Hierarchy — Bab 1

47
12
Deskripsi

Di balik dinding penuh aturan dan reputasi, Edgar—anak sulung yang dibesarkan dengan ketegasan dan tanggung jawab, tak pernah menyangka akan terusik oleh kehadiran seorang pembantu baru bernama Astia.

Tia datang tanpa rayuan, namun sorot matanya menyalakan bara di dada Edgar. Ketertarikan yang ia coba redam perlahan membakar batas kewajaran. Dan saat sentuhan tak sengaja menjelma jadi candu, keduanya larut dalam gejolak yang tak bisa mereka namai.

Hierarchy 1

==

Rumah keluarga Prasetyo berdiri megah di ujung kawasan elite Ibu Kota. Pilar-pilar tinggi menjulang di teras depan, jendela kaca besar berbingkai emas berkilau tertimpa matahari pagi. Di tengah halaman, sebuah air mancur menderas lembut, dikelilingi taman yang lebih luas dari lapangan sepak bola di kampung halamannya.

Astia Amandira berdiri terpaku setelah turun dari mobil yang membawanya melewati gerbang besi hitam yang dibuka oleh satpam. Jantungnya berdegup cepat, bukan hanya karena takjub, tapi juga gugup, rasanya campur aduk seperti makanan yang bercampur di dalam perutnya.

"Waw ...." ia bergumam dengan mata berbinar menatap bangunan besar di depannya. Tia belum pernah melihat rumah seluas dan sebesar ini. "Gede banget," gumamnya lirih. Tangannya meremas ujung tas ransel lusuh yang sudah menemaninya bertahun-tahun.

Astia—atau yang biasa dipanggil Tia—baru tiba di Jakarta pagi ini. Semalam ia naik bus dari kampung, hanya membawa selembar tiket, tekad, dan satu harapan untuk bisa memulai hidup baru. Ia memilih kabur, pergi dari tekanan hidup bersama Bibi dan Paman yang memaksanya menikah dengan juragan beras tua demi menutupi hutang keluarga.

Ia tahu, mungkin keputusannya terlalu nekat, tapi menjadi istri dari lelaki tua yang memiliki istri tiga bukan hidup yang Tia mau. Maka, saat ada yang menawarinya sebuah pekerjaan menjadi seorang pembantu rumah tangga di Jakarta dengan gaji yang lebih besar dari kerjaan sebelumnya, Tia tak berpikir panjang.

"Astia." Suara Pak Dayat—lelaki berkumis tipis yang menjemputnya dari terminal tadi, membuyarkan lamunan Tia. Pak Dayat menunjuk tas besarnya dari balik bagasi mobil. "Tas kamu langsung bawa ke dalam aja. Nanti ketemu Bu Rini, kepala pembantu di sini. Dia yang bakalan jelasin tugas kamu."

"Iya, Pak." Tia mengangguk cepat, lalu buru-buru menyusul masuk melewati halaman luas yang bahkan tak sempat ia hitung jumlah pot bunganya.

Begitu menjejakkan kaki ke dalam rumah, aroma wangi bunga mahal dan lantai marmer menguar di udara. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung kristal mengkilap. Tia menelan ludah. Rumah ini terlihat lebih mirip seperti hotel bintang lima dibanding tempat tinggal manusia biasa.

Tak lama, seorang wanita berkerudung dengan wajah ramah tapi tatapan sigap muncul dari lorong.

"Kamu Astia?" tanyanya, suaranya tegas tapi tak galak.

"Iya, Bu."

"Saya Rini, kepala asisten rumah tangga. Kamu mulai kerja hari ini, nanti saya kasih tau tugas harian kamu. Sementara ini, kamu bantu di area tengah dulu ya, ada ruang keluarga, dan ruang tamu."

Tia mengangguk patuh.

Sembari mengikuti Bu Rini menyusuri rumah, ia sempat melirik beberapa wajah penghuni. Seorang gadis remaja melintas sambil sibuk dengan gawainya. Di kejauhan terdengar suara lelaki yang sedang tertawa kecil dari arah taman belakang.

“Sejak Bapak meninggal, Bu Laras pegang kendali semua. Beliau orangnya baik, tapi disiplin. Hati-hati sama jadwal dan aturan rumah. Di sini Bu Laras tinggal bersama ketiga anaknya, Mas Edgar, Mbak Elia, dan Mas Edwin. Sama adiknya Bu Laras, Tante Rani, tapi Tante Rani gak selalu ada di rumah, kadang pergi ke rumah ibu mereka yang ada di Jogja, kayak sekarang ini.” Bu Rini menambil jeda. "Semua orang di rumah ini sibuk, kamu jangan bikin masalah."

Tia hanya mengangguk-angguk, mencoba menghafal nama-nama yang terasa asing.

Langkah mereka berhenti di depan sebuah kamar kecil di ujung lorong. "Ini kamar kamu, istirahat dulu aja nanti sore baru mulai bantu bersih-bersih."

Tia menatap kamar mungil dengan ranjang kecil, lemari, dan jendela menghadap taman belakang. Ia masuk perlahan, duduk di ujung ranjang, lalu menatap keluar jendela.

Tak pernah ia bayangkan, tempat asing ini akan menjadi titik awal dari hidup yang berbeda. Entah lebih baik, atau lebih buruk. Tapi satu hal yang pasti, berada di sini tak membuatnya harus menikah dengan juragan beras yang memiliki banyak istri.

○○○

Sore harinya, Tia mulai bekerja. Ia sudah berganti baju seragam—terusan hitam selutut dengan renda putih di sekelilingnya—bekas pembantu sebelumnya, seragam itu sedikit kekecilan di tubuh Tia yang tidak kecil tapi juga tak besar.

Seragam Tia baru diukur hari ini, kemungkinan seminggu lagi baru jadi.

"Setelah kamu semprot, kamu ratain."

Tangan Tia sibuk mengelap kaca besar di ruang keluarga itu, sesuai intruksi Mbak Suci yang berdiri di sampingnya, mengawasi dengan senyum tipis.

"Nggak usah ditekan, pelan aja, yang penting rata." Lagi, Mbak Suci memberi arahan sambil membantu memegangi botol pembersih.

Tia mengangguk cepat, masih terlalu kikuk. Ini bukan pekerjaan yang asing baginya, tapi suasana rumah yang megah dan luas, serta semua aturan yang ada membuat semuanya terasa berbeda.

"Kayak gini, Mbak?" tanya Tia.

Mbak Suci menyahut, "Iya, bagus. Nah, lanjut sampai sisi sana ya."

Belum sempat Tia menyeka sisi kaca berikutnya, pintu utama berderit terbuka. Terdengar suara sepatu laki-laki menginjak marmer. Langkahnya mantap dan cepat.

Tia refleks menoleh.

Seorang lelaki muda masuk dari depan, berjalan lurus melintasi ruang keluarga. Ia tampak baru pulang kerja, terlihat dari rambutnya yang sedikit acak-acakan—namun tidak menghilangkan kesan berkelasnya, pun kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku, memperlihatkan lengan kokoh dan urat halus yang bergerak saat ia mengangkat ponsel ke telinga.

Jam tangan mahal melingkar pas di pergelangan tangan kirinya. Celana bahan hitan membingkai postur tingginya yang tegap.

Tia terpaku.

Wajah lelaki itu tajam, tipe masuklin. Hidungnya mancung, rahangnya kokoh, dan kulitnya putih bersih seperti habis perawatan. Terlihat sekali aura orang kaya yang sibuk tapi tetap menawan dari caranya berjalan.

Sementara itu, lelaki itu terus melangkah ke arah tangga tanpa sedikit pun menyadari ada dua pasang mata yang menatapnya seperti sedang melihat makhluk langka. Suaranya terdengar serius saat berbicara di telepon.

"Iya, gue udah kirim file-nya. Nanti tinggal tunggu konfirmasi dari logistik."

Langkahnya menghilang di balik tikungan tangga.

Tia masih diam menatap lelaki itu di tempat, tangannya menggenggam kain lap yang tak bergerak. Ada sesuatu dalam diri lelaki itu yang membuat Tia tak bisa mengalihkan pandangan.

Ia belum pernah melihat laki-laki seperti itu secara langsung. Hanya di televisi atau di baliho iklan parfum. Tapi ini nyata. Di hadapannya. Di rumah tempat ia bekerja.

Mbak Suci menyenggol lengan Tia, cekikikan kecil.

"Itu Mas Edgar," bisiknya sambil terkekeh. "Anak sulung Ibu Laras. Ganteng ya?"

Tia mengangguk tanpa sadar.

"Orangnya baik, suka becanda, tapi kalo marah serem juga."

Tia mengangguk pelan, masih terdiam dengan lap basah di tangan.

"Inget, gak usah naksir, tau diri," goda Mbak Suci setengah berbisik. "Ayo lanjut."

"Iya, Mbak."

Untuk sesaat, Tia lupa kaca yang belum selesai dilap. Lupa lelah, lupa lapar, lupa cara bernapas, dan lupa kalau lelaki seperti itu tak akan pernah bisa ia miliki.

○○○

Langit mulai menggelap saat Edgar mengangkat panggilan yang masuk ke dalam ponselnya, meski begitu lampu-lampu tetap menyala ramai dari lantai atas rumah. Di balkon kamarnya, Edgar bersandar di pagar besi sambil mengepulkan asap rokok, satu tangan lain menekan ponsel ke telinga. 

Rambutnya sedikit basah, ia baru saja selesai mandi saat asistennya itu menghubungi.

"Iya, email aja dulu revisinya. Kalo dia nggak tanda tangan sampai Jumat, drop aja kerjasama kita," suaranya tenang tapi tajam.

Sambil mendengarkan respons dari seberang, mata Edgar mengarah ke bawah, ke halaman samping yang sepi. Asap rokok terus berembus dari bibirnya.

Ada gerakan samar—seorang gadis berjalan cepat melintas di bawah cahaya lampu taman. Jalannya tampak biasa, tangannya menggenggam ember kecil, tubuhnya dibungkus terusan biru pudar dan kardigan.

Edgar menyipitkan mata, mencoba mengenali. Ia tak pernah melihat sosok itu di rumah. Rambutnya diikat asal, tapi dari kejauhan, siluet wajahnya lembut. Kulitnya terang, posturnya tidak kecil tapi juga tidak besar. Yang pasti bukan penghuni rumah yang biasa ia lihat.

"Siapa tuh?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.

"Pak?" suara asistennya terdengar dari balik telpon.

Edgar langsung mengalihkan fokus. “Ha?”

“Bapak ngomong apa tadi?”

"Nggak, nggak ada." Lalu saat ia menatap turun ke bawah lagi, sosok itu sudah tidak ada. “Lanjut ke pembahasan. Besok lo sama Rama yang follow up langsung ke kliennya ya.”

Rokok di tangan nyaris habis, tapi pikirannya belum sepenuhnya kembali ke pekerjaan. Bayangan samar cewek tadi masih terpatri di kepalanya, entah kenapa.

"Bukan hantu, kan?" gumamnya dalam hati.
 

○○○○
 

Kata Anna :

Hihiii akhirnya brojol juga kisahnya Edgar yaaww. Cerita ini udah umum sih, udah banyak yang buat, tapi jalan cerita bakalan beda dan dijamin seru 🔥🔥🔥🔥

Yukk ahh tes ombak dulu, komen nyokkk ❤️❤️

Semoga suka ya, gess 😍😍 Nantikan part duanya

Makacihh udah baca 😘😘

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hierarchy
Selanjutnya Hierarchy — Bab 2
33
2
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan