SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU 1-10

0
0
Deskripsi

Jangan menilai seseorang hanya dari satu sisi. Karena kamu tidak pernah tau sisi yang lainya.

PART 1

 

Gelak tawa memenuhi ruangan. Riuhnya menambah ramai suasana. Tetapi tidak dengan ku dan ayah. Ayah hanya mengelus lembut pucuk kepalaku.

 

Baru saja, ada seorang laki-laki melamarku. Dia adalah anak teman ayah. Tidak seperti kakak-kakak ku yang dilamar dengan membawa pernak pernik mewah, tetapi laki-laki tadi membawa seikat pete, setengah karung cabai serta sayur mayur lainya. Tentu berbanding terbalik dengan kehidupan kota yang aku jalani. Namanya Yitno. Reflek dengan penampilan, nama dan apa yang ia bawa sontak membuat keluarga besarku tak dapat menahan tawanya.

 


Tetapi ayah justru setuju. Entah mengapa aku percaya pada keyakinan ayah bahwa dia adalah laki-laki yang tepat. Keputusan itu juga membuat diriku menjadi bahan olokan kakak-kakak ku. Suami mereka semua orang berada. Suami Kak Dinda adalah seorang anggota DPR. Suami Kak Oliv seorang pengusaha besar. Dan suami Kak Mayang adalah seorang dosen.

 


" Ayah, yakin dengan keputusan ayah akan menikahkan Sela dengan lelaki desa begitu ?"

 

" Kamu yakin akan hidup di desa Sel ? Ih orang desa jorok lho. Mandinya di sungai,"

 

" Nggak takut miakin kamu hidup dengan orang desa Sel ?"

 

Dan beragam olokam lainya terlontar dari mulut-mulut kakak ku.

 

" Jangan melihat seseorang hanya dari satu sisi. Kalian belum tau sisi yang lainya.". Itu wejangan ayah.

 

" Kamu sudah berumur Nduk. Sudah saatnya kami memikirkan masa depanmu. Jangan terus menerus memikirkan ayah. Ayah tidak apa-apa. Ayah merestuimu,".

 

Ku peluk pria sepuh itu. Bagaimana aku tega meninggalkanya, sementara ibu sudah terlebih dahulu meninggalkan ayah dalam keabadian. Ayah tidak pernah menuntut salah satu anaknya akan tinggal bersama. Karena semua anaknya perempuan. Mereka harus menurut apa kata suami.

 


*

 


Selang beberapa hari Yitno datang lagi. Penampilanya selalu begitu. Kemeja masuk dan rapi. Rambutnya klimis. 

 

" Om saya kesini ingin membantu sedikit dana untuk acara pernikahan nanti. Terimakasih telah memberi restu saya menikahi Sela. Saya berjanji akan membahagiakan Sela sekuat yang saya bisa,"

 

" Eh Yitno bahagiain darimana ? Kamu cuma petani ? Apa bisa membahagiakan Sela ?" hina Kak Oliv.

 

" Paling-paling nanti setiap hari disuruh buat sambal pete," tambah Kak Dinda

 


" Tidak bahagia justru mengancam jiwa nanti, Sel," Kak Mayang tidak mau kalah menimpali

 

 

Yitno hanya tersenyum. Tidak terlihat sama sekali gurat emosi di wajahnya.

 


" Kamu itu punya mulut atau tidak ? Senyam-senyum. Jangan-jangan kamu malah gak waras ?" tanya Kak Dinda.

 

" Akan saya bahagiakan Sela dengan cara saya sendiri...

 

🍁🍁🍁


PART 2


" Kamu nggak lihat kalau keluarga kami semua ini keluarga terpandang ? Beraninya kamu menikahi adik kami. Mau ajak adik kami menjadi miskin ?" sindir Kak Mayang lebih tajam.

 

Lagi-lagi Yitno hanya tersenyum.

 

" Perempuan yang baik adalah dia yang mau diajak hidup susah oleh seorang pria. Tetapi pria yang baik adalah dia yang tidak membiarkan wanitanya hidup susah," jawab Yitno dengan bijak.

 

Ketiga kakak ku terdiam karena bersamaan ayah juga datang.

 

" Kalian mau diadakan resepsi di gedung mana ?"

 

Aku menggeleng cepat. 

 

" Tidak usah resepsi ayah. Sela hanya ingin ijab kabul saja di rumah. Di tempat lahir Sela,"

 

" Benar itu ayah. Tidak usah pakai resepsi. Malu dilihat orang. Sela bersuamikan seorang petani dari desa. Lagipula dana nya apa cukup ?" Kak Oliv menimpali.

 

" Ayah bertanya kepada Sela dan Yitno. Bukan bertanya kepada kalian," kata ayah lenuh penekanan.

 

Mendengar nada suara ayah yang tak biasa, ketiga kakak ku masuk ke dalam. Mereka sengaja menginap seminggu disini karena mendengar aku ingin di lamar seseorang.

 


***

 


Setelah Yitno pulang, kami membuka uang dari nya. Kami terbelalak kaget menghitungnya. Jumlahnya lima puluh juta. Tidak kurang tidak lebih. Padahal niat kami hanya ijab kabul biasa.

 

" Jangan-jangan ini uang hasil hutang, Yah. Kasian Sela kalau harus menanggung hutang setelah menikah,"

 

" Kalian tidak boleh suudzon. Jika ada lebihnya akan ayah kembalikan,"

 


*

 

Ijab kabul berlangsung khidmat dan lancar. Hanya ketiga kakak ku tetap tidak suka padanya. Karena Yitno tidak seperti suami-suami mereka.

 

" Yitno, uang yang kamu berikan kepada ayah kemarin terlalu berlebihan. Ambilah ini sisanya,"

 

Yitno menolak dengan halus pemberian ayah. 

 

" Tidak ayah. Ini sudah menjadi hak ayah sekeluarga. Yitno menyerahkanya dengan ikhlas. Insya Allah ini halal bukan uang riba ayah,"

 

Ayah merangkul Yitno dengan hangat. Beliau seperti terharu dengan segala tutur kata dan sopan santun Yitno.

 

***

 

Selesai acara, aku diboyong ke arah tenggara kota. Menuju kediaman suamiku. Dia adalah anak yatim piatu. Jadi aku akan tinggal hanya dengan suamiku. Sejauh perjalanan melewati beberapa desa dan hamparan sawah, aku bertanyan dalam hati kenapa tidak kunjung sampai ? Apakah rumahnya memang sangat pelosok. Ku lihat kanan kiri warga kampung yang riwa-riwi beraktifitas. Juga ada sebuah pemandangam beberapa anak kecil bermain di sungai. Oh Tuhan apakah nasibku sama, apa benar yang dikatakan kakak ku kalau aku harus mandi di sungai kalau hidup di desa ?

 


Mobil berhenti di sebuah rumah.

 

" Kita sudah sampai dik,"

 

Rumah yang menurutku...

 

 


🍁🍁🍁


PART 3


Rumah yang menurutku sederhana namun layak. Aku kira rumah orang desa berdinding anyaman bambu beralaskan tanah. Tetapi rumah Bang Yitno sudah tembok dan keramik. Walau tidak semewah rumah-rumah di kota. Tetapi rumah ini tergolong bagus untuk ukuran desa. Tampak lantainya bersih juga mengkilap. Terlihat Bang Yitno telaten membersihkanya.


" Dek, besok ada syukuran pernikahan kita,"


" Oh iya ? Abang pesan makanan apa untuk acaranya ?"


" Disini tidak ada acara pesan begitu dik. Paling snack nya yang pesan. Makananya buat sendiri,"

 

Aku tercengang. Mana bisa aku masak sendiri dalam jumlah besar. Lagipula ku lihat magicom hanya satu berukuran sedang. Berapa lama waktu yang dihabiskan untuk menanak nasi ?


" Jangan takut dik. Besok ada ibu-ibu yang membantu," Bang Yitno seakan mengerti kegelisahanku.

 

Kak Mayang pernah bilang bahwa ibu - ibu desa itu suka bicara pedas. Aku bergidik takut.


" Dik, ini beras yang dimasak besok,"


Bang Yitno mengajak ku ke sebuah ruangan yang hampir dipenuhi dengan berkarung-karung beras. Kalau dimakan berdua cukup lah untuk lima tahun. 

 

" Kenapa abang beli beras sebanyak ini ?" 


" Dik, ini hasil sawah abang,"


Aku berpikir hasil sebanyak ini, tentu Bang Yitno tidak menjual nya. Lalu apa dikata keluarga hanya perlu makan ? Bukankah juga perlu kebutuhan lain seperti sabun, pasta gigi. Tapi biarlah aku tak enak hati tanya bermacam- macam.


" Dik, kalau kamu mau ambil bumbu, di belakang ya,"

" Iya bang,"


Aku segera pergi ke dapur. Ku lihat wadah bumbu yang ditata rapi. Tapi semuanya sudah habis tak bersisa. Lupa atau bagaimana Bang Yitno ini.


" Bang.. Abang," teriak ku.


Bang Yitno bergegas menghampiriku.


" Ada apa dik ?"


" Mana bumbunya ? Tidak ada satupun bumbu yang ada,"


Dia justru tertawa kecil.

 

" Di belakang dik. Di kebun belakang,"


Aku digandengnya ke belakang rumah. Ku lihat hamparan tanaman cabai, tomat, aneka umbi-umbian dan sayur. Segar dipandang mata. Artinya tidak perlu bekerja, setidaknya kami bisa makan. Tetapi apakah memang begitu kenyataanya ?

 

***


Keesokan harinya berbondong-bondong ibu-ibu datang ke rumah seraya memperkenalkan diri.


" Yitno ternyata pintar ya mencari istri. Cantik,"


" Anak muda zaman sekarang. Mana ada yang kayak kita dulu. Bedakan pakai tepung beras juga dibilang cantik," 


Semua yang ada terkekeh. Disini semua murah senyum. Tidak ada yang membicarakan orang lain. Yang ada hanya melontar canda.


" Neng, berasnya mana. Sini biar yang mbok masak,"


" Mbok tapi maaf magicomnya hanya satu,"


Si mbok tersenyum memperlihatkan giginya yang sudah hilang termakan usia.


" Ya masak di kayu atuh neng. Kalau masak di magicom ya tidak kunjung selesai."


Aku merasa malu dibuatnya. Seumur umur belum pernah aku melihat orang memasak di atas tungku api yang menyala.


Aku memdekati mereka. Ikut membantu apa yang kurang.


" Neng di dalam aja atuh. Tuan rumah apalagi pengantin baru kok turut di dapur,"


Aku tersenyum kikuk. Tak enak hati. Tetapi ibu-ibu itu tetap memaksa ku untuk ke dalam.

 

 


" Asalamualaikum,". Terdengar suara salam dari luar. Seorang pria muda berdiri di depan pintu.


" Mbak, ini ada undangan buat suaminya,"


" Terimakasih ya," ucapku sembari menerimanya.


Aku mengernyitkan dahi membaca nama yang tertera di undangan itu. H. Yitno. Bukankah nama Bang Yitno itu hanya Suyitno. Lalu apa singkatan huruf H di depan ini ? Harianto, Haryadi atau Hartono. Atau justru jangan-jangan Haji Yitno ? Apa Bang Yitno Haji ?


🍁🍁🍁


PART 4


" Ada apa neng kok sepertinya bingung ?" tanya si mbok yang kebetulan melihatku saat mengambil beras.


" Ini mbok. Nama Bang Yitno itu depanya apa ya. Di undangan kok ada tulisan H. Yitno,"


" Namanya ya tetap Suyitno atuh. Itu Haji Yitno. Memang kadang Yitno tidak mau dipanggil Pak Haji,"


Aku geleng-geleng kepala. Benar heran kenapa juga tidak bilang aku. Apa untung nya disembunyikan. Apalagi dengan keluarga besar ku. Suami kakak-kakak ku belum ada yang bergelar haji. Kenapa Bang Yitno diam saja saat dihina.

 

Aku memendamnya hingga acara syukuran kami selesai. Bukain main makanan yang disuguhkan. Banyak macamnya, perniknya melebihi orang kota. Walaupun hanya syukuran. Snack yang berisi bermacam-macam kue. Serta nasi kotak menjadi buah tangan untuk mereka yang hadir.

 

" Aku senang kalau ada hajatan di rumah Kang Yitno. Makananya banyak," celetuk salah satu pemuda yang kebetulan aku mendengarnya. Berarti memang Bang Yitno selalu royal jika ada hajatan begini. Ia hanya menjadi petani tetapi sepertinya ia banyak harta.

 


*

 


Selesai acara aku memberondong Bang Yitno dengan segudang pertanyaan.


" Bang, Abang sudah Haji ya kok tidak beri tau aku ?" tanyaku dengan memasang muka cemberut.


" Lha kamu nggak nanya dik. Lagipula abang tidak suka di koar-koarkan. Tidak perlu manusia tau yang penting Allah yang tau,"


" Sudah lama bang Haji nya ?"


" Sepuluh tahun yang lalu. Kenapa kamu juga ingin dik ?"

 

Alih-alih menjawab pertanyaanya. Aku serasa semakin kesal di buatnya. Ia laki-laki yang menyisakan banyak teka-teki. Tetapi di balik itu semua ada sikap rendah hati yang dia sembunyikan.


" Abang itu ada pekerjaan lain ya ? Hingga bisa naik haji ?"


" Pekerjaan lain apa maksudnya dik ? Pekerja kantoran gitu ? Abang petani dik. Setiap hari di rumah,"

 

" Atau jangan-jangan orang tua Abang meninggalkan warisan yang banyak ?"


" Iya. Tanah yang kubangun rumah ini dek. Bapak ku tidak punya sawah semeterpun. Kalau warisan orang tua ku banyak, tentu saudara-saudara abang tidak kocar-kacir merantau di luar kota.


" Abang punya saudara ?"


" Ada dua orang merantau di pulau seberang. Kakak ku yang pertama jualan sabun. Yang kedua kerja di stasiun,"


Aku menunduk. Memang Bang Yitno bukan berasal dari orang berada. Kata-kata kakak ku semakin terngiang ngiang di telinga. Apakah memang aku akan hidup miskin ? Lalu kenapa ayah membiarkan putri bungsunya yang beliau cukupi dari kecil hingga tidak kekurangan sedikitpun dibiarkan menikah dengan pria aneh ini ?

 

*


Keesokan paginya. Bang Yitno hanya duduk-duduk di teras sembari menyeruput kopi. Katanya petani, kenapa tidak ke sawah. Terlihat santai sekali hidupnya.


" Bang," panggilku dengan cemberut.


" Kenapa sih dek ? Kok cemberut terus,"


" Udah hampir siang bang. Abang tidak bekerja ?"


" Kan sudah abang bilang. Abang bukan pekerja kantoran. Abang hanya petani."


" Iya-iya tau. Apa Abang tidak ke sawah ?"


" Nanti dulu dek. Kalau sempat,"


" Abang," ucapku semakin geram.


" Apa lagi dek ?"


" Jangan malas bang. Kalau abang malas, kita mau makan apa ?" 

 

" Beras masih banyak dek. Sayur mayur beserta bumbu di belakang rumah melimpah ruah. Tidak usah khawatir,"


Dikira beli sabun juga pakai sayur mungkin...


🍁🍁🍁


PART 5

' Ini orang memang kelewat santai. Dikira hidup cuma perlu makan apa,' batinku kesal.


" Oh iya. Dibawah bantal ada amplop, itu uang buat adik," ucap Bang Yitno tiba-tiba.

 

" Kalau kurang bilang ya dik." lanjutnya.


Aku mendongak. Apa Bang Yitno bisa membaca pikiranku ? Ah segera ku tepis rasa itu. Yang penting sekarang melihat bawah bantal terlebih dahulu. Tetapi dari kalimat terakhir nya seperti uanh yang diberi memang pas-pasan. Ya aku harus maklum aku bersuamikan petani.


Dibawah bantal ada sebuah amplop tebal yang membuat aku penasaran dengan isinya. Atau jangan-jangan ini isinya surat ? Betapa terkejutnya aku isinya benar-benar uang nyata. Lima juta rupiah. Ini lebih dari cukup untuk kebutuhan sebulan. Ah ternyata Bang Yitno tidak seperti yang aku bayangkan. 


Hari berganti hari suasana desa di kaki gunung membuat ku betah hidup disini. Jauh dari polusi serta bising kendaraan. Tetapi suami ku semakin menunjukan keanehanya. Ia berkata bahwa ia seorang petani. Tetapi sama sekali ia tidak pergi ke sawah. Jadi pekerjaanya apa ? Atau dia punya pesugihan ? Ih ngeri.

 

" Bang, adik boleh nanya sesuatu ?"


" Enggak boleh," jawabnya singkat.


" Ih abang kok gitu ?"


"  Kalau bertanya itu langsung aja dik. Aku suamimu. Kewajibanku menyenangkan istri. Termasuk menjawab pertanyaanmu. Silahkan wartawan, nara sumber sudah siap," candanya.


Aku nyengir kuda. Malu juga kesal dibuatnya.


" Abang itu pesugihan ya ?"


" Astagfirullohaladzim dek. Pertanyaan sekali saja kok sudah begitu. Musrik dek. Dosa yang tidak diampuni sama Gusti Allah. Andaikata abang tidak punya uang sepeserpun, abang tidak akan pernah mau menyekutukan Gusti Allah,"


" Habisnya kata abang, abang itu petani. Kok tidak pernah ke sawah ?"


" Emang petani harus setiap hari ke sawah. Kalau ada yang penting aja baru ke sawah. Lagipula sawah juga tidak bakal hilang kan dek,"


Rasanya malas jika harus beradu argumen dengan Bang Yitno. Yang penting jelas uang yang ku terima itu halal. Kapan-kapan saja aku akan ikut ke sawah.

 


Tiba-tiba hp ku berdering. Menandakan ada pesan yang masuk. Aku seketika menciut melihat pesan itu. Pesan dari Kak Dinda.


" Kenapa dik ? Lihat hp kok seperti lihat hantu ?"


" Mbak Dinda, bang,"


" Kenapa ? Mbak Dinda jadi hantu ?"


" Ih abang apa-apa an sih ? Mbak Dinda ngajak  akhir pekan berkumpul di rumah ayah,"


" Keluargamu itu luar biasa, dik. Jarang sekali jaman sekarang yang gemar bersilaturahmi,"


" Disana hanya akan terjadi ajang pamer bang. Aku capek dengan cara pandang mereka menilai keluarga kita. Apalagi mereka tidak suka abang,"


" Biarin lah dek. Yang penting abang suka sama adek,"


" Abang, aku serius,"


" Aku dua rius dek. Kakak-kakakmu itu sayang sama kamu. Mereka hanya takut kamu hidup kekurangan jika menikah denganku,"


Aku hanya diam tidak mampu menjawab. Karena memang pernikahan ini baru seumur jagung. Aku tidak tau kedepanya.


" Kenapa diam dik ? Kurangkah pemberian abang yang lalu ?"


" Bagaimana bisa kurang bang. Yang ada malah awet. Sayur mayur bumbu tinggal petik,"

" Itulah gunanya punya suami petani dik,"

 

'Petani apaan ? Ke sawah aja tidak pernah ?' batinku.

 

*


Keesokan harinya aku melihat para bapak-bapak memakai topi capil hendak berangkat ke sawah. Mereka juga tampak ditemani istri-iatri mereka. Membuat hasratku menggebu ingin juga melihat sawah Bang Yitno

 

" Bang antar aku sekarang juga," kataku tegas kepada Bang Yitno.


" Kemana dik ? Ke puskesmas ? Adik sakit ?"


" Ke sawah,"

 

" Yakin adek mau ke sawah ? Nanti ngeluh panas,"


" Sudah pakai sunblock,"


Bang Yitno tertawa kecil. 


" Anak kota. Takut hitam. Hidup di kaki gunung itu memang hitam dek. Tapi eksotis,"


Aku cubit pinggang Bang Yitno. Padahal aku ingin melihat pekerjaan asli suamiku.


" Aku itu ingin melihat pekerjaan asli abang."


" Yakin dek ? Nanti jangan kabur ya kalau tau pekerjaan abang," godanya.


Dia menganggap ini bercanda. Tetapi pikiranku terlalu menjerumus kemana-mana.


" Adik mau sawah yang kiri atau kanan ?". Aku menoleh ke arahnya. Apakah sawah Bang Yitno luas hingga memberikan pilihan ?


" Ke depan aja ada nggak bang ?"


" Ada. Tapi kecil mungkin. Tidak ada dua meter,"


" Kok kecil sekali bang ?"


" Rumah masa depan abang. Pemakaman,"


Aku semakin cemberut dibuatnya. Aku hanya menunjukan tanganku ke kanan. Dan Bang Yitno menggandengku. Kami melewati pematang kecil yang kanan kiri banyak ditumbuhi sayur mayur. Juga parit parit kecil.


" Bang tau nggak dulu aku mengira aku akan mandi di sungai,"


" Karena tinggal di desa begitu ?"


Aku mengangguk.


" Zaman udah maju dik. Mana ada orang mandi di sungai. Kamu juga bukan bidadari yang turun dari kayangan terus mandi di sungai. Kamu bidadari yang turun di hati abang. Asyik. Itu lahan abang sudah kelihatan. Yang ada pohon petenya itu,"


Aku mengarahkan pandang mengikuti telunjuk Bang Yitno tanpa mengindahkan candaanya. Sayur mayur yang bersebelahan dengan kebun pete. Tetapi ada banyak orang di lahan itu. Ada yang memanjat. Ada yang memasukan karung.


" Bang itu maling ya ? Pete abang dicuri,". Aku panik luar biasa. Reflek aku melempari mereka batu bertubi-tubi.


" Dek, jangan ! Mereka itu...


🍁🍁🍁


PART 6


" Jangan dik. Mereka itu orang- orang ku,"

 

Aku tercengang menatap Bang Yitno. Menyisakan penuh tanda tanya.

 

" Iya. Itu semua orang yang kusuruh untuk memanen pete abang."

 

" Abang itu kan petani. Malas sekali memanen sendiri. Sayang uang nya kan. Lagipula pete laku berapa sih," gerutuku. Jiwa emak-emak dan perhitunganku meronta-ronta.

 

" Tidak apa-apa dik. Hitung-hitung sedekah. Ada anak istri mereka yang menunggu di rumah."

 

Aku semakin tidak habis pikir dengan jalan pikiran Bang Yitno. Mempekerjakan orang, tetapi justru dia bermalas-malasan enggan ke sawah. Dengan muka yang masih cemberut, aku mengikuti nya di belakang.

 

" Gan, truk nya sudah siap ?"

 

" Paling dua jam lagi datang. Kalau ada sisa waktu istirahat dulu," kata Bang Yitno lembut.

 

Panggilan apa lagi ini. Kemarin ' H ', hari ini ' Gan '. Besok apa lagi ?

 

" Bang, Gan itu apa ? Ganteng ? Memangnya suami saya ganteng begitu ?" tanyaku pada pekerja itu.

 

" Agan neng. Juragan. Tidak sopan kalau saya langsung memanggil nama."

 


Juragan ? Katanya petani sekarang pindah haluan menjadi juragan ? 

 


Bang Yitno pergi mengobrol dengan para pekerjanya. Aku yang kesal hanya jalan-jalan di kebun pete itu.  Tapi tunggu sebentar, kebun pete ini seperti tidak ada ujungnya.

 

" Bang, ini semua kebun pete abang ?"

 

" Iya dik. Kenapa mau jalan-jalan ?"

 

" Memangnya berapa luasnya bang ?"

 

" Kecil dek. Hanya dua hektar,"

 


Dua hektar dibilang kecil ? Lalu yang luas itu berapa ? Aku geleng-geleng kepala dengan manusia antik ini. Entah bagaimana pemikiranya. Pantaslah dia memperkerjakan orang. Mau panen sendiri juga berat. Tapi berapa sih lakunya pete itu. Bukan kan pete itu bau ?

 


" Ini mau dijual semua bang ?" tanyaku lagi.

 

" Enggak dek."

 

" Kok dipanen semua ?". Aku semakin kepo.

 

" Iya abang sisain sepuluh gerombol, buat makan dirumah sama dibagi pada warga kampung,"

 

" Pete ?" Aku melongo menutup mulutku dengan tangan. Membayangkan aku disurih masak pete. Nyium baunya aja bisa muntah.

 

" Kamu belum pernah nyobain sambal pete buatan abang ya ? Dijamin kamu langsung ketagihan dik." ujarnya lrnih keyakinan.

 

Sama sekali aku tidak tertarik. Karena dalam pikiranku pete itu tetaplah bau mau dimasak seperti apapun.

 


*

 


Tidak terasa hari sudah semakin sore, aku bergegas pulang karena juga truk pengangkut juga sudah berangkat. Tetapi di teras rumah ada seorang ibu paruh baya yang terlihat sedih sekali. Siapa dia ?

 

 

" Bu Sumi, maaf saya baru pulang. Mari masuk dulu,".


Aku yang tidak kenal hanya mengangguk dan tersenyum. Bu Sumi pun melakukan hal yang sama.

 

Tiba-tiba Bu Sumi mengeluarkan air matanya sesenggukan.

 

" Mas Yitno, sebenarnya saya malu kesini. Mas Yitno juga baru saja melangsungkan pernikahan. Tetapi saya tidak tau mau kemana. Saya mau meminjam uang, mas. Mau meminjam ke renternir, takut bunganya besar, lalu saya tidak bisa membayarnya. Anak saya sedang sakit, mas," ucapnya lemah.

 

Hmmm banyak di kota-kota dijumpai modus kejahatan seperti ini. Semoga saja Bang Yitno tidak lagsung percaya.

 

Tetapi dia justru merogoh sakunya mengeluarkan beberapa lembar uang untuk Bu Sumi. Itukan hasil penjualan pete? Kalau dipinjamkan ke Bu Sumi kita makan apa ?

 

" Ya Allah mas terimakasih banyak sudah membantu saya. Semoga rezeki Mas Yitno lancar. Keluarga Mas Yitno dilindungi selalu oleh Tuhan. Nanti saya akan mencicilnya mas," 

 


" Tidak usah dipikir bu. Saya tidak menganggap ini hutang. Yang penting anak nya sembuh dulu,"

 


Aku semakin kaget dibuatnya. Dikira dihutangkan justru diberikanya. Lalu apakah dampak nya ke aku ?

 

 


" Mas, itukan hasil penjualan pete. Kenapa dikasih cuma-cuma kepada Bu Sumi ?". Aku menggerutu sesaat Bu Sumi telah pulang.

 

" Di sebagian harta kita ada hak orang lain dik. Dan kekayaan itu adalah apa yang kita amalkan apa yang kita sedekahkan. Itu baru namanya kekayaan,"

 

" Lalu nafkahku bagaimana bang ?"

 

" Memangnya nafkah yang abang beri tempo hari sudah habis?"

 


Aku menggeleng. Iya sih aku belum pernah kekurangan hidup dengan Bang Yitno.

 

" Abang juga kenapa langsung percaya saja sih. Bisa saja Bu Sumi hanya menipu,"

 

" Dik, Bu Sumi bukan orang lain bagi abang. Dia yang merawat almarhum emak saat Abang di Jakarta,"

 

" Memangnya abang pernah hidup di Jakarta ?"

 

Bang Yitno salah tingkah.

 

" Pe-pernah dik. Belajar bertani," jawabnya gugup.

 

Belajar bertani di Jakarta ? Apa tidak salah ?


🍁🍁🍁


PART 7

 


Aku harus bertanya pada siapa tentang pria aneh yang kini bergelar suamiku ini ? Bahkan aku juga tidak tau keluarga dan saudara-saudaranya.


Malam ini, aku mengendap keluar kamar. Di ruang tengah ada sebuah lemari. Mungkin disana aku bisa menemukan riwayat hidup suamiku. Karena lemari di kamar hanya berisi baju. Lama aku mencari, hampir isi dari setengah lemari telah aku keluarkan. Tetapi aku belum menemukan apa yang aku cari. Setelah rasa menyerah menghampiri dan pasrah tentang kehidupan kedepanya, tanganku menyentuh sesuatu dipinggir lemari yang sepertinya sengaja disembunyikan. WISUDA SARJANA.


Penasaran aku membukanya. Ijazah siapa di lemarinya ini. Atau jangan-jangan ijazah mantan istrinya ? Apa Mas Yitno itu duda ?


Daripada penasaran, aku buka saja dalamnya. Betapa aku tercengang. Nama yang tertera di ijazah itu Suyitno. Sarjana Pertanian.


Ulah apalagi yang disembunyikan. Dia haji juga sarjana, juragan. Belum selesai aku cemberut serasa dibohongi tiba tiba dari balik lemari, dia mengagetkanku.


" Cari apa dik ?" tanya Bang Yitno mengagetkanku. Aku kelabakan dibuatnya. Tapi aku harus terlihat tenang.


" Cari kebenaran bang,"


"Cari kebenaran kok di lemari. Memang begitu ya cara orang kota ?"


Aku mendengkus kesal.


" Kenapa harus ditutupin sih bang ?"


" Malu atuh kalau nggak ditutupin dik," jawabnya cengengesan.


" Baaangggg," gertak ku.


" Kenapa lagi sih dik ?"


" Abang itu haji juga sarjana. Kenapa tidak bilang,"


" Adik juga tidak tanya kok. Abang tidak suka dilebih lebihkan dik. Kadang orang tulus itu kita dapat saat dia mengetahui kita rendah tetapi dia masih mau membersamai. Kalau abang bilang ke semua orang, ke teman-teman kalau abang sudah haji, sarjana pula. Mereka mendekati abang bisa karena hanya modus. Adik paham ?"

 

Aku mengangguk. Disaat yang lain berlomba-lomba memamerkan keberhasilan dan pencapaianya. Justru suamiku punya cara pandang tersendiri. Ada kehangatan menjalar dalam jiwa. Ayah, lelaki yang engkau hadirkan penuh misteri tetapi dia baik hati.

 

*


" Dik, abang ke sawah dulu ya. Adik berani ?"


" Gini-gini aku atlit pencak silat bang. Beranilah. Tumben sekali abang ke sawah ?"


" Iya. Sayur disamping pohon pete kemarin siap dipanen."


" Sayur ? Berarti lahan sebelah kebun pete kemarin juga punya abang ?"


Dia mengangguk.

 

Aku tak habis pikir, bahwa ayahku yang seorang pensiunan TNI berpangkat tinggi pun tidak memiliki lahan seluas milik Bang Yitno.

" Bang, abang kok bisa lahanya banyak begitu ?"


" Mau tau ceritanya dik ? Pahit dek."


" Kok pahit ? Bukanya enak ya punya lahan banyak itu,"


" Iya. Perjuanganya pahit tetapi hasilnya manis. Sedari kecil, abang itu menggembala sapi. Kalau sudah besar abang jual, untungnya buat beli tanah. Kan tanah tidak mengalami penyusutan. Nilainya justru bertambah setiap tahun. Tanah di tanami, lalu menghasilkan. Untung juga kan ? Dan itu terjadi hingga abang dewasa,"

 

Aku semakin kagum saja dengan Bang Yitno. Dewasa nya ia berpikir, sudah tertanam sedari kecil.


" Ya sudah sarapan dulu yuk bang,"


Bang Yitno menurut. Kami duduk di depan televisi. Dia tidak punya meja makan. Terlalu formal katanya. Lebih santai di depan tv.

 


" Kok roti dek ?"


" Iya. Kemarin bang sayur bawa ini, aku beli. Sekali-kali nyoba sarapanya orang kota bang,"

" Abang bisa pingsan di sawah dek kalau hanya sarapan roti. Lagipula orang kota yang sarapan roti tidak melakukan pekerjaan berat jadi mereka kuat,"


"Lah memang abang juga melakukan pekerjaan berat ? Abang kan cuma lihat. Ada yang memanen sendiri."


" Abang tetap bantu dek. Rasanya kasihan gitu lihat orang lain kerja keras sementara abang cuma lihat."


Kadang aku geleng kepala dengan pikiranya yang luar biasa unik itu. Tetapi tetap bersisi positif.

Setelah ku buatkan nasi goreng, Bang Yitno lalu berangkat ke sawah. Aku menyapu teras depan yang kotor terbawa angin.


Tiba-tiba sebuah motor berhenti di depan rumah. Seorang perempuan paruh baya dan perempuan yang ku taksir seumuran denganku turun dari motornya.

 

"  Ini istrinya Yitno ?" tanyanya sinis.


Aku mengangguk dan tersenyum.


" Suami kamu itu penipu dan pembohong...

 

🍁🍁🍁


PART 8


" Suami kamu itu penipu dan pembohong,"
 Ibu itu menyerangku tiba-tiba. Aku yang tidak tahu masalahnya, bingung harus menjawab apa.

 

" Bu, silahkan masuk ke dalam dulu. Kita bicara baik-baik. Jujur saya tidak mengerti maksud ibu. Sekalian menunggu Bang Yitno pulang.

 

Akhirnya anak dan ibu tersebut mau masuk.


" Begini ya mbak. Saya kesini bukan ingin ketemu Yitno. Tetapi saya mau melampiaskan kekesalan saya. Dia berjanji akan menikahi putri saya. Dan sabar menunggu hingga kuliah nya di Semarang selesai. Tetapi nyatanya ia malah menikah dengan kamu. Kamu sadar tidak menikah dengan calon suami orang ?"

 

Degg... Bagai di hantam petir di atas kepala. Aku yang baru saja bahagia menikah dengan Bang Yitno, harus memakan kenyataan sedemikian pahitnya. Apa aku ini juga pantas disebut pelakor ? Padahal aku hanyalah korban.

 

*


" Dik, kenapa kopernya dikeluarkan ?"


Bang Yitno kaget melihatku yang telah duduk di ruang tamu serta membawa koper.


" Dulu abang memintaku kelada ayah dengan cara baik-baik.Sekarang pulangkan aku juga dengan cara baik-baik bang," ucapku sesenggukan.


" Dik, kamu kenapa ? Kalaau abang ada salah abang minta maaf.Tapi tolong jangan begini."


" Tepati janji abang. Janji adalah hutang. Yang sampai akhirat pun juga akan ditagih. Nikahi Tina. Dan kembalikan aku pada ayahku,"

 

Bang Yitno justru tertawa kecil.


" Dua orang gila tadi habis kesini ya dik ?"


Aku menoleh tajam. Ia menyebutnya orang gila. Apakah tadi yang ku persilahkan masuk juga orang gila ?"

" Maksud abang ?"


" Dulu memamg abang berniat menikahi Tina. Abang bersedia menunggu dia hingga tamat kuliah. Tetapi justru dia berpacaran dengan orang lain dik. Karena menganggap abang itu jadul, abang ndeso, abang kuno
 Bahkan orang tua. nya juga terang-terangan menolak abang. Yasudah abang mundur. Lalu dia hamil, sedangkan laki-lakinya tidak bertanggung jawab. Orang tuanya justru meminta abang menikahinya. Abang nggak mau lah. Menanggung perbuatan orang lain,"


" Itu alasan abang juga buru-buru menikah ?"


" Iya itu salah satu alasanya."


" Berarti aku hanya pelarian ?" tanyaku semakin cemberut.

" Jauh sebelum abang hendak menikahi Tina, abang sudah menyukai kamu dik,"


" Kok bisa ? Kita kan belum pernah bertemu,"


" Kita dulu itu satu kampus. Aku senior mu. Tetapi aku hanya bisa mengagumi mu dari jauh,"


" Senior ? Rasa-rasanya aku tidak pernah bertemu abang,"


" Pernah dik. Tetapi tidak terekam di ingatan kamu. Orang ndeso kayak aku apa bisa terselip di pikiran putri TNI sepertimu dik,"

 

" Abang serius dengan ucapan abang barusan ?"


" Tanyakan seluruh orang kampung. Mereka sudah tau masalah ini,"

 

Jangan kira aku tidak akan cari tahu bang. Aku berani cari tau kebenaranya. Sebelum aku terjerumus lebih dalam.

 

 


Saat Bang Yitno mengurusi hasil panenya, diam-diam aku ke rumah Bu Sumi. Bertanya pada warga dimana rumahnya.


" Mbak Sela, maaf mbak saya belum ada uang," kata Bu Sumi.


" Bu Sumi saya kesini tidak menagih uang. Itu kan sudah di iklaskan suami saya. Saya hanya ingin menjenguk anak Bu Sumi,"


Kasihan ternyata hidupnya. Memprihatinkan. Anaknya yang demam tergolek lemas di tikar lusuh.

" Sudah dibawa ke dokter bu ?" tanyaku


" Sudah mbak. Kata dokter ini gejala demam berdarah. Tetapi tidak perlu dirawat di rumah sakit."


" Oh iya maaf, suami ibu kemana ?"


" Suami saya meninggal saat saya sedang hamil mbak. Kalau bukan karena kebaikan keluarga Mas Yitno, mungkin saya tidak bisa bertahan hidup hingga sekarang,"


Aku menautkan alis. Kebaikan yang mana. Perasaan Bang Yitno hanya sekali memberi uang.


" Mbak Sela pasti bingung. Jadi saya itu bekerja di sawahnya Mas Yitno yang ditanami padi. Ya mencabut rumput, kadang juga memupuk. Apapun pekerjaanya saya lakukan mbak. Dulu saat kedua orang tua Mas Yitno masih hidup, beliau juga sering membantu saya walau keadaan mereka juga pas-pasan kala itu,"


" Bukanya, lahan Bang Yitno ditanami sayur bu ?"


" Itu yang selatan mbak. Yang utara jauh lebih luas. Mas Yitno kan juragan atuh,"


Bang Yitno bukan main. Kepakan sayapnya cukup tinggi terlepas dari mana ia berasal dan penampilanya.

 

" Gusti Allah Maha Baik ya mbak. Kebaikan orang tua Mas Yitno di ganti dengan kesuksesan anak-anak mereka berkali - kali lipat,"


Bukanya yang sukses hanya Bang Yitno. Kedua kakanya hanya berjualan sabun dan kerja di stasiun ? Sukses darimana?

 

🍁🍁🍁


PART 9

 

Aku enggan bertanya lebih jauh kepada Bu Sumi. Karena ada hal yang jauh lebih penting yang ingin aku tanyakan.


" Bu, kenal Tina yang dulu mau dinikahi Bang Yitno ?"


" Wanita tidak benar itu mbak. Naudzubillah. Untung Mas Yitno tidak jadi menikah dengan dia. Sudah mau dinikahi juragan, haji bergelar sarjana pula masih neko-neko sampai hamil. Sekarang ngejar-ngejar Mas Yitno lagi. Urat malunya sudah putus kali,"

 

Aku bernafas lega. Apa yang diucapkan Bang Yitno sama dengan penuturan Bu Sumi.


" Sebenarnya saya kesini juga ingin menanyakan itu bu. Saya takut Bang Yitno berbohong,"


Bu Sumi tertawa kecil.


" Mbak Sela tidak perlu takut. Mas Yitno itu orang nya jujur. InsyaAllah mbak Sela berjodoh dengan laki-laki yang tepat."

 

Aku girang bukan main dengan ucapan Bu Sumi. Sepanjang perjalanan aku hanya senyum senyum sendiri mengingatnya,tanpa sadar Bang Yitno sudah menunggu kedatanganku di teras.


" Adik tidak apa-apa ? Pulang-pulang kok senyum-senyum sendiri ?"


" Aku sedang bahagia sekali bang,"


" Dapat durian runtuh dik ?"


" Sakit atuh bang. Kena durian runtuh. Aku bahagia sebab apa yang abang katakan kemarin itu benar," ucapku dengan wajah berseri-seri.


" Adik tadi tanya orang-orang sekampung ?"


" Rahasiaaaaaa," jawabku sambil ngeloyor pergi.

 

Saat aku memasuki rumah, tidak sengaja ekor mataku melihat kalender. Aku teringat akan permintaan Kak Dinda untuk berkumpul di rumah ayah.


" Bang.. Abang,"


Bang Yitno masuk rumah dengan terburu-buru.


" Ada apa dik ? Tadi baru saja senang, sekarang paniknya seperti melihat setan."


" Besok akhir pekan bang. Artinya besok kita ke rumah ayah ?"


" Iya terus kenapa kalau besok ke rumah ayah dik ?"


" Aku rindu sama ayah. Tapi aku tidak rela mereka menghina abang. Besok abang ganti penampilan ya. Jangan kayak gini,"


" Dik dik abang lebih percaya diri dengan penampilan begini. Abang tidak butuh penilaian orang dari luar."


" Tapi bang. Mereka menertawakan abang,"


" Biarlah dik. Yang penting abang tidak berbalas menghina. Kamu tau Allah itu mengabulkan do'a orang yang terdzolimi,"


" Kalau abang itu memang sengaja biar di dzolimi kok,"


" Bukan begitu dik. Yang penting abang tidak merugikan siapapun dengan tampilan seperti ini,"


Ya, Bang Yitno memang seseorang yang berkomitmen tinggi. Alias susah dibilangi. Hingga kadang aku memilih diam daripada sekedar beradu argumen denganya. Penjelasanya memang masuk akal. Tetapi kurang biaa diterima si zaman sekarang.


" Aku petik sayur di belakang ya bang. Buat oleh - oleh ayah besok,"


" Tidak usah dik. Ayah kan hidup sendiri. Kebutuhan makanya juga tidak banyak. Malah merepotkan ayah kalau harus masak. Apalagi kalau sampai buauk. Mubadzir. Abang sudah ada hadiah buat ayah ?"


" Apa itu bang ?"


" Hadiah buat ayah bukan buat adik. Jadi yang berhak tau ya ayah,"


Aku cemberut, menggerutu tidak jelas. Semoga saja Bang Yitno tidak berbuat aneh-aneh. Agar kakak-kakak ku tidak semakin mengolok-ngolok dia.

 


*


Motor si pitung keluar tahun delapan puluhan telah  dipanasi Bang Yitno.


" Bang beli mobil yuk. Kita iuran. Aku juga punya tabungan kok,"


" Dik, abang tidak berhak atas uangmu. Uang istri ya tetap uang istri. Lagipula kita belum butuh mobil dek. Kita masih berdua masih cukup kan naik montor. O iya dik tolong belikan rokok ya di warung. Siapa tau nanti ada yang ngerokok,"


Tanpa menjawab apa-apa aku bergegas ke warung. Selalu begitu, Bang Yitno terlalu sederhana menurutku.


" Mau kemana neng ? Rapi amat ?" tanya Bu Hesti pemilik warung.


" Mau ke rumah ayah bu di kota sana,"


" Kok cemberut ? Harusnya senang dong ketemu ayah ?"


" Gimana nggak cemberut bu. Kita kesana naik motor jadul nya Bang Yitno. Berapa jam sampainya coba,"


Bu Hesti tertawa kecil.


" Si Yitno itu memang terlewat sederhana mbak. Padahal dia bisa lho beli mobil. Truk nya saja ada lima,"


Aku melongo dibuatnya. Bisa lah dijual satu ditukar Honda Jazz. Orang kaya tapi tidak kelihatan sama sekali.

 

" Ayo berangkat bang. Aku sudah bawa bekal banyak,"


" Bekal apa dek ?"


" Bekal nanti kalau saudara-saudaraku menghina abang. Abang kan seorang haji, juragan, sarjana, lahamya luas. Truk nya ada lima. Bisalah dibuat perlawanan nanti."


Aku menyeringai. Dikira hanya mereka yang punya suami sukses ?


🍁🍁🍁


PART 10


" Jangan, dik," cegah Bang Yitno tegas.


" Jangan kenapa lagi bang ? Aku tidak suka dengan cara pandang mereka yang selalu melihat dari luarnya saja."


" Abang kan sudah bilang, biarlah itu menjadi urusan mereka. Terkadang orang yang tulus itu kita dapatkan saat kita di posisi bawah."


" Bang, walaupun abang di posisi tinggipun mereka tetap mencari kesalahan abang,". Aku mulai kesal dengan segala sifat mengalahnya itu.


" Dengar dik. Mungkin ini ujian pernikahan kita. Bisa saja lambat laun, kakak-kakakmu menyukaiku. Ujian pernikahan bermacam-macam dik. Dari mertua, ekonomi, dari pasangan bisa juga dari ipar. Tidak ada pernikahan yang sempurna itu,. Akan ada saatnya mereka juga akan tau dik"


" Tapi kapan bang ?"


" Diam lah jika kamu masih mampu bersabar. Tetapi jika diam mu tidak dihargai, bicaralah agar mereka diam,"


Aku mulai mengalah kala Bang Yitno sudah ceramah. Entah terbuat dari apa hingga hatinya sesabar itu.


Berjam-jam perjalanan ke rumah ayah hingga keringat turun sejagung-jagung membasahi baju ku. Sesampai disana ternyata kakak-kakak ku sudah sampai. Mobil mereka terpakir rapi berjejer. Bukan, aku tidak iri. Aku hanya benci mereka yang menghina Bang Yitno tanpa tau kebenaranya.

" Asalamualaikum,". Ku ucap salam bersamaan dengan Bang Yitno. Semua mata menoleh ke arah kami seraya menjawab salam. Ayah dengan senyumnya menyambut kami.


" Akhirnya kalian datang juga. Ayok masuk. Kita makan bareng-bareng,"


" Ih Sela kamu kok tambah hitam. Pasti kamu diajak ke sawah ya ? Itu sih akibatnya menikah dengan petani," kata Kak Dinda mencibir

" Dikaki gunung itu hawanya memang dingin kak. Makanya buat kulit agak gelap. Tetapi sekarang yang hitam-hitam itu lebih eksotis,"

 

Mbak Dinda mencibir ke arahku. Lalu ayah mendekatiku saat para suami sedang membakar ikan di belakang.

 

" Sela, bagaimana pernikahan kamu ? Bahagia ?"

" Alhamdulillah bahagia sekali ayah,"


" Jangan bohongi ayah Sela. Lihat kamu kesini saja bawa motor ulung. Mana bahagianya ?". Kak Oliv menyela.


" Memangnya kebahagiaan harus diukur dengan materi ya kak ? Kalau uang yang menjadi tolak ukur bahagia, Sela punya tabungan yang lebih dari cukup kok dari gaji-gaji Sela sebelumnya."


" Memangnya berapa sih nafkah yang diberikan Yitno sebulan ?" tanya Kak Mayang.


" Memangnya harus ya kak aku bicara ini ?"

" Kita kakak-kakak kamu Sel. Kakak takut kalau kamu tidak bahagia,"


" Lima juta,"

 

Semua melongo. Tampak kaget. Tetapi berbeda dengan ayah. Pembawaanya tenang. Sepertinya beliau sudah tau.


" Itu untuk satu tahun Sel ?" 


" Sehari juga boleh. Bang Yitno tidak menargetkan sih. Kalu habis ya disuruh minta," jawabku songong. Sekali-kali sombong untuk menampar keangkuhan mereka ya bolehlah.


" Tapi jangan dsalahgunakan kepercayaan suami, Nak." wejangan ayah.


" Enggak ayah. Sudah dua minggu cuma berkurang tiga ratus ribu. Itupun aku sudah beli kebutuhan banyak,"


" Ah masak ? Memangnya kamu tidak makan Sel ?"


" Makanlah kak. Beras sudah ada, sayur dan bumbu juga sudah ada. Tinggal petik. Jadi tinggal beli kurangnya saja," jawabku bangga.


" Sudah seperti kambing saja kamu Sel. Makan rambanan," kata Kak Mayang disambut gelak tawa dari kakak kakak ku yang lain.

 

" Itulah enaknya hidup dengan petani. Ayah jadi ingin main ke rumah kamu Sel. Menghabiskan masa tua disana mungkin berasa damai,"


" Jangan," larabg kakakku bersamaan.


Aku dan ayah menoleh ke arah ketiganya dengan penuh tanda tanya.


" Di desa itu jorok ayah. Banyak bakteri. Nanti ayah justru sakit,"


" Memangnya disana aku tinggal dibawah jembatan kak ? Memangnya dari dulu aku betah dengan hal kotor ? Bukanya kebalik ? Bukanya dulu aku yang paling rajin diantara kalian ? Coba kalau kalian tidak punya asisten rumah tangga, mungkin rumah kalian sudah seperti sarang tikus," ucapku sedikit pedas. Andai Bang Yitno tidak melarangku menceritakan ini semua, sudah pasti aku pameri mereka.
..


Saat akan makan siang, semua memberi oleh-oleh buat ayah. Mereka berlomba-lomba seakan-akan mereka lah yang memberi hadiah paling mewah. Kebetulan hari ini memang ulang tahun ayah.

 

" Yitno, diam saja ? Tidak sanggup memberi hadiah kepada ayah ?"


" Sanggup kok mbak. Memangnya harus disini ya ?"

 

" Harus dong biar kami semua tahu kalau kamu tidak bohong,"

 

Mas Yitno mengeluarkan sesuatu dari tas lusuh nya. Sebuah kado kotak kecil yang dibungkus koran.


" Yitno, tidak salah kamu ? Segitunya tidak punya uang hingga bungkus kado saja dari koran," hina Mas Damar, suami Mbak Dinda.


Bang Yitno lagi lagi hanya membalas dengan senyum. Sebal juga melihatnya, kenapa dia tidak bilang kalau di bungkus koran. Tau begitu aku saja yang membungkus. Aku mendengkus kesal.

 

" Sudahlah tidak perlu diributkan. Boleh ayah buka sekarang ?" tanya ayah.

 

Kakak-kakak ku semua setuju. Karena mereka measa sudah memberi hadiah yang terbaik untuk ayah.


Ada yang memberi ayah sebuah arloji, pakaian branded, dan juga mesin pijat elektrik.


Tiba giliran kado Bang Yitno yang dibuka. Aku bersiap menutup muka. Pasti Bang Yitno memberi kado yang aneh-aneh...

 

🍁🍁🍁

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU 11-20
6
3
Jangan pernah melihat seseorang dari satu sisi. Karena kamu tidak pernah tau sisi yang lainya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan