
CHINA: WORLD LEADER IN THE FUTURE (Implementation of One Belt One Road “OBOR”)
Potensi China dan sejumlah negara pada jalur sutra modern memberikan peluang bagi peningkatan transaksi perdagangan ekspor impor negara-negara di sepanjang jalur sutra modern, termasuk Indonesia pada jalur sutra maritim. Pada tahun 2016, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke China pun menunjukkan pertumbuhan sebesar 13,97% dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar USD 13.3 miliar pada tahun 2015 dan USD 15,1 miliar pada tahun 2016. Selain ekspor, Indonesia berpeluang menarik investasi ke Indonesia melalui...
Oleh: Anggita Puspitosari
Secara geografis, China berada pada koordinat 39°55’BU – 116°23’BT. Geografi China yang membentang sepanjang 5.026 kilometer Asia Timur berbatasan dengan Laut China Timur, Teluk Korea, Laut Kuning, dan Laut China Selatan. Di sebelah utara, China berbatasan dengan Mongolia dan Rusia. Di sebelah barat, berbatasan dengan Pakistan dan India, sebelah timur berbatasan dengan Korea dan Jepang. Luas keseluruhan wilayah Republik Rakyat Tiongkok kurang lebih 9.6 juta km2 , namun jika dihitung bersama Taiwan dan Mongolia luasnya bisa mencapai 11 juta km2. Luas lahan China diperkirakan 9.596.960 km2 dengan luas tanah terhitung 9.326.410 km2 dan badan air terhitung 270.550 km2 (sekitar 3%).
Berdasarkan letak geografisnya yang strategis memberikan potensi untuk negara China sebagai pusat interaksi di wilayah Asia bahkan lintas benua, terutama negara China berbatasan dengan negara-negara yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dunia seperti Korea dan Jepang. China juga memiliki interaksi aktif dengan wilayah di sekitarnya yang dibuktikan dengan hubungan internasional yang di jalin China dengan negara tetangga maupun negara Asia lainnya seperti hubungan bilateral China-Indonesia.
Hubungan internasional yang dijalin China dengan negara-negara lain agaknya sudah dimulai pada zaman kerajaan China Kuno yang telah membuka kerjasama dan hubungan luar negeri yaitu pada Dinasti Han (206 SM-220 SM) yang didirikan oleh Liu-Pang. Pada Dinasti Han ini dibangun jalur perdagangan yang menjadi cikal bakal masa kejayaan yang begitu besar di China melalui ekspansi perdagangan dan hubungan luar negeri yaitu “Silk Road” dan “Spice Maritime Road”. Namun, hubungan internasional China sempat meredup dikarenakan adanya paham Marxisme ala Maoisme dimana kerjasama luar negeri terutama dengan negara-negara Barat cenderung tertutup mengakibatkan krisis ekonomi yang cukup besar. Sehingga pada tahun 1970-an China bangkit dengan membawa modernisasi paham Sosialisme-Liberalisme dimana pada tahun 1978-1986 China mulai membuka kembali pintu terhadap hubungan ekonomi internasional, salah satunya dengan pemberlakuan zona ekonomi khusus. China, tahap demi tahap mampu memperbaiki kondisi ekonomi negaranya dibuktikan dengan bergabungnya China dalam organisasi WTO (World Trade Organizationi) yang diinisiasi oleh Amerika Serikat.
Revitalisasi Jalur Sutra
Presiden China Xi Jinping berupaya menghidupkan kembali konsep “Silk Road” dengan program OBOR dalam kunjungannya ke Khazakhstan dan ditegaskan kembali dalam KTT Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada tahun 2013. Awalnya, inisiasi OBOR dipahami oleh Kementerian Perdagangan China sebagai solusi ekspor bagi sektor manufaktur baja ke wilayah barat China, namun kemudian berhasil menjadi kebijakan luar negeri China untuk menciptakan suatu koridor ekonomi dengan memadukan kekuatan geopolitik dan geoekonomi negara-negara “middle power” di Eropa, Asia dan Afrika, dengan China sebagai pusatnya. Program OBOR, “One Belt, One Road” terdiri dari “New Silk Road Economic Belt” yang mengindikasikan hubungan ekonomi yang lebih kuat dengan Asia Tengah dengan fokus perdagangan. Kemudian, para pemimpin China menambahkan satu konsep lagi yakni “21st Century Maritime Silk Road” yang dipandang sebagai upaya untuk mempererat hubungan dengan Asia Selatan dan Asia Tenggara yang difokuskan pada keamanan perdagangan maritim.
Presiden China Xi Jinping mengemukakan 5 poin utama untuk membangun bersama “the New Silk Road Economic Belt”dengan tujuan memperkuat hubungan antara China, Asia Tengah dan Eropa. Kelima poin tersebut antara lain: (i) memperkuat komunikasi kebijakan yang dapat membantu “memberikan lampu hijau” bagi kerjasama ekonomi; (ii) memperkuat koneksi jalan atau infrastruktur, dengan gagasan membentuk koridor transportasi yang besar dari Pasifik ke Laut Baltik, dan dari Asia Tengah ke Lautan Hindia, kemudian secara bertahap membangun jaringan koneksi transportasi antara Asia Timur, Asia Barat dan Asia Selatan; (iii) memperkuat fasilitas perdagangan, dengan fokus pada penghapusan halangan dagang (trade barriers) dan mengambil langkah mengurangi biaya perdagangan dan investasi; (iv) memperkuat kerjasama keuangan, dengan perhatian khusus pada penyelesaian mata uang yang dapat mengurangi biaya transaski dan mengurangi risiko finansial sambil meningkatkan ekonomi yang kompetitif; dan (v) memperkuat hubungan people-to-people.
Bagi pemerintah China, Master Plan Jalur Sutra Maritim dimulai di Quanzhou di Provinsi Fujian, melalui Quanzhou, Behai dan Haikou sebelum ke arah Selat Malaka. Dari Kuala Lumpur, Jalur Sutra Maritim mengarah Kalkuta, India dan menyeberangi Lautan Hindia hingga Nairobi, Kenya. Dari Nairobi, Jalur Sutra Maritim mengarah ke utara mengelilingi Benua Afrika dan bergerak melalui Laut Mati ke Laut Mediterania, berhenti di Athena, sebelum bertemu dengan Jalur Sutra Darat di Venisia. Proposal “New Silk Road Economic Belt” dan “21st Century Maritime Silk Road” kemudian menjadi kunci dari diplomasi infrastruktur baru China di bawah Pemerintahan Xi Jinping. Tujuan dari proposal ini adalah memperkuat hubungan dengan negara tetangga melalui investasi di bidang infrastruktur.
Bargaining Tools melalui Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB)
Melalui interkoneksi satu sabuk jalur sutra, China juga mengembangkan pembangunan moda transportasi untuk mengintegrasikan sumberdaya, kebijakan dan pasar. China merupakan negara dengan cadangan mata uang asing terbesar di dunia dan memiliki tingkat tabungan yang tinggi serta sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia. Melalui konsep OBOR, China menawarkan negaranya menjadi mitra dagang utama sepanjang jalur sutra bagi stabilitas politik dan kemakmuran negara berkembang.
Untuk mendukung konsep OBOR, Presiden Xi Jinping mengusulkan membangun erat masyarakat China-ASEAN dengan mengusung sejarah jalur perdagangan maritim rempah-rempah masa lampau untuk mempromosikan kerjasama maritim. Kemudian dalam pertemuan APEC di Bali pada Oktober 2013, Presiden Xi Jinping menyatakan pembentukan AIIB (Asian Infrastructure Investement Bank) guna membiayai mega proyek jalur sutra dan memfasilitasi pembangunan infrastruktur serta mempromosikan interkonektivitas regional dan integrasi ekonomi. AIIB akan memfokuskan pada “upgrading” infrastruktur baru di wilayah untuk mengakomodasi meningkatkan permintaan yang berasal dari kerjasama perdagangan maritim. AIIB juga menargetkan infrastruktur maritim lainnya termasuk manufaktur perlengkapan produk laut. Selain itu, AIIB akan melengkapi peningkatan pembiayaan pembangunan bilateral China dan menghubungkan lebih banyak sumberdaya dari negara-negara berkembang serta mengurangi batasan birokratis dan meningkatkan fleksibilitas.
Terbentuknya AIIB ini juga disambut baik dan didukung oleh negara-negara ditingkat regional Asian maupun non-regional dibuktikan dengan telah berrgabungnya 37 anggota regional dan 20 anggota non-regional. Hal ini membuktikan bahwa China telah berhasil meyakinkan dan menyatukan negara-negara di kawasan OBOR dan sekitarnya dalam satu institusi formal multilateral, dengan semangat untuk membangun infrastruktur negara berkembang di kawasan Asia terutama kawasan ASEAN yang potensial. Negara-negara Asia dan Asia Tenggara menyambut baik pembentukan AIIB dikarenakan melalui AIIB terdapat peluang besar bagi negara-negara berkembang untuk pemenuhan kebutuhan pembangunan negara mereka. Sedangkan bagi negara di luar regional yakin terhadap perekonomian China serta tertarik pada peluang organisasi ini sebagai bank investasi dan berbeda konsep dari bank komersial yang sudah ada, di sisi lain juga sebagai penyegaran dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang telah ada seperti IMF (International Monetary Fund), World Bank dan ADB (Asian Development Bank).
AIIB bisa dikatakan sebagai bargaining tool yang cukup efektif untuk China karena melalui AIIB, China mampu menggalang suara dan dukungan dari negara-negara berkembang dengan bantuan yang telah ditawarkan dan kontruksi identitas sebagai negara dunia ketiga serta semangat untuk membangun negara berkembang melalui dukungan investasi yang besar dari China. Selain itu, AIIB bisa digunakan sebagai alat tawar bagi negara-negara barat dalam kancah perekonomian global. Dengan dukungan dari negara-negara tersebut China mampu mendapatkan “numerical support” yang berpotensi membantu China meningkatkan kredibilitasnya di kancah internasional bahwa China mampu menjadi salah satu aktor pemimpin perekonomian dunia. Hal ini dibuktikan dengan China yang mampu menginisiasi lembaga keuangan internasional AIIB yang dapat menjadi penyempurnaan lembaga yang sudah sudah ada sebelumnya.
Hubungan China-ASEAN-Indonesia
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) One Belt One Road (OBOR) yang dilaksanakan pada tanggal 14-15 Mei 2017 di Beijing, China, dihadiri oleh 29 kepala negara dari 50 negara, salah satunya Indonesia. Jalur sutra modern menghubungkan China dengan negara-negara di Eropa, Asia dan Afrika melalui jalur darat dan jalur laut. Program OBOR mendapat dukungan lebih dari 60 negara yang mewakili 60% populasi dunia dan sekitar sepertiga Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, sehingga pertemuan ini dinilai strategis bagi Indonesia.
Gagasan Jalur Sutra Baru dimunculkan berdasarkan fakta bahwa ekonomi domestik China mengalami perubahan struktural yang merefleksikan “keadaan normal baru” dari pelambatan ekonomi, yang membawa dampak ekonomi signifikan bagi kawasan Asia (Indriana, 2015). Hal ini menunjukkan sinyal perubahan dalam strategi dan kebijakan luar negeri China dengan prioritas utama pada hubungan dengan negara-negara tetangga. Selain itu, gagasan ini juga selaras dengan Master Plan Konektivitas ASEAN dan visi baru Poros Maritim Dunia yang diajukan pemerintah Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo dengan penekanan pada kekuatan maritim. Persamaan kepentingan antara China dengan Indonesia dalam konteks 21st Century Maritime Silk Road dan Poros Maritim Dunia, memberikan peluang bagi kedua negara untuk merealisasikan kebijakan yang menekankan pada pengembangan kekuatan maritim. Salah satu aspek kerjasama yang memungkinkan dilakukan antara China dengan Indonesia adalah dalam hal pembangunan infrastruktur yang sangan dibutuhkan Indonesia untuk meningkatkan konektivitas antar pulau dan meningkatkan kualitas infrastruktur pelabuhan.
Dalam konektivitas daratan antara China dan Asia Tenggara, pemerintah lokal China memainkan peranan penting, seperti Provinsi Yunnan dan Daerah Otonom Guangxi memprioritaskan konektivitas transportasi fisik antar-kawasan dengan negara-negara ASEAN dan menginisiasi Strategi Gateway dan Zona Ekonomi Teluk Pan-Beibu. Proposal kedua pemerintah lokal tersebut bertujuan untuk memperkuat konektivitas bilateral di maritim dan udara melalui kerjasama pelabuhan dan Bandar udara (Indriana, 2015).
Presiden Xi Jinping juga menegaskan dalam pidatonya di hadapan parlemen Indonesia pada Oktober 2013 bahwa China akan memperkuat kerjasama maritime dengan ASEAN dan memajukan partnership maritime dengan ASEAN dalam rangka membangun 21st Century Maritime Silk Road. Penekanan utama terletak pada kerjasama ekonomi yang lebih kuat, termasuk aspek finansial, kerjasama yang erat dalam proyek patungan infrastruktur (pembangunan jalan raya dan jalur kereta) dan kerjasama teknis dan ilmiah dalam isu lingkungan. Proyek ini akan melibatkan kontruksi pelabuhan, upgrading pelabuhan, pembangunan pelayanan logistik dan pembentukan zona perdagangan bebas untuk meningkatkan perdagangan dan konektivitas antara pelabuhan internasional dan jalur perairan dalam.
Potensi China dan sejumlah negara pada jalur sutra modern memberikan peluang bagi peningkatan transaksi perdagangan ekspor impor negara-negara di sepanjang jalur sutra modern, termasuk Indonesia pada jalur sutra maritim. Pada tahun 2016, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke China pun menunjukkan pertumbuhan sebesar 13,97% dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar USD 13.3 miliar pada tahun 2015 dan USD 15,1 miliar pada tahun 2016. Selain ekspor, Indonesia berpeluang menarik investasi ke Indonesia melalui OBOR. Indonesia adalah negara ketiga yang menjadi target investasi setelah India dan Rusia, dengan estimasi nilai investasi sebesar USD 35-52 miliar. Sejak tahun 2013, tawaran investasi satu-persatu mulai masuk ke Indonesia, salah satunya adalah proyek pembangunan jaringan sarana dan prasarana kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Dari paparan di atas dapat ditarik benang merah bahwa jalur sutra modern merupakan rencana pengembangan perdagangan bebas China yang mempunyai potensi unggul, sehingga apabila OBOR berhasil diimplementasikan, bukan mustahil China akan menjadi kekuatan dunia, seperti halnya Inggris dan Amerika Serikat. Hal ini didukung dengan bargaining tool berupa AIIB guna menjadi alat penawar bagi negara lain untuk memperoleh “numerical support” dari negara yang bergabung di AIIB. Dengan demikian melalui konsep OBOR ini mampu menempatkan China sebagai pusat dunia di jalur perdagangan internasional.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
