
Masih gratis, gesss!! Tekan like yaa
Pacta 1
Ada beberapa hal yang berubah atas hidup mereka ketika pernikahan itu terjadi, terutama pada Safira. Meski mereka sudah memiliki beberapa perjanjian di dalam pernikahan itu, tetap saja keinginan Sean akan menjadi nomor satu.
Sean berulang kali melarang Safira untuk bekerja lagi di Kafe temannya. Lelaki itu mengatakan kalau Safira akan kelelahan dan sulit untuk diajak bergelut di atas ranjang kalau ia masih bekerja di sana.
Tapi, Safira dengan segala akal di dalam kepala memaksa untuk tetap bekerja karena ia tahu alasan itu sangat bagus untuk dirinya menolak ajakan Sean berhubungan badan.
"Gak bisa ... gue tetap harus kerja! Masih ada bokap sama adek gue yang harus gue biayain."
"Gue tambah uang bulanan lo!" ujar lelaki itu dengan tangan terlipat di depan dada, punggungnya bersandar pada sofa, dan pandangannya tertuju lurus ke arah Safira. "Mau berapa? Bilang aja."
Ngomong-ngomong, pernikahan mereka sudah berjalan hampir seminggu, dan selama itu pula Safira beralasan sedang datang bulan agar Sean tidak meminta jatah padanya.
Ya ampun, jatah? Safira geli sekali rasanya mendengar itu.
"Ma—maksud lo ...," mata Safira membelalak kaget. "Se—sepuluh juta mau lo—tambah?" Bahkan suaranya sampai tercekat. Sebanyak apa sih uangnya Sean itu? Safira benar-benar dibuat terperangah.
Membicarakan uang adalah sesuatu yang bisa membuat jantung Safira berdebar kencang. Dibanding mencium wangi parfum, perempuan itu lebih menyukai wangi uang yang baru keluar dari mesin ATM.
"Hm," Sean berujar angkuh, seangkuh wajahnya yang menyebalkan itu. "Gue kasih sebanyak yang lo mau, tapi jangan kerja lagi, di rumah aja layanin gue, termasuk seks." Tentu saja, memangnya apa lagi yang menjadi tujuan Sean memberi uang bulanan kalau bukan untuk itu.
Safira mendengkus. Harga dirinya sedang dipertaruhkan. Haruskah ia melepaskan keperawanannya hanya demi selembar uang? Bukan! Itu bukan hanya selembar. Ada banyak lembaran di balik uang sepuluh juta, bahkan sepuluh juta bisa untuk membayar gajinya selama tiga bulan.
"Gak usah sok mikir, Fir, gue tahu elo tertarik sama penawaran gue." Sean berujar jumawa, mengangkat kakinya ke atas meja.
Sial! Sudah berapa kali Safira direndahkan oleh lelaki itu? Tidak, ia tidak boleh kalah. Berdeham keras, Safira mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Biar pun gue mata duitan, gue tetap gak mau berhenti kerja!"
"Yakin?" Kedua alis Sean terangkat tinggi, ia juga menambahkan sebuah seringai saat mengatakan itu. "Gue tambah sepuluh juta, resign dari kerjaan lo!"
Semakin membelalak, Safira merasakan jantungnya terjun bebas ke dasar perut. "Se—puluh juta?" tanyanya tergagap. Kalau seperti itu selama sebulan saja ia sudah meraup penghasilan sebanyak dua puluh juta. "Lo yakin?"
Sean mengangguk samar, wajahnya tetap terlihat angkuh dan sombong membuat Safira semakin benci dengan lelaki itu. Tapi ... tidak! Ia tidak akan membiarkan Sean menginjak harga dirinya lagi. Ck, baru kali ini ia menolak rejeki.
"Gak! Mau lo tambah berapa pun gue tetap gak mau berhenti kerja!"
"Kenapa?"
"Gak mau aja, gue gak suka diem di rumah seharian!" Tangannya terlipat di depan dada.
"Lo bisa belanja."
"Tetap gue gak mau!"
Sean mendengkus, menurunkan kakinya dari atas meja lalu memajukan tubuhnya ke arah Safira. "Ada apa sih sama kafe temen lo itu? Kayaknya berat banget lo keluar dari sana!" Ia mulai terpancing dan wajahnya kini tidak sesantai tadi.
"Inget ya, Se." Kali ini Safira yang bertingkah sombong. "Pernikahan kita cuma bertahan selama satu tahun, dan nyari kerja itu susah, gue gak mau pas cerai dari lo gue jadi janda pengangguran!" rancaunya aneh.
Sean menggeleng kesal, berdiri dari sofa dengan tatapan turun menuju Safira. "Kayaknya cuma lo yang setuju kalo pernikahan kita bakal bertahan selama satu tahun, gue gak pernah menyetujui itu," sentaknya sambil berlalu meninggalkan Safira yang terbengong-bengong di tempatnya.
"Apa ... maksudnya?"
***
Setelah mendengar kalimat membingungkan dari Sean, semalaman Safira tidak bisa tertidur. Bukan hanya karena kalimat terakhir yang Sean katakan, tetapi juga dengan sikap lelaki itu.
Tadi pagi, Sean meminta haknya yang belum juga Safira berikan sampai hari ini, ia juga mengatakan kalau Safira menolaknya lagi, uang bulanan yang tertera di dalam surat perjanjian akan terhapus.
Sontak Safira tidak setuju. Ia menolak itu dan kembali beralasan kalau dirinya sedang datang bulan. Tapi, alasan itu tidak mungkin ia gunakan setiap hari? Safira tidak bisa selalu beralasan datang bulan setiap Sean meminta, maka itu ia harus segera memikirkan cara lain.
"Fir..."
Safira tersentak, menoleh dari mesin kasir saat namanya dipanggil. "Oh ... kenapa, Al?" ujarnya begitu melihat lelaki jangkung yang berdiri di pintu masuk counter dengan kemeja yang sebagian lengannya sudah terlipat.
Ada yang tidak Safira katakan pada Sean. Aldo, pemilik Kafe ini adalah mantan kekasihnya, bukan sekedar teman seperti yang Safira ceritakan.
Aldo dan Safira berpisah karena orang tua Aldo tidak merestui hubungan mereka. Perbedaan kasta membuat Safira menyadari kalau dirinya dan Aldo memang tidak bisa bersatu.
"Kamu ngelamun?"
"Ya?" Mata Safira mengerjap gugup.
Astaga, ia baru saja ketahuan melamun oleh Bosnya sendiri. Ini pasti karena Safira terus memikirkan Sean yang terus menerus meminta haknya.
"Kamu sakit?" Aldo melangkah mendekat, berhenti tepat di depan Safira.
Perempuan itu menggeleng lemah. Berbohong. Tidak mungkin ia mengatakan yang sejujurnya pada Aldo kalau ia sedang memikirkan sang suami yang sejak kemarin meminta seks padanya. Ia juga tidak mungkin mengatakan pada Aldo kalau seminggu yang lalu ia telah menikah dengan lelaki kaya pemilik bangunan mewah di sekitar kafenya ini.
"Aku baik-baik aja, kok. Cuma kurang tidur," jawabnya dengan cengiran.
"Memang cuti seminggu kemana?" Aldo berujar seraya menyentuh kening Safira, membuat jantung perempuan itu berdebar cepat. Pasti wajahnya sudah memerah saat ini. "Gak panas kok."
Safira mundur selangkah ke belakang, berusaha melepas telapak tangan Aldo yang berada di keningnya. "Em ... aku gak sakit, Al." Lalu berpaling saat mata mereka bertemu.
Aldo paham tentang sikap Safira yang menghindarinya, mereka memang sudah putus, tapi Aldo tahu perasaan mereka masih sama.
"Aku cuma gak mau kamu sakit, Fir."
"Gak perlu cemas, aku bisa jaga diri aku sendiri," ujarnya berusaha mengelak.
Melihat sikap dingin Safira membuat Aldo berusaha untuk mendekat lagi. Safira menghindar, dan beruntung tiba-tiba saja Desi masuk ke dalam counter. Membuat Aldo kembali menjauh.
"Bos, biji kopi yang baru belom dateng, ya?" Desi berujar, membuat Safira menghela napas lega. Gadis itu menatap mereka berdua tanpa rasa bingung atau canggung.
"Di gudang udah abis memangnya?" tanya Aldo yang perlahan melangkah menjauhi Safira.
"Udah, bos, kalo belom ngapain saya nanya," balas Desi, sedikit sengit.
Aldo menghela napasnya pelan. "Ya udah, saya telepon suppliernya dulu." Ia melirik Safira sebentar, sebelum kemudian berlalu dari dalam counter meninggalkan dua perempuan itu.
Desi mendekat dengan cepat. "Lo gak apa-apa, Fir?" tanyanya pada Safira dengan wajah cemas.
Safira tersenyum. "Gak apa-apa kok, untung lo cepet dateng."
"Duh, si Bos belom move on apa ya?" celetuk Desi konyol. "Emang lo gak bilang kalo lo udah nikah, Fir?"
Kepala Safira menggeleng lemah. Ia takut mengatakan itu pada Aldo. Takut kalau lelaki itu akan marah. Tapi, kenapa harus marah, mereka kan sudah berpisah.
"Makanya buruan bilang, gue juga kepo sama suami lo. Ganteng gak sih?"
Safira mendengkus. Sampai saat ini ia belum memberitahukan perihal pernikahannya pada siapa pun, kecuali Desi. Itu pun tanpa menjelaskan siapa Sean dan apa pekerjaan sang suami.
"Kapan-kapan deh." Safira membuang napasnya pelan, tak lama kemudian, pintu kafe terbuka dan mereka berdua siap menyambut pelanggan tersebut dengan senyuman.
"Selamat pagi, selamat dat-" kalimat Safira langsung tertelan kembali di tenggorokannya. Mata gadis itu juga tiba-tiba saja terbuka lebar.
"Espresso satu," ujar pelanggan tersebut.
Safira masih bergeming di depan mesin kasir, tertegun dengan sorot mata terkejut menatap orang yang ada di depannya.
"Espresso-nya satu, Mbak," ulang pelanggan itu lagi.
Desi datang dan langsung menyenggol lengan Safira, membuat perempuan itu terhenyak dan berubah gelagap dengan wajah aneh. "Eh, iya ... pesen apa, Pak?"
"Mbak kalo kerja jangan ngelamun."
Safira bisa melihat sebuah seringai di wajah orang itu. Refleks bibirnya terlipat gemas. Ya Tuhan, kenapa makhluk ini tiba-tiba ada di depannya?
"Maaf, Pak." Safira berujar pelan.
"Kalo capek mending gak usah kerja, Mbak, ngurus suami aja di rumah."
Safira mengerjap, mendelik dengan tatapan kesal. Kalau tidak ada Desi di sebelahnya, Safira mungkin sudah melemparkan umpatan pada orang tersebut.
"Maaf, Pak." Desi menyela. "Tadi pesan espresso ya, saya langsung buatkan ya. Bapak bisa lakukan pembayaran dengan teman saya."
Setelah Desi pergi dari sana. Safira langsung mendekatkan wajahnya dan berbisik. "Ngapain sih lo ke sini?"
"Mau lihat istri gue kerja," balas orang tersebut dengan tampang nyeleneh.
"Sean! Lo tuh gak punya kerjaan ya?"
Lelaki itu terkekeh, melipat tangannya di depan dada. Dipandanginya Safira penuh tatapan meledek. "Ini gue lagi kerja." Safira nengernyit dengan dengkusan jengkel. "Elo salah satu properti gue, Fir, berkunjung memastikan kalo properti gue baik-baik aja juga termasuk bekerja."
Astaga! Safira benar-benar ingin mengumpat saat ini. "Elo sinting ya, Sean! Gue bukan properti lo!" Safira menggeram. "Mending lo pergi, gue mau kerja!"
Sean mengedik santai dengan senyum jenaka. "Kan gue udah bilang, gak usah kerja. Ngapain sih lo capek-capek berdiri di sini, mending di rumah. Cuma buka kaki udah dapet sepuluh juta dari gue."
Berengsek! Sean keparat! Wajah Safira memerah merasakan panas sampai ke telinga dengan mata menatap sekeliling, takut-takut ada yang mendengar pembicaraan mereka.
"Lo apaan sih?" desisnya kesal. "Kalo ada yang denger kan bahaya!"
Tidak merasa perduli, Sean malah semakin menantang Safira. "Lo gak berniat ngenalin gue sama temen lo?"
Safira kontan menoleh ke arah Desi lalu kembali manatap wajah Sean. "Please ... jangan aneh-aneh, mending abis ini lo pergi."
"Kalo perginya sama lo gue baru mau."
Shit! Safira bisa gila kalau seperti ini. "Gak bisa, Se ... jam pulang gue masih lama."
"Ya udah, gue tunggu."
Safira meggeram. "Sean! Lo tuh-"
"Espresso satu, silahkan, Pak." Tiba-tiba Desi datang dengan satu cup kopi espresso pesanan Sean.
Lelaki itu menerimanya dengan senyuman manis. Memang manis, tapi Safira tidak akan mengakui itu.
"Terima kasih."
Setelah menerima kopi itu, Sean tidak langsung pergi dari sana. Ia memilih untuk duduk di sudut cafe dengan mata memandang lurus ke arah Safira.
Kalau seperti ini, Safira tidak akan bisa fokus bekerja. Tidak ada pilihan lain, ia memang harus mengikuti kemaun lelaki itu sekarang.
****
Pacta 2
Safira bersidekap dengan bibir mengerucut kesal. Di sampingnya, Sean sedang menyetir sambil sesekali bersiul dengan nada yang menjengkelkan untuk Safira dengar. Ingin sekali ia menutup bibir itu agar tidak mengeluarkan suara.
Beberapa saat yang lalu, Safira terpaksa meminta izin pada Aldo untuk pulang lebih cepat dengan alasan tidak enak badan. Hal itu pun menjadi tidak mudah begitu Aldo memaksa untuk mengantarnya pulang. Aldo bilang kalau ia tidak bisa membiarkan karyawan kafenya yang sedang sakit pulang sendirian.
Tentu saja Safira tahu itu hanya sebuah alasan. Ia menolak itu, meski dengan beberapa perdebatan yang terjadi antara dirinya dan Aldo. Safira tidak bisa membiarkan lelaki itu mengantarnya pulang sementara di depan sana Sean sedang menungguinya.
"Lo tuh apa-apaan sih!" sentak Safira yang mulai tidak bisa menahan kekesalannya.
Sean melirik sekilas, lalu menaikan kedua alisnya tanpa rasa bersalah. "Gue? Kenapa?" tanyanya pura-pura bodoh.
"Iya, elo!" Safira melipat kedua tangannya di depan dada. "Gue lagi kerja Sean! Gaji gue bisa dipotong kalo gini."
"Berapa sih gaji lo?" Dan lagi, Sean bertanya seolah menganggap remeh pekerjaan Safira. "Gue ganti. Berapa?"
"Bukan masalah ganti! Gue juga punya tanggung jawab di dalam kafe! Gue gak bisa pergi gitu aja."
"Emang gue ada maksa lo buat pulang?"
Safira bungkam. Tentu tidak, tapi dari cara Sean yang duduk di dalam kafe sambil menatapnya terus menerus membuat perempuan itu hilang fokus. Dibanding harus bermasalah dengan Aldo, lebih baik ia menurutinya pulang.
"Gue juga gak ganggu lo kok tadi."
"Lo ganggu!" Safira memutar tubuhnya ke arah Sean. "Mau lo sebenarnya apa sih, Se?"
Sean tersenyum miring, melirik Safira lagi sebelum memfokuskan pandangannya pada jalanan di depan sama. "Hak gue!" jawabnya santai yang justru menyulut kekesalan di dada Safira.
"Gue kan udah bilang kalo gue lagi-"
"Lo gak lagi halangan, Fir."
Bibir Safira kembali tertutup rapat, lalu mencebik sambil menggerutu dalam hati. Sial! Ternyata tidak mudah membohongi Sean. "Gue butuh alasan ... kenapa lo kepengin banget ngelakuin itu sama gue?"
"Seks?" tanya Sean memastikan dan dibalas anggukam kaku oleh Safira. "Hal itu masih perlu lo tanya?" Sean menaikan sebelah alisnya, tersenyum dengan gelengan kepala samar. "Lo tahu kebutuhan laki-laki kan, Fir?"
"Tapi kenapa gue?"
Lagi, Sean mendesis geli di sebelahnya. "Yang ini juga harus gue jawab?"
Safira menghela lalu menunduk. "Kalo karena gue istri lo, itu gak mungkin banget. Kita gak saling cinta, Se."
"Gue kan udah pernah bilang, kalo seks gak butuh itu."
"Tapi gue butuh cinta untuk ngelakuin itu," tandas Safira.
"Cinta?" Sean berujar skeptis. "Hari gini lo masih percaya cinta? Ck, mending lo buang jauh-jauh pemikiran lo itu, Fir."
"Kenapa?"
"Gak ada orang yang benar-benar cinta!"
"Terus bokap nyokap lo?! Lo pikir mereka gak saling cinta?"
Sean mengedik sombong. "Ya kalo lo beruntung, lo bisa kayak mereka."
Safira menganga tidak percaya. "Lo tuh terlalu menganggap remeh orang, Sean! Pantes aja lo ditinggalin sama cewek lo! Dia mungkin seling-" refleks Safira kembali mengatupkan bibirnya rapat-rapat, membelalak dengan tampang bodoh.
Astaga, apa yang sudah ia katakan?
"Ma-maksud gue ..." ia berdehem pelan. "Ya ... kan semua orang beda-beda." Lalu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
Sehari sebelum pernikahan, Safira mengetahui sesuatu tentang Sean. Lelaki itu ternyata pernah ditinggal oleh kekasihnya begitu saja, tanpa alasan apapun. Hal itu juga yang membuat Sean berubah menjadi seperti saat ini.
Harusnya Safira bisa menahan diri untuk tidak mengungkit hal yang sangat sensitif untuk Sean. Ia tahu telah salah berbicara, karena setelah kalimat itu terlontar, Sean mendadak jadi membisu. Lelaki itu bungkam dengan pandangan lurus ke depan, dan Safira mengerutuki dirinya untuk itu.
Atmosfer di dalam mobil seketika berubah mencekam. Pasti Sean tersinggung, biasanya lelaki itu akan menyahutinya dengan nada jenaka dan menyebalkan, tapi ... kini Safira bisa melihat tangan Sean yang mencengkram setir mobil dengan erat dan kuat.
Hingga mobil itu berhenti di dalam carport, keduanya masih terdiam. Safira hendak membuka seatbelt yang terpasang di tubuhnya saat ia lihat tidak ada pergerakan dari lelaki di sebelahnya itu. Sean seperti tidak berniat untuk masuk ke dalam rumah.
"Kenapa?" Safira bertanya dengan tangan bergerak melepas seatbelt. Ia menatap Sean sekilas. "Lo gak turun?"
"Lo aja."
Mengangkat wajahnya, Safira kini benar-benar memfokuskan matanya untuk menatap lelaki itu. "Gue minta maaf ... soal yang tadi-"
"Gak ada yang salah," potong Sean cepat sambil berpaling keluar jendela.
Wajah Safira seketika tertekuk masam, masih merasa tidak tenang dengan sikap Sean saat ini. "Terus ... lo mau pergi?"
Sean mengangguk singkat, lalu kembali menyalahkan mesin mobilnya. "Buru lo keluar," usirnya.
Safira merengut, tidak suka dengan pengusiran itu. "Bilang dulu lo mau kemana?"
"Bukan urusan lo."
Ternyata bersikap baik pada Sean lama-lama membuat Safira jengkel. "Urusan gue dong! Elo yang nyuruh gue pulang tadi!" Ia bersidekap, masih ingin menuntut jawaban. "Mau kemana?"
"Black Devil," jawab lelaki itu tanpa mau melihat ke arahnya.
"Terus kalo lo mau ke Black Devil, ngapain nyuruh gue pulang tadi?" Safira berujar dengan geraman tertahan. Emosinya benar-benar dibuat jungkir balik oleh Sean sejak tadi. "Kalo tahu gitu lebih baik gue kerja."
"Ya udah, lo kerja aja sana," balas Sean menyebalkan.
Kedua bola mata Safira seketika melebar sempurna, kedua tangannya mengepal erat dengan deru napas memburu. Safira tidak pernah berpikir kalau ada manusia sejenis Sean di dunia ini.
"Sebenarnya lo cuma ngerjain gue aja, kan? Lo seneng udah ganggu gue kerja? Dari awal emang lo cuma mau gue kalah, Se!"
Refleks Sean menoleh cepat, menatap Safira dengan kernyitan bingung. "Kalah? Lo pikir pernikahan kita lomba?" desisnya sedikit geli. "Buruan turun, ngapain lo masih di situ?!"
Safira ingin menangis, ingin menampar Sean, tapi masih menahan itu karena Safira tahu ia tidak bisa melakukannya. "Sebenarnya mau lo apa sih? Gue gak ngerti sama isi kepala lo."
"Sejak kapan gue minta lo ngerti!"
Sialan! Sean sialan!
"Lo begini karena gue gak mau lo ajak seks, kan?"
Sean refleks mengernyit konyol. "Pede banget! Lo pikir gue gak bisa nyari cewek lain? Masih ada ribuan cewek diluar sana yang mau gue ajak tidur, Fir!"
"Ya udah, kalo gitu hapus aja semua perjanjiannya! Gak usah ada perjanjian lagi."
"Oke..." Sean mendesis dengan seringai di bibir. "Siapa takut." Memang sejak awal ide perjanjian itu ada karena permintaan Safira, Sean hanya mengikuti kemauan perempuan itu saja.
Dengan hentakan kesal Safira membuka pintu mobil itu, keluar dari sana lalu menoleh ke dalam, menyempatkan diri mengucapkan sesuatu pada Sean. "Gak usah pulang sekalian! Gak ada lo, rumah terasa damai!" Lalu menutup pintu itu dengan keras.
Sean menggelengkan kepalanya, menatap punggung Safira yang perlahan masuk ke dalam rumah. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman tipis.
"Aneh," gumamnya.
***
Keesokan harinya, Safira terbangun dengan pikiran yang dipenuhi nama Sean. Bukan ia mulai mendalami perannya sebagai seorang istri, hanya saja Safira ingin tahu apa semalam Sean pulang atau tidak. Ia masih merasa tidak enak dengan ucapannya kemarin.
Safira memang tidak peduli, tapi melihat wajah Sean yang mengeras membuat Safira tahu kalau ucapannya sudah kelewatan. Sebenarnya Sean marah atau tidak, itu tidak akan mempengaruhi rumah tangga mereka. Sejak awal pernikahan mereka memang tidak baik-baik saja.
Mereka tidur dengan kamar yang terpisah. Sean berangkat kerja saat Safira baru terbangun, dan Sean pulang saat Safira sudah tertidur-maksudnya, ia sengaja tidur lebih cepat agar bisa menghindari permintaan Sean. Di dalam rumah pertemuan mereka terjadi hanya ketika keduanya sama-sama tidak sengaja berpapasan di dalam dapur. Sisanya, tidak ada interaksi yang berarti.
Seperti saat ini, ketika Safira hendak masuk ke dalam dapur tidak sengaja ia melihat tubuh Sean yang memunggunginya dari balik counter top, lelaki itu sedang sibuk membuat kopi. Ya, hampir setiap hari Sean membuat kopi untuk dirinya sendiri. Di dalam surat perjanjian tertulis dengan jelas mereka akan membuat sarapan dan makan malam masing-masing.
Ngomong-ngomong soal perjanjian, Safira semalam merenung sendirian di dalam kamarnya, meratapi nasibnya yang tidak akan mendapatkan uang bulanan sebesar sepuluh juta. Sedikit banyak ia menyesal telah membuat keputusan itu. Tapi setidaknya, sekarang Sean tidak lagi menuntutnya untuk melakukan seks.
Safira tersentak begitu tubuh Sean berbalik. Untuk beberapa detik mata mereka saling berpandang, menatap satu sama lain dalam diam. Sean yang pertama kali memutus kontak mata itu, lalu melengos keluar dapur sambil membawa secangkir kopi di tangan.
"Lo pulang jam berapa?" tanya Safira begitu tubuh mereka berpapasan. Ternyata, saling diam dengan lelaki itu membuatnya tidak nyaman. "Lo tidur di rumah kan?" Safira lalu menggigit lidahnya, merasa terlalu menghayati perannya sebagai seorang istri.
Sean yang sudah berhenti di sebelahnya lantas menoleh, menatap dirinya dengan tampang dingin. "Seinget gue, kemarin ada yang nyuruh gue untuk gak pulang," ujar lelaki itu menyindir.
Sontak Safira gelagapan, ia berdehem dengan wajah memerah. "Ya-gue kan takut kalo nanti Mami telepon terus nanyain lo tapi elo-nya gak ada." Safira berkilah salah tingkah.
Ya ampun, kenapa ia harus repot-repot bertanya seperti itu pada Sean? Peduli apa dirinya? Terserah Sean ingin tidur dimana, harusnya ia tidak perlu memperdulikan lelaki itu.
"Ya udah, gue kan cuma nanya!" Lalu wajahnya mendongak, menantang Sean. "Kenapa lo jadi sinis gitu? Lo masih marah gara-gara ucapan gue kemarin? Oke, kalo gitu gue minta maaf. Puas?" ujar Safira berapi-api, kedua tangannya bersidekap di depan dada.
Lagi juga, kenapa Sean harus bersikap seperti itu, dia kan bukan anak abege lagi. Safira benar-benar kesal dengan sikapnya.
Safira masih menggerutu kesal dalam hati, sementara Sean memandanginya dengan senyum remeh di bibir. "Udah?"
Ya?
"Udah nanyanya?" ujar lelaki itu dengan seringai tipis.
Di detik selanjutnya, Safira merasakan bulu-bulu halusnya meremang. Ia lalu mengerjap salah tingkah dan menurunkan pandangannya untuk berpaling dari tatapan Sean yang mematikan.
"Udah!" sahutnya penuh emosi. "Lagian ya, Se, gue nanya kayak gitu bukan karena gue peduli sama lo! Terserah lo mau pulang atau-"
Sean melengos sambil lalu, melangkah meninggalkan Safira yang melongo takjub di tempatnya. Astaga, lelaki itu benar-benar menyebalkan. Ia bahkan pergi sebelum Safira menyelesaikan kalimatnya. Sean memperlakukan Safira seperti makhluk tak kasat mata.
"Sean sialan!"
****
Pacta 3
Hari ini weekend, dan Sean memilih untuk tetap di rumah-lebih tepatnya berada di dalam ruang kerjanya bersama berkas-berkas kantor. Jika biasanya malam minggu akan Sean gunakan untuk bertemu dengan kedua temannya, yaitu Chandra dan Kai, tapi hari ini tidak. Semenjak menikah, Sean jadi jarang berada di Black Devil. Tidak ada alasan apapun, ia hanya merasa malas kalau harus berkumpul berdua saja dengan Chandra.
Kai yang semenjak menikah berubah menjadi budak cinta kini sulit untuk diajak berkumpul, alasannya karena harus menemani istri yang baru saja melahirkan anak pertama mereka. Kai salah satu makhluk yang juga mengatakan kalau cinta adalah pembodohan akhirnya termakan oleh ucapannya sendiri. Lelaki itu menikahi istrinya yang bernama Krystal setelah melewati banyak rintangan.
Sean dan Chandra menjadi saksi bagaimana lelaki itu menjatuhkan harga dirinya hanya untuk seorang wanita. Tapi, untuk Sean itu tidak akan terjadi pada hidupnya, bahkan setelah ia menikahi Safira. Sean terus berusaha menjaga hatinya agar tidak menjadi bodoh seperti sahabatnya itu. Karena baginya, cinta hanya akan membuat hidupnya susah.
"Se ..." ketukan pada daun pintu membuat perhatian Sean teralihkan. Ia mendongak, terdiam sesaat hingga suara itu kembali terdengar. "Sean ... lo ada di dalam?"
"Gue di dalam, Fir," sahutnya.
Tak lama pintu di depan sana terbuka, disusul dengan kepala Safira yang menyembul dari balik celah pintu. Untuk beberapa saat perempuan itu terdiam, lalu menatapnya salah tingkah. "Mami-telepon ... katanya mau ngomong sama lo."
"Masuk," pinta Sean, masih terdengar datar dan dingin.
Safira kemudian melebarkan celah pintu itu, melangkah pelan-pelan masuk ke dalam ruangan. Entah mengapa, ia menjadi sangat gugup begitu mendapati Sean sedang mengamatinya. Aura lelaki itu terlihat berbeda ketika ia berada di balik meja kerjanya.
Tubuh Safira sudah tiba di sisi meja kerja Sean, kemudian menyodorkan ponselnya pada lelaki itu, yang langsung di terima olehnya dalam diam. "Iya, Mi?" sapa Sean singkat saat panggilan itu ia terima. "Di rumah."
Samar-samar Safira dapat mendengar percakapan Sean dan Mami di ujung sana. Merasa sudah tidak ada keperluan lagi di dalam ruangan itu, Safira hendak melangkah keluar. Tapi, saat berbalik, tiba-tiba saja Sean menggengam tangannya, lalu menarik tubuhnya untuk mendekat.
Tentu perlakuan Sean yang secara tiba-tiba itu membuat Safira tersentak, ia melebarkan kedua matanya dan berbalik cepat. Mata Safira menatap lelaki itu dengan tampang bingung, tidak berkutik saat dengan santainya lelaki itu malah mengelus punggung tangannya.
Sean sendiri tidak mengucapkan apa-apa, ia berpaling dan sibuk berbicara dengan Mami dari balik telepon. Di detik berikutnya, Safira merasakan hawa panas seketika menjalar masuk ke seluruh tubuhnya. Ia mengerjap kaku, lalu tanpa sadar menahan napasnya.
"Iya, nanti Sean coba tanya ... hm." Begitu kalimat yang dapat Safira dengar sebelum Sean memutus sambungan itu.
Refleks Safira menegang saat Sean mengangkat wajahnya, menatap matanya dari bawah. Ia lalu menyerahkan ponsel itu dengan satu tangan yang masih menggengam tangan Safira. "Nih, hape lo," ujarnya.
Safira masih terdiam, mencoba menahan debaran di dada atas perlakuan Sean yang tiba-tiba tadi.
"Ini, gak mau lo ambil?" Sean menyodorkan hapenya lagi, membuat Safira gelagapan dan segera merampas itu.
"Ngapain sih lo pake pegang-pegang tangan gue!" sentak perempuan itu galak, padahal hatinya sedang jungkir balik di dalam sana.
Sean lalu melepas genggaman tangan itu, mengedik sambil kembali memperhatikan satu persatu berkas-berkas di atas meja kerjanya. "Gue males jalan keluar buat balikin hape lo. Jadi gue sengaja nahan lo untuk gak keluar biar gue gak perlu balikin itu."
Apa??
Safira membelalak. Apa katanya tadi?
Jadi ... lelaki itu sengaja menggenggam tangannya hanya untuk-oh sialan! Kenapa bisa-bisanya ia berdebar hanya karena itu? Safira merasa bodoh, sekaligus kesal setengah mati. Apa sih yang otaknya pikirkan?
"Ngapain lo masih di sini?" Sean berujar sinis sambil meliriknya. "Keluar sana."
Bangs-
Oke baik, tidak boleh berkata kasar.
Bangsul!
Safira mendesis, melipat bibirnya dengan mata memicik tajam. Ia bersumpah akan membalas perlakuan Sean nanti. Seraya menghentak kakinya kasar, Safira berbalik dan keluar dari ruangan itu.
Langkah kakinya terangkat menuju dapur, Safira butuh air untuk meredakan emosinya yang tiba-tiba menguar. Si keparat Sean memang senang sekali mengerjainya.
Sabar, Fir, sabar. Dia lagi ngambek sama lo. Ck, Safira berdecak. Benar-benar seperti anak abege.
Ia lantas membuka kulkas, mengambil sebotol air mineral dan meminumnya tidak sabaran, beberapa tetes air bahkan sampai mengalir keluar dari bibirnya hingga membasahi kausnya.
Kalau bisa, Safira rasanya ingin sekali menyirami kepalanya dengan air dingin saat ini juga. Merasa tidak habis pikir kalau dadanya bisa berdebar hanya karena Sean menyentuh tangannya.
Dasar keparat!!
"Fir,"
Sontak Safira tersedak saat suara nyaring dari balik punggungya itu berdengung di telinganya. Air yang sedang ia minum pun sampai keluar kembali, dan kali ini membasahi hampir seluruh bagian depan bajunya.
Safira menoleh dengan tampang galak. "Sean! Apa-apaan sih, lo!" omelnya menggebu-gebu. "Bisa gak, gak usah ngagetin gitu manggilnya."
Sementara, di depan sana, lelaki itu hanya menaikan kedua alisnya seraya memandang tubuh Safira yang sedikit basah.
"Hampir aja gue mati keselek."
Sean terkekeh, melangkah maju lebih dekat ke arahnya. "Baru hampir, kan?" ujarnya nyeleneh, yang membuat Safira menganga lebar.
"Sialan!"
"Anak perawan gak boleh ngomong kasar," cibir Sean sedikit mengejek. Ingatkan sampai saat ini ia belum juga berhasil membobol gadis itu.
"Terus kalo udah gak perawan, boleh?" Safira berujar menantang.
"Boleh ... lo mau?" ejek Sean lagi yang kontan membuat pipi Safira memanas.
Kenapa sih, akhir-akhir ini ia jadi lemah kalau diserang oleh Sean?
Saat jarak tubuh mereka semakin tipis, Sean kemudian mengangkat sebelah tangannya untuk menyentuh bibir Safira, mengusap lembut di sana seraya menghapus jejak air yang tertinggal.
Detik itu juga debaran yang sejak tadi coba Safira lenyapkan datang lagi. Ia mematung, tidak mampu bergerak kemana pun. Sentuhan Sean seperti tombol pause yang bisa membuatnya tidak berkutik.
Bahkan saat Sean semakin memutus jarak di antara mereka, dan tubuh keduanya saling berdempetan di depan kulkas, Safira hanya bisa menahan napasnya. Kedua tangannya mengepal gugup di sisi tubuh. Safira terpejam, lalu merasakan hembusan napas Sean mengenai kulit lehernya.
"Besok ...," desah lelaki itu di telinganya. "Mami minta kita ke rumah."
Safira semakin memejamkan matanya, begitu pun saat tangan Sean mulai bergerilya di pingganya, menekan tubuhnya hingga punggung belakangnya menyentuh pintu kulkas.
"Lo ... bisa, kan?" desahnya lagi yang membuat Safira meremang.
Kedua tangan Safira yang sejak tadi mengepal gugup, tiba-tiba terangkat untuk ia letakan di depan dada Sean. Ia menelan ludahnya susah payah.
"Bi-bisa, gue-bisa ... tapi elo-please, Sean, jangan gini." Ia dorong dada lelaki itu hingga memutus jarak di antara mereka. Mata Safira terbuka sayu, memandang Sean dengan deru napas yang memburu karena sejak tadi tanpa sadar ia telah menahan napasnya. "Kenapa ngomongnya harus deket-deket, sih? Elo sengaja mau ngerjain gue?"
Kening Sean terlipat dalam, lelaki itu bersidekap memandang Safira dengan tampang bingung.
"Elo bisa bilang itu tadi di dalam setelah selesai ngomong sama Mami! Terus kenapa lo harus keluar? Padahal tadi jelas-jelas lo bilang males buat jalan keluar." Safira mendengkus kesal, mengerucutkan bibirnya. "Lo juga sengaja kan pegang-pegang tangan gue biar gue baper!"
Sean tersenyum. "Jadi lo baper?" tanyanya menyeringai yang dalam hitungan detik mampu membuat Safira mengerjap bodoh di tempatnya.
Astaga, apa yang sudah ia katakan barusan? Kenapa bibirnya sulit sekali menyaring kata-kata sih? Ck, Safira malu! Benar-benar malu.
"Lo baper sama gue, Fir?" ulang lelaki itu.
Safira langsung berpaling salah tingkah, melipat kedua tangannya di depan dada yang sontak membuat kausnya yang basah memperlihatkan cetakan dadanya. "Eng-gak ya! Siapa yang baper sama lo! Gak mungkin banget," kilahnya gugup.
Sean terkekeh, kembali melangkah mendekat, membuat perempuan itu langsung mengambil sikap defensif. "Mau apa?" tanyanya menantang.
"Sekarang elo yang sengaja mancing gue?"
Safira mengernyit. "A-pa?"
"Itu," mata Sean turun ke bawah, tertuju pada bagian dada Safira. "Warna merah ... elo sengaja kan pake daleman warna merah buat mancing gue?"
Mata Safira mengikuti arah pandang Sean, lalu membelalak dengan tangan menyilang di depan dada saat dengan jelas dalamannya tercetak di sana. Safira memekik nyaring. "Sean! Kenapa dilihat?"
"Ya masa gue harus nyia-nyiain pemandangan indah di depan mata."
"Mesum!" Safira mengerucut, masih berusaha menutupi dadanya. "Tutup mata lo! Jangan-"
Sean lantas mengecup bibir itu secara refleks, merasa gemas sekaligus ingin kembali mengerjai Safira. "Gue jadi gak sabar lihat dalamnya," ujarnya dan berbalik. Kembali memasuki ruang kerjanya dan meninggalkan Safira yang hanya mampu berdiri mematung.
****
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
