Flawsome 1 - 9

25
1
Deskripsi

Blurb :

Katanya, setiap manusia di dunia memiliki tujuh kembaran yang berbeda darah atau setidaknya orang yang benar-benar mirip, dan Beni percaya itu. Ia percaya kalau di luar sana akan ada orang yang wajahnya serupa dengan dirinya.

Tapi ... yang membuat Beni tidak percaya adalah kalau ternyata salah satu kembarannya itu merupakan seorang bocah laki-laki berumur lima tahun yang kini menjadi teman satu sekolah Aila—putri sulung Andri yang merupakan sahabatnya.

Beni rasanya tidak terima, masalahnya...

BENI HADINATA

Sebenarnya Beni malas sekali setiap kali disuruh datang untuk menginjakan kakinya ke dalam rumah mewah ini, apalagi setelah semalam suntuk ia sibuk menikmati surga dunia dengan seorang wanita yang ia bayar mahal. Tapi, mau bagaimana lagi, jika tidak dituruti Papanya itu akan berulah sangat menyebalkan.

Terlahir menjadi anak bungsu dengan tiga kakak perempuan yang hebat dan pintar bukanlah suatu kebanggaan untuk Beni. Kalau saja ia bisa memilih, ingin sekali ia dilahirkan sebagai seorang perempuan agar tidak ada lagi kaum wanita di rumah ini yang memusuhinya.

Harusnya, sejak lima tahun yang lalu kursi kepemimpinan di perusahaan Papa sudah jatuh ke tangan Kak Melani, karena beliau adalah anak sulung keluarga Hadinata. Tapi Januar Hadinata yang merupakan ayahnya malah memilih Beni untuk duduk di kursi tertinggi perusahaan hanya karena ia seorang anak laki-laki.

Padahal Beni tidak butuh itu semua, diberi satu aset kekayaan Papa untuk memulai bisnisnya sendiri saja itu sudah cukup. Jujur, dibanding harus dimusuhi ketiga kakaknya, Beni lebih memilih bekerja menjadi pegawai biasa, atau paling tidak jabatan yang tidak terlalu tinggi. Bukan Beni tidak bersyukur tapi ia benar-benar tidak paham mengapa hidupnya harus begitu menyedihkan hanya karena ia terlahir berbeda.

Kalau Beni boleh jujur, Melani sebenarnya jauh lebih kompeten untuk memimpin perusahaan dibanding dirinya. Wanita itu mandiri, tegas, dan berwibawa, tapi Januar Hadinata merupakan orang yang kolot dan percaya kalau hanya anak laki-laki yang pantas memimpin sebuah perusahaan.

Beni kira menjadi satu-satunya itu menyenangkan ternyata menyebalkan. Beni kira menjadi berbeda itu menguntungkan, ternyata menyakitkan. Beni tidak berharap apa pun selain bisa hidup normal dengan ketiga saudaranya.

"Mau sampai kapan kamu mengelola restoran reyot itu?" Januar Hadinata, pemilik sekaligus pemegang saham tertinggi di PT. Boga Saji memecah hening yang terjadi di ruang makan itu.

Beni yang baru saja hendak melahap sarapannya ke dalam mulut mendadak meringis kecil seraya melirik sosok dingin yang sedang duduk di ujung meja makan dengan kedipan mata kaget. "Papa ngomong sama aku?" ujarnya.

Sontak saja seluruh penghuni yang sedang duduk di sana pun langsung mematung seraya mengangkat wajah menatap satu-satunya sosok yang begitu berani menantang sang ayah. Tidak ada satu orang pun yang bisa membantah ucapan Januar Hadinata, apalagi menolak pintanya.

"Bener ya, ngomong sama aku?"

Januar sampai meletakan sendoknya ke atas meja dengan sentakan keras. Ia menatap putra bungsunya itu seraya melotot tajam. "Memang siapa lagi di keluarga ini yang punya restoran reyot?"

Beni berdehem, ikut meletakan sendoknya ke atas piring seraya meringis. "Siapa sih yang punya restoran reyot, malu-maluin aja," ujarnya pura-pura tak paham. Ia lalu menatap ke arah Afika—kakak keduanya yang sedang duduk di depannya itu. "Elo ya, Mbak?"

Afika berdecak, menghentikan makannya untuk menatap Beni dengan tajam. "Elo emang cocok sama restoran reyot lo itu! Sama-sama gak menghasilkan," ejeknya yang kontan membuat Beni memicikan mata dengan bibir mencibir.

"Enak aja ...," protesnya sewot. "Gitu-gitu gue bangunnya pake keringet. Kerja keras gue itu."

Lalu tiba-tiba saja Kalina—kakak ketiganya ikut menyeletuk, "bangunnya pake uang Papa kali, pake keringet lo mah gak akan jadi tuh restoran."

"Ya maksud gue juga pake uang Papa."

"Terus dimana kerja keras lo?"

"Minta uang sama Papa juga butuh kerja keras, Mbak," jawab Beni penuh jenaka. "Emang lo kira gampang minta uang sama Bokap lo?"

Kalina merengut. "Papa juga Bokap lo!"

"Ck, ya enggak usah lo ingetin gitu lah." Beni mengibaskan tangan tanpa takut sama sekali dengan tatapan tajam Januar yang sejak tadi menatapnya dengan tampang horor.

Shh, aura lelaki itu benar-benar menyeramkan.

Januar berdehem keras, membuat ketiga anaknya sontak merapatkan bibir lagi. Hanya Melani yang sejak tadi sibuk memakan sarapannya seolah tidak terganggu dengan perdebatan di atas meja makan itu.

"Perjanjiannya kalau restoran itu tidak berhasil kamu akan mengambil alih perusahaan, bukan?"

Beni seketika merasa tidak nafsu makan lagi. "Ya, tapi kan belom bangkrut, Pa."

"Sebentar lagi bakalan bangkrut kok."

"Eh? Kok didoain?" Beni mencebik. "Ihh, Papa jahat."

Januar menggeram, menatap si bungsu dengan wajah memerah. "Kamu jangan terlalu banyak main-main, Ben! Ingat umur kamu. Mau sampai kapan kamu hidup seperti ini?"

"Ya elah, Pa." Memang tidak ada takutnya anak satu ini. "Kalo udah tua kenapa sih emangnya? Yang penting bahagia kan?"

"Papa butuh penerus. Anak laki-laki di keluarga ini cuma kamu."

Beni sontak berdecak, tampangnya benar-benar sangat menyebalkan. "Tenang, Pa, nanti Beni bawain Papa cucu laki-laki. Papa duduk aja yang santai, biar perusahaan nanti Mbak Mel yang urus." Beni lantas beralih pada kakak sulungnya yang sejak tadi hanya bungkam. "Ya gak, Mbak Mel?"

Wanita itu tidak memberi respon apa pun selain tetap mengunyah sarapannya dalam diam, membuat Beni mendengkus dengan wajah masam. "Yaahh, dicuekin lagi gue ...," keluhnya.

Sejujurnya, Melani benar-benar terlihat mirip dengan sang ayah, dingin, galak, dan jutek. Wanita itu cocok sekali jika harus menggantikan sang ayah di perusahaan. Terlihat berwibawa dan tegas, sedangkan Beni? Diajak berbicara serius saja ia malah melantur.

"Aku udah selesai." Melani membalik sendok dan garpu di atas piring, lalu menenggak air putih di depannya dengan perlahan. Setelah itu, ia berdiri, mendorong sedikit kursinya ke belakang dan menatap ke arah sang ayah. "Aku berangkat, Pa," pamitnya pada Januar yang hanya dibalas dengan anggukan kepala.

"Mau gue anter gak, Mbak?" Beni ikut beranjak, berdiri setelah menenggak air putihnya. "Ayoo," ajaknya kemudian.

"Gak perlu. Gue punya supir." Melani lagi-lagi menanggapi Beni dengan dingin, kakak sulungnya itu malah melengos mengambil tas kerjanya lalu melangkah meninggalkan ruang makan itu yang mendadak sunyi.

Sejak lima tahun lalu, Melani Narnia Hadinata memilih untuk memusuhi adik bungsunya itu, semua karena keputusan Papa yang tidak masuk akal. Lelaki tua itu memilih penerus perusahaan hanya karena gender mereka. Padahal selama ini yang membantu Papa di perusahaan adalah Melani, Januar seakan tidak melihat kerja kerasnya yang rela mendedikasikan seluruh hidupnya untuk perusahaan.

Beni terlahir menjadi anak terakhir di keluarga itu, satu-satunya anak lelaki yang Januar miliki. Jarak umur semua anaknya hanya terpaut sedikit, satu setengah tahun. Melani yang lebih dulu terjun ke perusahaan, membantu sang ayah dengan kerja kerasnya. Bahkan saking sibuknya bekerja, Melani tidak punya waktu untuk berkencan.

Bukan karena tidak ada yang mau, siapa yang tidak ingin menikahi anak dari pemilik perusahaan pangan terbesar di Jakarta. Sudah banyak yang melamar, tapi Melani terlalu fokus pada pekerjaannya sehingga ia lupa berinteraksi dengan orang sekitar.

"Aku juga udah selesai." Afika ikut beranjak, meraih tas kerjanya lalu pamit pada sang ayah.

Berbeda dari Melani, Afika Lania Hadinata  memilih untuk bekerja di luar perusahaan sang ayah. Selain tidak ingin bersaing dengan saudaranya, Afika juga sadar kalau ia tidak mungkin bisa menjadi penerus sang ayah. Maka itu kini Afika memilih bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang manajemen artis.

Awalnya Afika ingin membuka usaha di bidang fashion, seperti hobinya pada desain mode, tapi Papa menolak untuk memberinya modal dan malah memberikan itu pada Beni untuk membuka usaha restoran reyotnya. Padahal Papa tahu kalau anak laki-lakinya itu hanya iseng dan ingin bermain-main. Sejak saat itu rasa benci Afika pada Beni semakin besar.

"Aku juga, Pa. Aku berangkat sekarang."

Kakak ketiganya bernama Kalina Ramita Hadinata, perempuan ini merupakan satu-satunya kakak terbaik yang Beni miliki karena jarak usia mereka yang terpaut cukup dekat. Kalina sering membantu Beni saat masih kecil, selalu memberikan apa yang ia miliki. Seperti mainan, makanan.

Tapi semua berubah saat Papa melarang Kalina berpacaran dengan seorang pemuda miskin yang hanya ingin memoroti uangnya saja. Semua karena Beni yang mengadukan itu pada sang ayah. Beni tidak menyukai pacar Kalina, hingga akhirnya, pertengkaran pun terjadi. Semua wanita di rumah sepakat untuk memusuhi Beni.

Kecuali Mama,

"Selamat pagi semuanya ...." Mama berseru heboh setelah turun dari tangga.

Di meja makan hanya tersisa Beni dan Papa saja, Mama baru turun karena wanita itu baru saja bangun. Kalau Melani menuruni sifat sang ayah, mungkin orang-orang di rumah sepakat kalau Beni mirip sekali dengan ibunya. Ceria, banyak bicara, tengil, dan sedikit resek.

"Kok cuma berdua? Yang lain mana?" tanya Mama seraya duduk di kursi ujung yang barhadapan langsung dengan Papa. Beliau membalik piring dan menuang nasi di atasnya dengan santai. "Ini sarapan masih banyak gini."

Januar mendengkus, menenggak air putih di depannya lalu mengelap ujung bibirnya dengan kain. "Yang lain sudah menjemput rezeki, cuma kamu yang rezekinya dipatok ayam," ujar Papa seraya beranjak.

Liliana Willian Hadinata, wanita berumur lebih dari 50 tahun itu masih sangat cantik dan juga seksi. Beliau pintar merawat diri karena takut suami berselingkuh. Tapi anehnya, hanya Liliana dan Beni yang tidak takut pada amarah Januar Hadinata yang begitu menyeramkan.

"Kamu udah selesai makannya, Pa?" Mama baru ingin menyuap, tapi Papa sudah berdiri dari kursi dan bersiap pergi.

"Kalo aku nunggu kamu, perusahaan aku gak akan bisa berdiri seperti sekarang."

Mama Liliana berdecak, melipat bibirnya karena sindiran sang suami. Beliau lantas meletakan kembali sendoknya ke atas piring sebelum akhirnya berdiri. "JUNET!!!" teriaknya nyaring memanggil sang asisten suami yang seketika membuat seisi rumah gaduh.

"Ma ...." Beni menegur dengan ringisan kecil seraya menutup telinganya. "Berisik banget."

"Biar aja," jawabnya tak peduli meski kini Januar sedang menggelengkan kepala menahan emosi. Padahal suaminya dikenal sangat galak, tapi tetap saja tidak akan berkutik jika Liliana yang bergerak. "JUNET!!!" teriaknya lagi yang membuat kedua lelaki paling berharga di dalam hidupnya itu menghela lelah.

"Iya, Bu ...." Junet, lelaki berperawakan tinggi dan besar itu datang tergopoh-gopoh setelah Liliana memanggilnya dengan teriakan melengking. "Saya, Bu."

"Ini Bapak sudah mau berangkat."

"Baik, Bu." Lantas Junet membawakan tas kerja Januar, menyiapkan semua keperluan Bosnya itu seraya bergerak ke arah mobil yang sudah siap di depan rumah.

"Aku berangkat," pamit Papa pada Mama dengan mencium kening istrinya itu. Meski sudah tiga puluh tahun lebih hidup bersama, tapi kedua orang tua Beni itu tetap mesra dan harmonis. Mereka jarang bertengkar di depan anak-anak.

"Inget ya, Ben." Januar kini beralih pada anak bungsunya. "Papa gak mau denger alasan apa pun dari kamu, bulan depan kamu sudah harus kembali ke perusahaan," ujar Papa seraya berlalu dari sana yang diikuti oleh Mama.

Beni hanya mengangguk tanpa minat, niatnya ke rumah ini untuk sarapan tapi malah berakhir dengan permintaan buruk sang ayah. "Ck! Kenapa sih gue gak lahir jadi anak perempuan aja," gumamnya kesal setelah hanya dirinya yang tersisa di ruang makan itu.


 

 

BERLIAN PRABASWARA

"Balik ke Jakarta aja, Li." Sudah kesekian kalinya Bude Yum berkata demikian setiap mereka melakukan panggilan telepon. Bude terus memaksa Berlian kembali ke Jakarta setelah lima tahun lebih ia memilih pergi dari Ibu Kota untuk melanjutkan hidup di Surabaya. "Abi bilang bisa bantu kamu cari kerjaan di tempatnya."

Mungkin Bude tidak akan memaksa seperti ini kalau saja tiga minggu yang lalu Berlian tidak dipecat karena pengurangan karyawan di tempatnya bekerja. Sudah tiga minggu Berlian menjadi pengangguran. Uang simpanan juga sudah mulai menipis sementara ia kesulitan mendapatkan pekerjaan.

"Aku masih mikir-mikir, Bude."

"Udahlah gak usah kelamaan mikir, kasihan Bevan."

"Bevan baik-baik aja, Bude," desah Berlian dengan tangan memijat kening. Ia lantas menolehkan wajahnya menatap ke arah ruang tengah dimana bocah laki-laki berumur lima tahun itu sedang berguling-gulingan seraya memainkan mobil-mobilan yang ia belikan beberapa hari yang lalu.

Bevan adalah buah hatinya yang telah ia lahirkan dengan susah payah. Lima tahun yang lalu ia berjuang antara hidup dan mati di ruang bersalin, mengerang penuh kesakitan, mengerahkan seluruh tenaga untuk membawa bayi mungil itu ke dunia tanpa seorang suami dan keluarga.

Bevan adalah segalanya untuk Berlian. Hidup dan matinya, bahkan Berlian rela melakukan apa pun untuk anaknya itu. Ia berjanji tidak akan membuat Bevan menderita meski mereka hanya hidup berdua.

"Kamu gak usah takut ketemu ayahnya Bevan kalo itu yang ngebuat kamu gak mau ke sini. Jakarta luas, Li."

"Bude—"

"Sudah-sudah, pokoknya kamu ke sini aja. Kamu gak kasihan ninggalin Bevan sama tetangga kalo kamu kerja? Di sini Bude bisa jagain Bevan, ada Abi juga. Udahlah, gak usah kamu mikir-mikir lagi."

Berlian kembali terdiam, mencoba menimbang saran Bude. Sejujurnya ia tidak tega meninggalkan Bevan dengan tetangga setiap ia bekerja. Terkadang kalau memikirkan itu, Berlian merasa jahat, tapi hidup tetap harus berjalan, ia terpaksa meninggalkan Bevan untuk mencari uang. Bukan inginnya, tapi memang begitu jalannya.

"Besok aku kabarin ya, Bude. Aku masih mau coba cari kerja dulu di sini."

"Haduhh ...." Bude Yum meringis gemas. "Keras kepala kamu tuh. Terserah deh."

"Maaf, Bude—"

"Ya udahlah, percuma Bude bilangin juga. Kamu gak pernah dengerin." Bude marah, Berlian tahu itu. "Kalo gitu Bude tutup aja teleponnya."

Lalu panggilan itu terputus, Berlian menghela dengan napas berat. Jakarta adalah satu-satunya kota yang tidak ingin ia pijak, kota yang membuatnya merasa sakit setiap mengingatnya. Lima tahun lebih meninggalkan Jakarta, tak sekali pun Berlian ingin kembali.

Tapi, apa sekarang harus?

Demi Bevan. Ia tidak mungkin terus menganggur. Berlian butuh banyak biaya untuk menghidupi Bevan, anaknya itu sedang aktif-aktifnya. Bevan harus sekolah, harus membeli susu, belum lagi mainan yang ingin dibeli. Berlian benar-benar harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Jakarta memang yang terbaik, selain banyak pekerjaan yang bisa ia dapatkan, di sana juga ada Bude Yum dan Mas Abi. Mereka yang Berlian miliki sejak kedua orang tuanya meninggal.

"Bunda ...." sang anak memanggil, membuat Berlian terkesiap dengan tolehan kepala cepat.

"Iya, sayang?"

"Jakarta itu dimana sih, Bunda?" tanya si kecil yang mulai cerewet itu.

Banyak hal yang Bevan tanyakan sejak usianya menginjak lima tahun. Bevan pintar berbicara, banyak sekali yang ingin ia tahu, pengucapannya pun sangat rapi dan tidak berbelit. Berlian tahu darimana anaknya mendapatkan kemampuan seperti itu.

"Jakarta ada di suatu tempat."

"Suatu tempat itu dimana? Apa jauh, Bunda?"

Berlian berpikir sejenak. "Jakarta jauh, Bevan harus naik pesawat atau kereta kalo ingin ke sana."

"Aku mau ke sana, Bunda. Mau ke Jakarta," rengek Bevan tiba-tiba seraya menggoyangkan tangan Berlian. "Aku mau naik pesawat. Kata Mbah Yum, di Jakarta enak, Bunda, banyak mainan."

Jadi setiap hari Bude Yum akan meneleponnya, menanyakan kabar mereka berdua. Tak jarang Bude Yum berbicara dengan Bevan, mendengarkan bocah laki-laki itu berceloteh, menceritakan banyak hal tentang kesehariannya, lalu Bude Yum mengambil kesempatan itu untuk membujuk Bevan ke Jakarta. Mengatakan hal-hal seru yang ada di sana.

Bevan yang mulai banyak ingin tahu akhirnya meminta pergi ke Jakarta. Bude sengaja membujuk Bevan agar Berlian mau kembali dan tinggal dengan mereka lagi. Kalau Bevan yang meminta, Bude yakin Berlian pasti akan menuruti.

"Bunda, please ... aku janji gak akan nakal di Jakarta."

"Bunda kan kerja di sini, Nak."

"Tapi aku mau naik pesawat, Bunda, aku mau ketemu Papa Abi sama Mbah Yum," rengek Bevan lagi. "Aku di sini gak punya teman, Bunda. Aku merasa sedih."

Ya ampun, anaknya yang pintar berbicara itu ternyata sudah bisa mengekspresikan perasaannya. Berlian tidak boleh egois, Jakarta memang lebih baik untuk Bevan karena di sana setidaknya ia memiliki keluarga, Bude Yum dan juga Mas Abi. Ada yang menjaga Bevan jika ia bekerja.

"Em ... Bunda pikir-pikir dulu ya. Sekarang Bevan harus tidur. Sudah malam."

Bevan lantas mendesah malas. "Kenapa kalau malam kita harus tidur sih, Bunda? Aku masih mau main, aku belum mengantuk."

Berlian tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak tertarik ke atas. Selalu ada hal-hal baru yang Bevan tanyakan, dan itu juga membuat Berlian harus belajar lebih banyak lagi tentang hidup.

"Setiap manusia itu membuntuhkan tidur, mereka harus beristirahat setelah seharian beraktifitas. Tidur membuat tubuh kita kembali kuat dan tidak lemas. Bevan kan sudah sibuk bermain sejak pagi, badan Bevan juga lelah. Jadi harus tidur supaya besok pagi bisa bermain lagi."

"Seperti itu, Bunda?"

"Hem ...." Berlian mengangguk, menggiring sang anak untuk masuk ke dalam kamar, lalu menuju kamar mandi yang ada di sana, mencuci kaki dan juga menggosok gigi Bevan.

"Bunda, memang Papa Abi bukan ayah aku ya?"

Berlian tercekat, lalu melarikan bola matanya ke samping. "Kata siapa? Bevan aja panggilnya Papa Abi kok."

"Tapi kata ibunya Joni, Papa Abi itu kakaknya Bunda. Kalo kakaknya Bunda berarti bukan ayah aku. Ayah adalah ayah yang menikah sama Bunda, kalo Papa Abi bukan yang menikah sama Bunda."

"Memang Bevan tau menikah itu apa?" tanya Berlian geli. Anaknya memang pintar sekali berbicara, bahkan untuk kata-kata yang tidak anak seumurannya tahu bisa terlontar dari bibirnya.

"Gak tahu, Bunda." Kepala kecil itu menggeleng dua kali, lalu mengerjap polos. "Tapi Papa Abi ayah aku kan, Bunda?"

"Ayah itu artinya orang tua." Berlian berjongkok, menatap wajah putra semata wayangnya itu. "Papa Abi itu orang tua juga, jadi Papa Abi ayah Bevan."

"Kenapa Papa Abi gak tinggal sama kita? Ayahnya Joni tinggal sama Joni dan ibunya."

"Karena Papa Abi kerja di Jakarta."

"Berarti kita ke Jakarta ya, Bunda?" tanya Bevan girang. "Iya kan, Bunda, kita ke Jakarta? Aku mau ke Jakarta, mau ketemu Papa Abi." Bocah laki-laki itu melompat-lompat tak bisa diam. "Aku belum pernah ke Jakarta, Bunda."

"Iya-iya, nanti kita minta Papa Abi jemput ya."

"Asiiikkkk ...." melompat kegirangan, Bevan tidak berhenti berceloteh, membuat Berlian merasa bersalah setiap melihat anaknya itu.

Ia terpaksa mengatakan kalau Abi adalah ayah Bevan karena suatu hari, anak laki-lakinya itu menangis karena tidak memiliki Ayah. Bevan bertanya tentang sang ayah yang tidak pernah ditemuinya.

Berlian belum memiliki jawaban yang tepat atas pertanyaan itu, hingga ia memutuskan untuk mengatakan kalau Mas Abi adalah ayah Bevan. Maka, sampai detik ini Bevan memanggil kakak sepupu Berlian itu dengan sebutan Papa.

"Nak, ganti baju dulu." Berlian meminta anaknya yang sedang berlompat-lompat di atas kasur untuk turun. Bevan terlihat senang sekali karena ucapan Berlian tadi. "Bevan ... ayo turun."

Lantas Bevan turun, membuat Berlian dengan mudah menggati pakaian anaknya itu dengan piyama tidur. "Selesai. Sekarang Bevan naik ke kasur, Bunda buatin susu dulu ya, Bevan tunggu sini."

"Oke sip," jawab Bevan mengacungkan ibu jarinya ke arah Berlian.

Wanita cantik itu terkekeh, beranjak keluar kamar menuju dapur. Setiap melihat Bevan, Berlian pasti akan mengingat sosok itu. Seseorang dari masa lalunya yang juga ikut andil dalam menghadirkan Bevan di hidupnya.

Bukan hanya sifat yang diturunkan, tapi wajah dan juga kelakuannya sama persis seperti orang itu. Berlian sudah berusaha melupakan sosoknya. Tapi bukannya lupa, Berlian malah selalu mengingatnya hanya dari melihat wajah sang anak.

Takdir memang selucu itu.

Ting!

Satu buah notifikasi masuk ke dalam ponselnya, membuat Berlian yang sedang membuatkan susu untuk sang anak teralihkan pada benda pipih di saku bajunya. Ia membuka itu, mendapati nomor Mas Abi sebagai pengirim pesan.

Mas Abi : Li, Ibu bilang katanya kamu dipecat? Udah dapat kerjaan baru belum? Mas ada lowongan di tempat kerja, gajinya lumayan. Kalo kamu mau, Mas bisa bantu.

Mendapati pesan seperti itu, Berlian sontak saja mendesah. Mungkin bagi sebagian orang pesan itu merupakan kabar baik, tapi bagi Berlian yang trauma dengan Jakarta, itu hanya membuatnya merinding.

Jakarta ya?

Haruskah ia kembali ke kota itu?

Berlian gamang. Hatinya bimbang? Sejujurnya, ia menginginkan pekerjaan yang Abi tawarkan? Tapi Berlian tahu Jakarta tidak sebesar yang Bude katakan, bisa saja ia bertemu dengan sosok itu di sana, dan Berlian tidak akan sanggup jika harus mengungkapkan Bevan pada lelaki itu.

 

FLAWSOME 1

Menginjakan kakinya kembali di Ibu Kota bukanlah sesuatu yang mudah untuk Berlian, tapi demi sang anak dan juga masa depan mereka, Berlian mencoba menguatkan diri untuk kembali ke sini. Berlian yakin sepintar apa pun ia bersembunyi, kalau takdir berkata lain, mereka pasti akan bertemu, hanya tinggal menunggu bagaimana semesta membuat skenarionya saja. Kalau bisa sih, Berlian tidak ingi  dipertemukan, tapi balik lagi, hidup tidak selalu berjalan seperti inginnya.

Lima hari tinggal di Ibu Kota, Berlian baru tahu kalau Mas Abi ternyata bekerja di salah satu perusahaan yang seharusnya ia hindari. Berlian tidak benar-benar ingat nama perusahaan itu, tapi saat datang untuk menghadiri interview kerja, Berlian tahu, dunia memang kecil untuknya.

"Selamat, kamu diterima bekerja di PT. Boga Saji."

Begitulah kira-kira apa yang kepala HRD katakan padanya.

Harusnya Berlian senang kan? Ia sudah memiliki pekerjaan meski hanya sebagai petugas kebersihan atau nama kerennya Office Girl. Ia hanya lulusan SMA, kuliah yang seharusnya membuat ia memiliki ijazah lebih tinggi tidak bisa Berlian lanjutkan karena saat itu ia memilih pergi ke Surabaya begitu tahu kalau dirinya hamil.

Tapi mengapa rasanya Berlian menyesal kembali lagi ke Jakarta. Kenapa hanya Perusahaan ini dari banyaknya Perusahaan di Jakarta yang bisa memberinya pekerjaan. Ya ampun, Berlian harus menyebutnya apa? Kesialan atau keberuntungan?

"Gimana, Li? Diterima kan?" Mas Abi segera menghampirinya begitu Berlian tiba di lobby.

Wanita itu baru saja turun dari lantai lima setelah kepala HRD di perusahaan ini mengatakan ia telah diterima bekerja di sana. "Ya, Mas."

"Syukur deh," desah Abi lega. "Mulai kapan bisa kerjanya?" Ia kembali melemparkan pertanyaan seraya beranjak keluar dari gedung perusahaan.

Berlian ingat, ia pernah dibawa ke sini. Ia pernah menginjakan kakinya di tempat ini. Berlian tahu, gedung perusahaan ini tidak berubah meski sudah lima tahun lebih dari pertama kali ia datang, waktu berlalu cukup cepat dan sekarang tanpa ia sadari Berlian kembali menginjakan kakinya di tempat ini lagi.

"Katanya senin, Mas."

"Wah, bagus. Semoga betah ya, Li. Maaf Mas cuma bisa kasih kamu kerjaan ini."

Berlian mengangguk mengerti. Sejujurnya, ada banyak hal yang ia sesali dari hidupnya, salah satunya tentang kuliah yang tidak selesai. Jika dirunut dari awal, semua langkah yang ia ambil memang menjadi penyesalan. Kecuali satu, mempertahankan Bevan di hidupnya.

"Gak apa-apa, Mas." Sudah terlanjur, ia juga sudah tidak bisa membatalkan perjanjian kontrak kerja dengan perusahaan ini, pinalty yang diberikan sangat besar dan Berlian yakin ia tidak bisa membayar itu. "Bisa dapet kerja aja aku udah bersyukur."

"Kamu gak usah takut masalah gaji. Perusahaan ini banyak banget yang ngelamar karena gajinya yang besar." Mereka sudah tiba di luar gedung, menunggu angkutan umum yang akan lewat. "Pimpinan perusahaan ini namanya Pak Januar, wakilnya Bu Melani, anak sulung Pak Januar. Nanti juga ada Pimpinan Divisi Pemasaran, namanya Bu Kalina, anak ketiga dari Pak Januar. Sebenarnya Pak Januar punya empat anak. Yang paling bungsu itu laki-laki, tapi dia gak kerja di sini. Mas lupa namanya siapa, katanya dia lebih milih buka usaha dibanding nerusin bisnis bapaknya."

Berlian sontak tercekat, dadanya tahu-tahu berdebar tak santai. Ia mendadak resah, merasa tidak nyaman. Tiba-tiba kilasan kejadian yang tidak ingin ia ingat bertebaran di kepala. Beruntung angkutan umum yang ia tumpangi untuk sampai ke rumah kontrakan tiba, berlian tidak perlu menunjukan wajah pasinya pada Abi.

"Mas, angkotnya udah dateng. Aku pulang ya."

"Ya udah, kamu hati-hati, Li."

"Iya, Mas." Lantas Berlian naik ke dalam angkutan umum itu, duduk di kursi paling pojok, menyandarkan kepalanya pada kaca lalu menarik napas berulang-ulang seraya menghembuskannya perlahan.

Belum bekerja saja rasanya Berlian sudah tidak betah, harusnya ia berpikir ulang untuk menandatangani surat kontrak kerja itu, ahhh ... tidak, harusnya ia berpikir ulang untuk kembali ke Jakarta.

Karena jujur, Berlian masih tidak siap jika harus bertemu dengan kenangan terburuknya itu.

♡♡♡

"Bangke emang nih si Andri, dia kira gue supir jemputan apa?" Beni menggerutu kesal seraya tangan sibuk memegang kemudi mobil.

Ia sedang dalam perjalanan menuju sekolah Aila. Beberapa menit yang lalu, Andri—sahabatnya, lagi-lagi meminta dirinya untuk menjemput sang anak yang masih bersekolah di taman kanak-kanak.

Kalau bukan karena persahabatan mereka yang sudah berjalan lama, rasanya Beni malas sekali keluar dari singah sananya yang berada di dalam Resto. Lebih baik ia bekerja kan?

"Mentang-mentang gue doang yang gak sibuk! Ck, lagian kenapa gue gak sibuk sih?" gerutunya lagi.

Andri memang sering meminta tolong pada Beni perihal menjemput sang anak. Ia dan sang istri terlalu sibuk bekerja hingga Aila, anak sulung Andri selalu dijemput oleh lelaki itu. Bahkan ada beberapa orang tua murid yang menganggap Beni sebagai orang tua kandung Aila.

Bebe Resto, begitu ia menamai restoran yang sang ayah bilang sudah reyot itu. Sejujurnya restoran itu hampir bangkrut karena sepinya pelanggan yang datang. Berulang kali ia mengganti chef restonya, bahkan sampai meminta sumbangan dari ketiga temannya untuk menanamkan modal di sana, tapi memang mungkin sudah waktunya ia menutup restoran itu.

"Kalo gak karena pernah bantuin Bebe Resto, gue juga ogah nih disuruh-suruh Andri kek gini," gerutunya lagi.

Tiba di pelataran TK, Beni memarkirkan mobilnya, turun dari sana lalu melangkah ke depan gerbang. Wajah cemberut Aila yang pertama kali Beni lihat saat ia tiba.

"Eh eh, anak cantik nan imut mirip tahu bulat ini kok cemberut?" goda Beni yang menyulut kekesalan Aila semakin besar. Di sebelahnya ada Miss Gina, guru TK Aila yang paling muda dan cantik. "Hello, Miss Gina, makin cantik aja setiap saya lihat."

Miss Gina tersenyum malu-malu. "Makasih Om Beni."

"Duh, dipanggil Om lagi, saya jadi deg-degan loh, Miss." Selain karena Andri sering membantunya, alasan lain Beni ingin menjemput Aila karena guru cantik ini. Beni senang sekali menggodanya. "Panggil Beni aja, Miss, biar deket gitu."

"Nanti kapan-kapan saya panggil nama deh, sekarang masih di lingkungan sekolah. Saya gak enak." Miss Gina senyum-senyum dengan rona merah di pipi, mulut manis Beni memang akan selalu ampuh untuk menggoda wanita mana pun. "Kalo gitu, saya masuk ke dalam lagi ya, Om Beni."

"Iya, Miss, silakan."

"Dadah Aila ...."

Aila hanya manyun tidak membalas salam dari Miss Gina. Sikap Aila tersebut membuat Beni mengalihkan matanya ke bawah, dimana anak dari sahabatnya itu sedang berdiri dengan wajah murung. "Kenapa lihat Om Beni kayak gitu? Om Beni bukan pisang loh, Ai."

"Ila! Bukan Ai!" Aila bersidekap, bibirnya mencibir ke depan dengan tampang kesal.

"Iya, Ila-Ila tahu bulat," ledek Beni. Dari semua orang yang Aila kenal, memang hanya Beni yang memanggil Aila dengan panggilan Ai dan anak kecil itu tidak suka jika dipanggil seperti itu.

"Kenapa sih Om Beni lagi yang jemput Aila? Aila kan maunya Papa yang jemput."

"Papa lagi sibuk main kuda-kudaan sama Mama, mereka mau buat dedek baru," seloroh Beni asal yang membuat Aila semakin memajukan bibirnya. "Emang kenapa sih kalo Om Beni yang jemput? Om Beni wangi kok."

"Aila maunya Papa yang jemput."

"Ya udah, besok deh Papa yang jemput. Sekarang Om Beni dulu." Beni hendak menggandeng tangan Aila, tapi anak gadis itu malah menghindar dengan mata memerah.

"Eh? Kok nangis?"

"Aila gak mau sama Om!"

Beni berdecak sebal. "Ngambeknya besok aja deh, Om Beni buru-buru nih. Aila kan tau restoran Om Beni mau bangkrut."

"Aila tetep gak mau!" rengek gadis kecil itu seraya meronta-ronta. Beni tidak punya pilihan lain, selain memaksa Aila. Ia pun menarik tangan si kecil dengan lembut, memaksanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi belum sempat masuk, seorang anak laki-laki bak pahlawan mencegatnya.

"Om penculik ya!"

Beni menoleh kaget, dilihatnya bocah laki-laki dengan seragam sekolah yang sama seperti Aila sedang berdiri menatapnya tajam. Beni seketika terpaku melihat anak itu. Pasalnya, bukan hanya ucapannya yang mengatai Beni sebagai penculik, tapi juga dengan wajah bocah laki-laki itu yang mirip sekali dengan dirinya.

"Om penjahat! Om mau culik Aila?!"

"Bevan ... tolongin aku."

Eh?

Beni semakin panik saja saat Aila malah meminta tolong pada bocah laki-laki itu. Ia hendak memberi penjelasan, belum sempat terjadi, bocah laki-laki yang Aila panggil dengan nama Bevan itu berlari, menerjang Beni lalu melepas tangan Aila yang Beni gandeng tadi. Bocah itu berdiri di depan Aila, berusaha melindungi temannya.

"Om penculik kan? Ngaku deh, Om mau nyulik kita kan?"

"Eh bocil! Lo lihat muka gue, mana ada tampang gue mirip penculik."

"Muka Om jelek."

Beni membelalak. Ia menarik napasnya seraya menengadah ke atas, mencoba mencari kesabaran dalam menghadapi bocah tengil yang berdiri di depannya ini.

Dia bilang gue jelek? Sialan!

"Enak aja lo," sungut Beni lalu berdecak kesal. "Siapa sih nih bokapnya? Pasti tengilnya turunan dari bapaknya nih."

"Aku bilangin Bunda aku ya!"

"Bilangin sana, gue gak takut!" Beni menggulung lengan kemejanya. "Mana nyokap lo, biar gue kasih tau nih kalo anaknya udah kurang ajar," decihnya kesal. "Masa ganteng-ganteng gini gue dibilang penculik!"

Bevan bertolak pinggang. "Kata Bunda aku gak boleh ngomong gue elo. Nanti mulut Om digigit tikus loh."

Beni langsung menutup bibirnya dengan tangan. "Masa digigit tikus? Gak bisa cipokan dong gue?" gumamnya pelan tapi masih bisa Bevan dengar.

Anak kecil itu pun mengedipkan bulu matanya. "Cipokan apa sih, Om?" tanyanya ingin tahu.

Beni langsung menjatuhkan pandangannya ke bawah, dimana bocah lelaki itu sedang menatap ke arahnya dengan sorot polos. Sorot mata itu, Beni seperti pernah melihatnya, tapi dimana?

"Om, aku gak tahu cipokan itu apa? Kata Bunda orang yang lebih tua harus memberi penjelasan agar anak kecil bisa mengerti."

"Ck! Siapa sih yang ngajarin nih anak pinter ngomong kayak gini?" Ia pun mendengus. "Jadi lo mau tau?"

"Hem, aku mau tahu, Om."

"Cipokan itu artinya—" Beni tiba-tiba mengerjap. Ia mengutuki dirinya yang hampir saja keceplosan menjelaskan hal mesum itu pada anak kecil. Lagi juga, untuk apa sih ia meladeni anak tengil ini? Ck! Menyebalkan. "Mau tau aja lo, nanti kalo udah gede juga lo doyan."

"Kamu tau cipokan itu apa, Aila?" Bevan bertanya seraya menoleh pada anak gadis yang kini sedang berada di balik punggungnya.

Aila menggeleng tak paham. "Mungkin kue bolu, Bevan."

"Aku suka kue bolu."

"Aku juga suka."

Astaga ... apa ia setidak punya kerjaan ini hingga sempat-sempatnya meladeni anak kecil. Beni lantas menggeram, menjulurkan tangan ke arah Aila. "Ai, ayo buruan pulang. Om Beni masih ada kerjaan."

Aila yang sedang bersembunyi di belakang tubuh Bevan menggelengkan kepalanya tanda menolak. Hal itu ternyata menyulut jiwa super hero Bevan keluar.

"Aila gak mau, Om gak boleh maksa. Kalo Om mau culik Aila, nanti aku keluarin jurus tembakan laser berwarna merah."

Beni membelalak. Apa lagi ini??

Ya Tuhan!!

"Bevan ...." Beruntung detik itu Miss Jessi datang, memanggil Bevan hingga Beni bisa terbebas dari anak tengil itu. "Katanya, Bunda akan sedikit terlambat jemput kamu, jadi tunggu di kelas aja yuk."

"Tapi Aila gimana, Miss?"

Miss Jessi memandang Beni, hampir semua guru mengenalnya karena memang Beni lebih sering menjemput Aila dibanding kedua orang tuanya.

"Aila akan pulang sama Omnya."

"Om ini penculik, Miss."

Beni kembali membelalak. Benar-benar si tengil ini, membuatnya malu saja.

"Bukan ...." Miss Jessi terkekeh. "Ini Omnya Aila, namanya Om Beni."

Beni yang sudah tidak banyak waktu untuk menaggapi apa pun, lantas mengibaskan tangannya. "Maaf, Miss, saya duluan, udah ditungguin nih anaknya sama mamanya."

"Iya, Pak. Hati-hati di jalan."

Lantas Beni membawa Aila masuk ke dalam mobil, meski harus dengan sedikit paksaan.

Saat Aila masuk ke dalam mobil, bahkan sampai kendaraan itu melaju menjauhi pekarangan Taman Kanak-Kanak, mata Beni tidak lepas memandangi bocah laki-laki itu dari kaca spion mobilnya.

Sungguh, Beni seperti melihat gambaran dirinya di sana, hanya saja mata bocah itu memancarkan aura yang berbeda, seperti seseorang, tapi ia lupa siapa.


 

 

FLAWSOME 2

"Jadi ...." Beni menatap satu persatu pegawai restonya yang duduk di depan sana dengan raut bersalah.

Pagi ini secara dadakan Beni mengumpulkan mereka semua dalam satu meja, pun pegawai yang tidak memiliki jadwal kerja. Beni akan mengumumkan sesuatu, ada hal yang harus ia jelaskan pada mereka semua.

Meski hanya memiliki sepuluh karyawan, tapi Beni rasanya perlu bertanggung jawab atas masa depan mereka. "Mungkin apa yang gue omongin ini bakalan bikin kalian kaget." Semua wajah seketika menegang. "Gue mau minta maaf dulu nih sama kalian."

"Ada apa ya, Mas? Kok jadi deg-degan gini." Bunga—sang kasir andalannya bersuara, membuat Beni menghela.

"Kayaknya gue udah gak bisa ngelanjutin bisnis ini lagi."

"Ya?" Kesepuluh orang itu sontak menganga dengan seruan kaget. Bahkan ada yang tidak berkedip saking terkejutnya.

"Jadi ... gimana, Mas?"

"Gue udah gak bisa gaji kalian." Bukan ini yang Beni inginkan, tapi mau bagaimana lagi.

Sales Bebe Resto semakin hari semakin menurun, pelanggan yang datang silih berganti berpergian. Beni sama sekali tidak memiliki pemasukan, bahkan ia sudah menggunakan dan pribadinya untuk membayar seluruh gaji pegawai. Uangnya sudah habis, tidak ada yang tersisa. Meminta Papa pun akan percuma, apalagi meminjam uang pada ketiga temannya. Jadi ... ya terpaksa mereka semua Beni bubarkan.

"Mulai besok Bebe Resto resmi gue tutup," pungkasnya yang membuat seluruh orang menatap kaget.

"Serius, Mas?" tanya Budi, Chef Bebe Resto yang sudah tiga tahun bekerja bersamanya.

"Ya ... gue serius."

"Terus kita gimana?" Kali ini Cika yang bertanya, ia merupakan anak rantau yang harus membiayai adik-adiknya di kampung, kalau Bebe Resto ditutup, bagaimana ia menghidupi keluarganya?

"Oke-oke ... lo semua tenang dulu." Mungkin hanya Beni satu-satunya orang yang masih bisa bersikap santai meski bisnisnya sedang dalam kehancuran.

Sebenarnya, Bebe Resto dibangun bukan karena keinginannya memulai bisnis sendiri. Beni hanya bermain-main sekaligus ingin terbebas dari perintah Papa yang membuatnya dimusuhi oleh sang kakak.

Januar Hadinata terus memintanya bergabung dengan perusahaan lalu menggantikan posisi beliau di kursi kepemimpinan tertinggi. Tentu ia tidak secara langsung menyetujui, Beni ingin menjaga perasaan Melani. Lalu, tercetuslah satu ide untuk membangun restoran sendiri.

Papa memberinya modal, yang pastinya tidak cuma-cuma. Ada beberapa persyaratan yang harus Beni tanggung, salah satunya bersedia memimpin perusahaan kalau Bebe Resto tidak berjalan dengan baik atau bahasa lainnya bangkrut.

Entah mengapa kesialan seolah tidak bosan menghampirinya. Terlahir sebagai anak laki satu-satunya saja bagi Beni sudah menyebalkan, lantas haruskah satu-satunya hal yang membuatnya senang terampas begitu saja?

Padahal niat Beni baik, jika ia bisa memulai bisnis sendiri, ia tidak perlu menggantikan posisi Papa di perusahaan, bisa saja kedudukan itu diberikan pada Melani, tapi Januar Hadinata memang luar biasa, beliau tidak bisa dibantah.

Kalau boleh jujur, kebangkrutan restonya ini pasti ada campur tangan sang ayah. Padahal dulu Bebe Resto sangat ramai apalagi menjelang weekend. Tapi lihat sekarang, ia bahkan harus gulung tikar sebelum empat tahun membuka usaha.

"Gue gak akan ngebiarin kalian luntang lantung tanpa pekerjaan." Beni mendesah pendek namun tak lepas memberikan wajah santai. "Gue udah minta Bokap gue buat kasih kalian pekerjaan di perusahaan dia."

"Wahhh, serius, Mas?"

Beni mengangguk dengan tangan bersidekap.

"Kalo gitu gak masalah, Mas." Sahutan penuh suka cita datang menghampiri indera pendengarannya. Satu persatu mulai berseru kegirangan. "Ini serius kan, Mas?"

"Iya, gue serius." Karena selain tidak ingin melepaskan restorannya, Beni tidak bisa membiarkan semua pegawainya menjadi pengangguran.

Mereka yang membantunya membangun rumah makan itu, Beni tidak ingin keputusannya ini membuat mereka kesulitan.

"Mas, makasih banyak ya." Budi menyalami tangan Beni, disusul oleh pegawai lainnya.

"Iya, Mas. Makasih ya."

"Ck, lo semua gak perlu kayak gini," ujarnya sungkan. "Nyantai aja lah."

Beni memang tipikal pimpinan yang santai dan nyeleneh, bahkan ia tidak membiasakan para pegawainya memanggilnya dengan sebutan 'Pak' tapi di balik itu semua, mereka tahu kalau Beni adalah Bos yang peduli pada bawahan.

♡♡♡

"Bunda, masih lama?" Itu adalah celotehan si kecil yang sudah kelaparan. "Aku udah laper, Bun."

Berlian terkekeh gemas. "Bentar lagi, sayang," jawabnya dari balik kompor. Saat ini ia sedang sibuk memasak makan malam di dapur, sementara di meja makan sudah ada Bude Yum dan juga Bevan yang sedang menunggunya menyelesaikan masakan tersebut.

Beberapa jam yang lalu Berlian baru saja pulang dari bekerja, ia tiba di rumah kontrakan yang berada tidak jauh dari rumah Bude Yum setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit. Selesai membersihkan tubuh ia menawarkan diri pada Bude Yum untuk memasak.

Setiap Berlian bekerja, Bevan memang akan dijaga oleh Bude Yum, dari pagi hingga malam, pun saat pulang sekolah Bude Yum yang akan menjemput anak laki-laki itu. Kadang kalau ada waktu, Berlian berusaha menyempatkan diri untuk bergantian menjemput Bevan di sekolah.

Sebenarnya, Berlian merasa sangat bersyukur dengan pekerjaan barunya. Meski hanya seorang office girl, tapi jam kerja Berlian mengikuti jam kerja kantoran, tidak seperti pekerjaannya yang dulu saat masih berada di Surabaya.

Di sana ia hanya seorang pegawai restoran yang setiap hari sabtu dan minggu masih tetap diharuskan bekerja. Jam kerjanya pun sangat panjang, Berlian terbiasa pulang malam. Waktu bersama Bevan sangat sedikit, berbeda dengan saat di Jakarta.

Berlian masuk kerja jam tujuh pagi, lalu pulang jam setengah tujuh malam. Istirahat setiap jam sebelas siang sampai jam dua belas. Kadang kesempatan itu ia gunakan untuk menjemput Bevan di sekolah, pun setiap weekend ia bisa bermain sepuasnya bersama sang buah hati.

"Nahh, udah selesai nih masakan Bunda." Berlian melangkah ke meja makan dengan kedua tangan membawa semangkuk sup makaroni. Sebelumnya sudah ada tahu, tempe dan telur ceplok di sana, makanan kesukaan Bevan.

"Yeaayyy ...." seruan girang Bevan lemparkan seraya berlonja-lonja di kursinya saat Berlian meletakan mangkuk sup di atas meja. "Bunda, aku mau makan sendiri," katanya begitu sang Bunda menuangkan nasi untuknya.

"Bevan hebat ya, udah bisa makan sendiri." Itu pujian dari Bude Yum untuk Bevan.

Anak itu memang sudah bisa melakukan banyak hal seorang diri, Bevan terlatih semenjak Berlian menitipkan sang anak pada tetangga saat di Surabaya. Seperti halnya makan, Bevan tidak bisa bermanja-manja karena Berlian sibuk bekerja.

"Iya dong, Mbah. Aku kan mau seperti Buzz Lightyear. Nanti kalo ada yang jahatin Bunda, aku bisa keluarin jurus tembakan laser berwarna merah." Lalu ia bergaya menirukan salah satu karakter mainan di dalam film Toys Story.

Sontak Berlian dan Bude Yum tergelak geli, setiap melihat kelakuan Bevan yang sangat ajaib itu, Berlian selalu merasa takjub. Anaknya tumbuh dengan sangat menggemaskan dan pintar.

Bevan sangat menyayanginya, sangat penurut, bahkan pada anak seusianya, Bevan tidak pernah berbuat kasar. Ia menyayangi orang-orang yang tumbuh di sekitarnya. Berlian bersyukur untuk itu.

"Em ...." Bude Yum seketika bergumam nikmat saat makanan yang Berlian masak berada di dalam mulutnya. "Masakan kamu enak loh, Li, dari dulu gak berubah."

"Makasih, Bude," jawab Berlian tersenyum.

"Gak mau coba buka warung makan? Lumayan, kamu ada kemampuan seperti ini."

"Sebenarnya mau, Bude." Ia meninggalkan sesaat makanannya hanya untuk menatap Bude Yum. "Tapi kan harus ada modalnya, aku belum punya itu."

"Iya sih, sekarang buka usaha kalo gak punya kesiapan apa-apa emang susah, Li. Yang ada bukannya bertahan, malah hancur. Itu loh, kayak restoran di deket salon Bu Een, baru buka beberapa tahun udah tutup aja. Padahal tempatnya strategis, tahun pertama buka juga rame kok. Tapi sayang banget sekarang malah tutup."

Berlian menyimak cerita Bude seraya membantu Bevan yang sibuk melahap makanannya.

"Apa ya nama restorannya, Be Be gitu deh, Li. Katanya yang punya anak muda. Biasalah, mungkin dia belum terlalu matang dalam berbisnis."

"Terus sekarang bangunannya dijual apa gimana, Bude?"

"Gak dijual kok, cuma kayaknya disewakan gitu." Bude Yum menenggak air putih di atas meja lalu kembali menatap Berlian. "Kalo kamu punya modal nanti, nyewa di sana aja, Li, tempatnya memang strategis, pasti banyak yang mampir."

Berlian hanya mengangguk seraya tersenyum menanggapi ucapan Bude. Entah kapan ia bisa menyewa tempat itu. Sampai saat ini saja Berlian masih sibuk mencari uang untuk menghidupi Bevan dan dirinya.

"Oh iya, Li ... tadi gurunya Bevan bilang, katanya hari ini Bevan ngegigit orang."

Informasi barusan sontak membuat Berlian membelalakan matanya, bahkan ia nyaris tersedak begitu mendengar. "Ngegigit?" Ia kemudian menoleh pada sang anak. "Bevan?" bentaknya dengan mata melotot. "Kamu tuh!"

Yang diomeli hanya bisa memanyunkan bibirnya seraya menyembunyikan wajah. Bevan takut kalau Bunda sudah marah.

"Kok bisa, Bude?" Berlian menarik napas seraya kembali bertanya pada Bude. "Anaknya gak kenapa-napa? Orang tuanya minta tanggung jawab?"

Bude menggeleng dengan bibir tertarik segaris. "Bukan anak kecil, Li."

Loh? Berlian semakin terkejut saja.

"Katanya sih Om dari salah satu murid."

"Astaga ... Bevan!" Berlian bersungut dengan wajah memerah. "Kenapa Bevan bisa begitu? Bunda gak pernah ajarin Bevan untuk berbuat enggak sopan loh sama orang yang lebih tua."

"Maaf, Bunda ...." bocah itu melirih takut-takut. "Aku cuma mau tolongin Aila kok." Bibirnya bergetar, Berlian tahu anaknya merasa bersalah. "Aila bilang gak mau ikut Om penculik itu, Om penculik maksa, kan orang tua harusnya gak boleh memaksa anak kecil, Bunda."

Oh, anaknya yang pintar berbicara. Berlian yang tadinya ingin mengamuk perlahan mampu menahan emosinya. "Tapi tetap gak boleh gigit orang seperti itu. Itu namanya kekerasan, bisa ditangkap polisi loh."

"Aku salah, Bunda ...." Bevan lantas menangis, turun dari kursinya dan menghambur memeluk sang ibu. "Aku gak mau ditangkap polisi, Bunda. Aku bukan penjahat, aku itu Buzz Lightyear."

Rasa marahnya perlahan hilang saat mendengar celotehan si kecil. Berlian hanya kaget, Bevan tidak pernah sekali pun berbuat kasar pada orang lain, tapi entah mengapa ia bisa melakukan itu. Meski tujuannya baik karena ingin melindungi temannya, tapi Berlian tidak bisa membiarkannya begitu saja.

"Sudah-sudah, orangnya gak mempermasalahin kok, Li. Dia bilang gak apa-apa." Bude berujar mencoba menenangkan Berlian yang tampak marah sekali.

"Aku harus ketemu dia, Bude. Aku harus minta maaf."

"Bude udah sempet ketemu, sekalian minta maaf. Muka Omnya Aila tuh kelihatan gak asing gitu, Li. Mirip siapa ya ...." Bude mengatakan itu sambil menerawang ke depan. "Apa mirip Bevan ya?" gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan hingga Berlian tidak bisa mendengar itu.

Sementara, Bevan masih menangis di dalam pelukan Berlian, anak laki-lakinya itu takut ditangkap oleh Polisi karena menggigit orang dewasa.

"Bunda, maafin aku ya. Aku jangan ditangkap ya, Bunda."

"Hem, Bunda maafin kok, dan Bevan gak akan ditangkap sama Pak Polisi kalo jadi anak yang baik."

"Iya, Bunda, aku mau jadi anak yang baik."

Berlian mengelus punggung belakang Bevan dengan lembut. "Tapi besok Bevan mau minta maaf kan sama Omnya Aila."

"Hem. Aku nanti minta maaf sama Om penculik, Bunda."

Eh?

Masih saja ia memanggilnya Om Penculik.

 

 

FLAWSOME 3

Beni seketika meringis sakit saat bekas gigitan yang tercetak jelas di pergelangan tangannya itu tidak sengaja tersenggol oleh dirinya sendiri. Ia lantas mencebik, lalu mengumpat kasar. "Dasar kutu kupret." Ia perhatikan bekas gigitan itu dengan bibir mencibir. "Udah kayak drakula nih bocah."

Tadi siang Beni baru saja mendapatkan sebuah hadiah berupa gigitan dari bocah tengil yang pernah mengatainya penculik. Beni diserang hanya karena ia memaksa Aila untuk masuk ke dalam mobil.

Seperti biasa, Andri lagi-lagi memintanya untuk menjemput Aila, anak kecil yang menyukai cokelat itu tentu saja menolak, Aila tidak ingin Beni yang menjemput, tapi saat ia keluar sekolah, wajah Om Beni lagi yang anak itu dapati.

Aila lalu berontak saat Beni memaksanya untuk masuk ke dalam mobil, dan saat itu lah bocah tengil yang sialnya sangat mirip dengan dirinya itu menghadang Beni dengan sebuah gigitan, alhasil gigitan itu berbekas di tangannya sampai saat ini.

"Keknya dia titisan vampire," gerutu Beni seraya keluar dari mobilnya yang terparkir di lantai basement sebuah kelab malam.

Beni tidak akan pernah lupa nama anak laki-laki itu.

Bevan.

Di pertemuan pertama ia dituduh sebagai penculik, lalu di pertemuan kedua mereka, ia digigit hingga berbekas.

Sungguh, apa Beni memang sesial itu? Padahal tampangnya sudah setampan boyband Korea

"Woyyy, Om Penculik." Dimas melambaikan tangannya dengan girang saat Beni terlihat menghampiri meja mereka.

Andri sudah menceritakan tentang kejadian yang Beni alami di sekolah Aila hari ini. Lelaki itu digigit oleh salah seorang murid laki-laki yang merupakan teman sekelas Aila. Bukan hanya digigit, Beni bahkan dituduh sebagai penculik oleh anak laki-laki tersebut. Tentu saja hal itu membuat Sean dan Dimas tak tahan untuk tidak meledek Beni.

"Teriak Om penculik lagi gue buat Dara jadi janda ya, Dim," ancam Beni begitu ia tiba di meja itu, dimana sudah banyak minuman dan camilan yang tersaji di atasnya.

Dimas lantas mencibir. "Pantes lo dikatain penculik, lo ngancem gue aja kek gangster."

"Gangster apaan?! Muka udah kayak anggota boyband gini lo bilang gangster!" sungutnya kesal. "Gue tuh cocoknya dipanggil Oppa."

"Opa temennya Oma?" ledek Dimas.

Andri lantas melerai dengan gelak tawa. "Udah-udah, ribut aja lo berdua setiap ketemu. Jarang-jarang nih kita kayak gini."

"Abisnya gue sebel," dengus Beni.

Sebenarnya, ada hal yang lebih menyebalkan dari pada mendengar ledekan Dimas, yaitu saat mengetahui kalau restorannya benar-benar bangkrut, apalagi dengan satu fakta kalau ia harus bersedia memulai hidup di perusahaan Papa.

Ck! Beni ingin menghilang saja rasanya.

"Gimana Bebe Resto?" Sean membuka suara setelah sejak tadi hanya membiarkan Dimas yang meledek Beni. "Jadi bangkrut?" tanyanya dengan satu batang rokok yang terselip di jari tangan.

Beni yang hendak menuang vodka ke dalam gelas seketika berdecak, setiap mendengar nama restorannya disebut membuat hati Beni sakit—duh!

"Ya jadilah," sewotnya. "Gak ada yang bisa menghalangi Bokap gue buat mewujudkan kemauannya."

"Wahh, selamat kalo gitu." Andri ikut menyahut seraya bertepuk tangan.

Lihatkan, lelaki paling lurus di antara mereka saja bisa meledeknya seperti itu. Memang benar, tidak ada satu pun di antara mereka yang waras, semuanya memang gila, bahkan Beni rasanya ingin berlindung di dalam rumah sakit jiwa agar Januar Hadinata tidak memaksanya untuk memimpin perusahaan.

"Resminya ditutup kapan, Ben? Perlu kita adain syukuran?" Dimas kembali bersuara sambil mengunyah kacang kulit seharga setengah kilo daging itu.

Beni mendesis jengkel. "Jangan lupa sewa barongsai sama topeng monyet, elo yang jadi monyetnya," kesal lelaki itu. Ketiganya kompak tergelak.

"Gitu aja ngambek," ledek Dimas lagi.

"Bangke lo!"

"Jadi kapan mau lo tutup?" tanya Andri mengulang pertanyaan Dimas.

"Besok udah mulai gue tutup."

"Lo jual?"

"Sewa lah, gak mau gue jual, kalo tiba-tiba gue diusir dari apartemen sama si Januar gimana? Gembel dong gue?" Karena Beni hafal sekali watak sang ayah. Kesal sedikit, pasti menyusahkan anaknya.

"Bokap lo sama Bokapnya Dimas, tuaan siapa, sih Ben?" Tiba-tiba Sean melemparkan pertanyaan yang membuat semua orang menatapnya dengan kernyitan di dahi.

"Ngapain lo nanya gitu?" Dimas bertanya bingung.

"Mau tau aja, kalo seumuran, berarti bentar lagi nyusul Bokapnya Dimas."

"Bangke!" Bukan Beni yang marah, melainkan Dimas. "Kenapa Bokap gue dibawa-bawa."

"Masalah kalian kan serupa," kelakar Sean.

Beni mengangguk, menenggak vodka di dalam gelasnya. "Yang jelas lebih tuaan Bokap gue, tapi anehnya dia masih sehat sampe sekarang. Ck, malah rasanya mudaan dia daripada gue."

"Ini lagi si goblok." Dimas menoyor kepala Beni gemas. "Jangan ngomong sembarangan, entar lo nyesel deh."

"Tenang, Bokap gue panjang umur kok," selorohnya.

Dimas hanya mampu menggelengkan kepala dengan hela napas pelan. Ia bisa berkata seperti itu karena dulu Dimas juga berpikiran yang sama seperti Beni, tapi setelah Ayah meninggal, Dimas malah merasa kehilangan.

"Eh, berarti sekarang lo udah mulai sibuk dong, Ben? Yah, berarti gak bisa gue titipin Aila lagi?"

Mendengar nama Aila sontak membuat Beni teringat bocah tengil itu. Ia lantas mendengus keras. "Emang nih si kampret," sungutnya berapi-api. "Lo lihat tangan gue?" Ia menunjukan bekas gigitan di pergelangan tangannya pada Andri. "Gara-gara elo nih, Ndri, tangan gue digigit vampire."

Kontan celotehannya itu membuat semua yang ada di meja tergelak kencang, saking kerasnya sampai musik DJ tak lagi terdengar di antara mereka. Apalagi Dimas yang begitu puas melihat temannya tertimpa musibah. Ya, hitung-hitung membalas apa yang Beni tertawakan dulu saat mereka tahu kalau Dimas mengahamili seorang gadis.

"Sukurin lo! Muke lo emang cocok jadi penculik, Ben. Jangan salahin tuh anak emang muke lo aja yang kayak penjahat."

Beni melempar kota rokok ke arah Dimas dengan kencang, membuat Bapak satu anak itu mengaduh kesakitan. "Mentang-mentang sekarang udah kaya lo ya, Dim, demen banget ngeledekin gue."

"Ya, sorry-sorry aja nih, Ben. Waktu gue buat meratapi nasib udah kelar, sekarang giliran lo," balas Dimas jemawa.

"Lagian sih, waktu Dimas kena masalah, elo yang paling kenceng ngetawainnya, dibales kan tuh," timpal Sean tergelak. "Minta maap lo sama Dimas biar gak ketulah."

"Najis!" Ia lalu menegak vodkanya, membiarkan cairan hangat itu membasahi tenggorokan hingga membuat kepalanya panas. "Gue mending berdoa, biar kesialan Dimas gak mampir ke gue."

"Bentar lagi kayaknya," doa Dimas yang Beni balas dengan pukulan di kepala.

Dimas meringis sakit.

"Ngomong-ngomong, lo kenal nyokapnya gak, Ben?" Bibir Sean tersumir geli, ia siap untuk meledek Beni kembali. "Siapa tau nyokapnya salah satu temen bobo lo."

"Mampus." Dimas menyambar. "Kalo dibuat sinetron, judulnya sperma yang terlupakan."

Beni tergelak, merasa geli dengan ledekan Dimas. Harusnya ia berdoa semoga itu tidak terjadi, tapi alih-alih melakukan itu, Beni malah ikut-ikutan menertawakan celotehan Dimas.

"Kampret lo, Dim." Lalu ia menenggak vodkanya sekali lagi. "Ya mana gue tau nyokapnya bekas temen bobo gue apa bukan, artinya gue harus nyobain dulu kan, biar tahu rasanya," kelakar lelaki itu bercanda.

Andri lantas menyambar dengan gelengan kepala. "Inget-inget lo pernah buang benih dimana aja," ujarnya. "Kan serem kalo tiba-tiba lo punya anak yang umurnya udah lima tahun."

Bukannya menyebut amit-amit, Beni malah tersenyum seraya melihat bekas gigitan di pergelangan tangannya. Bisa-bisanya ia merasa geli mengingat kejadian itu. Baru kali ini Beni mendapati anak kecil seberani Bevan, setelah sebelumnya ia merasa kalau hanya dirinyalah anak kecil terberani di muka bumi ini.

Bevan mirip sekali dengan dirinya, pemberani dan pintar berbicara. Anak itu tidak takut membela temannya meski yang ia hadapi adalah orang dewasa, sama seperti Beni saat membela ketiga kakak perempuannya ketika mereka diganggu oleh anak-anak lain.

"Bevan? Ck, kok gue jadi kangen ya sama tuh anak?"

♡♡♡

"Mbak, aku ambil istirahat yang jam sebelas ya, mau pulang dulu ada urusan." Berlian berujar pada Susi—seniornya yang telah bekerja selama lima tahun sebagai Office Girl di sana.

Sebenarnya berlian ingin menjemput Bevan di sekolah, pun sekaligus ingin meminta maaf pada Omnya Aila atas perbuatan Bevan kemarin. Sejak pertama bekerja, Berlian memang tidak mengatakan kalau ia sudah memiliki anak, ia merahasiakan itu dari beberapa orang demi kebaikan Bevan.

"Jam dua belas kamu balik kan?"

"Iya, Mbak. Sebelum jam dua belas aku usahain udah di sini."

Wanita itu mengangguk, menyetujui permintaan Berlian. "Ya udah."

Berlian tersenyum senang. Saat ini mereka sedang berada di ruang janitor, beberapa menit yang lalu mereka baru saja selesai membersihkan ruang rapat yang berada di lantai lima yang nanti akan digunakan untuk rapat petinggi perusahaan.

"Tapi nanti kamu yang nyiapin minum pas rapat dimulai ya, Li?"

"Iya, Mbak. Nanti biar aku aja," sanggup Berlian seraya merapikan peralatan kebersihan. Ia menyusun semua itu menjadi satu, lalu menyimpannya dengan rapi.

Beberapa saat kemudian, Berlian keluar dari ruangan itu, menuju lantai satu dengan menggunakan tangga darurat. Ia bergegas ke ruang loker untuk mengambil jaket dan juga dompet. Sesekali Berlian merasa tidak tenang, ia takut bertemu seseorang meski ia tahu lelaki itu tidak bekerja di sini.

Terkadang ia hanya bisa menundukan kepala setiap berjalan, tidak ingin memakai lift karyawan, Berlian bahkan tidak pernah keluar dari ruang loker pada jam istirahat—kecuali saat mejemput Bevan. Sebisa mungkin ia membuat dirinya tidak terlihat.

Seperti halnya hari ini, ia sudah siap dengan jaket dan masker yang menutupi wajah. Jam istirahat yang diberikan oleh perusahaan sebanyak satu jam, hanya selama itu Berlian bisa keluar dari gedung ini.

Bergegas ke depan untuk menaiki angkutan umum. Berlian melangkah keluar gedung, berjalan menuju lobby dan bersamaan dengan itu, sebuah mobil baru saja masuk dan berhenti di sana.

Berlian melangkah cepat, tepat setelah ia menghentikan sebuah angkutan umum, anak bungsu Januar Hadinata turun dari mobil itu. Parasnya yang tampan membuat semua pasang mata langsung tertuju ke arahnya.

Namun tidak dengan Berlian karena ia segera masuk ke dalam sebuah angkutan umum untuk tiba di sekolah Bevan. Berlian tidak memiliki banyak waktu karena rapat akan segera digelar setelah jam makan siang selesai.

Tiba di pelataran TK, Berlian mendapati Miss Jessi dan Bevan yang sudah menunggunya di depan gerbang. Ia melambaikan tangan, membuat Bevan berlari ke arahnya dengan raut senang.

"Bundaaaa ...."

Berlian menangkap tubuh sang anak yang langsung memeluknya.

"Aku seneng Bunda jemput aku," ujar anak kecil itu seraya melepas pelukannya. "Bunda hari ini aku menggambar pemandangan."

"Wahh, keren."

"Gambarku bagus, Bunda."

"Mana coba Bunda lihat."

Lantas Bevan menunjukan hasil karyanya itu pada sang ibu. Berlian tersenyum dengan binar bangga. Meski gambar itu tidak terlalu sempurna, tapi buat Berlian itu adalah karya terindah.

"Aduhh, anak Bunda hebat banget." Pujian itu membuat Bevan berjingkrak kesenangan. "Ini bagus banget."

Miss Jessi lalu menghampiri. "Ibu Lian, apa kabar?"

"Baik, Miss," balas Berlian sungkan. "Saya mau minta maaf soal kejadian kemarin. Neneknya Bevan udah cerita."

"Gak apa-apa, Bu. Omnya Aila juga tidak mempermasalahkan itu."

"Apa Omnya Aila sudah datang, Miss?" tanyanya karena selain ingin menjemput sang anak, Berlian juga harus meminta maaf. "Saya mau minta maaf sama beliau."

"Oh, hari ini yang jemput Aila itu Mamanya." Miss Jessi berujar menjelaskan. "Tapi Bu Mia sudah pulang. Baru saja setelah Ibu Lian tiba."

Refleks Berlian menghela kecewa, kedua bahunya merosot ke bawah. Padahal ia ingin meminta maaf, Berlian benar-benar merasa tidak enak dengan kejadian kemarin, pun dengan guru-guru di TK ini.

"Yah, saya terlambat dong, Miss," ujarnya menyesal yang Miss Jessi balas dengan senyuman tipis. "Saya tuh gak enak sama guru-guru di sini."

"Gak apa-apa kok, Bu. Kami semua paham."

Berlian sedikit menghela lega. "Ya udah, Miss, kalo gitu besok aja saya datang lagi."

"Iya, Bu."

"Bevan ...." Berlian menoleh ke bawah, pada sang anak yang sedang menatapnya. "Pamit pulang dulu sama Miss Jessi."

"Hem." Bevan mengangguk, beralih menatap Miss Jessi yang menjulang di depannya. "Aku pulang dulu ya, Miss. Byeee ...."

"Bye, Bevan. Hati-hati di jalan."

"Saya pamit, Miss. Terima kasih buat hari ini, dan sekali lagi maaf atas kejadian kemarin."

"Iya, Bu, tidak apa-apa."

Lantas mereka berdua pulang ke kontrakan dengan menggunakan angkutan umum. Berlian tidak memiliki banyak waktu, jam istirahatnya hampir saja habis, ia harus kembali ke perusahaan sebelum rapat dimulai. Berlian hanya sempat mengisi perutnya dengan makan siang yang Bude masakan, lalu ia kembali bergegas kembali menuju gedung perusahaan.

Tiba di gedung besar itu, Berlian buru-buru masuk ke dalam ruang petugas kebersihan, ia kembali bersiap, melepas jaket dan maskernya, lalu memakai kembali name tag yang ia letakan di dada sebelah kanan atas.

"Li ...." Mbak Susi memanggilnya, membuat Berlian menoleh ke belakang.

"Iya, Mbak?"

"Nanti kamu sama Indah ya yang ngurus di ruang rapat, saya bersih-bersih di lantai sepuluh dulu."

"Loh, dibersihin lagi, Mbak?" Berlian bertanya dengan raut terkejut setelah selesai memakai kembali atribut kerjanya. "Memang mau ada apa, Mbak? Kok dibersihin lagi?"

"Kan Direktur Utama mau diganti."

"Diganti?"

"Hem." Susi membalas dengan deheman.

"Direktur yang lama aja aku belum pernah ketemu, Mbak, udah mau diganti aja," balas Belian terkekeh.

"Iya, katanya sih diganti sama—"

Tiba-tiba Indah datang, membuat kalimat Susi terpotong. "Li, ayo ... udah mau mulai, kita siapin dulu semuanya."

Berlian yang terkesiap lantas mengangguk, sempat bertukar tatapan dengan Susi sebelum kemudian mengikuti langkah Indah yang menghilang dari balik pintu ruang loker.

 

 

FLAWSOME 4

Hari ini Dewan Komisaris akan mengadakan rapat perihal pemilihan Direktur Utama PT. Boga Saji yang baru, Januar Hadinata yang menjabat sebagai Komisaris Utama menyerahkan posisi tersebut pada sang anak bungsu. Sementara wakilnya beliau berikan pada sang anak sulung.

Rapat sudah berlangsung beberapa menit yang lalu dengan sangat membosankan. Beni beberapa kali menguap karena kantuk. Matanya berkedip-kedip ingin terpejam. Sungguh, ia jadi rindu ruang kerjanya di Bebe Resto.

"Ben ...," bisik sang ayah saat Beni menguap, Moderator di depan sana sedang berbicara tapi Beni sama sekali tidak mendengarkan. "Jaga sikap kamu."

"Ini udah dijaga loh, Pa."

"Kamu nguap! Itu gak sopan."

"Lebih gak sopan lagi ngelarang orang nguap. Papa tau gak, nguap itu gak boleh ditahan, gak baik karena mengurangi aliran darah ke otak. Papa mau aku mati muda?"

Papa sontak menggeram tertahan. Anak ini, astaga, kenapa pintar sekali membalas ucapan orang tua? Papa sampai kehilangan kalimat untuk berbicara.

"Duduk kamu yang benar!" bisik beliau lagi saking tidak tahu harus berbuat apa dalam menghadapi putra satu-satunya itu. "Bikin malu."

Mau tidak mau Beni menegakkan tubuhnya, menatap ke depan, menghadap pada beberapa Dewan Komisaris yang duduk berjajar di depannya. Mereka semua itu yang nantinya akan menyetujui atau tidak menyetujui Beni untuk menjadi Direktur Utama di perusahaan ini.

Harusnya ia bersikap baik bukan?

"Saya memiliki beberapa poin keberatan atas pemilihan jabatan ini." Pak Handoko, sebagai salah satu Komisaris menyatakan keberatan atas jabatan yang diberikan pada Beni. "Saya merasa Pak Beni belum cukup kompeten untuk menanggung jabatan itu."

"Saya setuju," sahut Komisaris lainnya. "Pak Beni masih terlalu muda."

"Dia juga tidak memiliki pengalaman."

"Tapi Pak Beni sudah pernah menjalankan bisnisnya sendiri."

"Itu hanya bisnis kecil, tidak sebanding dengan perusahaan sebesar ini."

"Apalagi karyawan yang dimiliki hanya sepuluh orang."

"Setidaknya Pak Beni paham untuk me-manage sebuah perusahaan."

"Itu tidak bisa disebut kemampuan."

"Orang luar pun bisa melakukan itu "

"Seharusnya Pak Januar memiliki kandidat lain untuk jabatan ini."

"Nah, bener tuh, Pak," celetuk Beni asal yang sontak membuat Januar menatapnya tajam. "Ya ... maksud aku, ada benernya ucapan dia."

Dia?

Ya Tuhan ... benar-benar anaknya yang satu ini.

"Kalian belum terlalu mengenal saya. Ya, saya memang anak bungsu Pak Januar, tapi yang selama ini bekerja itu kakak saya, Melani." Semua mata sontak beralih menatap Melani yang duduk tidak jauh dari Beni. "Pasti kalian mikir gimana saya bisa memajukan perusahaan ini kalo pengalam saya aja gak ada."

Seketika ruangan itu ramai karena bisik-bisik para Dewan Komisaris.

"Tapi bagaimana kalian bisa tahu kalau saya berkompeten atau tidak hanya karena pengalaman saya sedangkan kalian tidak memberi kesempatan pada saya untuk membuktikan itu," ucapnya menyeringai.

Jujur, Beni hanya tidak suka diremehkan. Ia tidak masalah kalau para Dewan Komisaris menolak jabatan itu diberikan padanya, tapi tidak dengan embel-embel kalau dirinya tidak kompeten.

"Sejujurnya, kalau saya mau, perusahaan ini mungkin sudah berkembang hingga keluar planet bumi," ujar Beni berkelakar, ia bahkan menyelipkan kekehan dalam kalimatnya. "Tapi saya memilih membuka restoran untuk pengalaman. Untung-untung restoran saya bisa buka di Mars," selorohnya lagi.

Ada yang tertawa, ada juga yang mendesah pendek mendengar celotehan Beni itu. Pun Januar Hadinata hanya bisa menggeleng tak habis pikir. Baru saja beliau dibuat terpukau oleh ucapan sang anak yang berusaha meyakinkan para Komisaris, tapi kini Beni berulah lagi dengan melemparkan celotehan absurd.

"Waktu pemungutan suara akan berlangsung setelah istirahat sejenak." Suara Moderator kembali terdengar. "Para Dewan Komisaris dipersilahkan untuk menyantap hidangan yang tersedia."

Sesaat kemudian masuklah beberapa orang pegawai yang membawa makanan di atas sebuah troli. Mendorong hingga berhenti di dekat mimbar. Dania yang merupakan sekertaris Januar membantu memberikan itu pada beberapa Komisaris yang saat ini sedang sibuk saling bertukar pendapat mengenai poin penting dalam rapat tersebut.

Sementara itu, Beni sibuk sendiri dengan ponselnya sembari membalas beberapa chat yang masuk dari teman-temannya, pun beberapa wanita yang pernah ia kencani. Jujur saja, ia ingin sekali segera terbebas dari tempat ini, semuanya tampak membosankan. Saling menjatuhkan dan bermuka dua.

Ck, sial! Kenapa sih ia harus terjebak di sini?

"Berlian ..."

"Iya, Bu?"

"Ini sudah semua?"

"Udah, Bu Dania."

"Kalo gitu kamu boleh keluar. "

"Baik, Bu."

Detik suara itu terdengar, Beni mengangkat kepalanya, menoleh ke samping, menatap satu sosok yang baru saja hendak berbalik. Ia mematung, seketika dadanya berdebar keras dan napasnya tecekat.

"Be?" lirihnya pelan nyaris berupa bisikan.

Wanita itu lantas keluar mendorong troli makanan. Meski hanya sekilas, tapi Beni yakin ia tidak salah mengenali wajah itu. Pemilik mata terindah yang memancarkan kemurnian.

Dia ... Berlian?

Sontak kilasan memori tentang kejadian beberapa tahun lalu berputar kembali di dalam kepalanya. Kilasan-kilasan yang ingin sekali ia hapuskan tapi sialnya tidak bisa.

Beni hendak pergi, mengejar wanita itu, tapi dengan cepat Papa menahan lengannya. Menariknya untuk kembali duduk di kursinya saat ini.

"Mau kemana kamu?"

"Pa, ada yang harus—"

"Tetap di sini! Jangan kemana pun sampai rapat ini selesai!" perintah Papa dengan penekanan, dan Beni tahu itu tidak bisa dibantah oleh siapa pun.

Shit!

Ia ingin memaki rasanya.

Sialan!!!!

♡♡♡

"Perkenalkan, nama saya Zeki, Pak." Lelaki itu berujar pada Beni yang sedang duduk di balik meja kerjanya dengan mata memandang lurus keluar jendela. "Dan yang berdiri di sebelah saya ini Silvi," lanjutnya seraya memperkenalkan wanita cantik itu.

"Selamat siang, Pak, saya Slvi. Mulai hari ini kami yang akan membantu operasional Bapak ke depannya, sekaligus menyusun jadwal kerja yang akan Bapak lakukan nanti."

Hening.

Beni sama sekali tidak memberi respon. Peduli setan dengan kedua orang itu, sejak tadi Beni malah sibuk melamun memikirkan seseorang.

"Apa ... ada yang bisa kami bantu, Pak?"

Masih sama, yang ditanya hanya melamun seraya mengeluarkan helaan napas kasar dari bibirnya. Pandangannya menatap kosong keluar jendela.

"Atau Bapak membutuhkan sesuatu?" Silvi dan Zeki saling lirik karena bingung. "Kami siap bekerja mulai hari ini, Pak." Lalu mereka saling menyenggol lengan satu sama lain.

"Pak?"

Ngomong-ngomong, rapat Komisaris yang dibuat untuknya itu telah berakhir, dan ada tujuh dari dua belas Komisaris yang setuju kalau posisi Direktur Utama diisi oleh Beni. Meski belum resmi karena ia harus melewati tahap enam bulan percobaan untuk melihat progres selama menjabat sebagai Direktur Utama.

"Pak Beni."

Tersentak, Beni menoleh dengan kedipan mata kaget setelah Zeki memanggilnya untuk yang ketiga kali. "Ck, bikin kaget gue aja lo," decaknya kesal. "Kenapa manggil-manggil?"

Zeki seketika mengangguk takut. "Aduhhh ... maaf, Pak. Abisnya dari tadi Bapak bengong aja, kan saya takut Bapak kesambet setan."

"Setan pala lo gundul."

Zeki langsung memegang kepalanya. Untung ia masih memiliki rambut. "Itu, Pak, saya tadi cuma nanya, Bapak ada perlu sesuatu gak?"

"Gak ada." Beni mengibaskan tangannya. "Keluar aja lo berdua, gue mau sendiri."

Sejak tadi ia sedang sibuk memikirkan wanita itu. Namanya Berlian, Beni ingat. Tentu saja ia ingat, mana mungkin Beni melupakan wanita yang telah membawa kabur uangnya.

Ck, mengingat itu membuat Beni kesal saja.

"Bapak serius?" tanya Zeki sekali lagi.

Sebenarnya Beni kesal kalau ada orang yang tidak mendengarkan perintahnya, tapi tiba-tiba saja ia terpikirkan sesuatu. Kalau tadi memang benar Berlian, artinya wanita itu bekerja di perusahaan ini kan? Bukankah sekarang Beni pemilik jabatan tertinggi di perusahaan ini? Artinya ia bisa melakukan apa pun pada bawahannya, sekalipun pada wanita yang telah membawa kabur uangnya.

"Tunggu sebentar." Beni menahan Zeki dan Silvi yang hendak keluar dari ruangan itu. Ia tatap lekat-lekat kedua orang di depannya dengan bibir tersungging tinggi. "Gue cuma butuh lo." Ia menunjuk Zeki. "Dan lo bisa keluar," perintahnya pada Silvi.

Setelah Silvi keluar, Beni menatap Zeki dengan sorot tajam dan kedua tangan yang bertopang dagu di atas meja. "Tadi lo nanya kan apa gue butuh sesuatu?"

"Iya, Pak."

"Kalo gitu, lo bisa bantu gue?"

"Pasti, Pak."

Beni tersenyum licik, di dalam hati ia bersorak riang. Setelah menolak mati-matian jabatan ini, akhirnya ada hal berguna yang ia dapatkan.

"Cari tau, apa ada Karyawan di sini yang namanya Berlian."

"Ha?" Zeki sontak mengaga lebar dengan kerjapan mata bingung. "Gimana, Pak, maksudnya?"

Beni refleks berdecak. "Gitu aja harus gue jelasin!"

"Maaf, Pak."

"Lo cuma harus cari tahu, apa ada yang namanya Berlian di sini. Kalo memang ada, segera lapor ke gue."

"Sekarang, Pak?"

Beni mendengkus dengan mata melotot tajam. "Nanti, tahun gajah!" sungutnya kesal. "Ya sekarang lah, gitu aja pake nanya."

"Siyaap, Pak—eh, maksud saya, ba—baik, Pak."

"Ya udah, sana."

Beni lantas mengusir Zeki dari ruangannya. Ia tersenyum, gabungan licik dan dendam yang terpendam lama. Berapa tahun sudah berlalu? Beni kira waktu telah membawanya pergi jauh, tapi ternyata dunia tidak sesempit itu.

"Waktunya pembalasan," ujarnya dengan seringai tinggi di wajah.


 

 

FLAWSOME 5

Berlian sungguh tidak tahu kalau akan ada pengangkatan jabatan bagi seorang Office Girl. Mungkin ada, tapi seharusnya menjadi ketua kebersihan, atau pengawas kebersihan bukan? Atau mentok-mentok Office Girl senior. Tapi mengapa jabatan itu bisa naik menjadi Personal Assistant. Maksudnya, Asisten Pribadi Bos?

Sejak kapan Office Girl bisa menjadi Asisten Pribadi?

"Ini serius, Bu?"

Mungkin sudah sepuluh kali Berlian bertanya demikian, pasalnya Ibu Nani—Kepala HRD di sana baru saja mengatakan kalau mulai besok Berlian akan diangkat menjadi Personal Assistant untuk Direktur Utama yang baru.

Tentu Berlian merasa bingung, kemampuan apa yang ia miliki hingga bisa membuatnya terpilih menjadi Asisten Pribadi Pimpinan tertinggi di perusahaan itu. Bahkan sebelumnya ia hanya bekerja membersihkan ruangan, tidak melayani Pimpinan secara langsung. Berlian tentu merasa bingung.

"Ini untuk seterusnya kan, Bu?" tanyanya lagi masih dengan tampang bingung. "Saya bener-bener naik jabatan gitu, selamanya?"

"Iya, memang kamu gak mau?"

"Mau lah, Bu," jawab Berlian cepat. Tidak mungkin ia menolak tawaran itu, ini adalah kabar terbaik yang pernah ia dengar sejak kembali ke Jakarta.

Menjadi Asisten Pribadi Bos tentu memiliki gaji yang lebih tinggi dibanding menjadi petugas kebersihan, Berlian yakin uang gajinya itu bisa menutupi biaya kehidupan sehari-harinya, apalagi untuk biaya sekolah Bevan.

"Jadi, saya mulai kerja besok, Bu?"

"Iya, dan sekarang kamu bisa pulang lebih awal untuk mempersiapkan semua keperluan kamu."

"Secepat itu, Bu?"

"Hem. Pak Argan yang minta seperti itu."

Pak Argan? Berlian bergumam bingung, maksudnya Bos baru mereka bukan? Jadi namanya Argan.

"Tapi kenapa saya ya, Bu? Maksudnya, kenapa saya padahal kan saya belum ada sebulan kerja di sini, ada Mbak Susi atau Mbak Indah yang sudah jauh lebih lama bekerja, tapi kenapa bisa saya?"

"Kamu bisa bertanya sendiri nanti," jawab Bu Nani dengan bibir terkulum tipis.

Ya ampun, Berlian tidak pernah menyangka kalau ia akan mendapat promosi secepat ini, lebih-lebih itu sebagai seorang Personal Assitant. Berlian senang sekali, meski masih terasa membingungkan, tapi Berlian menganggap kalau ini adalah rezekinya. Ia benar-benar tidak sabar menantikan pekerjaan barunya itu.

"Makasih ya, Bu. Makasih banyak."

Lantas Berlian pamit pulang, mempersiapkan segalanya. Tidak lupa Berlian membeli seragam kerja baru. Kemeja, rok, dan blazer. Ia bercerita pada Bude, dengan perasaan yang sangat senang, sayang Mas Abi sedang lembur, jadi kakak sepupunya itu tidak bisa mendengar ceritanya secara langsung.

♡♡♡

Bukan lagi seragam petugas kebersihan, Berlian kini melangkah memasuki gedung besar itu dengan stelan kantor, kemeja putih, rok span, dan juga blazer, tidak lupa high heels yang mempercantik penampilannya. Sekarang tidak ada sapu dan lap pel yang ia genggam, yang ada hanya tas kerja dan juga buku catatan.

Berlian sudah siap sekali dengan pekerjaan barunya itu. Sebelum naik ke lantai sepuluh dimana ruangan semua pimpinan berada, Ibu Nani meminta Berlian untuk menemui beliau terlebih dahulu di ruang HRD. Berlian diberi pelatihan singkat mengenai jobdesknya.

Apa yang harus ia lakukan, apa saja kebiasaan sang atasan, lalu mengenai jam kerjanya dan juga semua kebutuhan yang harus Berlian penuhi untuk sang petinggi perusahaan itu.

Setelah cukup paham, Berlian lantas diminta naik ke atas, menemui Zeki, yang kemudian ia tahu kalau lelaki itu adalah Sekretaris Bos mereka. Tiba di dalam ruangan besar, bahkan untuk ukuran ruangan Asisten dan Sekretaris tempat itu sangat mewah, Berlian lalu disambut oleh Zeki.

"Selamat pagi."

Berlian mengangguk sopan. "Selamat pagi, Pak."

"Eh?" Sontak Zeki mengibaskan tangannya ke depan. "Jangan panggil, Pak. Panggil Zeki aja," ujarnya sungkan. "Saya cuma sekretaris kok. Lagian kita bakalan jadi partner kerja, bukan atasan sama bawahan."

Berlian tersenyum dengan anggukan kepala. "Dipanggil Mas aja gak apa-apa ya? Saya gak enak," ringisnya sungkan.

Zeki lantas tersenyum malu-malu. "Ya udah, gak apa-apa sih, asal jangan dipanggil sayang aja. Saya takut lupa diri," kelakarnya geli.

Lantas tak lama Silvi keluar dari ruangan di depan sana, wanita itu langsung menyapa Berlian saat mata mereka bertemu. "Hai, asisten Bos yang baru ya?"

"Iya, Mbak," jawab Berlian.

"Saya Silvi, Sekertaris kedua Bos."

"Berlian, Mbak," jawabnya seraya menjabat uluran tangan Silvi. Ia lalu beralih pada Zeki karena sejak tadi Berlian belum memperkenalkan diri. "Nama saya Berlian, Mas."

"Saya udah tau nama kamu," balas Zeki menjabat uluran tangan Berlian, yang sontak membuat wanita itu mengernyit.

Eh?

Sontak Zeki buru-buru merapatkan bibirnya dengan wajah panik.

Astaga, ia hampir saja keceplosan. Jangan sampai wanita di depannya ini tahu kalau Bos mereka yang menyuruhnya untuk menyelidiki wanita itu.

"Em ... maksud saya." Zeki menggaruk alisnya yang tidak gatal. "Bos udah nunggu di dalam, kamu bisa masuk sekarang."

"Iya, Mas. Terima kasih."

Berlian lantas melangkahkan kakinya ke arah ruangan sang pemilik kekuasaan tertinggi di perusahaan itu. Berdiri di depan pintu jati berwarna cokelat dengan ukiran mewah di depannya. Berlian menarik napasnya dalam-dalam sebelum kemudian mengetuk pintu itu pelan.

Setelah mendapat jawaban, Berlian lantas mendorongnya ke dalam. Yang pertama kali ia lihat adalah sosok berjas hitam yang sedang duduk di kursi berputar dengan posisi memunggunginya. Sontak itu menimbulkan kegugupan di diri Berlian, dadanya berdebar cepat sekali, dan tangannya berkeringat.

"Selamat pagi, Pak," sapanya sesopan mungkin. "Saya Berlian, Asisten Pribadi Bapak. Ini hari pertama saya bekerja. Mohon bimbingannya, Pak."

Sosok itu tidak bersuara, membuat Berlian semakin gugup. Namun begitu kursi yang beliau duduki berbalik, detik itu juga Berlian merasa dunia di sekelilingnya berhenti berputar. Bukan karena respon yang ia dapati, melainkan sosok yang tak asing di hidupnya dan ingin sekali ia hindari sejak tiba di Jakarta.

Berlian mematung dengan bola mata yang nyaris keluar, ia tercekat, apalagi saat mata mereka bertemu. Seolah oksigen di sekitarnya menipis, Berlian tidak bisa bernapas. Ia merasa sesak.

Berjengit satu langkah ke belakang, Berlian harap ini hanya mimpi, tapi lagi-lagi saat suara itu berdenging di telinganya, Berlian tahu, mungkin memang sudah saatnya mereka bertemu.

"Hai, Be ...."

"Beni?"

♡♡♡

Dulu mereka pernah dekat, sepakat untuk menjadi teman, lalu kedekatan itu berubah semakin intim hingga mereka sepakat untuk berbagi peluh dan nikmat di atas ranjang. Setidaknya itu yang ingin Berlian lupakan dari lelaki yang kini sedang menatapnya tajam, seolah ingin menelannya hidup-hidup.

Berlian percaya takdir, ia juga percaya kalau manusia dipertemukan kembali untuk dua hal, jika bukan untuk mengakhiri sesuatu yang belum berakhir, bisa jadi untuk menciptakan kenangan baru. Tapi, kenapa dengan cara seperti ini? Kenapa harus lelaki itu yang menjadi bosnya?

Bukannya Argan? Setahunya, nama Direktur baru mereka itu Argan?

Lalu, kenapa Beni ada di sini?

Ya Tuhan ... ia harus apa?

"Hai, Be ...."

Hanya satu orang yang memanggilnya dengan sebutan itu, dan sungguh orang itu kini ada di depannya saat ini.

"Apa kabar?" Beni beranjak dari kursinya, berjalan menghampiri Berlian yang sudah berdiri dengan wajah pasi. "Masih inget gue?"

"Beni?"

"Oh, jadi lo gak lupa."

Ada seringai di wajah lelaki itu yang bisa Berlian lihat. Seketika tubuhnya merinding, hawa di sekitarnya tiba-tiba memanas, jangan lupakan jantungnya yang mendadak berdetak cepat.

"Lo ... kenapa ada di sini?"

"Gue kira Kepala HRD udah ngejelasin semuanya sama lo."

Berlian membelalak, bola matanya bergerak gusar. "Gak mungkin?" Astaga, haruskah Berlian mematung seperti itu saat ini, karena sungguh, harusnya ia berlari bukan malah terdiam dengan tubuh kaku. "Bu Nani bilang ... Pak Argan?"

Beni berdecak, ia tertawa geli dengan tubuh yang terus melangkah maju, dan hal itu membuat Berlian terus mengambil langkah mundur hingga tubuhnya tertahan oleh partisi di belakangnya.

"Beni Argan Hadinata. Masa lo gak tahu nama lengkap gue?" desisnya dengan smirk.

Berlian menunduk. Seolah tak diizinkan lupa, kilasan kejadian beberapa tahun lalu berkelebat di dalam kepala. Saat pertama kali mereka berkenalan, saat Berlian masih berumur 20 tahun. Saat-saat dimana semuanya bermula. Kebodohan yang membuatnya memiliki Bevan.

"Udah lama ya, Be? Udah berapa tahun?" Jarak yang menipis membuat hembusan panas yang keluar dari mulut Beni menerpa wajah Berlian dan itu membuatnya semakin bergerak salah tingkah.

"Be—Ben ...."

"Lo kaget, Be?" Beni mendesis. "Lo pasti gak nyangka kan kalo kita bakalan ketemu lagi setelah sekian lama lo bawa kabur uang gue dan menghilang gitu aja tanpa kabar?" ujarnya dengan nada mengejek. "Ya, kan?"

Berlian tercekat, matanya membola dengan isi kepala yang berantakan. Saat ini ia benar-benar ketakutan. Bukan hanya uang, Berlian bahkan juga membawa kabur sesuatu dari lelaki itu yang tidak Beni sadari.

"Ma—maaf," cicit Berlian gemetar. "Beni ... soal—uang itu gue minta maaf."

"Cuma maaf?"

"Gu—gue akan ganti."

"Ck, lo serius mau ganti?"

"Gue serius." Berlian mengangkat wajahnya, membuat pandangan mereka bertemu. "Gue memang mau ganti uang lo?"

Beni terdiam, menatap mata itu. Bola mata indah yang memancarkan kemurnian, Beni suka sekali setiap memandang bola mata itu, begitu indah—oh, tapi itu mungkin dulu. Sekarang Beni begitu kesal saat melihat mata itu lagi.

"Setelah sekian lama, Be?"

"Gue—minta maaf, Ben ...," lirih Berlian takut, telapak tangannya sudah berkeringat.

"Lo yakin sama omongan lo?" Beni mendengus geli. "Gimana gue bisa percaya? Bahkan kalo kita gak ketemu hari ini gue yakin lo bakalan terus kabur dari gue!"

Berlian sontak mengatupkan rahangnya dengan rapat. Sesungguhnya ia sedang membenarkan ucapan Beni. Kalau saja ia tahu akan bertemu lelaki itu di sini, mungkin sejak awal Berlian tidak akan kembali ke Jakarta. Rasanya di Surabaya jauh lebih aman untuknya dan Bevan.

"Jadi, sebenarnya mau sampe kapan lo kabur dari gue? Hum?"

Kembali menundukan wajahnya, Berlian tidak sanggup menatap mata Beni lama-lama.

"Kok nunduk? Lihat gue dong, Be."

Berlian tahu, berada di dalam satu ruangan yang sama dengan Beni hanya akan membuat isi kepalanya berantakan. Maka itu, ia harus cepat-cepat pergi dari sana. Pun, Berlian tidak ingin Beni tahu apa yang sedang ia sembunyikan dari lelaki itu.

"Ben—" refleks Berlian menggeleng. "Pak ... sepertinya saya harus kembali bekerja."

"Ya ampun, Be." Beni tergelak kencang. Berlian tahu, itu bukan jenis tawa karena lucu, tapi karena lelaki itu sedang kesal. "Di sini cuma ada kita berdua." Ia mendekatkan wajahnya, menatap sisi wajah Berlian lekat-lekat. "Lo gak perlu panggil gue dengan sebutan itu," bisiknya tepat di telinga Berlian. "Panggil nama gue kayak biasa, dengan nada suara lo yang seksi."

Sontak bulu kuduk Berlian merinding, apalagi saat punggung jari Beni menyentuh sisi wajahnya. Di mulai dari kening, turun ke pipi, merambat hingga berhenti di garis rahang. Tubuh Berlian bergetar hebat.

"Ngomong-ngomong, gue kangen desahan lo," bisik Beni lagi dengan seduktif, yang menyulut dada Berlian berdetak semakin cepat. "Kangen tarikan napas lo yang putus-putus, kangen sorot mata lo yang sayu, dan gue juga kangen ...." Beni menahan kalimatnya, lalu tersenyum meledek dan itu berhasil membuat Berlian mengangkat kepalanya untuk menatap lelaki di depannya itu.

Seketika wajah mereka saling berhadapan dengan jarak yang begitu tipis, bahkan bibir keduanya hampir menempel dan mungkin akan bergesekan ketika salah satu di antara mereka berbicara.

Berlian bisa merasakan hela napas Beni menerpa wajahnya setiap lelaki itu bernapas. Ia merinding, Berlian benar-benar harus pergi dari sana.

"Gue ... juga kangen sama—"

Mengumpulkan lagi kekuatannya yang hilang entah kemana saat melihat wajah Beni di dalam ruangan ini, Berlian dengan cepat mendorong dada lelaki itu lalu menjauh saat Beni memiringkan wajah dan hendak mencium bibirnya.

Napas Berlian tersengal, wajahnya memanas dan sekujur tubuhnya bergetar. Berlian membungkuk sedikit untuk memberi hormat pada Beni sebelum kemudian menatap lelaki itu lagi. "Saya harus kembali bekerja, Pak, kalo Bapak butuh sesuatu, Bapak bisa panggil saya lagi."

Tanpa memperdulikan apa itu sopan santun, Berlian lantas beranjak menuju pintu, buru-buru membuka benda itu dan keluar dari sana menjauhi tempat dimana Beni berada.

Berlian berlari hingga ke dalam kamar mandi. Bahkan suara Zeki yang memanggilnya tidak Berlian hiraukan. Tiba di ruangan itu, Berlian menatap pantulan wajahnya dari balik cermin.

Sekarang Berlian sadar, menyembunyikan Bevan dari Beni adalah jalan yang terbaik.


 

 

FLAWSOME 6

Setelah membasuh wajahnya dengan air, Berlian lantas kembali merapikan penampilannya, terutama di bagian wajah. Ia beri make up sedikit, lipstik dan juga bedak. Berlian menatap pantulan dirinya dengan napas yang tertarik berat. Rasanya lebih baik bekerja sebagai Office Girl dibanding Personal Assistant dari seorang Beni Hadinata.

Kenapa Berlian tidak terpikir ke sana? Maksudnya, kenapa ia tidak terpikir kalau bisa saja Direktur Utama yang baru itu adalah anak laki-laki Januar Hadinata? Berlian tentu ingat kalau dulu Januar pernah memaksa Beni untuk menjadi penerusnya meski anak laki-laki itu menolak dan lebih ingin memiliki usaha sendiri.

Berlian ingat itu, mereka pernah membicarakan tentang membangun sebuah rumah makan, Beni yang memberi modal, dan Berlian yang memasak. Pikirnya Beni memang tidak akan pernah mau menduduki jabatan di perusahaan ini, pikirnya Beni sudah memiliki sebuah usaha yang lelaki itu kelola dengan jerih payah sendiri. Tapi nyatanya, Beni malah bertugas langsung sebagai atasan Berlian.

Ya ampun, Berlian merasa benar-benar sial.

"Apa gue resign aja ya?" gerutunya dari balik kaca. "Tapi dendanya besar banget." Dua ratus juta, dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu? "Ya Tuhan, apa harus sekarang penebusan dosa itu?" lirihnya terpejam.

Setelah beberapa menit menenangkan diri, Berlian lantas keluar dari kamar mandi, melangkah kembali menuju ruangan petinggi perusahaan itu berada. Saat membuka pintu kaca yang terhubung ke meja Sekertaris, Berlian mendapati Zeki dan Silvi memandangnya bingung.

"Lo abis dari mana? Bos tadi nyariin." Silvi membuka suara seraya mendekati Berlian yang meski sudah memakai make up tetap saja terlihat pucat.

"I—tu ... " ia tergagap, mencari alasan yang tepat. "Tadi saya kebelet, jadi buru-buru ke toilet."

"Oalah, gue kira lo kabur karena abis lihat setan," sahut Zeki yang juga ikut menghampirinya.

Berlian ingin membenarkan ucapan lelaki itu, tapi ia belum memiliki nyali banyak untuk mengutarakannya. Nyatanya Berlian memang baru saja melihat setan di ruangan Bos mereka.

Setan mesum!

"Ya udah, kalo gitu ini meja lo—eh, enaknya dipanggil apa nih? Berlian, Lian, apa Ber?" Zeki kembali membuka suaranya, membuat Berlian dengan cepat menjawab,

"Panggil aja Li—"

"Be ...." Pintu jati dengan ukiran mewah di depan sana terbuka, membuat semuanya serentak menoleh, tidak terkecuali Berlian. Mereka lalu membelalak kaget. Bukan pada pemilik suara itu, tapi pada nama panggilan yang Bos mereka sebut.

"Bos—panggil saya?" Zeki terlihat bingung dan kaget.

"Emang nama lo Be?" ujar Beni sewot.

Zeki langsung menggeleng dengan bibir terkantup rapat. "Engga sih, Bos."

"Ya udah, artinya bukan elo!" Lantas Beni menoleh pada Berlian yang sudah mati-matian menahan diri untuk tidak menggeram. "Be ... masuk."

Wanita itu menipiskan bibirnya, membalas tatapan Beni dengan sorot sebal. "Iya, Pak," jawabnya terpaksa.

Baik Silvi dan Zeki sama-sama melemparkan tatapan tidak menyangka. Mendengar panggilan gemas dari Bos mereka pada sang asisten membuat keduanya bertanya-tanya.

"Bi? Artinya apa ya, Mas?" tanya Silvi mengerjap bingung.

Zeki yang sama bingungnya menggelengkan kepala. "Yang jelas kita gak boleh panggil Berlian dengan sebutan itu kalo masih mau kerja di sini." Karena Zeki tahu Bos mereka tidak suka berbagi.

♡♡♡

"Ada apa?" Berlian langsung melemparkan pertanyaan bernada ketus begitu tubuh mereka tiba di dalam ruangan itu.

Beni menunjuk kursi di depannya, meminta Berlian untuk duduk di sana. "Duduk dulu, Be."

"Ini tentang apa, Pak?"

"Gak mau duduk?" Beni berujar seraya menarik kursinya dan duduk di sana. Ia bisa melihat Berlian yang masih berdiri tanpa mau mengikuti perintahnya. "Jadi lo lebih seneng berdiri?" tanya lelaki itu nyeleneh. "Iya sih, berdiri emang lebih enak. Keluarnya lebih gampang."

Berlian sontak membelalak, ia tahu ada arti lain yang terlontar dari ucapan Beni. Buru-buru Berlian menarik kursi di depannya itu lalu mendudukan tubuhnya dengan dengusan kesal. Sepertinya, memang hanya Berlian yang tidak peduli apa itu sopan santun pada atasan.

"Nah, gitu dong. Kalo nurut kan enak," ledek Beni lagi.

Berlian memejamkan matanya, membuang napasnya pelan-pelan. Tahan, Li, tahan!

"Lo banyak berubah ya, Be?"

Tentu saja, ia bukan lagi gadis remaja yang bisa Beni goda dan rayu. Ia sudah dua puluh tujuh tahun, sudah menjadi ibu dari seorang anak lucu. Tentu waktu sudah membawanya sejauh itu. Menjadi sosok yang lebih kuat dari lima tahun yang lalu.

"Kelihatan lebih berisi." Beni mengucapkan itu dengan mata yang memindai penampilan Berlian, membuat wanita itu merasa risih karena ditatap Beni seperti itu.

"Sebenarnya apa yang mau Bapak bahas?"

"Gak ada sih, cuma mau ngobrol aja sama lo."

Astaga! Mengobrol? Memang Beni pikir ini acara reunian?

"Kita lagi di kantor, Pak. Bisa kita bahas tentang pekerjaan?"

Beni terkekeh, selalu merasa lucu setiap Berlian memanggilnya dengan sebutan itu. "Ini juga tentang pekerjaan kok."

Berlian mendesah.

"Gue gak akan nanya lo udah punya suami atau belom, karena dari CV yang gue baca lo masih single."

"Apa mengorek status saya juga termasuk pekerjaan?" tanya Berlian sinis. Mata mereka bertemu, seolah ada petir yang menyambar, mereka saling bertatap dengan sorot kesal.

"Nggak juga sih, tapi sebagai seorang atasan gue harus tahu kan status pernikahan karyawan gue?" Beni lagi-lagi menaikan sebelah bibirnya ke atas, membentuk seringai yang menyebalkan. Lalu ia mencondongkan tubuhnya ke depan, mencoba melihat wajah Berlian lebih dekat lagi. "Tapi, Be," ia tersenyum sinis. "Emangnya lo gak penasaran sama gue? Apa gue udah punya istri atau belom?"

"Buat saya itu gak penting."

Ada yang berdentam kuat di dalam dadanya, dan Beni benci sekali mendengar jawaban Berlian itu.

"Oh ... apa sama gak pentingnya dengan lima tahun yang lalu?"

"Pak—" Menarik napasnya dalam-dalam, Berlian mencoba setenang mungkin menghadapi makhluk serupa iblis di depannya ini. "Sebenarnya apa yang ingin Bapak katakan?"

Beni sontak menahan tawanya yang siap mencuat seraya melipat bibirny geli. "Aneh banget denger lo manggil gue kayak gitu, berasa jadi suggar daddy gue."

"Pak, tolong yang sopan!" tekan Berlian yang mulai kesal. "Sekarang saya bawahan Bapak dan Bapak atasan saya."

"Kalo gitu gak ada yang berubah dong, dulu gue juga di atas, dan lo di bawah?" ujar Beni dengan seringai jahil dan Berlian tahu apa yang lelaki itu maksud. "Sama aja, kan?"

"Bapak sudah kelewatan!"

Bukannya menunjukan wibawanya, Beni malah tergelak kencang. "Kenapa? Lo gak suka?" desisnya geli. "Kalo gak suka kasih gue surat pengunduran diri."

Dasar Beni sialan! Berlian menggeram dalam hati. Lelaki itu jelas tahu kelemahannya. Beni pasti tahu kalau Berlian tidak akan bisa mengundurkan diri dari perusahaan ini karena biaya pinalty yang besar. Sungguh, Berlian kira promosi jabatan ini menguntungkan untuknya, tapi malah membuatnya harus terperangkap bersama orang sinting di depannya ini.

"Gue gak akan ngelepasin lo lagi, Be!" Beni berdecih pelan. "Gue akan nahan lo di sini." Bersama gue, tambahnya dalam hati.

Berlian semakin gelisah, ia tentu mengenal Beni, semakin ditantang lelaki itu akan semakin menjadi-jadi, lantas Berlian memilih untuk berdiri dan hendak pergi dari sana. "Kalo gak ada yang mau Bapak omongin lagi, saya pamit ke luar, Pak."

"Gue belom selesai ngomong."

"Ben!" Sudah habis kesabaran Berlian, ia menatap Beni dengan napas yang menderu. "Lo begini karena lima tahun lalu kan? Lo benci sama gue? Lo mau bales dendam?"

Beni juga ikut berdiri, memandang Berlian dengan deru napas yang sama. "Gue benci sama lo?" Lalu ia berdecak geli. "Gue gak akan benci, Be, karena ada yang bilang sama gue kalo benci itu cuma bikin capek."

Berlian terhenyak, tubuhnya terhuyung satu langkah ke belakang. Tiba-tiba saja Berlian merasakan dadanya bergemuruh hebat lalu kilasan-kilasan kejadian yang dulu berputar lagi di dalam kepalanya.

Ia pernah mengucapkan kalimat itu saat Beni sedang ada masalah dengan kakak-kakaknya, dan Berlian yakin kalimat itu Beni ucapkan sebagai sindiran untuknya.

"Jadi ... buat apa gue benci sama lo, Berlian?"

"Karena uang itu kan?"

"Uang yang lo bawa kabur?" Beni memberinya desisan sinis. "Jadi lo berpikir gue kayak gini karena uang itu?"

"Gue akan bayar, Ben! Gue akan bayar semua uang yang udah—"

"Bukan cuma uang, Be!" bentak Beni keras.

Berlian yakin suara lelaki itu kini sudah terdengar sampai keluar ruangan. "Terus apa? Kalo bukan karena gue bawa kabur uang lo, terus karena apa, Ben!?"

"Karena bukan cuma uang tapi lo udah—" oh, shit!

Kalimat Beni tertahan seketika. Napasnya menderu dan kedua tangannya mengepal erat.

Ia tidak mungkin mengatakan itu pada Berlian, ia tidak mungkin menunjukan kelemahannya. Oh, Beni tidak akan selemah dulu, memang siapa Berlian? Wanita itu hanya teman tidurnya dulu.

"Itu karena ...."

"Apa?" tekan Berlian lagi yang sudah meluap-luap.

Beni berpaling, menatap keluar jendela bersama emosi yang menggelegak.

Bangsat!

Ia tidak mungkin berkata yang sejujurnya. Mau ditaruh dimana mukanya saat Berlian tahu.

"Kalo gitu lo tenang aja, Ben, gue bakalan balikin uang lo, semua yang mungkin udah lo kasih sama gue, gue akan balikin itu!" Berlian mencoba bersikap tenang, ia harus profesional kan, meski rasanya ia ingin sekali menjitak kepala Beni. "Udah kan, Pak? Saya permisi."

Lantas melangkah keluar dari ruangan itu, Berlian meninggalkan Beni dengan segala amarahnya yang bergejolak.

Ini semua bukan hanya karena Berlian telah membawa kabur uang yang ia tabung untuk membuat restoran.

Bukan.

Tapi karena wanita itu juga telah membawa kabur hatinya.

"Shit! Berengsek!" Beni meninju udara dengan kesal, lalu mengguyar rambutnya ke belakang. "Sialan lo, Be!"

Ia tidak mungkin mengatakan itu pada Berlian, Beni tidak akan merendahkan dirinya.

Jadi, membuat wanita itu kesulitan adalah balasan yang setimpal.

Lihat saja.

Beni lantas bergerak ke arah pintu ruangannya, membuka benda itu lalu keluar dari sana dan berdiri di depan ketiga anak buahnya dengan mata menyalak tajam.

"Zek ...."

"Iya, Pak." Zeki buru-buru menghampiri Beni, sebelum Bosnya itu marah-marah. "Ada yang Bapak perlu?"

"Hem."

"Apa, Pak?"

Sebelum mengutarakan inginnya, Beni lebih dulu menatap ke arah Berlian. Memandangi wanita itu dengan penuh intimidasi, tidak lupa juga dengan seringai tinggi di wajahnya.

"Gue mau ...."

Seolah tahu akan ada berita buruk yang akan ia dengar, Berlian hanya bisa menelan salivanya dengan susah payah.

".... lo pindahin meja itu ke dalam."

Zeki langsung menoleh ke belakang, tepat dimana telunjuk Beni terarah. "Meja kerja Berlian, Pak? Pindahin ke ruangan Bapak?"

"Iya, ruangan gue terlalu besar kalo cuma diisi sama gue doang, jadi ... mulai hari ini Berlian bakalan kerja di ruangan yang sama dengan gue."

Mendengar itu, sontak membuat Berlian melipat telapak tangannya dengan erat, ia menggeram, wajahnya berubah merah, pun napasnya yang tahu-tahu memburu.

Tuhan ... Berlian ingin sekali memaki, tapi tolong jangan biarkan Bevan meniru perbuatannya ini.

Dasar Beni sialan!!!!!


 

 

FLAWSOME 7

Berlian tidak berhenti menggerutu sejak tadi. Bukan karena pekerjaannya—oh jelas bukan itu, ia bahkan belum melaksanakan tugasnya hari ini dengan baik. Berlian menggerutu pada sosok di depan sana yang sejak tadi tidak berhenti menatap ke arahnya dengan bibir tersungging tinggi.

Apa-apaan ini!

Ya ampun!!! Mana ada sih Asisten Pribadi yang menempati satu ruangan yang sama dengan Bos mereka, bahkan untuk posisi meja pun saling berhadap-hadapan, Berlian risih sekali. Sumpah, Berlian malas sekali melihat wajah itu.

Meski ketampanan Beni tidak luntur sejak mereka muda sampai saat ini, tapi Berlian tidak suka ditatap dengan mata itu. Ingat, Bevan ada karena mata itu terus menatapnya seperti ini!

Meletakan note pad ke atas meja dengan sedikit hentakan, Berlian mengalihkan pandangannya ke depan, tepat pada sosok menyebalkan itu. "Ada yang salah, Pak?" tanyanya setengah kesal, ia datang ke perusahaan ini untuk bekerja, bukan untuk ditatap tidak henti seperti tahanan yang akan kabur. "Atau ada yang Bapak butuhkan?"

"Gak ada," jawab Beni singkat, masih dengan mata yang menatap Berlian dengan sorot tajam.

Ia masih merasa kesal pada wanita itu, Beni kesal karena lima tahun yang lalu Berlian pergi begitu saja tanpa berkata apa pun padanya—oh, tentu saja, wanita itu kabur bersama uangnya. Bahkan, setelah pertemuan mereka hari ini, wanita itu masih saja bersikap seolah tidak ada apa pun di antara mereka.

Kan sialan!

Oke, jangan diingatkan.

"Bapak mau kopi?"

Ck! Lihat kan, bisa-bisanya Berlian memanggilnya dengan sebutan Bapak meski dulu mereka saling mendesah menyebutkan nama masing-masing. Apa wanita itu ingin melupakan kenangan mereka dulu?

"Pak?"

Menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, Beni melipat tangannya di depan dada seraya menganggukan kepala. "Hem," balasnya jutek—sejutek wanita itu saat muda dulu.

"Kopi susu, Pak?" tanya Berlian lagi yang Beni balas dengan bibir mencibir.

"Iya, pake susu—" susu lo kalo ada, tambahnya dalam hati.

Mungkin dulu Beni akan dengan santai mengatakan itu pada Berlian, tapi kini ia harus menjaga harga dirinya sebagai seorang pimpinan, pun ia masih belum mau bercanda dengan wanita itu. Beni masih kesal, masih marah karena wanita itu—ahh kenapa diingatkan lagi sih? Ia kan jadi semakin kesal.

"Baik, Pak." Berlian mengangguk, buru-buru beranjak dari kursi menuju pintu.

Ia menarik benda itu hingga terbuka setengah, lalu melangkah keluar dan menutup pintunya dengan cepat. Tiba di luar, Berlian seketika mendesah, ia memegangi dadanya yang berdetak cepat. Berada satu ruangan bersama Beni nyaris membuatnya kehilangan napas. "Astaga ...," helanya lega.

Silvi yang menyadari wanita itu baru saja keluar dari ruangan Bos menatapnya dengan kernyitan di dahi, diamatinya Berlian yang terlihat seperti habis dikejar setan. "Kamu kenapa, Li? Kok pucet gitu?"

Berlian sontak menoleh, lalu mengedipkan matanya dan membuat raut setenang mungkin. "O—oh, itu ... Bapak minta dibuatin kopi, Mbak," ujarnya terbata.

"Ahh ...." Silvi mengangguk, memberi gestur mengusir yang ia indikasikan untuk Berlian cepat-cepat membuatkan Bos mereka kopi, karena meski belum ada sebulan menjadi bawahannya, Silvi tahu bos mereka gemar sekali mengomel "Buruan, sebelum marah-marah," bisik wanita itu.

Berlian mengangguk dua kali, lalu pergi dari sana menuju pantry yang berada di satu lantai yang sama dengan ruangan mereka. Tiba di pantry, Berlian segera membuatkan kopi seperti yang Beni minta. Semua bahan yang ia butuhkan tersedia di sana, pun dengan kualitas yang terbaik.

Menghela napasnya berulang-ulang, Berlian berharap sekali semua ini hanya mimpi. "Ya Tuhan ...," desahnya.

Haruskah ia kembali kabur dari lelaki itu? Haruskan ia dan Bevan kembali ke Surabaya?

"Itu gak mungkin!" helanya sambil menjedukan kening pada mesin kopi. Berlian ingin amnesia saja rasanya, melihat Beni saat ini hanya mengingatkannya akan kenangan yang lelaki itu buat lima tahun yang lalu. "Harusnya kita gak ketemu, Ben!" gumamnya.

Tak berapa lama kopi yang ia buat dari mesin kopi pun jadi, Berlian menuangnya ke dalam cangkir kopi, lalu menyajikannya di atas nampan. Setelah itu ia membawanya menuju ruangan Beni. Tiba di depan pintu, Berlian mengetuk pintunya sebanyak dua kali, lalu mendorong benda itu ke dalam hingga terbuka.

Saat Berlian masuk, Beni sedang sibuk menatap layar laptopnya dengan wajah bingung. Pelan-pelan ia mendekati lelaki itu, meletakan cangkir kopi di atas meja kerjanya. "Ini kopinya, Pak."

Perhatian Beni teralih dari layar laptop, menatap secangkir kopi yang mengeluarkan asap mengepul di depannya. "Kok panas?" tanya lelaki itu yang sontak membuat Berlian terhenyak.

"Kopi memang panas kan, Pak?"

"Gue mau yang dingin." Mendongak untuk mempertemukan pandangan mereka, Beni menggeser cangkir kopi itu ke arah Berlian. "Ganti."

"Tapi tadi Bapak gak bilang minta yang dingin?"

"Siapa suruh lo gak nanya."

Apa?

Berlian membelalak, seketika tubuhnya mematung dan napasnya tercekat. Ia membuka lebar rahangnya dengan wajah kaget. Matanya berkedip beberapa kali berusaha menyadarkan diri. Apa-apaan lelaki ini? Seenaknya saja memintanya mengganti kopi.

"Tapi di pantry gak ada es batu, Pak."

"Gue gak peduli, pokoknya gue gak mau minum yang panas." Beni berujar seraya kembali fokus pada layar laptopnya. "Di depan gedung ini ada coffee shop, lo bisa beli kopi dinginnya di sana."

Kutu kupret, ulet bulu, kompor meleduk, gunung berapi, saus tartar!

Apa lelaki ini sedang mengerjainya?

Astaga ... Berlian ingin sekali memaki!

"Ngapain diem di situ, buruan beli."

Menarik napasnya dalam-dalam—oke, ia tidak boleh terpancing—Berlian lantas mengangkat cangkir kopi yang ada di atas meja untuk ia bawa lagi ke dalam pantry. Setenang mungkin ia mengangguk pada sang atasan. "Baik, Pak. Saya beli dulu kopinya," ujarnya mencoba sabar.

"Pake ini." Beni mendorong satu black card ke atas meja. "Lo simpen, ini punya perusahaan."

Mengambil kartu itu, Berlian mengangguk sekali lagi sebelum akhirnya melangkah keluar dari sana. Berlian menutup pintunya dengan sentakan yang cukup keras, hingga Silvi dan Zeki yang ada di luar sontak berjengit kaget.

"Astagaaa!!" Zeki memekik seraya memegangi dadanya. "Kenapa, Li? Kok pintunya dibanting?"

Berlian yang masih kesal memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Gak sengaja, Mas," kilahnya, padahal ia berharap lelaki di dalam sana terkejut lalu jantungan dan mati—eh, untuk yang terakhir jangan, Bevan belum mengenal ayahnya.

Duh ... memang ia berniat mengenalkan mereka?

"Saya kira kamu lagi marah-marah," kekeh Zeki sambil bercanda.

Memang benar, ia sedang marah-mara pada bos mereka. Semua karena lelaki menyebalkan itu meminta ganti kopi yang sudah ia buat.

Kan ngeselin!

"Loh, kopinya salah, Li?" tanya Silvi bingung. "Bapak gak jadi minum?

Kontan pandangan Berlian jatuh ke bawah, pada cangkir kopi yang ia bawa dan sama sekali belum tersentuh.

"Diminta ganti, Mbak."

"Ganti sama apa?"

"Kopi dingin," jawab Berlian malas, lalu tersenyum. "Saya beli kopi di depan sana dulu ya, Mbak."

"Iya, Li ... yang sabar ya," ujar Silvi menyemangati.

Berlian benar-benar membeli kopi dingin di coffee shop seberang sana seperti yang Beni perintahkan. Ia juga memakai kartu perusahaan untuk membayar itu. Berlian yakin, pesanannya sudah benar, lantas setelah selesai membayar, Berlian kembali ke gedung perusahaan.

Sebelum menuju ruangan Beni, Berlian lebih dulu masuk ke pantry, menyiapkan minuman itu untuk Bos mereka. Berlian mengganti gelas cup dengan gelas kaca sesuai SOP jobdesk-nya. Lantas membawa ke ruangan Beni, saat tiba, lelaki itu masih belum merubah posisinya, masih sibuk dari balik laptop.

"Silahkan, Pak. Kopi susu dingin seperti yang Bapak minta," ujar Berlian meletakan gelas kopi itu ke atas meja.

Beni menghentikan kegiatannya, mengalihkan perhatiannya dan mengangkat gelas itu lalu mengamatinya. "Kok ada es batunya?" ujar lelaki itu.

"Kan Bapak minta dingin," jawab Berlian was-was, perasaannya mendadak tidak enak.

"Gue minta dingin, bukan pake es batu. Ini sih kopinya udah kecampur air pas es batunya mencair." Beni mengembalikan gelas itu ke atas meja lalu menggesernya ke arah Berlian. "Ganti!"

"Apa?" Berlian memekik dengan mata terbuka lebar. "Ganti lagi?" tanyanya cukup nyaring, hingga Beni yang ada di depannya berjengit dan mengusap telinganya seraya meringis.

"Iya! Lo budeg sampe harus gue ulang?"

"Ta—tapi ... gimana caranya dingin gak pake es batu?"

"Ya lo dinginin lah, lo masukin kulkas kek," balas Beni nyeleneh. "Gue gak peduli, pokoknya harus dingin."

Astaga! Berlian menggeram, melipat telapak tangannya erat-erat. Rasanya ia ingin mencekik Beni saat ini juga, biarlah Bevan tidak tahu ayahnya, Berlian tidak peduli.

"Buruan!" titah Beni menyebalkan.

Menarik napasnya dan menghembuskan itu dengan perlahan—Tenang, Li ... lo harus tenang, Berlian pun memilih mengalah dan menuruti pinta bosnya itu. "Baik, Pak, akan saya ganti," ujarnya mencoba sabar.

Mengganti kopi dingin seperti yang diminta lelaki sialan itu, Berlian kembali ke coffee shop yang ada di depan gedung, kembali menyebrangi jalanan, kembali mengantri, kembali membayar, dan kembali ke gedung perusahaan.

Berlian memasukan kopi susu yang Beni minta ke dalam lemari pendingin yang ada di pantry, lalu menunggunya hingga lima belas menit. Sungguh, ia sampai terkantuk-kantuk saat menunggu kopi susu itu dingin.

Lalu setelah ia rasa dingin, Berlian menyajikannya ke dalam gelas, membawanya ke ruangan Beni dan meletakannya di depan lelaki itu. "Silahkan, Pak. Kopi susu dingin tanpa es batu."

Beni mengangguk, menyesap kopi dinginnya yang seketika mendesis. "Kok manis?" tanyanya seraya menatap Berlian.

Sontak dalam hitungan detik Berlian menganga dengan wajah memerah. Apa lagi sekarang, Ya Tuhan?

"Kan kopi susu, Pak?"

"Gue minta kopi susu, bukan kopi susu sama gula!"

Ha? Gimana-gimana? Berlian mendadak bingung. Ini otaknya yang lemot atau memang lelaki itu salah berbicara? "Ma—maksudnya, Pak?" tanyanya dengan kedipan mata polos. "Kopi susu gak pake gula?"

"Hem," jawab Beni melengos. "Buruan ganti!"

Astaga! Ganti lagi? Mau sampai kapan ia mengganti minuman lelaki ini? Hanya kopi sampai menyulitkan dirinya. Lagi pula, bukannya Beni tidak masalah meminum kopi apa saja, bahkan ia pernah meminum kopi sacet yang Berlian buatkan.

"Ngapain masih di sini? Lo mau gue minum kopinya bulan depan?"

Kampret!

Tanpa berkata-kata lagi, Berlian mengambil gelas itu, mengembalikannya ke pantry. Silvi dan Zeki yang sejak tadi hanya melihat Berlian bolak-balik membawa gelas kopi tidak berani bertanya karena melihat wajah wanita itu yang menyeramkan.

"Kasian Berlian ya, Mas."

"Iya, kasian."

Wanita itu akhirnya kembali ke coffee shop, kembali membeli kopi seperti yang Beni minta. Bahkan pelayan coffee shop tersebut sampai menatapnya bingung karena sejak tadi Berlian bolak balik membeli kopi yang sama, tapi kali ini tanpa gula.

Setelah selesai, Berlian kembali berpanas-panasan menyebrangi jalanan, kembali ke gedung perusahaan, kembali ke ruangan lelaki itu, dan kembali membawakan kopi susu tanpa mengganti gelas cupnya lagi.

Masa bodo, Berlian tidak peduli kalau ia tidak menjalankan SOP dengan baik. Malah, kalau bisa Berlian ingin menjejali mulut lelaki itu dengan plastik.

"Lama banget sih lo?" Beni langsung menodong Berlian dengan pertanyaan seperti itu saat ia tiba. "Gue udah—"

Mendesah, Berlian letakan es kopi permintaan Beni ke atas meja dengan hentakan keras. Ia lantas menatap lelaki itu penuh amarah. "Terserah!" sungutnya berapi-api. "Mau lo minum kek, mau lo buang kek! Terserah! Gue gak peduli! Gue capek nurutin mau lo! Gue capek bolak-balik ke coffee shop! Gue capek panas-panasan! Sekarang terserah lo, mau tuh kopi lo minum apa lo buang gue udah gak peduli! Bukan urusan gue!"

Berlian melontarkan makian itu dalam satu kali tarikan napas dan dengan suara lantang, hingga Beni yang berada di depannya sontak termangu kaget.

Lelaki itu mengedipkan bulu matanya berkali-kali, menatap Berlian dengan takjub. "Wow!" Ia merespon dengan satu kata seraya memberi tepuk tangan. "Emang cuma lo, Be, yang bisa maki-maki Bos di depan orangnya langsung." Ia juga mengacungkan ibu jarinya ke arah wanita itu sebagai isyarat kekaguman. "Keren, Be! Mantap!"

Napas Berlian memburu, dadanya bergerak naik turun. Sungguh, meladeni kelakuan Beni membuat kesabarannya habis. Apa lelaki itu pikir ia robot pengantar kopi?

"Kalo lo nyuruh-nyuruh gue kayak tadi lagi, gue gak mau!"

Beni benar-benar speechless, ia sampai bingung ingin mengucapkan apa pada wanita itu. "Tapi, Be ... gue kan bos lo?"

"Bodo!" sungutnya lagi. "Kalo lo gak suka, pecat aja gue! Gue gak peduli!"

Benar kan? Kalau ia tidak bisa mengundurkan diri, jalan satu-satunya untuk keluar dari perusahaan ini adalah dengan dipecat, dan Berlian tidak keberatan jika setelah ini Beni akan memecatnya.

"Dasar sinting!" umpatnya lalu keluar dari ruangan itu setelah membanting pintunya dengan keras.

Bukannya marah, Beni malah tertawa puas. Ia tertawa terbahak-bahak sampai air matanya menetes. Beni puas sekali bisa menjahili Berlian hari ini. Bahkan rasanya, ia tidak masalah kalau pekerjaannya terasa begitu memusingkan dan berat, yang penting ada Berlian di dalam ruangan ini yang bisa membuat mood-nya membaik.

"Gue gak akan pecat lo, Be. Gak akan," gumamnya dengan kikikan geli.


 

 

FLAWSOME 8

Berlian akhirnya bisa bernapas lega saat Januar Hadinata meminta Beni untuk ikut menghadiri sebuah pertemuan para relasi bisnis. Beni sengaja diminta ikut agar lelaki itu bisa dengan cepat beradaptasi dengan dunia bisnis yang lebih besar. Hanya Zeki yang diminta mendampinginya, sementara Berlian dan Silvi masih tetap di kantor.

Ruangan itu tanpa Beni layaknya taman bunga untuk Berlian. Sumpah demi apa pun, pekerjaan barunya ini nyaris membuat Berlian kehilangan napas. Bayangkan saja, orang yang lima tahun ini coba ia hindari ternyata adalah bos barunya. Ia masih tidak bisa berpikir dengan baik. Apalagi, dengan satu fakta kalau ada sesuatu di antara mereka yang tidak bisa dihilangkan.

"Li ...." pintu terbuka, menampilkan Silvi yang melangkah masuk ke dalam. "Ini jadwal Bapak buat besok."

Wanita itu memberikan selembar kertas yang berisi jadwal kegiatan bos mereka besok selama satu hari full pada Berlian. Wanita itu menerimanya setelah beranjak dari kursi dan berdiri.

"Nanti kamu salin di notepad, kamu rapihin, beri keterangan waktu yang tepat, dan untuk makan siang sama camilan Bapak besok kamu bisa tanya langsung sama orangnya."

Berlian mengangguk paham. "Iya, Mbak."

"Oh iya ...." sebelum benar-benar pergi, Silvi memberikan satu informasi lagi pada Berlian. "Tadi Mas Zeki ngabarin, katanya Bapak gak balik lagi ke kantor. Jadi nanti pas jam lima kamu bisa langsung pulang, gak usah nungguin Bapak lagi."

Mendengar kabar baik itu sontak Berlian langsung mengucap syukur dalam hati. Akhirnya ia bisa terbebas dari Beni—meski besok dan hari-hari lainnya mereka akan bertemu lagi, tapi setidaknya hari ini sudah berlalu.

"Iya, Mbak. Makasih."

"Ya udah, saya ke depan lagi ya, Li."

Berlian mengangguk sopan. Ia lantas berseru senang, buru-buru menyalin jadwal itu ke dalam ipad. Berlian tidak sabar ingin pulang dan beristirahat. Seharian ini benar-benar terasa neraka saat bersama Beni. Entah banyak hal yang coba lelaki itu lakukan padanya untuk membuat Berlian kesal, untung saja ia bisa sabar—meski akhirnya jebol juga dinding kesabarannya itu.

Tepat pukul lima sore Berlian meninggalkan ruangan Beni. Ia pulang berasama Silvi, berjalan sampai ke depan gedung. Karena arah pulang mereka yang berlawanan, Berlian kembali ke rumah kontrakan seorang diri dengan angkutan umum. Sore itu perjalanan cukup macet karena bertepatan dengan jam pulang kantor.

Berlian tiba saat langit sudah mulai menggelap. Begitu ia membuka pintu, wajah sang anak yang pertama kali Berlian lihat. Entah mengapa mendadak ia mematung, lalu tak lama menghela. Bukan Berlian tidak senang mendapati wajah anaknya, tapi ... di kantor ia harus melihat wajah itu dan tiba di rumah ia juga harus melihat wajah itu.

"Hai, Bundaaaa."

Bahkan teriakannya begitu menyerupai.

"Ihh, Bunda kok seperti zombie sih, muka Bunda menyeramkan."

Lihatkan, tengilnya pun sama.

Berlian mendekati putranya itu. "Gak ada zombie secantik Bunda ya?" ujarnya membalas Bevan, lalu merendahkan tubuhnya. "Udah mandi belom? Coba sini Bunda cium, wangi gak?"

"Aku wangi dong, Bunda. Memang Bunda yang bau asyem."

Berlian yang sudah berjongkok di depan anaknya itu lantas meringis, menjawil hidung Bevan dengan gemas. "Udah pinter ngeledek ya? Diajarin siapa coba?" Mungkin lebih tepatnya bukan diajari, tapi menurun. Ck, bahkan saat di rumah saja ia masih mengingat Beni.

"Aku gak ngeledek loh, Bunda, kata Bunda anak baik tidak boleh meledek."

Aduhhh, anaknya yang pintar berceloteh itu, membuat rasa lelah dan jengkel yang telah ditorehkan oleh ayah dari anaknya itu hilang begitu saja. Berlian gemas sekali.

"Jadi Bevan gak ngeledek Bunda?"

"Tidak." Kepala mungilnya menggeleng. "Tapi aku Buzz Lightyear, aku gak boleh bohong."

Berlian mengernyit. "Maksudnya?"

"Bunda memang bau asyem, huek ...," ledek bocah itu lagi seraya berlari menghindari Berlian dengan tangan menutupi hidungnya.

Berlian melongo takjub. Ia bahkan sampai kehilangan kata-katanya.

Coba jelaskan, bagian mana dari Beni yang tidak lelaki itu turunkan pada anaknya. Semua seolah copyan dari sang ayah. Mungkin hanya matanya saja yang menyerupai Berlian, sisanya ... semua tampak seperti Beni.

"Ya Tuhan ...." helanya dengan tubuh lemas.

♡♡♡

Malam hari seperti biasa, Berlian membuatkan susu untuk Bevan setelah anak laki-lakinya itu selesai mencuci kaki dan tangan serta berganti pakaian. Bevan masih meminum susu dengan botol, saat Berlian datang, anaknya itu sedang berbaring di atas ranjang.

"Siapa yang mau susu??" tanyanya menggoda Bevan dengan botol susu yang dikocok pelan.

Sontak bocah laki-laki itu terlonjak kegirangan mengacungkan jari tangannya ke atas. "Aku ... aku ... aku, Bunda."

Berlian terkekeh, menghampiri anaknya lalu memberi botol susu itu pada sang putra. Ia lantas menggiring Bevan untuk berbaring lagi di atas tempat tidur.

"Kalo udah lima tahun minum susunya di gelas dong, masa masih pake dot," ledek Berlian yang membuat Bevan melepas ujung botol susunya lalu menatap sang ibu.

"Lima tahun itu kan masih kecil, Bunda, aku gak bisa minum susu pake gelas sambil tiduran."

Orang dewasa juga tidak bisa meminum susu dengan gaya seperti itu. Haduhhhh, Bevan ...

"Maksud Bunda, Bevan minum susu dulu, terus baru tidur."

"Aku gak suka susu di gelas, Bunda. Rasanya pahit."

"Eh? Mana ada? Kan susunya sama."

"Kalo di gelas itu namanya kopi, Bunda. Seperti yang Bunda minum."

Berlian tergelak. Hampir setiap malam ia dan Bevan akan menyempatkan diri berbincang sebelum mereka terlelap. Selalu saja ada kata-kata Bevan yang membuat Berlian tertawa.

"Bunda ...." Bevan membuka suaranya lagi setelah susu yang ada di dalam botolnya habis. Bocah itu melemparnya sembarang.

"Apa?"

"Aku mau mainan seperti punya Tomi, apa boleh, Bunda?"

Berlian tersentak, menundukan sedikit kepalanya untuk menatap sang anak yang sedang berbaring di dalam pelukannya.

Tomi adalah anak tetangga yang seumuran dengan Bevan, ayahnya seorang TKI yang bekerja di luar Negri. Setiap sebulan sekali ayah Tomi mengirimi uang untuk biaya kebutuhan sang anak pada istrinya, dan setiap sebulan sekali juga Tomi pasti akan memiliki mainan baru yang harganya cukup mahal. Hari ini, Tomi baru menunjukan itu pada Bevan.

"Mainan seperti apa?" Berlian bertanya dengan tangan yang mengusap kening anaknya.

"Mainan robot, Bunda. Tomi bilang robotnya mahal dan aku gak bisa beli karena gak punya uang." Bibir Bevan mencebik. "Memang Bunda gak punya uang ya?" tanyanya lucu.

Berlian terkekeh, menurunkan tubuhnya lalu mengecup kening sang putra. "Bunda punya uang kok, memang Bevan mau mainan itu?"

"Iya, aku mau, Bunda."

"Nanti ya, kalo Bunda libur kita beli."

Sontak beranjak, wajah Bevan yang tadi mencebik kini berubah berbinar saat mendengar ucapan Berlian barusan. "Asik ...." ia melompat-lompat kesenangan di atas kasur. "Bunda punya uang, aku mau beli robot baru. Yeaayyyy!"

Senang sekali rasanya bisa melihat Bevan sebahagia itu. Berlian tidak tega jika harus merusaknya. Menjadi Asisten Pribadi Bos pasti bisa membuat Berlian jauh lebih mudah lagi memberikan yang terbaik untuk Bevan.

Jadi, sudah benar kan pilihannya ini?

***

Rasa-rasanya Berlian baru saja terlelap, tapi mengapa suara alarm di ponselnya sudah terdengar? Ini belum pagi kan? Di luar belum terdengar suara apa pun.

Eh, tapi ... ini sepertinya bukan suara alarm, melainkan nada dering teleponnya.

Ya ampun, siapa sih yang menghubunginya di pagi buta seperti ini? Berlian kan mengantuk sekali. Ia baru tertidur beberapa jam yang lalu setelah tidak bisa berhenti memikirkan Beni.

Karena pertemuan mereka hari ini Berlian jadi terus terbayang-banyang lelaki itu.

Kan ngeselin!

"Sshh, ya ampun!"

Dengan dengusan malas dan sedikit gerutuan, Berlian lantas meraba meja nakas yang ada di sebelahnya. Ia meraih benda itu lalu melihat siapa yang meneleponnya pagi-pagi buta seperti ini.

Sebuah nomor tanpa nama.

"Kalo sampe nawarin kartu kredit! Bakalan gue kasih sumpah serapah! Lihat aja!" kesalnya.

Lantas menggeser tombol hijau, Berlian dekatkan ponsel miliknya itu ke telinga. "Hallo?"

"Ck! Lo masih tidur?"

"Apa sih? Ini siapa?" sungut Berlian setengah mengantuk.

"Menurut lo siapa, Be?"

"Tukang kartu—"

Eh?

Sontak Berlian langsung membuka matanya lebar-lebar. Be? Hanya ada satu orang yang memanggilnya seperti itu.

"Udah jam berapa sekarang? Ck!"

Oh tentu saja, bahkan suaranya tidak terdengar asing di telinga Berlian. Seperti pernah ia dengar dan tidak ingin ia dengar lagi.

"Heh Asisten! Bos lagi ngomong bukannya didengerin."

Terlonjak kaget, Berlian seketika terduduk dengan kantuk yang seketika hilang.

Bos?

Bosnya?

Artinya Beni kan?

"Lo tidur lagi? Buruan bangun!"

"Be—Beni?"

"Iya, ini gue."

Ya Tuhan ... kenapa orang ini bisa tahu nomor ponselnya?

Oh, tentu saja, dia kan Bos. Informasi apa pun bisa Beni dapati hanya dengan melihat profil karyawannya.

"Lo masih tidur jam segini?"

Berlian buru-buru menggelengkan kepalanya. "Ini masih subuh ya, Pak."

"Udah," koreksi Beni setengah jengkel di seberang sana. "Ini udah subuh bukan masih subuh!"

Buat Berlian ini masih subuh. Ck! Lagian, untuk apa sih bosnya itu meneleponnya pagi-pagi buta?

"Buruan lo mandi, Be ... terus jemput gue."

"Jemput?" Berlian membelalak. "Jemput gimana, Pak? Jem—jemput kemana?"

"Jemput ke apartemen gue. Berangkat ke kantor dari sini. Lo nanti yang bakalan nyupirin mobil gue."

Semakin terkejut saja Berlian. "Ka—kan ada Pak Mahmud." Aduh ... perasaannya mendadak tidak enak. "Di jadwal yang saya terima, Bapak nanti dijemput sama supir kantor."

"Udah gue pecat supirnya."

"Apa?" Berlian memekik keras, lalu buru-buru menutup bibirnya saat Bevan yang tertidur di sampingnya menggeliat akibat teriakan itu. "Kenapa dipecat, Pak?" bisiknya kemudian.

"Ya kenapa gue harus kasih alasannya sama lo? Kan yang jadi bosnya gue."

Benar juga sih.

Berlian sontak manyun. Tentu ia tahu itu hanya salah satu cara Beni untuk membuatnya tidak betah bekerja. Itu hanya salah satu caranya untuk membalas Berlian karena lima tahun yang lalu ia telah membawa kabur uang milik lelaki itu yang akan digunakan untuk membangun restoran.

"Gak bisa, Pak!" sungutnya mencoba galak. "Jam kerja saya itu kan—" Ucapan Berlian terpotong seketika.

"Gue gak peduli sama jam kerja lo. Lo itu asisten gue! Jadi lo yang harus urusin semua kebutuhan gue!"

"Ya tapi sebelumnya gak ada perjanjian kalo saya harus jemput Bapak," sewotnya.

"Jadi lo nolak perintah Bos?"

Berlian meringis. "Bukan gitu ...."

"Kalo lo gak mau, lo bisa langsung bawa surat pengunduran diri ... sekaligus uang gue yang lo bawa kabur!"

Lalu panggilan itu terputus begitu saja, membuat Berlian menganga terkejut. Ia tidak mampu bekata-kata lagi. Beni memang sialan, dengar kan apa yang lelaki itu katakan? Beni mengungkit uang yang ia bawa kabur!!!

"Isshhhhh!!! Dasar—" ia melirik ke arah Bevan.

Tidak. Ia tidak boleh berkata kasar.

Sialan!


 

 

FLAWSOME 9

Ya ampun ... rasanya Berlian ingin berkata kasar. Sumpah demi apa pun, karena permintaan Beni yang menyebalkan itu, ia terpaksa meminta Bude Yum untuk mengurus keperluan sekolah Bevan pagi ini.

Padahal biasanya Berlian yang menyiapkan itu semua sebelum ia berangkat kerja, tapi karena lelaki sialan yang sialnya adalah bosnya itu minta dijemput, Berlian jadi harus terburu-buru dan berangkat lebih pagi.

"Aku minta maaf ya, Bude, aku usahain besok gak gini lagi." Berlian meringis dengan wajah tak enak seraya melirik Bude dan tangan sibuk memasukan perlengkapan kerjanya ke dalam tas. "Aku beneran gak tahu kalo hari ini bos aku minta dijemput."

"Ya gak apa lah, Li. Bude gak ngapa-ngapain juga kok kalo pagi."

"Aku gak enak nyusahin Bude kayak gini." Ia baru saja menutup riselting tasnya lalu menyampirkan benda itu di bahu dan bersiap memakai sepatu. "Apalagi Bude harus anter jemput Bevan nanti."

"Hush!" Bude menghela tak masalah. "Bevan kan cucu Bude juga, biarin lah Bude yang urus. Udah sana kamu kerja. Naik jabatan gak boleh malas."

Tapi karena naik jabatan Berlian jadi malas berangkat kerja.

Bisa tidak sih ia memutar waktu?

"Yang penting kerjaan kamu lancar, Li. Kata Abi gak semua bisa naik jabatan secepat kamu."

Jelas saja, Berlian bisa naik jabatan karena ada campur tangan Beni di dalamnya. Ia tidak semata-mata dipromosikan karena pekerjaannya bagus. Mana ada Office Girl yang jadi Personal Assistant?

Berlian jadi ingat masa lalu. Dulu ia pernah mengatakan ingin bekerja di perusahaan milik ayah Beni itu, tapi karena persaingan yang ketat, Berlian malah meminta Beni untuk menjadi bos agar ia bisa dengan mudah diterima kerja di sana.

Dan yaa, ucapan Berlian terkabul.

"Kamu memang harus turutin perintah bos kamu, Li, kerja yang bener biar bisa dapat bonus besar." Bude terkekeh setelah mengucapkan itu. "Kalo bisa kamu kedipin sedikit, Li, siapa tahu kecantol terus kamu dinikahin."

Eh?

Sontak Berlian terbatuk-batuk karena tersedak udara yang sedang ia hirup. Matanya terbuka lebar, dan wajahnya memucat. Sungguh, yang lebih parah tenggorokannya pun terasa panas.

Apa-apaan budenya ini? Mengapa bisa berkata seperti itu?

"Kata Abi bos kalian itu masih muda, belum nikah, ganteng lagi." Bude memberi kedipan menggoda. "Emang bener, Li?"

"Bude!!!" sungutnya mencebik.

"Ya gak apa-apa dong, Li, selama bukan suami orang."

Haduhhhh ... Berlian lagi-lagi meringis, kali ini dengan wajah kaku. Itu tidak mungkin. Berlian tidak mungkin menikah dengan Beni sekalipun ada Bevan di antara mereka.

"Jangan ngelantur, Bude," jawab Berlian seraya melengos. "Itu gak mungkin."

"Kenapa gak mungkin?" Nampaknya Bude masih senang menggoda keponakannya itu. "Gak ada satu orang pun yang tahu rencana Tuhan, Li. Pengasuh anak aja bisa dinikahin sama bosnya, masa kamu yang cantik semok gini bos kamu gak mau."

Berlian mendesah dengan gelengan kepala. Apa jadinya kalau Bude tahu ternyata orang yang sedang Bude bicarakan itu adalah ayahnya Bevan? Pasti Bude tidak akan berbicara seperti itu lagi.

"Udah ah ...." Berlian memakai sepatunya. "Kalo gitu aku berangkat. Omongan Bude makin lama makin ngelantur."

Bude menyengir lebar. "Ih, siapa tahu jodoh." Lalu beliau mengikuti Berlian dari belakang yang kini sudah melangkah ke depan. "Amin, gitu dong, Li."

Masih belum puas ternyata.

"Aduh, Bude ... udah deh."

Tawa Bude semakin kencang, padahal Bude hanya asal bicara. Menurut yang Abi katakan, kekayaan bosnya itu tidak akan habis selama tujuh turunan, Bude kan hanya berharap anak-anaknya bisa mendapatkan pasangan yang lebih baik dari mereka.

"Jangan lupa sama yang Bude bilang. Kedipin sedikit bos kamu itu."

Ya ampun! Berlian menggeleng. Masa iya, Berlian diajari genit sama nenek-nenek untuk merayu atasan? Apalagi yang dirayu adalah Beni. Oh, itu tidak akan Berlian lakukan sampai kapan pun.

"Titip Bevan ya, Bude. Aku berangkat."

"Iya ... hati-hati, Li."

Lantas menaiki ojek online yang ia pesan pagi itu, Berlian tidak perlu bertanya lagi dimana letak alamat apartemen Beni berada, nyatanya dulu ia selalu pulang ke tempat itu selepas bekerja dan kuliah.

♡♡♡

Tiba di lobi gedung itu, Berlian masuk ke dalam, menaiki lift untuk tiba di lantai unit apartemen Beni. Bahkan letak pintunya saja ia masih ingat. Tidak banyak yang berubah dari tempat itu, hanya beberapa interior dan cat yang sepertinya sudah diperbarui.

Saat berdiri di depan pintu, Berlian yang hendak menekan bel seketika tersentak dan memejamkan mata. Tangannya terhenti di udara dan tiba-tiba merasa pening. Seolah ditarik mundur kebelakang kilasan-kilasan kejadian lima tahun lalu berkelebat di dalam kepala. Semua itu berputar layaknya proyektor film. Mendadak Berlian mual.

"Saya tau Beni hanya bermain-main sama kamu. Dia tidak pernah serius dengan satu wanita. Kamu pikir, kamu satu-satunya wanita yang dia sentuh?"

Berlian meremat dadanya kuat-kuat. Terangkai jelas dalam ingatan, meski sekuat tenaga Berlian mencoba melupakan. Kilasan kejadian itu terus membuatnya sesak napas.

"Beni hanya menganggap kamu sebagai pelarian, teman tidur, dan pelacur. Saya akan kasih uang berapa pun yang kamu mau, tapi tolong pergi dari hidup—

Klek!

Pintu di depannya terbuka, Berlian yang terhenyak lantas refleks memundurkan tubuhnya kebelakang, ia lalu mengangkat wajahnya yang pias. Seluruh rangkaian peristiwa yang berputar di dalam kepala buyar begitu saja. Berlian merasakan napasnya memburu lalu tercekat.

"Ngapain lo di depan situ?" Beni bertanya setelah tubuh mereka saling berhadapan, Berlian yang masih belum bisa menguasai dirinya mengerjap dengan tampang aneh. "Kenapa? Lo sakit?"

Saat Beni hendak menyentuh keningnya, dengan cepat Berlian menghindar. Jelas ada yang tidak beres dengan wanita itu, Beni sempat mengamatinya dari balik layar intercom sebelum membuka pintu tadi.

"Eng .... baru mau tekan bel."

"Pencet bel?" tanya Beni meledek. "Ngapain pencet bel?"

Berlian mendesis. Ia tahu Beni ingin memulai konfrontasi di antara mereka pagi ini, tapi Berlian yang baru saja diserang oleh masa lalu mendadak tidak ingin meladeni.

"Lo tau kan kode akses apartemen gue." Ada senyum meledek yang Beni lemparkan, sontak membuat Berlian mengernyit dan mencibir. "Semuanya masih sama kok, Be, gak ada yang berubah."

Oh, mode juteknya sudah kembali sekarang.

"Saya gak bisa sembarangan masuk ke tempat orang, Pak. Saya tau tata krama."

Tapi masuk ke dalam hati gue gak pake permisi, ck!

Beni mendesis. "Bahkan untuk apartemen yang udah sering lo masukin berkali-kali?"

Menganga, Berlian kehilangan kalimatnya untuk membalas Beni. Memang sialan lelaki itu kalau sudah membahas masa lalu mereka, membuat Berlian tak nyaman.

Tahan, Li, jangan terpancing.

Berlian menarik napasnya, lalu kembali menatap Beni dengan mata menyalang. "Bapak udah siap? Bisa kita langsung berangkat?"

Beni malah melipat kedua tangannya di depan dada, seolah tidak ada waktu yang harus mereka kejar. Padahal pagi ini lelaki itu harus ke pabrik roti untuk mengecek kualitas bahan. "Buru-buru amat. Yang grasak grusuk tuh gak enak, gak nikmat."

Lagi, Berlian mencoba sabar menghadapi bosnya itu. Ia tahu selalu ada ledekan di setiap ucapan yang Beni lontarkan untuknya. Entah itu tentang masa lalu, atau menyinggung uang yang ia bawa kabur.

"Ayo, masuk dulu." Lelaki itu melebarkan daun pintunya, membuat Berlian mendengkus sebal.

"Saya tunggu di luar aja."

"Serius? Lo gak mau sarapan dulu, Be?"

"Nama sama Berlian, Pak, bukan Be!" Akhirnya ia tersulut. Nyatanya tidak ada satu orang pun yang tidak jengkel setiap berbicara dengan Beni.

"Berlian huruf depannya apa? B sam E kan?" Beni berujar nyeleneh. "Gue gak salah dong manggil lo Be?"

"Ya tapi ...." Sudahlah, Berlian pasti akan selalu kalah kalau berdebat dengan lelaki ini. Ia lantas menghela kasar lalu menatap Beni tanpa bicara. Sontak saja lelaki itu mengangkat kedua tangannya ke atas sebagai bentuk penghentian konfrontasi.

"Oke kalo lo gak mau masuk," putus Beni. "Tunggu di sini, gue ambil barang-barang gue dulu."

Akhirnya lelaki itu masuk, pintu tidak ia tutup sehingga Berlian bisa sedikit melihat keadaan di dalam sana. Rasanya tidak ada yang berubah, Berlian seolah menjadi dirinya lima tahun yang lalu, yang sempat menempati apartemen itu.

Kenangan mereka memang tidak banyak, tapi setiap detik kebersamaan mereka dulu selalu berkesan di dalam hati Berlian.

"Nih ..."

Berlian sontak terkejut saat Beni tiba-tiba saja datang dengan membawa jas dan tas kerjanya yang ia lemparkan pada Berlian.

Wanita itu menangkapnya tanpa kesiapan. "Saya yang bawa, Pak?"

"Emang asistennya siapa?"

"Saya."

"Terus buat apa lo tanya." Beni masuk lagi ke dalam dan keluar dengan membawa barang lain. "Sama ini juga." Tas laptop ia letakan di tangan kiri Berlian. "Sekalian kopi gue." Lalu tumbler kopi ia selipkan di tangan kanan.

Sungguh, kini Berlian terlihat seperti tukang angkut barang.

"Udah kan? Kalo gitu ayo kita berangkat."

Berlian menganga. Barang sebanyak ini harus ia bawa seorang diri, sementara lelaki itu melenggang nyaman tanpa membawa apa pun?

Beni sialaannnnn!

Sejak pertemuannya dengan Beni, Berlian jadi sering sekali berkata kasar. Semoga saja Bevan tidak menirunya.

"Buruan, lama amat lo jalannya."

Berlian mencebik, melipat bibirnya kesal. "Bawa sendiri nih kalo mau cepet-cepet, jangan nyuruh-nyuruh," gerutunya pelan, tapi Beni masih bisa mendengar itu.

"Apa?" Ia menoleh dan mendapati Berlian sedang kesulitan membawakan barang-barangnya. "Lo bilang apa?"

"Saya bilang ... siap, Pak."

"Perasaan tadi lo gak ngomong gitu."

"Bapak budeg berarti," gerutunya lagi, kali ini amat sangat pelan, tapi lagi-lagi Beni bisa mendengar itu.

"Eh? Gue bisa denger ya, Be."

Berlian berdecak, merotasikan bola matanya malas. "Kalo gitu maaf!"

Mereka tiba di depan pintu lift, Berlian beberapa kali mencoba memperbaiki barang bawaannya. Ia terlihat pegal dan kesulitan. Beni yang melihat itu merasa senang, diam-diam mengulum tawa. Anggap saja hukuman untuk Berlian karena dulu wanita itu meninggalkannya tanpa kata.

Pintu lift terbuka, mereka masuk ke dalamnya. Keadaan lift tampak sepi, tidak ada satu orang pun di dalam sana saat mereka masuk. Berlian melipir ke pojok, sementara Beni berdiri di tengah. Saat Berlian sedang memperbaiki bawaannya, Beni perlahan bergeser mendekat, membuat Berlian mengambil langkah menjauh.

"Jangan deket-deket," ujarnya was-was.

"Kenapa gue gak boleh deket-deket?"

"Jangan aja!" Berlian menunjuk sekitaran dengan dagu. "Ini kan masih lega."

"Gue bukan kuman sampe lo harus jauh-jauh gitu."

Bukan kuman sih, tapi berdekatan dengan Beni bisa membuat Berlian lupa diri. Bisa-bisa kenangan mereka dulu teringat lagi di dalam kepala.

Duh ... jangan berulah ya hati.

Lift berhenti saat ada penghuni lain yang masuk, Beni bergeser untuk memberi tempat. Semakin turun lift itu, semakin banyak yang masuk dan semakin sempit saja jarak di antara mereka. Lalu semakin tak ada ruang untuk Berlian menghindari Beni.

Lelaki yang berdiri di depan Berlian hampir saja menekan wanita itu kalau saja Beni tidak buru-buru menahannya dengan tangan. Kini posisi lelaki itu seperti mengukung Berlian, wajah mereka saling berhadapan.

Berlian sontak saja menelan salivanya kelat, wajahnya memanas. Berbeda dengan  wanita itu, Beni malah sibuk mengamati wajah Berlian, mencari perubahan dari sosok di depannya itu.

Sepertinya Berlian tidak berubah, wajahnya masih terlihat muda meski waktu sudah membawa mereka sejauh itu. Berlian masih cantik, masih bersinar, apalagi matanya, Beni suka sekali sorot bening itu.

"Ba—pak ... bisa merem?" lirihnya terbata seraya menunduk, takut dengan tatapan Beni.

"Mata punya siapa?"

"Ma—mata Bapak."

"Terus kenapa gue harus tutup mata?"

"Sa—saya gak nyaman."

Beni mengamati Berlian semakin dekat. "Lo tuh pake formalin ya, Be?"

Eh?

Tiba-tiba sekali? Apa memang serandom itu Beni.

"Kok lo gak kelihatan tua sih?"

Berlian ingin mengomel—sumpah, apa harus Beni berkata seperti itu di saat seperti ini?

"Tolong, Pak—" kalimat Berlian terhenti seketika saat tiba-tiba lift bergoyang dan tubuh Beni tanpa sengaja terdorong dari depan, lalu bibir lelaki itu menempel di pipinya.

Berlian menganga, sementara Beni tersenyum senang.

"Sorry ...," ujar lelaki itu terkekeh. "Gak sengaja."

Ya Tuhan, kalau tangan Berlian terbebas, sudah ia tampol wajah Beni yang menyeringai di depannya saat ini.

Hingga lift berhenti di lantai dasar, satu persatu penghuni mulai keluar dari sana, hanya tersisa Beni dan Berlian yang menuju lantai basement.

Berulang kali Berlian mendesah, menarik napas dengan kasar. Saat lift berhenti, ia melirik ke arah Beni, ada senyum licik di wajahnya. Seiring pintu lift yang terbuka lebar, mereka hendak keluar, tapi dengan cepat Berlian menabrak tubuh Beni, menginjak kakinya dengan hentakan kuat, yang sontak membuat lelaki itu mengaduh kesakitan.

"Awww!!"

"Ups!" Ia lalu membungkuk tanpa salah. "Maaf, Pak, saya gak sengaja," balasnya mengulang ucapan Beni.

Berlian lantas keluar, meninggalkan lelaki itu yang sedang menggerutu dengan kata-kata kasar.

Masa bodo!

Berlian sudah tidak takut dipecat!

 

Kata Anna :

Yang suka cerita ini, bantu boom like yuk, tekan tanda love di kiri bawah yaa ❤️ terima kasih buat yang sudah melakukan 😘🥰

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Flawsome
Selanjutnya Flawsome Part 10
80
25
Part 10
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan