ISTRIKU DI MATA PRIA LAIN 1-10

0
0
Deskripsi

Jika aku tidak dihargai di mata suamiku sendiri, jangan salahkan aku jika aku di hargai di mata pria lain

PART 1

 


"Bang, sarapanya sudah ada di meja. Jangan lupa nanti kalau selesai makan, piringnya langsung ditaruh tempat cuci piring. Kalau selesai mandi, handuk jangan ditaruh diatas kasur,"

Sepagi ini istriku sudah memberikan tausiahnya. Ia sedang berlari lari mengejar dua anak ku batita yang susah makan. Sekilas ku lirik wanita yang sudah empat tahun menjadi istriku. Tidak pernah berubah dari kami sebelum mempunyai anak,masih begitu saja modelnya. Wanita yang dipilihkan ibu untukku. 

Tidak ada yang menarik perhatianku saat bangun tidur kecuali ocehanya yang seperti radio rusak itu. Entah ibu melihat dari sisi mananya hingga kukuh menyuruhku untuk menikahi nya. Padahal ia dulu hanya wanita kampung yang kebetulan menjadi ART di rumah tetangga kami.

Ku buka tudung saji diatas meja, hanya ada sayur bening,tempe goreng dan sambal tomat.

 

"Siti, apa kamu tidak bisa masak selain ini? Kata nya kamu pintar masak?"omelku serya menghampirinya.

Dia mendengkus kesl.

"Tanyakan pada ibumu bang. Berapa dia memberi uang belanja ku,".


Aku memang memberikan seluruh gajiku untuk ibu. Karena aku lebih percaya padanya. Siti adalah gadis kampung. Apa bisa dia mengatur uang.

Mendengar kata ibu disebut, aku sudah tidak protes. Ibu pasti lebih tau mana yang terbaik.


*

"Ardan, bukanya gajimu sama denganku?"tanya Aji-teman sekantor ku tiba-tiba.

Aku mengangguk dengan malas. Pertanyaan yang tidak jelas.


"Tapi kok bisa istrimu berpenampilan high class. Bahkan ku rasa gajimu sebulan pun tak cukup membeli satu tas branded nya. Apa istrimu sekarang bekerja? Kemarin sewaktu aku cuti, aku sempat melihatnya di mall. Perfect,"

Aku menahan diri sebisa mungkin untuk tidak tertawa. Namun sulit sekali dan tawaku akhirnya pecah seketika.


"Ji, kalau kamu ingin tau istriku. Lihat di rumah sekarang. Dia sekarang pasti ngejar-ngejar kedua anak ku yang masih batita dengan wajah kusam penuh keringat, rambut berantakan, pakai daster yang bagian ketiaknya bolong. Halu kamu melihat istriku jalan-jalan di mall. Aku saja malu mengajaknya ke pasar."

"Eh sumpah Dan. Yang aku lihat benar-benar istrimu-Siti. Kalau kamu tidak mengakui, boleh deh buat aku," goda Aji.


Aku sejenak terdiam. Aji memang berkali-kali bertemu Siti saat mampir ke rumah. Tentu ia hafal betul wajahnya. Apa benar Siti lah wanita high class yang diceritakan Aji dengan begitu yakin? Sementara kami dirumah saja makan seadanya. 

Ku pencet gawaiku, memencet kontak atas nama Siti.


"Dimana?"tanyaku ketus.


Namun di seberang sana ku dengar suara riuh orang. Seperti di pusat keramaian.

Apa benar Siti sedang diluar seperti kata Aji?

 

🍁🍁🍁

 

PART 2


"Di pasar. Nawar bawang. Biar cukup uangnya. Kenapa? Mau bantu?"jawabnya tak kalah jutek.

Aku mematikan sambungan telefon. Heran dengan manusia satu ini. Tidak ada manisnya. Sudah tak cantik. Jutek lagi.

 

Fix. Untuk sementara ini aku tak mempercayai apa kata Aji. Mungkin dia salah lihat.


*

"Wih enak bener bekalmu bro."kata Soni sembari melirik bekal yang aku bawa. Menunya sama persis seperti sarapan tadi. Entah dia mengejek ku atau bagaimana.


Aku hanya meliriknya dengan malas. Sembari melihat juga apa yang dia bawa. Sebungkus nasi padang.


"Buta kamu? Ya masih enak nasi padang kemana-mana."


Sejenak si Soni terdiam.

"Bahkan aku lupa masakan istriku, dan. Aku bosan setiap hari makanan cateringan."


Istri Soni memang bekerja dengan jabatan yang tinggi. Dia cantik, pandai menjaga penampilan. Tidak seperti wanita kampung yang aku nikahi. 


"Harusnya kamu bersyukur Son. Istrimu mau membantu perekonomian keluarga. Lihat aku, yang banting tulang cuma satu ya seperti ini hidupnya,"

"Baik menurutmu, belum tentu baik menurut orang lain, Dan. Kodrat seorang istri itu ya dirumah. Mengurus rumahtangga. Gaji kita itu cukup untuk hidup. Tapi memang tidak cukup untuk memenuhi gaya hidup. Kamu tau Zahra-istriku bagaimana Dan. Gengsinya tinggi. Dia masuk dalam kelompok sosialita kelas atas. Mana cukup hanya mengadakan gajiku,"keluh Soni.

Ah memang Soni saja yang kurang bersyukur. Zahra adalah wanita cantik,smart, punya dedikasi tinggi. Wajar kalau dia mengejar karir.

*


Sepulang kerja ku lihat motor matic keluaran terbaru terpakir di depan rumah. Pasti ibu sedang ada di dalam.

"Kamu belanja kebutuhn pokok dan bumbu sudah banyak begini, kalau begitu uang belanja harianmu aku potong ya? Kan jadi sedikit itu pengeluaranya,"ucap beliau saat aku mendengarnya.

Aku sengaja tidak masuk terlebih dahulu, ingin melihat bagaimana sikap Siti kepada ibu saat ku tinggal. Dari lubang pintu, ku lihat dia tengah menggendong anak kedua kami dengan muka masam menatap ibu.


"Kenapa tidak ibu sekalian saja yang memasak?"

Ibu berkacak pinggang. 

"Berani kamu melawan mertuamu? Masih untung kamu setiap hari masih ku beri jatah. Ingat ya walupun sudah menikah, surganya Ardan masih pada aku selaku ibunya,"


"Tetapi suami juga tidak akan masuk surga kalau selama hidupnya tidak memuliakan istrinya,"

Ku dengar Siti menyahut lagi. Semoga sifat jutek, judes dan ngeyel nya tidak menular pada kedua anak ku.


Ku dengar derap langkah menuju pintu. Dan klekk...


Pintu terbuka, Siti dihadapanku.


"Ngak usah nguping. Masuk saja kalau mau tau apa yang terjadi"katanya ketus.


"A-aku.. a-aku.," jawabku gugup. Aku salah tingkah.

"Kenapa? Mau bilang kalau baru datang? Aku bukan orang tuli ya. Aku bisa mendengar deru motor bututmu"ujarnya lagi.


Aku mengekornya masuk. Sebal juga dia berani menghina montorku yang tidak butut amat menurut ku. Montor keluaran tahun 2013 tidak  bisa dibilang jadul kan ya.

"Motorku itu tidak jelek ya. Kamu saja yang jelek,"hinaku sembari mengekor dibelakangnya.


"Oh iya? Lalu sebutan apa untuk montor yang berkali- kali mogok? Motormu itu perlu di servis. Tidak hanya dinaiki saja,"ucapnya tak kalah bersungut marah.

Aku diam karena montorku memang berkali-kali mogok. Dan ku perbaiki apa adanya. Agar bisa jalan saja.


Ibu yang mendengar kehadiranku segera datang dari arah dapur untuk menemuiku. Aku menyalami beliau dengan takzim.


"Ibu sudah lama?"tanyaku.

Ku lihat muka ibu yang juga kesal. Ya begitulah Siti, dia selalu menyahut apapun yang sekiranya menyakiti hatinya. Tapi tidak sekalipun ia  protes ketika gajiku diatur oleh ibu. Walau berkali-kali dia mengeluh kurang. Namun tidak pernah aku gubris.


"Istrimu itu boros sekali. Mentang-mentang dapat harga murah, belanja segitu banyaknya."keluh ibu.


Aku sempat melirik apa yang ada di meja. Ada bumbu dapur, minyak juga beras. Niatku untuk menanyakan perihal apa yang dilihat Aji tempo hari tak urung batal juga. Lebih penasaran dengan darimana uang yang di dapat Siti untuk membeli itu semua. Apalagi sekarang harga minyak melambung tinggi.


"Saya beli minyak karena sedang ada promo. Jarang-jarang dapat minyak murah di musim seperti ini. Karena saya juga tidak bisa pakai air untuk menggoreng. Kalau beras, memang sekarang lagi murah karena musim panen,coba satu sampai dua bulan ke depan pasti sudah naik lagi harganya. Lagipula beras juga tidak ada expayetnya. Kami semua setiap hari makan nasi, tidak makan pasir. Tentang bumbu dapur juga setiap hari terpakai karena saya tidak bisa memasak hanya menggunakan r*yco saja. Kalau ibu masih protes kenapa  tidak ibu saja yang menikah  dengan Mas Ardan agar bisa mengatur penuh seluruh uangnya?

 


🍁🍁🍁


PART 3


Ibu berkacak pinggang sembari melotot mendengar perlawanan Siti. Aku pun merasa tak enak hati sebagai suami, rasanya tidak becus mendidik istri.


Namun ku lihat tidak ada sedikitpun guratan penyesalan dari wajah Siti. Apa mereka memang sering beradu argumen seperti ini setiap kali bertemu.


Aku mengedipkan mata kepada ibu untuk menyudahi perdebatan itu. 


Ibu hanya membalas dengan muka masam lalu berlalu pulang tanpa pamit permisi.


"Siti, bisakah kamu sopan terhadap ibuku? Beliau orang yang berjasa dalam hidupku," ucapku setelah mendengar deru kendaran ibu menjauhi rumah.


Namun apa yang terjadi? Justru dia menoleh tajam ke arahku.


"Kamu hanya menemani. Tanpa sekedar memahami"


Satu kalimat itu yang diucapkan lalu ku dengar pintu kamar di banting seketika. Begitulah Siti jika marah, irit kata-kata. Namun sudah seperti singa yang siap menerkam mangsanya.


Aku merasa pusing. Merasa muak sepulang kerja disuguhkan dengan pemandangan seperti itu.


Ku pacu gas motor ku ke rumah ibu, siapa tau aku menemukan ketenangan disana.


"Nyusul ibu juga kamu,"tegur beliau seaaat aku turun dari montor.


Aku hanya menghela nafas pelan.

'Bu, jangan terlalu kasarlah pada Siti,". Aku membuka percakapan.


Ibu tertawa kecil mendengar ucapanku.


"Kamu takut dia meminta cerai? Tenang saja Ardan, dia gadis kampung yatim piatu. Mau kemana dia kalau meminta cerai darimu?"jawab ibu sembari tertawa remeh.


Mungkin ada benar nya juga. Siti hanyalah gadis kampung yang jauh dari keramaian. Hiruk pikuk serta bisingnya kota. Mungkin juga dia takut hidup seorang diri di kota sebesar ini.


"Bu, kalau begitu Ardan minta uang bensin dong. Uang Ardan habis,"keluhku.

 

"Enggak enggak enggak. Adikmu Nia mau bayar uang semester. Kita harus berhemat,"


Aku tertunduk lesu. Jika teringat Nia memang kasihan. Dia ditinggal bapak sedari dalam kandungan. Oleh karena itu sejak dulu aku berjanji dalam hati untuk bisa membahagiakanya.


Aku melangkah pergi. Pun dengan kalimat ibu pasti tidak bisa dilawan.


Rumah sepi. Mungkin anak-anak ku telah tidur.

Benar saja saat aku membuka kamar, mereka terlelap bersama ibunya. Ada rasa kasihan jika kelak tidak bisa menjajikan masa depan yang terjamin. 


Melihat Siti, muncul rasa iba juga. Wajah nya terlihat lelah sekali. Badanya masih saja kurus. Tapi aku tercengang dengan daster lusuh yang dikenakan dengan motif yang beragam, sengaja aku dekatkan penglihatanku agar bisa menatap lekat.

OhTuhan ternyata itu adalah tambalan. Kasihan juga aku melihatnya.


Namun tiba-tiba ia bangun dan mendelik ke arahku.


"Mau ngapain Bang? Mau bantu cari celah yang bolong juga?"


Sontak aku terperanjat kaget dibuatnya.


"E-enggak. Eh Siti aku boleh pinjam uang nggak buat beli bensin?"tanyaku.


"Sejak kapan aku dipercaya menjadi menteri keuangan bang? Bukankah selama ini aku hanya dianggap pembantu?"jawabnya singkat lalu berbalik badan melanjutkan tidur.


Aku akhiri malam ini dengan pasrah. Biarlah besok aku mencoba pinjam ke Aji. Untuk sementara yang penting masih cukup untuk berangkat ke kantor.


Pagi ini Siti masih memakai daster tambalanya kemarin.


"Mana pakaian brandedmu? Kenapa justru pakai daster penuh motif beragam begitu?"tanyaku teringat peekataan Aji kemarin.


"Besok aku pakai kalau suamiku sudah mendapat hidayah,"ucapnya asal, sama sekali tidak melihat ke arahku


Aku gondok dibuatnya. Seolah olah aku ini suami zolim. Aku sambar kunci montor. Namun aku kaget bukan main, isi tangki bensinku penuh. Padahal kemarin jelas-jelas menjelang kekeringan.


Siapa ibu peri yang telah berbaik hati mengisi bensinku? Apa Siti lah yang berubah menjadi ibu peri?

 

🍁🍁🍁


PART 4


Aku berteriak memanggil Siti yang masih berjibaku dengan kedua batitaku.

"Teriak yang kenceng Bang. Biar seluruh komplek dengar. Kalau perlu pakai pengeras suara,"jawabnya dengan muka ketus.

"Kamu mengisi bensin motor aku? Kemarin kering . Kok sekarang penuh?"tanyaku heran.


"Daripada ngisi bensin motor kamu, lebih baik aku isi perut anak ku."


Aku masih berdiri mematung dengan kebingungan.


"Kenapa diam bang? Mau buat sayembara siapa yang mengisi bensinmu akan kamu jadikan istri?"tanyanya dengan tawa meremehkan.

Aku hanya melotot dengan tingkah Siti.


"Istri mu sudah ada dua. Ingat itu. Mau tambah lagi?"

Aku menautkan alis. Menatap Siti dengan heran.


"Aku sama ibu mu. Apa namanya kalau bukan istri? Dia loh yang mengatur keuangan rumah tangga,"lanjutnya lagi seakan mengerti kebingungan di wajahku atas kalimatnya.


"Terserah,"jawabku cuek. Lalu ku gas montor untuk segera menjauhi rumah. Tidak ada manisnya hidup dengan Siti. Yang ada setiap hari diperlakukan seperti musuh.


*

Entah mengapa setiap melihat rekan kerja wanita, mereka tampak rapi, enak di pandang. Padahal mereka juga punya keluarga. Justru mereka juga kerja double termasuk membantu ekonomi keluarga. Sementara Siti, ah sudah lelah aku berkomentar tentangnya.


"Woy, ketahuan kamu sering ngelihatin istri orang,".

 Tepukan Soni dipundak, benar-benar membuyarkan lamunanku.


"Aku melihat wanita-wanita itu seperti melihat wanita sungguhan Son. Tidak seperti di rumah,"keluhku.


Soni justru tertawa mendengar keluhanku. Jujur aku tidak suka dengan tanggapanya. Seolah mengerti tetang tatapanku, kemudian ia berhenti tertawa.


"Sorry sorry Ardan. Aku terbawa suasana. Kamu tau tidak Dan, wanita wanita yang kamu lihat itu dibahagiakan mati-matian oleh suami mereka. Makanya mereka berbeda. Istrimu juga bisa kok. Asal kamu juga membahagiakan. Bagaiamana ? Sudah bahagiakan istrinya belum hari ini?"


Mendadak karena ucapan Soni, aku teringat daster Siti yang sudah koyak dan penuh tambalan yang ku temui tadi malam.


"Tenang. Hari ini bonus dari kantor akan cair," bisiknya lirih ditelingaku.


Membuat hati kecilku yang meronta ingin membeli sebuah baju untuk Siti serasa di dukung. Baik kali ini aku mengalah. Aku akan mencoba membuatnya bahagia.


*


"Ardan, hari ini disuruh foto untuk ganti ID Card terbaru. Kamu siap-siap gih,"kata Aji memberi aba-aba.


Aku hanya merapikan diri seperlunya saja. Toh kemeja ini sudah rapi. Karena Siti pandai merawatnya. Juga selalu licin dengan sentuhan setlika.


Aku masuk ke ruang personalia setelah namaku dipanggil. Namun Azkia selaku staff personalia menatapku heran.


"Yakin kamu Ardan pakai kemeja itu?"


Aku menatap lagi penmpilanku. Rasanya tidak ada yang salah.


"Memangnya kenapa? Bersih dan rapi."elak ku


"Iya tapi kemejamu ketinggalan zaman banget gitu lho motifnya,"jawab Azkia.


"Kok kamu kalah sama istrimu sih Dan? Kamu yang bekerja lo. Lihat penampilan istrimu kalau keluar, sudah seperti artis sosialita. Aku saja yang wanita karir kalah dibanding istrimu,"celetuk Retno yang membuat hatiku semakin panas.


"Jangan-jangan gaji mu habis ya dan. Dipakai istrimu untuk bergaya?"timpal Liana.


"Eh bisa jadi memang warisanya banyak gais,'lanjut Azkia.


Aku keluar dari ruang personalia dengan bersungut marah. Tidak sabar menunggu jawaban dari Siti di rumah. Ku pencet nomor nya di gawaiku. Lama. Tidak ada jawaban.


Ku pencet nomor ibu.


"Bu, Siti dimana?"

"Entah Dan. Ibu didepan rumah kamu Tapi pintu terkunci...

 


🍁🍁🍁


PART 5


Tanganku mengepal. Benar-benar tak habis fikir. Apa maksud Siti selama ini? Dia berpenampilan seperti gembel di depan ku  Sementara di depan orang lain dia bergaya bak Cinderella.


Keinginan untuk membelikan satu baju untuknya lenyap seketika. Untuk apa berbagi dengan wanita yang pandai berpura-pura. 


Aku  bersandar pada kursi kerja ku yang sudah tidak empuk lagi. Menatap ke depan dengan lekat.


Berapa sebenarnya jatah yang diberikan ibu kepada Siti? Hingga ia mampu bergaya bak sosialita. Jika memang banyak, kenapa ia selalu mengeluh kekurangan.


Namun gajikuyang hanya UMR kota ini rasanya tidak cukup kalau harus hidup mewah. Lalu darimana ia mendapatkan uang itu?


Ah banyak pertanyaan berkecamuk di pikiran. Tak sabar aku untuk segera pulang.


*


Ku pacu gas dengan cepat. Motorku yang butut lihai meliuk-liuk di jalanan kota. Menyalip beberapa kendaraan didepanku. Umpatan orang-orangpun aku dapat. Karena aku sudah tidak sabar untuk sampai di rumah.


Namun mulutku terdiam saat melihat Siti bermain dengan anak-anak ku dengan rambut yabg hanya dicepol dengan karet gelang bekas bungkus cabai serta satu potong koyo' menempel di pelipisnya. Daster yang bolong di bagian ketiak pun turut mendukung penampilanya kala itu.


Hatiku mendadak trenyuh. Mendadak tidak percaya dengan ucapan teman-teman kantorku. Sepertinya bukan Siti yang mereka lihat. Hanya mirip saja.


"Bersiap-siaplah. Habis ini kita ke pasar,"ajak ku dengan dingin.


"Mau apa bang? Aku sudah belanja semua kebutuhan dapur. Kalau cuma mutar-murar, aku tidak mau. Sudah cukup lelah aku menimang anakmu yang rewel karena imunisasi,"keluhnya.


Oh jadi mungkin Siti tidak di rumah karena sedang posyandu? 


"Aku mau beli kemeja. Malu aku menjadi bahan olokan kemeja ku seperti ini,"


Siti memandangiku dari atas sampai ke bawah.


'Memangnya kenapa? Bersih dan rapi kok"


"Modelnya yang sudah jadul kata mereka,"


Siti mendengkus pelan.


"Nilai harga diri itu berasal dari hati bang. Dan berdampak pada orang lain. Bukan dari apa yang kita pakai. Lagipula apa ibumu membolehkan?"


"Sekalian beli baju untukmu"jawabku akhirnya


Siti melobgo menatapku dengan mata berbinar. Ah membuat dia bahagia nyatanya sederhana saja.


*

Siti tampak antusias sekali mengelilingi pasar. Senyum tidak pernah surut dari bibir munginya. Namun berkali-kali dia mencoba, baju-baju itu tidak pas dengan badanya yang semakin berisi apalagi pasca melahirkan anak kedua kami.


Aku yang semakin lelah juga merasa panas.


"Lama sekali. Gerah disini."


"Tunggulah bang. Tidak ada yang pas dibadanku,"keluhnya.


Karena emosi, aku mencomot asal baju lalu membayarnya dan mengajak puang.


Bibir yang sedari tadi tersenyum itu kini tertutup rapat. Pun ia juga diam sepanjang perjalanan. Aku tidak perduli. Diberi hati kok minta jantung.


"Sana di coba dulu. Jangan cemberut terus. Siapa tau pilihanku pas,"

Siti menuruti perintahku dengan lemas. Namun saat keluar justru aku ingin dibuat tertawa olehnya.


Dia seperti badut. Bajunya pas di badan. Tapi warna kuning itu terlalu norak untuknya yang berkulit sawo matang.


Aku benar-benar tak kuasa menyembunyikan tawaku, lalu meledak seketika 


"Kamu norak pakai baju itu. Lebih pantas kamu pakai daster bolong-bolongmu,"


Siti cemberut  Dia menghentakan satu kaki ke lantai.


"Kalau aku tidak dihargai di depan suamiku sendiri. Jangan salahkan aku jika dihargai di mata pria lain...


🍁🍁🍁

 

PART 6

 

Hatiku bergetar mendengar ucapan Siti. Ingin aku bertanya namun terlambat. Ia menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam.


Namun aku tidak terlalu serius memikirkanya. Paling nanti juga baik lagi seperti sedia kala. Mana betah dia marah lama-lama.


*

Namun keesokan hari, Siti tetap diam seperti sedia kala. Tidak satu pun omelan keluar dari mulutnya seperti biasa.


"Kamu masih marah?"tanyaku akhirnya.

Dia diam.


"Hei punya mulut kan?"


Dia masih tidak bergeming.


"Apa perlu aku berteriak agar kamu mau menjawab?"


Dia akhirnya menoleh dengan tatapan tajam menghujam.

"Aku tidak marah. Hanya tersinggung saja. Untuk apa aku marah? Bahkan marahku tidak sedikitpun mampu mengubah apapun itu bukan?"


Kini giliran aku yang diam. Aku memang keras kepala. Lunak ku hanya pada ibu saja.


Tiba-tiba pintu rumah diketuk seseorang. Ah itu pasti ibu. Ku biarkan Siti sendiri yang membukakanya.


Namun lama ku tunggu, tamu itu tidak muncul juga. Justru ku dengar Siti mengobrol begitu akrab dengan sang tamu.


Baru saja aku beranjak dari duduk ku, Siti masuk bersama Aji.


"Silahkan duduk mas,"katanya sumringah.


"Aji, tumben kesini?"


"Iya mumpung weekend. Jadi sekalian mampir. Kemarin di rumah ada acara syukuran kakak gue. Ada sedikit oleh-oleh untuk kalian,"


Siti keluar dari dapur membawa segelas kopi hitam serta satu toples kue kering. Aku mengernyitkan dahi.


"Kenapa cuma satu? Untuk Aji mana?"tayaku.


"Justru ini untuk Mas Aji. Memangnya sejak kapan abang mau kopi buatanku."


Tanganku mengepal di bawah. Perlahan Siti membuatku malu dihadapan temanku.


"Silahkan diminum mas,"

Dengan Aji sepertinya Siti selalu menampakan senyumnya. Berbeda dengan tadi.


"Ini bubuk kopinya buatan kamu sendiri?"tanya Aji.


Siti mengangguk penuh harap. Seperti kontestan masak yang menunggu penilaian dari jurinya.


"Enak gini kok. Beneran,". Tampak Aji berkali-kali menyeruput kopi buatan Siti.


"Sepertinya lidah kamu memang perlu diperiksakan Dan. Kopi seenak ini kok nggak mau."

Muka ku masam. Berbeda dengan Siti. Wajahnya semakin berbinar terang.


*


"Kamu suka sama Aji?"tanyaku setelah Aji pulang


"Memangnya pantas pertanyaan macam itu kamu lontarkan kepada seorang istri?"

Aku mendengkus kesal.


"Bagaimana lagi? Kamu seperti bahagia sekali bertemu dengan Aji,"


"Mungkin kamu harus lebih banyak belajar kepada Mas Aji bagaimana caranya menghargai perempuan bang,"


Ah aku semakin frustasi. Semakin kesini Siti semakin rewel. Tau begitu, dulu aku tidak mau dijodohkan denganya.

*


"Dan, gue heran. Kok istri mu beda sekali penampilanya saat diluar ya?" Tanya Aji di suatu pagi.


Aku menoleh dengan malas.


"Maksudmu?"


"Di rumah penampilanya sederhana sekali. Tapi kalau diluar penampilanya cetar seperti artis papan atas,"

"Sudahlah Ji. Yang kamu lihat diluar sana itu bukan Siti. Jangan halu. Kamu tau sendiri di rumah bagaimana penampilanya. Sudah aku tidak mau membahas itu lagi."

Namun justru Aji semakin mendekatkan duduknya denganku.


"Ardan kamu boleh menilai aku salah lihat. Tapi bukan aku saja yang melihatnya Dan. Banyak orang kantor yang melihat juga. Kalaupun hanya mirip itu tidak mugkin sama persis Dan. Kecuali Siti memang punya kembaran."


Kembaran? Tidak mungkin. Aku tau betul silsilah keluarga Siti.


"Oke. Kalau kamu tidak percaya. Kapan-kapan kalau aku ketemu akan ku foto dia. Dia sering kok keluar masuk mall. Kalau perlu aku ajak kamu sekalian,"


Aku berjanji suatu hari akan mengiyakan ajakan Aji. Agar terbukti itu bukan Siti. 

Atau memang jangan-jangan itu benar Siti. Apa ibu memberikan jatah lebih setiap harinya. Tapi mengapa Siti selalu mengeluh kurang?


*

Sebelum pulang ke rumah, aku diam-diam mampir ke rumah ibu tanpa sepengetahuan Siti selepas pulang kerja.


Aku ceritakan setiap detail yang aku alami. Hingga pengakuan temanku yang kerap bertemu Siti di mall

Namun ibu justru tertawa terbahak-bahak sebagai bentuk reaksinya.


"Ngaco teman kamu itu Dan.Ibu tidak percaya. Siti hanya wanita kampung yang tidak pandai bergaya  Kalaupun dia banyak uang, rasanya dia tidak mengerti tentang kehidupan sosialita."


"Memangnya berapa setiap hari uang yang ibu beri ke Siti?"


🍁🍁🍁

PART 7

 

"Memangnya berapa setiap hari uang yang ibu beri ke Siti?"tanyaku penasaran.

"Sepuluh ribu,"jawab ibu dengan entengnya yang membuat aku terperanjat. Aku masih diam.


"Kenapa Dan? Kok kelihatanya kaget? Beras dari ibu lho. Siti tinggal beli lauk,"jelas ibu lagi.

"Pantas saja Siti selalu mengeluh kurang bu. Uang sepuluh ribu di kota besar seperti ini dapat apa?"


Ibu mendengkus kesal menampakan muka masam nya kepadaku.


"Ardan, gaji kamu itu tidaklah besar. Ada ibu dan adikmu juga yang menjadi tanggung jawabmu. Kamu anak laki-laki, walaupun kamu sudah menikah sekalipun, surgamu tetap pada ibu. Belum lagi ibu harus membayar uang kontrak rumah kamu."gerutu ibu.


Pikiranku langsung tertuju pada Siti. Tidak mungkin Siti seperti yang diceritakan oleh teman-temanku. Nafkah sepuluh ribu setiap hari, mana cukup untuk bergaya.

Apalagi saat ku lihat ditudung saji ibu, ada beraneka lauk dengan ayam sebagai pelengkapnya. Berbeda jauh dengan keadaan ku sehari-hari. Tanpa sepengetahuan ibu aku memasukan beberapa potong ayam ke dalam tas ku. Bagiku tidak apa, toh mereka juga makan dari hasi keringatku.


Aku pulang ke rumah dengam sumringah. Tidak sabar melihat ekspresi bahagia mereka saat aku membawakan lauk ayam.


Benar saja, saat aku pulang Siti tengah menyuapi kedua putra kami.


"Arfan, Arman. Lihat bapak bawa apa ini?"ucapku sembari memamerkan ayam yang ku bungkus di plastik bening.


Namun tanpa kuduga ekspresi mereka biasa saja. Hanya memandang sekilas. Seolah-olah hal ini tidak menarik peehatian mereka.


"Mereka kenapa? Apa mereka tidak suka ayam?"tanyaku.

"Bukanya tidak suka. Lidah mereka mungkin sudah terbiasa dengan lauk tahu tempe," jawabnya datar


Dan sedikit kecewa dalam hati juga ada rasa penyesalan menyelimuti. 

Deru kendaraan terdengar terparkir di depan rumah. Aku menggerutu. Siapa lagi yang bertamu sepulang kerja begini. Aku lihat dari jendela. Ternyata ibu. 


"Ardan apa kamu tau lauk ayam ibu? Hilang empat potong,"keluhnya.


Badan yang lelah, kesal semakin bertambah mendengar keluhan ibu.


Tanpa berbasa basi aku menyodorkan bungkusan yang berisi ayam itu ke hadapan ibu. Sejurus kemudian ibu yang melotot menatapku.


"Dasar kamu itu ya kucing berkepala hitam,"gerutu ibu.

 

"Memangnya kenapa bu? Bukankah ini makanan dari keringatku juga?"tanyaku memberanikan diri.


"Tapi semua sudah ada porsinya masing-masing, Ardan,"kata ibu dengan kekeh penuh penekanan.


Aku tersenyum kecut.


"Iya porsi kami sekeluarga hanya makan lauk tahu tempe ya bu."


"Terserah kamu. Sekarang kamu mulai berani melawan ibu. Kalau mau hidup enak ya harus mau kerja keras Ardan.Suruh istri kamu itu juga bekerja. Lihat itu mantunya Bu Endang jadi pegawai bank. Duh jadi pengen punya menantu seperti itu,"


Siti yang sedari tadi hanya menyimak sembari duduk dengn kedua putra kami mendadak berdiri.


"Wajar lah bu Mereka punya baby sister sekaligus ART. Bu Endang saja juga kerja walau hanya berjualan makanan kecil di sekolah. Kalau ibu pengen menantu juga bekerja, ibu juga harus bekerja dong."elak Siti.


"Heh ingat ya, surga seorang suami..."


"Surga seorang suami masih pada ibunya. Tetapi suami juga tidak akan masuk surga jika selama hidupnya juga tidak memuliakan istrinya,"


Ibu diam seketika sembari mencibirkan bibir. Lalu seperti biasa, beliau pulang tanpa pamit permisi.


"Tidak perlu merendahkan diri hanya karena lauk ayam,"kata Siti


"Memangnya aku salah? Itu juga pakai uangku lho,"


"Letak salahmu bukan disitu. Tapi nafkah ke anak-anakmu. Hingga mereka tidak bergeming sedikitpun kala lauk ayam disodorkan kepada mereka,"


"Lalu bagaiamana bisa kamu mengatur uang sepuluh ribu agar cukup untuk sehari? Apa kamu punya penghasilan lain?"


Siti terlihat kikuk...

🍁🍁🍁


PART 8


Siti terlihat kikuk. Tidak biasanya ia akan bersikap seperti ini. Apa memang ada yang disembunyikan dari aku.


"Aku seorang wanita jug seorang istri, bukankah sudah sewajarnya aku harus pandai mengatur keuangan?" Akhirnya dia bersua.


"Kalau kamu fikir, aku bekerja, mana mungkin. Bahkan kita tidak punya baby sister seperti menantu orang lain yang begitu dibanggakan ibu mu. Pekerjaan apa yang memperbolehkan membawa dua batita seperti ini?"lanjutnya lagi.

Masuk akal penjelasanya. Tapi dapat ku tangkap dari raut wajah nya, ia tengah menunjukan kesedihanya.

Jujur aku tidak tega, lalu memilih berlalu darinya.

*

Semenjak kejadian itu, ibu kesini hanya mengantar uang sepuluh ribu lalu pulang. Beliau tidak berlama-lama bahkan mengomentari apa yang Siti lakukan lagi.


Tapi berbeda jika beliau bertemu dengan Bu Endang, apalagi dengan mantunya. Ibu terlihat sumringah seperti tengah bertemu artis.


"Duh Bu Endang, Mantunya kok cantik banget, bersih, modis lagi. Tidak seperti yang sana tuh,"puji ibu di depan rumah sembari melirik rumah kami.


Apalagi kalau tujuanya tidak untuk menyindir Siti yang tengah kerepotan dengan dua batitanya. 


"Ya namanya segala sesuatu harus perlu uang bu. Mantu saya itu memang cerds, jadi karirnya juga melejit. Wajar kan kalau penampilanya juga modis. Kalau Siti mah maklum ya kan hanya ibu rumah tangga,". Bu Endang menimpali.


Aku tau Siti sebenarnya mendengar, namun dia hanya diam seakan tidak perduli lalu mengajak kedua anak ku untuk masuk.


"Kenapa kamu diam? Biasanya kamu berani menjawab?"tanyaku.


"Untuk apa aku menjelaskan diriku kepada orang yang terang-terangan tidak menyukaiku? Sesempurna apapun seorang manusia, dia pasti ada kurangnya juga. Hanya saja ibumu melihat kelebihanya saja,"jawabnya pun tak bersemangat.


"Jadi kamu berfikir, ibu ku tidak menyukai mu? Hai Siti kalau memang ibu tidak menyukaimu, kenapa dulu beliau bersikukuh menjodohkan aku denganmu?"

Siti tertawa kecil. Tapi justru ku dengar tawa remeh di telinga.


"Jangan berlagak bodoh bang. Ibu mu menjodohkan kita, karena aku gadis kampung. Yang mudah dibodohi. Termasuk ibu mu bisa menguasai seluruh gajimu. Benar begitu bukan?"tanya nya lagi sembari tersenyum.


Namun kali ini, senyum itu yang paling ku benci. Wajahku merah padam. Ingin aku melawan, tapi mungkin kalimat Siti itu benar adanya. 


Rahangku mengeras, tangan mengepal, gigiku bergemertak. Namun sejurus kemudian semua buyar karena ada ucapan salam dari luar.


Aku bergegas membuka pintu, berharap semoga lupa akan emosiku tadi.


"Bulik, tumben kesini?". Ternyata Bulik Ning-adik ibu.


"Siahkan maauk bulik,"Siti menimpali dari belakang.


Bulik Ning memang berbeda dengan ibu. Dia ramah juga pembawaanya santai. Oleh karena itu, Bulik Ning lah anggota keluargaku yang paling dekat dengan Siti.


Siti memang sedikit menjaga jarak dengan anggota keluarga yang lain. Berkali-kali aku menasihati agar bisa berbaur. Namun berkali-kali pula ia hanya diam tanpa menyahut.


"Siti, hari Minggu, kamu datang ke rumah ya. Ada acara lamaranya si Disa. Kecil-kecilan sih. Tapi kamu juga bantu-bantu ya disana," kata Bulik Ning.


Siti yang tadi sumringah mendadak menarik kembali senyumanya.

"Kenapa? Kamu keberatan?" Tanya Bulik Ning.

Siti menggeleng cepat.


"Ibu juga ada?"tanya Siti dengan lirih.


"Kamu tenang saja. Ada bulik yag akan membea kamu,"

Setelah berbasa basi, Bulik Ning pamit pulang.


"Kamu kok segitunya sama ibusih ? Seperti dengan musuh saja,"gerutuku.

"Apa perlu aku ceritakan semua? Namun bercerita pun percuma, kamu juga tidak akan percaya"


Entah mengapa hubunganku dengan Siti sekarang menjadi hambar. Ocehan nya setiap pagi sudah jarang ku dengar.

*

Pagi ini, lingkunganku mendadak gempar. Suara ambulance serta mobil polisi terdengar wara wiri di depan rumah.


Siti juga keluar, melihat apa yang terjadi. Para tetangga berhamburan ke rumah Bu Endang.


Usut punya usut ternyata terjadi penganiayaan oleh Sari kepada Bu Endang, yang menyebabkan beliau terluka parah.

Di tengah kerumunan orang, ibu juga turut hadir menyaksikan.


"Bagaiamana bu ? Masih mau punya menantu seperti menantunya Bu Endang?"tanya Siti dengan angkuhnya kepada ibu.

 


🍁🍁🍁


PART 9

"Bagaimana bu? Masih mau punya mantu seperti mantunya Bu Endang?"tanya Siti dengan angkuhnya.

Dapat ku lihat ekspresi jelas ibu kala itu. Dia bergidik ngeri tetapi masih menunjukan muka masam kepada Siti.


Siti tersenyum penuh kemenangan. Namun senyum itu tidak berangsur lama. Saat hari mendekati minggu. Berkali-kali ku lihat Siti mondar mandir kebingungan.


"Kenapa kamu?"tanyaku dengan dingin seperti biasa.


"Aku tidak ikut saja ya bang ke rumah Bulik Tin,"pintanya ragu. Tampak wajahnya memelas. Rona wajah sawo matang itu pun perlahan memerah. Manik matanya terlihat sayu. Bibir mungil yang lebih berwarna gelap itu tampak juga bergetar.


"Aku malu punya istri selalu menghindar dari keluargaku,"keluhku membuang nafas kesal.

Ya aku selalu dijadikan bahan ejekan antar sepupuku saat Siti menjaga jarak dengan anggota keluarga. Kadang dia menyendiri seperti orang bodoh. Kadang di juga hanya mengekor Bulik Tin.


Emosi di dada seketika memuncak kala mengingat perkataan sepupuku dan ditambah dengan permintaan Siti untuk tidak hadir.


"Tidak kamu harus hadir. Bukanya kamu sendiri yang berjanji pada Bulik Tin?"


Siti menunduk memainkan jemarinya.


*

Hari itu telah tiba. Siti yang terbiasa dengan daster bolongnya mengubah penampilanya bak Cinderella. Aku sempat melongo dan tanpa sadar mengeluarkan kalimat kagum ku.

"Kamu cantik,"pujiku.


Namun Siti tidak bereaksi sama sekali.Ia justru asyik mendadani kedua putra kami.


Rumah Bulik Tin sudah lumayan ramai oleh anak saudara yag turut membantu. Mereka juga tampak biasa saja oieh kehadiran kami. Apalah aku yang hanya pekerja kantoran biasa dengan gaji UMR dibandingkan mereka yang bernasib jauh lebih beruntung dariku.

"Siti cepat ke belakang, cucian piring sudah banyak,".

"Ayok Ardan kursinya lekas dipindah keluar,"

Perintah budhe-budhe ku sesaat kami datang. Bahkan kami juga belum sempat duduk.

Siti mencebik dengan masam. Sementara dadaku naik turun menahan gemuruh emosi.


Mereka yang memerintah dengan perasaan berkuasa karena mereka dari kalangan berada.


Siti masih diam mematung dengan kedua putraku.


"Hoalah Tarti punya mantu plonga-plongo begitu kok dipelihara. Dijual ke loak saja.' Budhe Sri tiba-tiba bersua begitu tajam. Tentu siapa lagi kalau sasaranya selalu Siti.


"Mentang-mentang bajunya baru itu mbak. Paling juga kreditan,". Ibu menambahi. 


Siti masih tidak  menyahut. Dia masih asyik dengan kedua putra kami.

"Heh Siti kamu dengar tidak?"bentak ibu akhirnya.


Siti menoleh dengan malas. 


'Maaf bu saya kesini  bukan untuk menjadi tukang cuci piring,"jawabnya memberanikan diri. 

Aku yang sedari tadi bersembuyi di balik pintu merasa lega. Ada perlawanan dari Siti.


"Sadar dong siti. Kamu itu yang notabene nya ART jadi udah terbiasa kan,"Budhe Hindun menjawab.


Siti berdiri. Ku kira dia akan menuruti perintah Budhe Hibdun. Namun dia justru berbalik badan akan melangkah pergi.


Tak ku sangka Bulik Tin sudah berdiri di belakang Siti. Seakan mengerti isyarat wajahya, beliau menggandeng Siti iut kerumunan ibu-ibu yang lain.


"Mbak Hindun, ada tukang cuci sediri. Tidak usah menyuruh Siti,"bela Bulik Tin. Budhe Hindun hanya mencibir sembari mulutnya masih berkomat-kamit tidak jelas.


"Siti, kau bantu ibu-ibu itu saja ya,"


Bulik Tin menunjuk segerombolan ibu-ibu yang sepertinya akan memarut kelapa.


"Permisi bu-ibu"sapa Siti ramah.


Namun mereka juga hanya sekilas menoleh


"Mantunya Bu Tarti ya? Mau ikut bantu marut kelapa? Mana bisa neng? Ini pakai mesin lho. Kamu kan gadis kampung,"ujar salah seorang ibu seperti menunjukan ketidaksukaanya pada Siti.


"Kalau cuma begini mah gampang bu ibu. Saya di rumah justru puya mesin yang bisa langsung jadi santan,"jawab Siti asal.


Para ibu-ibu itu melongo. Rasakan..

 

🍁🍁🍁

 

PART 10

 

Tepukan yang sukses mendarat di pundak ku, membuyarkan konsentrasiku mengintip Siti. Kasihan juga kalau dia terus dibully. 

Aku menoleh kepada si empunya tangan. Benar dugaanku, Bulik Tin.


"Khawatir sama Siti? Sudah mulai cinta?"tanya beliau.

Aku hanya tersipu. Bulik Tin memang yang paling dekat denganku. Ia tau betul perasaanku kala ibu menjodohkanku dengan Siti


"Ah bulik apa sih,"

Aku meninggalkan Bulik Tin dan Siti. Bergabung bersama sepupu yang lain. Walau hati terasa dag dig dug takut menjadi korban bully lagi.


" Hei Ardan. Tambah ganteng saja," sapa Doni.


Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.


"Iya aemakin ganteng bang. Tetapi istrinya semaki kucel,"sahut Inara yang disusul gelak tawa dari semua yang hadir.


Wajahku tentu memerah. Tanganku dibawah mulai mengepal.


"Sabar Dan. Jangan marah. Kita-kita ini hanya bercanda. Jangan diambil hati,". Doni bersua. Seolah tau perubahan raut wajahku.


"Oh ternyata di mata sarjana seperti kalian, bercanda dan menghina itu beda-beda tipis ya? Baru tau aku," kataku mengulum senyuman sembari menyindir mereka.

Doni dan lainya terlihat kikuk dan salah tingkah.


"Ah sudahlah Ardan. Ada hal penting yang ingin ku sampaikan ke kamu,". Doni mulai berbicara serius. 


"Kamu dapat salam dari Rena. Ingatkan?"


Deg. Seketika hatiku bergetar. Rena-seorang wanita yang pernah membuat hatiku bagai melambung tinggi pun juga seorang wanita yng membuat aku merasa terhempas di dasar kesedihan yang dlam. Cinta pertama ku yang dulu pergi menyisakan luka.


"Rena sampai sekarang belum menikah Dan. Dia menanyakan kamu. Bahkan dia sempat bilang menyesal,"lanjut Doni.


Aku hanya menyimaknya seperti orang nodoh. Larut dalam perasaanku dulu kepada Rena.


"Lalu?"tanyaku.


"Dia ingin bertemu,"


"Ta-tapi aku su-sudah,". Kalimatku mengambang. Ada anak dan istri sekarang. Tentu aku tidak bisa sebebas itu menemui perempuan.


"Siti? Ah sudahlah. Kalau kamu bisa balik, lebih baik kamu memilih Rena. Dia cantik,smart, wanita karir. Kurang apa?"


Aku melamun. Pun aku tak mampu menjawab kalimat Doni.


"Bulik Tarti juga pasti lebih senang engkau berjodoh dengan Rena,"


Ucapan Doni sedari tadi ternyata di dengar oleh ibu.


"Benar itu Don. Bulik merestui sekali kalau Ardan kembali sama Rena,". Ibu menyahut.


"Tapi kan ibu sendiri yang menjodohkan aku dengan Siti."


"Ah kamu tau sendiri kan alasan ibu menjodohkanmu dengan wanita kampung itu. Dia tidak bekerja Ardan. Kalau dia yang pegang gajimu, otomatis dia tidak akan memikirkan nasib ibu dan adikmu yang menjadi tanggung jawabmu,"


"Belum tentu juga bu. Kan belum dicoba,"


"Sudahlah. Lebih baik kamu turuti peermintaan Rena dulu untuk bertemu."


Aku bimbang. Bagaiamana perasaan Siti kalau mengetahui ini semua.Tentu ia akan bertembah diam dan hubungan kami menjadi lebih hambar lagi.


"Benar itu Dan. Kalau ibu mu punya menantu seperti Rena, bisa dibanggakan kemana-kemana. Apa nggak kasian kamu sama ibumu?". Budhe Hindun juga berusaha memberi pengaruh.


"Bertemu saja dulu Ardan. Soal kedepanya ,difikir nanti," kata Doni lagi.

 

"Kalian ini apa-apaan sih? Ardan sudah beristri Justru mendekatkan dia pada mantan pacarnya. Apa maksud kalian? Dan kamu Mbak Tarti, sebenarnya Siti itu baik. Hanya kamu saja yang selalu merendahkan".


Bulik Tin tiba-tiba muncul. Membuat kami diam seketika.


"Sudahlah bulik. Ini urusan anak muda. Rena mempunyai jabatan yang tinggi di perusahaan. Siapa tau dia bisa memberikan posisi yag bagus juga untuk Ardan,"jawab Doni.


Bulik Tin hanya mendengkus kesal. Kemudian berlalu karena masih banyak yang harus dipersiapkan.


"Memangya kapan Rena mengajak ku bertemu?"tanyaku.


"Setelah ini. Rena turut ku undang di acara ini...


*

 

Kira-kira bagaimana perasaan Siti ? Dan apa reaksinya? Mengejutkankah?

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya ISTRIKU DI MATA PRIA LAIN 11-15
0
0
Jika aku tidak dihargai di mata suamiku sendiri, maka jangan salahkan aku jika aku dihargai di mata pria lain
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan