
(Diposting ulang dalam beberapa part, berisi adegan dewasa 🔞)
Sehari sebelum pernikahannya, Jeffry Devano harus merelakan sang Kekasih pergi bersama lelaki lain. Demi menjaga nama baik kedua keluarga, Devan terpaksa menerima Alana untuk menjadi Pengantin Pengganti sang kekasih. Alana yang tidak lain adalah adik dari kekasihnya pun menyetujui itu.
Di malam pernikahan mereka, Devan meminta Alana untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang Istri. Namun, ada yang lebih menyakitkan bagi Alana dari sekedar...
Bab 1. Ditinggalkan
Devan menggeram, melempar ponselnya ke atas lantai dengan sangat keras membuat benda itu hancur berserakan.
Seharusnya, besok adalah hari yang sangat membahagiakan untuknya. Dimana ia akan mempersunting seorang gadis yang sudah selama tiga tahun belakangan ini menyandang status sebagai kekasihnya.
Almira Deswita.
Sudah seharian ini Devan berusaha menghubungi perempuan itu, tapi ia sama sekali tidak mendapatkan kabar apa pun dari sang kekasih.
Hampir seharian ia menunggu, dan ketika ponselnya berbunyi, menampilkan satu pesan masuk, saat itu juga Devan merasakan dunianya runtuh.
Almira : Maafin aku, Dev. Aku gak bisa nikah sama kamu. Aku suka sama laki-laki lain.
Devan sudah memberikan seluruh dunianya untuk Almira. Membiarkan hatinya jatuh, sejatuh-jatuhnya hanya untuk dimiliki oleh gadis itu. Tapi ternyata balasan yang ia terima tidak lebih dari sebuah penghianatan.
"Berengsek!" Devan mendesis. Lelaki itu tidak menyangka jika Almira akan meninggalkannya demi laki-laki lain.
Apa yang kurang dari dirinya? Muda, tampan, mapan, dan kaya. Semua perempuan bahkan rela antri hanya untuk dapat menjadi kekasihnya. Tapi Almira, perempuan itu malah mencampakannya.
Devan memang bukan laki-laki baik. Namun semejak dirinya dijodohkan dengan Almira, ia mampu merubah kebiasaan buruknya itu. Mabuk-mabukan, tidur dengan sembarang wanita yang ia temui di bar. Devan merubah dirinya hanya untuk Almira, tapi kini Devan merasa semua itu percuma jika nyatanya gadis yang ia cintai lebih memilih bersama laki-laki lain.
"Dev, ada apa?" Sarah—ibunya sedikit berlari untuk menghampiri Devan saat mendengar suara gaduh dari kamar anaknya. Wajah perempuan paruh baya itu terlihat menegang begitu melihat pecahan ponsel yang berserakan di atas lantai. "Kamu kenapa? Ada apa sebenarnya?"
"Ma ...," Devan berucap lirih. "Mira, Ma."
"Mira kenapa?" Sarah menyentuh pundak putranya yang bergetar. "Kenapa sama Almira?"
"Dia gak akan datang besok." Devan yang menunduk perlahan mengangkat wajahnya, menoleh menatap wajah sang ibu.
"Apa maksud kamu?"
"Almira pergi sama laki-laki lain, Ma. Dia selingkuh."
Sarah terhenyak. Wanita tua itu tidak bisa lagi menahan keterkejutannya. Almira Deswita adalah gadis manis yang ia jodohkan dengan Devan tiga tahun yang lalu. Sarah kira perjodohan itu berjalan lancar karena keduanya tidak ada yang menolak itu.
"Ka—mu yakin?" Ia bahkan sampai tergugu mendengarnya.
Selama tiga tahun Almira dan Devan berpacaran, Sarah tidak pernah mendengar kabar buruk apa pun tentang hubungan mereka. Keduanya saling mencintai, itu yang Sarah tahu, dan mendengar kabar ini tentu saja menjadi berita terburuk selama tiga tahun ia mengenal keluarga Almira.
Bermula dari persahabatan yang dilakukan oleh mendiang suaminya—Samuel Wijaya, bersama dengan Bima Prayoga—ayah kandung Almira, keduanya berjanji akan menjodohkan anak mereka saat dewasa nanti. Begitu umur kedua anak mereka beranjak dewasa, saat itu lah perjodohan dilakukan.
Baik Devan dan Almira menerima perjodohan mereka dengan baik, tapi entah mengapa saat mengetahui Almira mengkhianati anaknya, Sarah mendadak tidak bisa menerima semua kecurangan itu.
"Almira itu benar-benar ya!" geram wanita itu. "Pernikahan kalian akan dilaksanakan besok, Dev!" Ya Tuhan, kalau saja ia tahu anak Bima seburuk itu, mungkin ia tidak akan mau menjodohkan Devan dengan anaknya. "Mama akan membicarakan ini dengan Bima dan Anggita. Mereka gak bisa lepas tangan begitu aja, ini memalukan, Dev! benar-benar memalukan!"
***
Sementara itu. Keadaan di kediaman keluarga Bima tidak jauh berbeda. Semua penghuni mulai sibuk mencari dimana keberadaan anak pertama mereka itu. Mulai dari mencoba menghubungi ponsel Almira sampai bertanya pada teman-temannya.
Bima Prayoga benar-benar marah kali ini. Perjodohan yang sudah ia janjikan berdua dengan mendiang Samuel saat mereka muda dulu menjadi sangat berantakan, dan pusat kekacauan ini dibuat tidak lain oleh anak pertamanya.
Suara melengking milik lelaki tua itu membuat semua anak buahnya yang mendengar langsung berjengit takut. Sampai saat ini, puluhan anak buahnya juga belum berhasil menemukan dimana keberadaan Almira.
"Kenapa sejak awal Kak Mira nerima perjodohan itu coba?"
Alana, sang adik menghela napas, menghempaskan tubuhnya di atas kasur, lalu disusul oleh Molly—kucing kesayangannya.
"Kak Mira itu emang senang banget ngebuat keributan." Molly meringkuk di sebelah Alana dan mulai menjilati kakinya. "Kamu tahu ga, Mol. Aku rasa sekarang Mas Devan lagi nangis tersedu-sedu di kamarnya karena udah dicampakin sama Kak Mira."
Alana merubah posisi tubuhnya menjadi tengkurap, kemudian terkekeh lucu memandangi Molly. "Mol, aku jadi kepengin ngelihat wajah Mas Devan yang lagi sedih," ia mengulum bibirnya menahan tawa. "Pasti akan terlihat lucu. Jarang-jarang aku ngelihat cowok dingin berwajah galak kayak dia nangis."
Molly mulai berhenti menjilat kakinya. Kucing anggora berbulu halus berwarna orange itu lalu menoleh kaget begitu Alana tertawa kencang di sampinya.
"Kenapa kamu ngelihatin aku kayak gitu?" Alana memicik. "Kamu ngebela Mas Devan?" Bibirnya mengerucut. "Molly, aku tahu kamu suka sama Mas Devan karena wajahnya yang ganteng, tapi asal kamu tahu aja dia itu sebenarnya berengsek dan menyebalkan, maka itu Kak Mira meninggalkannya."
Sebenarnya, Alana tidak terlalu menyalahkan kakaknya atas kejadian ini. Devan memang terkenal dingin dan berengsek. Menurut kabar yang beredar, Devan memiliki affair dengan Sekertarisnya. Alana juga bingung mengapa kakaknya itu mau dijodohkan oleh lelaki seperti Devan.
"Alana ..."
Alana seketika berjengit saat pintu kamarnya terbuka nyaring.
"Heh! Diana!" Gadis cantik yang seumuran dengannya itu meny-engir. "Kamu ngagetin aku tau gak!" sentak Alana galak.
Diana Larasati adalah salah satu asisten rumah tangga di sini. Karena umur mereka yang tidak terpaut jauh, Alana sudah menganggap Diana seperti seorang teman.
"Al, kamu tahu gak, apa yang lagi terjadi di bawah sana?" Diana menghampirinya dengan wajah dibuat-buat heboh, bahkan napas gadis itu masih terdengar memburu.
"Ada apa?"
"Bu Sarah sama Kakaknya Mas Devan, mereka datang ke sini, dan sekarang mereka lagi ada di ruang keluarga sama Pak Bima."
Alana membelalak. "Kamu serius?"
"Sangat serius," jawab Diana mantab. "Kamu gak penasaran, Al, apa yang lagi mereka omongin di bawah sana?"
Jika seperti ini Alana rasanya ingin sekali menguping pembicaraan mereka. Ibunya Devan pasti sangat marah, pasalnya acara pernikahan itu akan dilaksanakan besok. Gedung dan catering sudah dipersiapkan dengan mewah, terlebih seluruh undangan sudah tersebar kemana-mana.
Pasti Devan sendiri akan mati menahan malu untuk itu.
Hahaha. Alana tertawa puas di dalam hati.
"Di, di bawah ada Mas Devan juga?"
Diana menggeleng. "Gak ada, cuma ibunya sama kakaknya."
Alana tersenyum jahil, lalu menatap Molly yang sedang berguling-guling di kasurnya. "Mol, kamu pasti juga penasaran kayak aku, kan? Ayo kita ke bawah, kita harus mencuri dengar perbincangan mereka," ujar Alana semringah sambil menggendong Molly.
***
Mereka turun ke bawah menuju ruang keluarga. Pintu itu tertutup sangat rapat, Alana mencoba untuk berdiri lebih dekat lagi hingga telinganya menempel pada badan pintu dengan Molly yang masih berada di dalam gendongannya.
"Di ... kamu gak mau ikutan nguping?"
Diana yang masih berdiri di undakan anak tangga menggelengkan kepalanya. "Kamu aja, aku takut ketahuan sama Pak Bima," balas Diana berbisik.
"Ah, kamu payah. Ya udah, kalo gitu aku sama Molly aja yang nguping mereka." Alana kembali merapatkan telinganya, berusaha menajamkan pendengarannya, karena ia tidak dapat mendengar suara apa pun di dalam sana.
"Mol, kamu denger gak?"
Molly melirik malas ke arahnya, seolah meminta Alana untuk berhenti menguping dan pergi dari sana sekarang juga. Namun sepertinya Alana tidak setuju dengan usul Molly, maka ia semakin merapatkan telinganya pada daun pintu. Alana sedikit mengernyit karena hanya mendengar suara bisik-bisik dari dalam.
Merasa tidak dapat mendengar suara apa pun, Alana bersandar pada pintu semakin rapat dan kemudian tiba-tiba saja pintu itu terdorong ke dalam dan tubuhnya jatuh ke atas lantai.
"Yakkk!!!"
Diana yang berada di undakan anak tangga membelalak kaget dan buru-buru pergi dari sana. Sedangkan Molly sudah melepaskan diri dari pelukan Alana saat gadis itu terjatuh dan berlari meninggalkannya menaiki tangga.
"Aw ...," Alana meringis. Mengusap tangannya yang terbentur lantai. Perlahan ia membuka mata dan mendapati beberapa pasang mata menatapnya terkejut.
"Al, ngapain kamu di situ?" Bima bertanya seraya menghampirinya.
Alana mendadak kikuk dan salah tingkah. Mengapa ia bisa seceroboh ini sampai tidak menyadari jika pintu itu tidak terkunci. Alana merasa malu, bahkan lebih dari itu. Ia merasa sangat konyol karena telah ketahuan menguping pembicaraan mereka.
"Alana!" Kali ini Anggita yang angkat suara. Ibunya itu memang sangat galak kepadanya, berbeda saat Anggita bersama Almira.
"Maaf, Bunda, Ayah, Alana gak sengaja lewat, terus jatuh di sini." Alasan yang tidak masuk di akal.
Memang!
Tapi biarlah, ia sudah terlanjur terlihat sangat konyol di depan mereka.
"Mas Bima, mumpung Alana sudah ada di sini, sebaiknya kita segera memberitahukannya soal kesepakatan ini." Suara Tante Sarah membuat Alana menoleh. Melarikan pandangannya dari menatap wanita tua itu lalu kembali memandangi wajah Ayah.
"Kamu bangun dulu." Bima membantu putrinya itu berdiri, kemudian membawanya untuk duduk di sofa.
"Ayah ... ini ada apa?" tanya Alana takut-takut.
Bima mendesah, mengambil tangan Alana untuk ia genggam. "Al, Ayah benar-benar minta maaf untuk keputusan ini."
Perasaan Alana mendadak tidak enak. Bukankah mereka sedang membahas masalah Almira, mengapa harus membawa-bawa namanya?
"Sebenarnya ada apa sih, Yah?"
"Biar saya saja yang menjelaskan, Mas Bima," sahut Tante Sarah.
Mendadak ruangan itu terasa panas untuk Alana. Jantungnya tiba-tiba berdebar tidak karuan. Ia merasa percakapan ini akan berdampak buruk untuknya.
"Al ... kamu tahu kan kalo pernikahan kakak kamu sama Devan akan diadakan besok?"
Alana mengangguk cepat.
"Dan kamu juga tahu kan kalo sekarang kakak kamu sedang kabur bersama laki-laki lain?"
Lagi-lagi kepala gadis itu mengangguk. "Iya, Tante, Alana tahu. Tapi apa hubungannya sama Alana?"
Tante Sarah menghela napas. Bagaimana pun beliau tahu ini akan sangat tidak adil bagi Alana, tapi mereka tidak punya pilihan lain. Ini demi nama baik kedua keluarga.
"Al, Tante minta maaf sama kamu sebelumnya." Tante Sarah menjeda kalimatnya sebentar. "Demi menjaga nama baik kedua keluarga ... Tante sama Ayah kamu sudah menyepakati ini."
Perasaan Alana mulai tidak enak. Jantungnya berdebar-debar seakan tahu kalau sebentar lagi ia akan mendengar kabar buruk.
"Besok kami akan tetap mengadakan pernikahan."
"Ha?" Alana membelalak.
Bagaimana bisa mereka masih tetap melakukan pernikahan itu sementara Almira saja belum juga kembali. Mungkin kah Devan akan berdiri di altar sendirian dan mengucap janji pernikahan tanpa seorang pengantin wanita. Jika iya, Alana yakin lelaki itu pasti akan menahan malu seumur hidupnya.
"Al ..."
"Tunggu-tunggu ... ini maksudnya Devan—eh, Mas Devan nikah sendirian, Tante?"
"Bukan itu." Ayah kembali menyentuh tangannya. Alana menoleh dengan tatapan kosong. Sungguh ia benar-benar tidak mengerti dengan semua ini. "Al, besok yang akan menjadi pengantin perempuannya itu kamu."
"Apaaa???"
"Kamu yang akan menggantikan Kak Mira."
Bab 2. Pernikahan
Alana menghembuskan napasnya berulang kali. Kedua tangannya mulai berkeringat karena terus menerus mencengkram erat ujung gaun pengantinnya.
Setelah dengan berbagai macam usaha menolak permintaan sang ayah, bahkan sampai terjadi perdebataan yang sangat hebat. Akhirnya Alana mengalah dan memilih untuk menuruti permintaan itu.
Menikah dengan Jeffry Devano adalah sesuatu yang tidak pernah ada di dalam daftar hidupnya. Lelaki dingin, angkuh, galak, dan suka semena-mena itu tidak seperti Bastian yang memperlakukannya dengan lembut.
Ah ... mengingat nama itu membuat Alana kembali merasa bersalah.
Malam itu, setelah ia memutuskan untuk menikah dengan Devan, Alana menghubungi Bastian—sang kekasih yang sekarang sudah menjadi mantannya itu. Mereka bertemu di sebuah taman dekat gedung manajemen artis terbesar di Indonesia.
"Ayo kita putus," kata Alana malam itu.
Bastian menatap Alana tak percaya, matanya membelalak. Kalimat yang tak pernah ia bayangkan keluar dari bibir gadisnya. "Kenapa? Apa aku berbuat salah?"
"Nggak." Alana memilin ujung dressnya. Gugup. "Aku cuma ngerasa bosan sama kamu. Kita udah dua tahun pacaran, tapi aku ngerasa sulit banget setiap mau ketemu sama kamu."
"Aku gak ngerti, Al. Kenapa kamu jadi kayak gini?" Suaranya terdengar bergetar. "Dulu kamu bilang semua ini gak masalah."
Alana membuang pandangannya. "Aku bosan terus-terusan sembunyi kayak gini. Aku bosan ngelihat fans kamu yang bar-bar itu. Aku udah gak tahan sama semuanya!"
"Al, kamu dari awal tahu kan keadaan aku. Management melarang aku untuk berpacaran. Keadaan seperti ini gak memungkinkan kita untuk selalu ketemu. Kamu—"
"Karena itu!" potong Alana cepat. "Karena itu aku mau kita putus."
Bastian tidak habis pikir dengan gadis di sebelahnya ini. Sejauh ia mengingat, tidak ada masalah apa pun di antara mereka sejak kemarin. Bahkan dua hari yang lalu mereka masih saling menghubungi, mengucapkan kata cinta. Tapi hari ini, dengan sangat tiba-tiba, kata putus terlontar begitu saja dari mulut Alana.
"Aku mau—"
"Stop!" Bastian berteriak frustasi. Nadanya begitu sumbang. "Al ... aku kayak gak kenal kamu!"
"Bas, hubungan kita hanya sia-sia. Aku sama kamu ... kita ada di dunia yang berbeda."
"Sejak kapan kamu jadi berpikiran kayak gitu? Bukannya kita udah janji kalo hal semacam itu gak akan mengganggu hubungan kita!"
"Bastian! Aku capek, jadi aku mohon kita putus aja!" Alana mengusap pipinya kasar, menghapus air mata yang mulai menetes.
"Aku gak bisa terima alasan kamu! Ini konyol, Al. Kemarin kamu bahkan masih bilang kalo kamu cinta sama aku! Tapi kenapa sekarang tiba-tiba kamu minta putus? Apa ada cowok lain? Bilang, Al!" Bastian sedikit membentak saat mengatakan itu. Napasnya memburu dengan mata terpejam menahan emosi yang bersarang di hati.
"Maaf ..." hanya itu yang mampu Alana katakan sebelum akhirnya ia beranjak dan pergi meninggalkan Bastian yang masih terdiam di atas bangku taman.
Ia merasa sangat bersalah karena telah menyakiti lelaki itu. Bastian sangat baik, ia memiliki hati yang lembut. Selama mereka berkencan, tidak sekali pun Bastian berbuat sesuatu yang kasar atau merendahkan dirinya. Lelaki itu selalu berusaha melindunginya.
Ah, Bastian ... kita memang gak jodoh!
***
"Heh!"
Alana tersentak, menoleh dengan wajah pias. Ia baru saja memikirkan Bastian, hingga tanpa sadar kalau ada yang masuk ke dalam kamar riasnya.
Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Devan. Bertempat di salah satu Hotel Bintang Lima, acara pernikahan mereka begitu terlihat sangat megah dan mewah.
"Kamu ngelamun?" Diana berjalan menghampiri Alana yang sudah mengenakan kebaya pernikahan. "Mikirin apa?"
"Menurut kamu?" cibir Alana dengan tampang kesal. "Kak Mira tuh benar-benar ngeselin! Gara-gara dia aku jadi harus nikah sama Devano si cowok berengsek itu!"
"Hush!" Diana menegur. "Nggak boleh ngejelek-jelekin calon suami sendiri, Al. Harusnya kamu bersyukur bisa nikah sama Mas Devan," imbuhnya. "Kamu tahu gak, ada banyak perempuan di luar sana yang rela antri cuma untuk bisa jadi pacarnya. Tapi, kamu satu-satunya perempuan yang beruntung karena bisa nikah sama Mas Devan."
Alana langsung mendelik seraya memberikan tampang meledek. "Kalo kayak gitu, lebih baik aku jadi gak beruntung aja, deh!" tolaknya mentah-mentah. "Di, kamu harus tahu kalo Devan itu sebenarnya adalah maniak seks. Dia gak lebih dari cowok berengsek!"
Gadis itu menghembuskan napasnya kasar. "Sebenarnya aku senang Kak Mira ninggalin dia, tapi ... kenapa sekarang jadi aku yang harus nanggung semua ini."
"Heh! Gak boleh bicara kayak gitu! Sebentar lagi Mas Devan kan akan jadi suami kamu!"
Alana mendengkus lagi, kemudian membalikan badannya. "Tolong jangan mengulang kata-kata yang itu."
"Yang mana?"
"Yang baru aja kamu bilang."
Diana membelalak. "Ma—Mas Devan."
"Bukan! Yang sebelumnya."
"Itu ... Mas Devan."
Alana menggeram dengan hembusan napas malas. "Bukan, Di, bukan ... yang sebelum—"
"Maksud aku ada Mas Devan di sini."
"Apa?" Alana sontak menoleh ke belakang, lalu membelalak lebar saat matanya mendapati tubuh jangkung dengan setelan tuxedo berwarna hitam sedang berdiri di belakangnya.
"Kamu lagi ngomongin aku?"
Detik itu juga Alana merasakan jika jantungnya sudah jatuh hingga ke dasar perut saat matanya bertatapan langsung dengan manik mata gelap yang sedang menatapnya tajam.
"Se—baiknya aku nunggu di luar," ujar Diana terbata sembari melangkah keluar ruangan itu, meninggalkan Alana yang menatapnya seolah meminta pertolongan.
"Di—" gadis itu menggigit bibirnya takut.
"Kamu lagi asik ngomongin aku?" Aura dingin seketika menyeruak saat Devan berbicara.
Mendengar pertanyaan itu membuat Alana seketika kelimpungan dengan tubuh yang bergerak gelisah. Susah payah ia menahan suaranya yang tercekat untuk membalas ucapan Devan.
"Ng—nggak," elaknya. Eh? Tapi ia buru-buru meralat. "Ma—maksudnya, aku lagi ngomongin Devan yang lain."
"Memang ada berapa Devan yang kamu kenal?"
"Ha?" Alana mengerjapkan bulu matanya polos. Sial, mengapa ia bisa salah tingkah seperti ini di depan Devan. Alana bahkan yakin kalau wajahnya kini sudah terlihat sangat konyol. "Banyak ... ada Devan tetangganya Bu RT, Devan teman sekolahnya Diana, Devan anak tukang galon. Terus ... kucingnya Dimas juga namanya ... Devan."
Suara Alana melemah di akhir kalimat saat Devan menyentuh wajahnya. Ia sudah tidak bisa lagi menahan degub jantung yang menggila sejak tadi. Rasanya berdebar-debar seperti akan melompat.
"Wajah kamu merah." Devan menyeringai, mengusap lembut pipi Alana dengan punggung jari tangannya. "Apa setiap berbohong wajah kamu akan memerah seperti ini?"
"A—aku ... enggak!"
"Jangan gugup, nanti riasan wajah kamu rusak." Devan menurunkan tangannya, lalu beralih mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Alana dengan lembut. "Aku tunggu kamu di pelaminan, calon istri."
Lelaki itu lantas menegakan tubuhnya kembali, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Alana yang mematung di tempatnya dengan wajah melongo.
Sial! Apa yang sudah Devan lakukan padanya hingga membuat seluruh tubuh, bahkan kakinya terasa seperti jelly.
Berhenti berdebar, aku mohon. Jangan jatuh cinta dengan si berengsek Devan, Al!
***
Pernikahan itu berjalan lancar, Devan mengucapkan janji pernikahan mereka dengan lancar dan dalam satu kali tarikan napas. Semua yang ada di sana ikut merasa bahagia setelah Devan selesai mengucapkan janjinya.
Dekorasi pesta di dalam Ballroom Hotel itu tetap memakai hiasan yang telah dibuat untuk pernikahan Devan dan Almira. Bahkan inisial nama pengantin yang terpasang di pintu masuk tidak di rubah karena Alana dan Almira memiliki huruf yang sama di depan namanya.
Pesta itu dihadiri oleh banyak pengusaha besar. Mulai dari kalangan atas sampai karyawan di perusahaan Devan. Ada juga beberapa kolega dan partner bisnis Ayah Bima yang hadir di dalam pesta tersebut.
Sejak Ayah Devan meninggal, perusahan keluarga jatuh di bawah kepemimpinannya. Tak jarang Devan memiliki banyak kenalan dari berbagai kalangan Bisnis. Devan juga memiliki beberapa teman yang bergelut di bidang yang sama dengannya.
Meski aura yang ditampilkannya begitu dingin, Devan ternyata termasuk lelaki yang ramah jika itu menyangkut bisnis dan perusahaan. Sudah ada banyak tamu yang datang memberi selamat pada mereka. Serta teman-teman Devan yang langsung menggodanya begitu tiba.
Alana sungguh merasa sangat kelelahan karena terus berdiri sambil menggunakan high heels setinggi 8cm. Ia ingin segera duduk, tapi masih banyak tamu. Ingin minum, tapi tidak ada yang bisa dimintai bantuan.
"Ini kapan kelarnya?"
Devan melirik sekilas gadis yang beberapa jam lalu sudah resmi menjadi istrinya itu, menggantikan sang kakak yang sekarang entah ada dimana.
"Jangan ngeluh."
Alana langsung menoleh dengan delikan kesal. Siapa yang kuat berdiri lama dengan heels setinggi 8cm? Devan tidak masalah karena ia tidak memakai sepatu hak tinggi.
"Gak ngeluh, cuma nanya!" Bibir Alana mengerucut lucu.
"Sebentar lagi selesai," jawab Devan santai sambil terus melebarkan senyuman.
"Sebentar tuh kapan?" Alana lagi-lagi mengeluh di sebelahnya, membuat Devan dengan cepat menyentuh pinggang gadis itu lalu berbisik di telinganya. "Kamu gak sabar ngelakuin kewajiban kamu sebagai istri?"
Dengan alis yang naik ke atas, Alana menatap Devan tidak mengerti. "Maksud kamu apa?"
Terkekeh pelan, Devan menyeringai. "Nanti bakalan tahu."
Seketika saja Alana merasakan bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya meremang sesaat setelah Devan mengucapkan kalimat itu.
Tiba-tiba seorang lelaki dengan rambut berwarna merah datang menghampiri mereka. "Akhirnya elo nikah juga, Dev. Selamat ya," ucapnya memberi selamat.
"Hm." Devan membalasnya dengan deheman singkat, tapi tidak membuat lelaki yang bernama Gilang itu tersindir. Ia sudah tahu sifat sahabatnya itu. "Hai, Alana."
Mendapat sapaan dari sahabat suaminya, membuat Alana tersenyum manis ke arah lelaki itu. "Hai juga."
"Alana udah siap-siap belum?"
Keningnya mengkerut. "Siap-siap kemana?"
Gilang tekekeh lucu di depannya, sementara Devan sudah memberikan tatapan yang mengerikan. "Siap-siap, sebentar lagi kan mau dijebol sama Devan."
Ha?
"Malam pertama."
Sontak detik itu juga Alana menelan ludahnya kelat. Ia melupakan kalau akan ada ritual seperti itu bagi pasangan pengantin baru.
Ya Tuhan ... ia harus apa?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
