
"Memangnya ini punya siapa?"
Sasha juga ingin tahu sepatu itu milik siapa. Sudah hampir setengah tahun tidak ada yang mengkontaknya. Dia merasa lelah hanya dengan memastikan sepatu itu tidak berjamur di loker miliknya.
"Hm... Cinderella?"
Para siswa baru yang telah menyelesaikan perlombaan mereka diberi waktu bebas untuk beristirahat. Hanya saja rasa ingin ke sana ke mari siswa baru tidak bisa dihentikan. Mereka yang selesai berlomba bukannya beristirahat tetapi melihat pertandingan lainnya.
Banyak dari mereka yang memilih untuk pergi ke lapangan basket untuk melihat pertandingan basket yang belum selesai. Pertandingan olahraga seperti basket, futsal, voli, dan bulu tangkis memang masih berjalan. Itu karena aturan yang digunakan sama seperti kompetisi sebenarnya.
Dengan kata lain siswa yang mengikuti OS cabang olahraga kreasi dapat menyelesaikan pertandingan mereka lebih cepat. Itu termasuk Caldion yang mengikuti lomba kelereng dan Deon yang kalah pada putaran pertama lomba sprint 100 meter putra.
Di antara banyak pertandingan yang masih berlangsung lapangan basket menjadi tempat pertandingan yang penuh sesak. Banyak dari siswa baru yang entah tertarik atau hanya penasaran dengan Orion Gedith rela berdesakan melihat putra kedua dari keluarga besar itu.
Caldion yang melihat Deon duduk tidak jauh dari lapangan basket menghampiri saudaranya itu.
"Aku tidak menyangka kau ada di sini? Kau sudah menyelesaikan lombamu? Apa kau menang?"
Deon menatap tajam Dion yang bertanya sekaligus menyindir itu.
"Pertama, aku ke sini untuk kabur dari pengawas kelasku."
Dion yang tahu bahwa pengawas kelas Deon adalah ketua OSIS tertawa kecil. Kemarin setelah pulang sekolah mamanya bertanya kepada mereka bertiga tentang lomba yang diikuti. Dion tahu bahwa kakaknya, William, tidak tertarik itu dengan kehidupan mereka bertiga tidak akan pernah melapor.
Dan benar, kakaknya mengatakan bahwa pengawas kelas Deon yang menelpon mama mereka. Kemarin malam dirinya dan Orion sangat puas menertawakan Deon yang akhirnya mengikuti aktivitas fisik karena sang mama.
"Yang kedua?"
"Aku sudah menyelesaikannya kalau tidak dia akan terus mengikutiku. Terakhir, tentu saja kalah."
"Hahahaha...."
Gideon menatap Caldion dengan tatapan aneh. Baginya Dion yang tiba-tiba tertawa itu sangat aneh.
Sedangkan Dion yang ditatap justru tertawa semakin keras.
Dirinya memang bertanya tetapi dia sebenarnya melihat Gideon selama pertandingan. Dia melihat di sisi Gideon selalu ada sang ketua OSIS yang menatap Deon seperti sipir yang mengawasi tahanannya. Dion juga tahu bahwa selama pertandingan sprint 100 meter Deon justru berjalan hingga garis finish. Deon benar-benar tidak ingin berlari meskipun dia akhirnya ditatap aneh oleh panitia, ketua OSIS, dan penonton yang lain, bahkan oleh peserta lain yang sudah mencapai finish.
Pada intinya, Dion melihat semenyedihkan apa Deon hari ini.
"Entah kenapa aku merasa kesal."
"Maaf... maaf... haha..."
Deon sama sekali tidak bisa melihat rasa penyesalan di wajah Dion. Permintaan maaf itu benar-benar tidak berarti.
Gideon yang cukup kesal membenarkan posisi kacamatanya dan meninggikan suaranya.
"Besok ada kompetisi akademis, lihat saja besok. Kami akan menang."
Kami yang dimaksud Deon adalah kelompoknya. Saat ini kelompoknya menduduki kelas terakhir karena sanksi keterlambatan penyerahan daftar nama peserta. Acara orientasi besok adalah kuis akademik, dia pasti menang besok sebagai perwakilan kelompoknya.
"Kalau begitu semangat besok."
"Aku akan menang melawanmu." Sahut Deon ketus.
"Tapi aku bukan perwakilan kelas."
Jawab Dion sambil menahan tawa. Gideon memang selalu serius, tetapi setelah laki-laki itu lengah Dion tidak bisa berpikiran lurus.
"Kenapa?" Tanya Deon kepada kembarannya itu.
"Kenapa bertanya? Tentu saja karena aku bodoh. Kami tidak ingin kalah, jadi kenapa harus mengirimku untuk pertandingan akademik? Ada banyak siswa lain yang lebih pintar dariku."
Gideon hanya bisa diam. Dia baru saja teringat Dion yang selalu mudah menyerah dalam hal apapun. Dion biasanya tetap akan melakukannya meskipun nilainya biasa, tetapi kalau ada yang lain dia jelas tidak akan melakukan apapun.
Kalau ada yang lain kenapa harus dia?
***
Setelah menambahkan poin lomba akademik, kelompok Gideon melesat ke posisi kedua. Di atasnya adalah kelompok Orion dan di peringkat tiga adalah kelompok Caldion.
Meskipun itu hal yang biasa, tetapi banyak dari siswa baru dan panitia lain membicarakan hal itu. Tentang bagaimana kembar tiga Gedith berhasil memimpin kelas saat orientasi dan memperoleh peringkat tiga besar.
Hari ini adalah hari terakhir orientasi. Sebelum berpisah dengan junior yang cukup merepotkan, para pengawas kelas diminta untuk mengumpulkan berkas pendaftaran masa percobaan ekstrakurikuler para siswa baru.
Sasha sudah menyiapkan mentalnya sebelum menagih lembar pendaftaran Gideon, tetapi laki-laki itu menyerahkannya dengan baik. Entahlah, selain saat OS Gideon sebenarnya selalu bersikap baik. Sasha hanya menolak untuk mengakui itu.
Tunggu— bukannya itu normal? Umumnya para siswa baru memang harus bersikap seperti itu, taat aturan dan mengikuti acara dengan tertib. Orientasi di sekolah ini bukan orientasi yang mempermalukan siswa atau mempersekusi mereka. Ini hanya acara orientasi lingkungan sekolah, lomba olahraga, dan akademik. Taat dan tertib seharusnya tidak sesusah itu.
"Eh..."
Setelah melihat lebih jeli, Sasha terkejut melihat lembar pendaftaran milik Gideon. Laki-laki itu tidak hanya mendaftar untuk masa percobaan, tetapi mendaftar sebagai anggota tetap ekstrakurikuler olimpiade matematika.
"Aku harus bertemu dengannya lagi? Huh..."
Saat Sasha meratapi nasib, dia melihat Gideon yang berdiri di depan pintu.
"Kenapa?" Tanya Sasha kepada junior yang menghalangi pintu kelas.
"Sepatuku rasanya aneh. Ini tidak nyaman dipakai."
Sasha melihat sepatu Deon dan baginya aman-aman saja. Tali terpasang rapi dan solnya tetap kuat, bahkan satu goresan pun tidak ada.
"Mungkin karena kemarin aku pakai lomba."
Sasha dengan sabar bisa menahan rasa ingin mengumpati Gideon. Laki-laki itu hanya berjalan, bukan berlari. Mental yang disiapkan pada akhirnya tetap berguna meskipun untuk hal yang berbeda.
"Huh... ikut aku." Saha menghela napas panjang dan akhirnya mengajak Gideon ke suatu tempat. Perempuan itu berjalan mendahului Deon tanpa menunggu Deon menjawab.
"Kemana?"
"Sudah, ikut aja."
Gideon mengangguk dan berjalan di belakang mengikuti Sasha. Selama perjalanan dia bisa melihat banyak sekali senior bahkan sesama siswa baru sepertinya menyapa Sasha. Perempuan itu menjawab sapaan dengan ramah sambil sesekali melambaikan tangannya. Padahal setiap perempuan itu melihatnya dia selalu seperti akan berperang. Kenapa dengan yang lain sangat ramah? Apa ini yang disebut ketidakadilan?
"Tunggu di sini!"
Gideon mendongakkan kepalanya melihat papan nama ruangan.
'Ruang Ekstra 04'
Selain papan nama yang terpasang di atas pintu, di pintu juga tertulis bahwa ini adalah ruang ekstrakurikuler matematika. Tempat ekstrakurikuler pilihannya.
Setelah beberapa saat, Sasha keluar sambil membawa sebuah kotak.
"Berapa ukuran sepatumu? Kau bisa menggunakan ini kalau kau tidak nyaman. Kalau ini juga tidak nyaman kau bisa memilih yang paling nyaman untukmu."
Deon sebenarnya ingin bertanya apa ini milik perempuan itu tetapi jelas tidak karena ini ukuran sepatu ini jelas berbeda dengan milik Sasha. Entah kenapa dia tidak suka.
Tetapi Deon tetap mencoba sepatu itu.
"Ukurannya pas, ini juga nyaman—"
"Iya kan. Kau bisa memakainya." Sahut Sasha dengan penuh semangat.
"Apa ini untukku?"
Sasha berpikir keras selama beberapa detik kemudian perempuan itu bergumam.
"Kurasa tidak apa-apa, toh yang punya juga ga nyariin."
Gideon semakin menekuk wajahnya. Tetapi mungkin karena dia lebih tinggi dari Sasha sehingga perempuan itu tidak memperhatikan perubahan ekspresi Deon.
"Memangnya ini punya siapa?"
Sasha juga ingin tahu sepatu itu milik siapa. Sudah hampir setengah tahun tidak ada yang mengkontaknya. Dia merasa lelah hanya dengan memastikan sepatu itu tidak berjamur di loker miliknya.
"Hm... Cinderella?"
Deon akhirnya pergi meninggalkan Sasha di depan ruang Ekstra 04 dan kembali ke kelasnya.
'Kalau sudah ada yang punya ya ga usah sedekat ini.'
Dia sebenarnya ingin menghentakkan kakinya, tetapi ini sepatu dari perempuan itu. Tubuhnya tidak bisa melakukan tindakan yang akan merusak sepatu ini.
***
Deon dan mood buruknya akhirnya sampai di depan ruang kelasnya, tetapi kerumunan di kelas Dion mengalihkan pandangannya. Dirinya menoleh ke belakang dan melihat Sasha yang segera berlari setelah belokan.
"Ada apa ini?"
Para siswa dari kelas lain yang berkerubung mulai membubarkan diri. Pengawas kelas dari kelas dua lainnya mencoba menjelaskan kepada Sasha tentang apa yang terjadi.
"Kak, ini... asma Renatta kambuh tapi tadi sempet ga nemu inhalernya."
Siswa kelas dua, anggota OSIS, dan anggota Cheerleader, semua tahu kalau Renatta memiliki asma. Meskipun sangat jarang kambuh adik kelasnya itu selalu mengatakan riwayat penyakitnya kepada siapapun agar sewaktu-waktu kambuh tidak ada yang panik.
Ini adalah kali pertama Renatta kambuh. Bahkan saat cheerleader dan OSIS menjadi sangat sibuk, Renatta tetap fit dan baik-baik saja. Perempuan itu mengatakan bahwa kondisinya sudah sangat membaik dan tidak pernah lagi kambuh. Renatta hanya berjaga-jaga untuk kondisi terburuk.
Tapi yang lebih penting adalah bagaimana kondisinya dan—
"Kenapa tidak bisa menemukan inhalernya?"
Barang wajib yang semua orang tahu selalu dibawa oleh Renatta di saku kecil bagian depan tasnya. Itu adalah barang penting yang Renatta selalu katakan tempatnya agar siapapun tidak panik saat hal-hal seperti ini terjadi.
****
Btw gimana sekuelnya? sekuel ini bakal tetep author lanjutin, tapi kalian better author lanjut bikin sequel bocah gedith yang lain atau bikin universe baru?
Satu lagi, latarnya ga cuma pas William SMA kok, mungkin sekitar 10-an chapter buat masa SMA.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
