnya dan mengendarai benda itu keluar gedung apartemen. Seperti biasa, jalanan menjadi begitu padat merayap karena hari Senin semua orang mulai kembali beraktivitas.

Seraya menunggu kendaraan di depannya berjalan sedikit demi sedikit, Shaka melirik paper bag yang Shakira berikan tadi, ia keluarkan isinya. Satu kotak bekal makanan berisi omelet di dalamnya. Shaka yang memang belum sarapan sedikit tergiur melihat itu, tapi penampilannya yang cukup amburadul membuatnya ragu untuk melahapnya.

"Ini bisa dimakan, kan?"

Mumpung macet dan sedang lampu merah, Shaka memotong sedikit omelet itu dengan sendok, perlahan ia masukan ke dalam mulut. Awalnya baik-baik saja, tapi setelah dikunyah rasa asin yang teramat kuat langsung menyerbu lidahnya.

Shaka memuntahkan itu dan terbatuk-batuk. Ia langsung meraih air mineral dan menenggaknya hingga lidahnya sedikit lebih baik. Demi apa pun, apa Shakira memakai satu bungkus garam? Pun telurnya terasa pahit.

"Ini dia mau bikin omelet apa air laut? Sumpah, lidah gue mati rasa," gerutu Shaka kemudian membalik omelet itu. Ia kembali menganga saat warna gosong tercetak di bagian bawahnya. "Ini dia gak lagi ngerjain gue, kan?"

Namun saat Shaka hendak memindahkan kotak itu ke dashboard, pun lampu merah telah berubah hijau, tiba-tiba selembar kertas jatuh dari bawah kotak bekal itu. Shaka berusaha meraihnya, lalu membaca tulisan di balik kertas itu.

Thank you, Shak, karena lo udah peduli sama gue. Sebagai ucapan terima kasih, gue buatin lo omelet keju. Jujur ini pertama kali gue buat omelet, ini buatnya pake effort loh, lo orang pertama yang gue masakin ini, lo harus berbangga diri ☺️

Rasa ingin marah seketika lenyap saat membaca paper note yang Shakira tinggalkan di dalam bekalnya. Shaka tak tahu harus tersanjung atau merasa sial karena menjadi orang pertama yang telah mencicipi omelet asin buatan Shakira, tapi sesungguhnya ini sangat lucu.

"Jadi gue korban pertama omelet laut buatan lo? Sshhh ...."

Tanpa sadar sudut bibir Shaka tertarik, senyumnya terkulum lebar untuk satu omelet asin buatan sang tetangga.

Hingga tak lama mobil yang membawanya menuju kantor tiba di gedung perusahaan. Shaka turun di lobby dan meminta satpam untuk memindahkan mobilnya ke parkiran vvip. Saat turun, ponselnya yang berada di saku celana bergetar. Shaka segera mengeluarkan benda itu, dan ketika ia membaca nama Nazeera, dengan cepat ia geser tombol hijau.

"Halo, Ra?"

"Shaka ...."

Suara Nazeera terdengar lirih, membuat Shaka menghentikan langkah kakinya di tengah-tengah para karyawan yang menyapanya. "Ra? Lo kenapa?"

"Shak ..."

"Hm? Kok suara lo kedengeran serak? Lo sakit?" tanyanya tak tenang.

Embusan napas menderu terdengar di ujung sana, Nazeera masih terdiam seolah mencari kekuatan untuk mengatakan sesuatu pada Shaka.

"Ra? Lo denger gue?"

"Shaka, aku ...."

"Hm? Lo kenapa?"

Hening sejenak, Shaka masih menunggu Nazeera mengatakan sesuatu hingga akhirnya suara wanita itu berhasil membuat Shaka membeliak. "Sagara udah menceraikan aku kemarin, dia menalak aku, Shak. Kami sudah bercerai."

Shaka mematung dengan kedua bola mata yang terbuka lebar, ia berusaha untuk memastikan kalau yang ia dengar barusan benar dan bukan halusinasinya saja.

"Ra?"

"Maaf ya, Shak, aku udah repotin kamu."

"Lo baik-baik aja kan, Ra?"

"Hm." Namun saat itu ia malah mendengar suara tangis Nazeera. Shaka tahu Nazeera sedang bersedih atas perceraiannya dengan Sagara meski memang ini yang wanita itu inginkan.

Lantas, bolehkah ia berbahagia di saat seperti ini?

 

☆☆☆

 

Shakira tidak tenang, ia terus membolak-balikan tubuh di depan unit apartemennya, pun ia terus mengecek jarum jam di tangan yang kini menunjukkan pukul tujuh malam. Sejak pagi tadi, setelah ia ikut mencicipi omelet buatannya yang ternyata sangat asin, Shakira menjadi tak tenang. Ia malah berharap Shaka membuang omeletnya dan tidak memakan itu.

"Gue bego banget sih," gerutunya sambil menggigit kuku jari tangan. "Harusnya gue cobain dulu, kan?" Shakira tak berhenti mengutuki kebodohannya. "Kalo kayak gini gue malu banget sama Shaka. Semoga aja dia gak makan itu omelet. Lagian lo sih, Kir, pake ngide bikin omelet segala, udah tau gak pernah masak!"

Shakira terus melihat angka di layar lift yang terus bergerak, berharap benda itu berhenti di lantainya. Sudah lima kali ia masuk dan keluar lagi, menekan bel pintu apartemen Shaka, tapi lelaki itu belum juga pulang, hingga deting lift terdengar yang menandakan ada orang yang berhenti di lantai apartemennya, sudah pasti itu Shaka, kan?

Shakira bersiap-siap menyambut lelaki itu, tapi yang muncul malah wajah sang ayah yang tak ingin sekali ia jumpai.

"Ngapain kamu di luar?" Kresna Priawan, menatap sang anak bingung.

Yang ditanya malah mendengkus. "Harusnya Kira yang tanya gitu, ngapain Papi ke sini?"

"Ada yang mau Papi omongin." Kresna berjalan menuju unit sang putri lebih dulu, yang mau tak mau Shakira ikuti dari belakang.

Mereka masuk ke dalam, duduk di sofa ruang tamu. Shakira tak berniat menyiapkan apa pun untuk sang ayah, bahkan minum sekali pun.

"Kemarin Hani ke sini, ngancem Kira."

"Gak usah kamu ladenin."

Shakira menganga. "Papi sadar gak sih kalo punya anak perempuan?" bentaknya yang kesal dengan respon sang ayah. "Papi gak takut karma? Papi gak takut Kira diperlakukan seperti itu?"

"Kamu gak usah ikut campur, urusan Hani itu biar Papi yang tangani." Kresna mengeluarkan satu batang bernikotin lalu menyelipkan di bibir dan memantik ujungnya dengan api.

Shakira berdecak. "Kira juga gak mau ikut campur, tapi kalo Kira dibawa-bawa seperti kemarin, Kira bisa terganggu, Pi. Kira gak pernah mau tau apalagi ikut campur urusan Mami sama Papi, pun dengan kehidupan baru kalian, tapi tolong jangan ganggu Kira."

"Papi ke sini bukan mau bahas itu, Kir." Kresna berhasil membuat Shakira menggeram. "Papi butuh bantuan kamu."

Sontak mendelik, perasaan Shakira mulai tak enak.

"Papi mau jodohin kamu sama temen Papi."

"Dasar gila!!" Tanpa peduli sopan santu, Shakira langsung menyentak keras, mengumpati sang ayah. "Kalo itu yang mau Papi omongin lebih baik emang Papi gak usah ketemu Kira lagi."

Kresna menghisap dalam-dalam rokok di jari tangannya, lalu mengembuskan asapnya menjauh. "Ini yang terbaik buat kita berdua, Kir."

"Berdua?"

"Ya, untuk kamu juga," jawab Kresna santai. "Coba kamu pikir, Hendrawan itu Direktur pajak, uangnya banyak, Kir."

Shakira berdiri, menatap Papi penuh luka.

Segampang itu papinya menjual dirinya?

"Papi sadar kan sama apa yang Papi ucapin?"

Kresna ikut berdiri. "Papi sadar banget, Kir."

"Temen Papi itu udah tua, Pi!! Papi terima Kira dinikahi sama laki-laki uzur?"

"Gak tua-tua banget kok."

"Kira yakin dia udah nikah, kan?"

"Gak masalah jadi istri kedua kalo uangnya banyak. Kamu gak perlu kerja lagi."

"Ya Tuhan, Papi!!!"

"Kir, ini demi perusahaan. Kemarin ada orang audit datang, Papi ketauan gak bayar pajak, tapi Hendra mau bantu."

"Dan syaratnya dengan nikahin Kira?"

Kresna bungkam.

Demi apa pun, Shakira mempertanyakan dimana Papi meletakan otaknya, atau sebenarnya sudah tak ada di dalam kepala? Lelaki itu saja tega menjual dirinya demi perusahaan, apalagi hanya karma yang dilakukannya pada Hani berimbas ke dirinya?

Astaga. Shakira benar-benar kehilangan kata untuk memaki.

"Papi butuh berapa sih buat bayar pajak itu?"

Kresna mendecih geli. "Kamu gak usah nanya nominal, kamu gak akan bisa kasih Papi uang sebanyak itu."

"Kalo ada Kira juga gak mau kasih Papi!" Lebih baik ia shopping, kan?

"Satu milyar, kamu bisa kasih itu ke Papi?"

Ia langsung melotot horor. Satu milyar? Papi tak membayar pajak sebanyak itu?

"Percuma Papi minta sama Kira, Kira gak akan bantu dan gak mau nurutin permintaan Papi."

"Jadi gini balasan kamu setelah Papi membesarkan kamu?"

Loh?

Shakira tersentak. Kenapa jadi mengungkit itu?

"Ngebesarin kamu pake uang , Kira! Sekolah kamu, makan kamu, pakaian, dan lainnya yang bisa bikin kamu bahagia dulu."

Menganga, Shakira tercekat kehabisan kata untuk menjawab ucapan sang ayah, ia benar-benar tak habis pikir, tak menyangka Papi bisa seperti ini. Ternyata segila ini papinya? Pantas Mami memilih untuk bercerai.

"Satu milyar, kan?" Oke, apa ini saatnya ia terima tawaran bos-bos di agensinya? "Kira usahain, Pi, Kira akan bawain uang itu untuk Papi. Tenang aja, Kira bayar semua uang yang udah Papi keluarin buat Kira."

Kresna mengesah, mematikan batang bernikotin itu ke atas asbak dan mengusap wajahnya kusut. "Bukan gitu maksud Papi—"

"Sekarang Papi pergi dari sini, Kira minta Papi pergi!!" jeritnya murka.

Alhasil, Kresna pergi dari sana tanpa mendapatkan apa yang ia mau. Tapi, tentunya itu bukan yang terakhir kali ia membujuk sang putri. Kresna datang nyaris setiap hari, memaksa Shakira untuk mau dinikahi dengan Hendrawan.

Kedatangan sang ayah sudah sangat mengganggu, bahkan Shakira menginap di apartemen Barbara demi menghindari lelaki itu. Nyaris seminggu tak ia huni apartemennya, Shakira sudah sampai di titik ingin menyerah, antara menjual diri pada bos di agensinya, atau menikah dengan Hendrawan. Lalu seperti malaikat penyelamat, Sagara selalu ada di saat ia butuh.

Malam itu Sagara menghubunginya, saat ia sudah terlelap. Lelaki itu mengatakan sesuatu yang tak Shakira pahami.

Sebuah misi?

"Gue punya misi buat lo."

"Ha?" Di tengah kantuknya, Shakira mencoba mencerna ucapan sang sahabat. "Apaan sih?"

"Lo bangun dulu, Kir!!" omel Sagara di seberang sana. Terdengar suara lelaki itu yang menderu.

Shakira mengucek mata, setengah menggerutu ia lantas bangkit dan terduduk di ranjang. "Udah."

"Gue punya misi buat lo, apa pun yang lo minta bakalan gue kasih tapi lo harus berhasil."

Mendengar itu, dalam sekejap roh Shakira kembali ke tubuhnya, rasa kantuk di mata seketika menghilang. Apa pun kan kata Sagara? Kalau uang satu milyar kira-kira lelaki itu mau mengabulkannya tidak ya?

"Apa?" tanyanya semangat.

"Ada dua misi ...."

"Tapi tunggu dulu, Gar." Shakira menarik napasnya. "Kalo gue minta uang satu milyar buat bayarannya lo sanggup gak?"

Sagara di seberang sana langsung memekik. "Lo mau meres gue?" sentaknya kaget. "Banyak amat, lagian uang sebanyak itu mau lo buat apaan?"

"Biasa bokap gue buat masalah." Shakira mencebik sebal. "Butuh uang satu milyar kalo enggak gue mau dinikahin sama om-om."

"Gak waras bokap lo."

"Emang," sahutnya penuh emosi. "Jadi gimana? Lo sanggup gak? Kalo enggak, gue gak terima misi kali ini."

Sagara di seberang sana terdiam, berpikir cukup lama. Tentu satu milyar bukan uang yang sedikit, meski ia memiliki uang lebih banyak dari itu.

"Kalo lo sanggup, gue akan menjalankan misi ini dengan sepenuh hati, pokoknya bakalan berjalan lancar."

Setelah terdiam, akhirnya Sagara menyanggupi. "Oke."

Shakira langsung membeliak tak menyangka. Ia sampai berjengit antara tak percaya dan senang.

"Serius?"

"Iya, pake uang tabungan gue."

"Ajegile, tabungan lo aja sampe bermilyar-milyar gitu ya, Gar."

Sagara mendesis. "Balik ke misi yang gue maksud."

"Oke-oke." Shakira melipat kakinya dan berfokus mendengarkan ucapan Sagara.

"Yang pertama lo harus gagalin kedatangan Shaka ke Bogor Sabtu ini."

"Gimana bisa?"

"Ya itu urusan lo, kok malah nanya sama gue."

"Iya sih."

"Yang kedua, buat dia jatuh cinta sama lo sampe dia gak punya waktu buat gangguin Nazeera."

"Ha?" Shakira memekik. "Ini sih elo yang gak waras!"

"Lo mau uang satu milyar gak?"

"Ya mau, tapi masa gitu misinya."

"Emang gitu, dan lo harus berhasil."

Kali ini Shakira yang terdiam berpikir. Tentu misi ini sangat sulit karena ia tahu, Shaka begitu mencintai Nazeera, apalagi dirinya dan lelaki itu tak begitu dekat, bagaimana bisa ia membuat Shaka jatuh cinta.

"Batas waktu sebulan."

"Gar, mana bisa secepet itu?"

"Usaha lah, Kir."

Ck! Sagara sialan!

"Demi satu milyar, deal gak?"

Duh ... Shakira bimbang, tapi ia tak mau dinikahkan dengan om-om tak tahu diri, pun ia tak mau menjual diri dengan bos-bos di agensi. Lantas hanya itu jalan satu-satunya mendapatkan uang satu milyar kan?

Satu bulan?

Baiklah.

"Demi keberlangsungan hidup gue." Ia menarik napas dan menghembuskan itu dengan pelan. "Deal."

 

☆☆☆☆
 


Kata Anna :

Misinya susah-susah gampang ya, Kir. Tapi sesuai lah sama bayarannya 😆😆😆

Ges, ini ke depannya akan ada banyak kata-kata kasar, umpatan, cacian, makian, kata vulgar, dan adegan dewasa, jadi cerita ini aku rate 18+ yaaa. Tapi aku pastikan ini bukan cerita porno, jadi adegan dewasanya pun demi kebutuhan cerita ❤️

Komen sama like yooo, maachii udah baca

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Perfect Mission
Selanjutnya Part 7. Naksir
36
10
Lo pikir gue gila.Nyaris.Mata wanita itu melotot galak, bibirnya terlipat menggerutu. Ck! Pokoknya lo harus tanggung jawab, nikahin gue.Sontak Shaka menoyor kening Shakira pelan. Gue cuma nyerempet lo, bukan ngehamilin lo.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan