Trapped in Love (Bab 6 - 10)

12
2
Deskripsi

Bab 6

Buah Tak Selalu Jatuh Dekat Pohonnya

 

"Selamat pagi, Pak," ucap Hana sambil menunduk singkat saat melihat Evan melewati mejanya untuk masuk ke dalam ruangan.

Evan tidak menjawab sapaan Hana, bahkan melemparkan senyuman pun tidak.

Hana mengoceh tanpa suara melihat kelakuan Evan padanya. 

"Mbak Hana kenapa?" tanya seorang cleaning service yang bertugas membersihkan lantai itu saat melihat mulut Hana komat-kamit.

Hana mencebik kesal. "Tuh, bos songong," jawabnya singkat.

"Oh, bos yang baru ya, Mbak? Anaknya Pak Ares? Masa sih songong, Mbak? Pak Ares baik banget loh."

"Nggak semua buah jatuh deket pohonnya, Mbak. Kali aja buahnya sebelum jatuh ke tanah udah kesundul sama jerapah, trus nggelundung jauh," jawab Hana asal.

Cleaning service bernama Tina itu terbahak mendengar gerutuan Hana di pagi hari. "Tapi ganteng, Mbak. Wajar songong."

"Ih." Hana makin berdecak kesal mendengar pujian Tina terhadap Evan. "Teori dari mana itu?"

Mengabaikan Tina yang masih mengelap dispenser sambil terkekeh, Hana memilih mengetuk pintu ruangan Evan untuk memberitahukan jadwal Evan hari itu.

Setelah beberapa kali ketukan dan terdengar suara Evan mempersilakan, baru lah Hana masuk. Dengan tab yang ada di tangannya, Hana mulai menjelaskan jadwal Evan. "Hari ini Pak Evan harus briefing sama pegawai Divisi Pengembangan Usaha. Setelah makan siang meeting dengan Divisi Strategi Pemasaran."

Evan melirik Hana sekilas. "Han, mamaku nanyain masalah pernikahan kita lagi. Kapan sih kamu mau jujur kalo kita nggak ngelakuin apa-apa?" sembur Evan tiba-tiba.

Hana yang semula menatap tab-nya, kini mengalihkan pandangannya pada Evan.

"Kamu seyakin itu kalo kita nggak ngelakuin apa-apa malam itu?"

Evan menatap Hana dengan tatapan tidak percaya. Dia ingat saat pagi itu Hana mengatakan pada mamanya kalau mereka tidak melakukan apa pun. Apa memang dia melakukan sesuatu pada Hana?

"See? Kamu sendiri aja nggak yakin apa yang udah kita lakukan. Gimana Tante Letta bisa yakin. Apalagi waktu itu Tante Letta ngelihat ini." Hana lantas menarik kerah kemajanya sisi kanan hingga lehernya terekspos.

Evan membeku di tempat saat melihat bekas yang ... diciptakannya?

"Nggak mungkin aku yang ninggalin bekas itu!" ucap Evan kasar.

Dengkusan kembali keluar dari Hana. Ia yang tadinya ingin menolak permintaan Letta untuk menikah dengan Evan, kini justru ingin mengiakan. 'Calm down Han, inhale ... exhale ....’ perintahnya pada diri sendiri.

"Bukan kewajibanku untuk bikin kamu percaya. Jam sepuluh di ruang meeting lantai ini." Hana mengingatkan sekali lagi jadwal Evan, kemudian memilih berlalu dari hadapan Evan. Daripada emosinya naik saat hari masih pagi.

***

Pagi itu, Evan memimpin briefing untuk semua stafnya setelah membaca bahan yang disiapkan Hana. Harus diakuinya, apa yang dikerjakan Hana memang nyaris sempurna. Pantas saja ayahnya mengangkat Hana sebagai asisten.

Bahan meeting yang disiapkan Hana cukup simple tapi menarik. Bahkan untuk Evan yang baru saja bergabung dengan Divisi Pengembangan Usaha, detail yang diberikan Hana bisa membantunya untuk memahami lebih cepat tugas dan fungsi divisi itu.

Tapi harga dirinya masih terlalu tinggi untuk mengucapkan 'terima kasih' pada wanita itu. 'Memang tugasnya kan?'

Hana mengetuk kembali ruangan Evan. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang dan Evan belum juga keluar dari ruangannya. Artinya, Hana yang harus menyiapkan makan siang untuk Evan. Hal ini yang dilakukan Hana saat dulu menjadi asisten Ares.

"Sudah jam makan siang, Pak. Pak Evan mau disiapkan apa?"

"Mulai detik ini, jangan masuk ruangan saya kalau bukan untuk urusan pekerjaan!" perintah Evan.

Hana terkesiap, tetapi beberapa detik kemudian bisa mengendalikan diri. "Baik, Pak," jawabnya singkat kemudian pergi dari ruangan Evan.

Kembali ke mejanya, Hana hampir saja menggebrak meja, andai tidak ingat kalau tidak jauh dari ruangannya, terdapat ruangan pegawai tata usaha, yang mungkin bisa mendengar apa yang dilakukannya.

Beruntung, getaran ponselnya membuat perhatian Hana teralihkan.

Ibra: Han, aku lagi meeting di deket Cakrawangsa

Ibra: Lagi sibuk nggak?

Ibra: Kalo lagi nggak sibuk, makan siang bareng yuk

Hana segera mengetikkan balasannya. Persetan dengan Evan yang tidak makan siang.

Hana: Nggak sibuk kok. Ketemu di mana, Bang?

Beberapa detik kemudian, balasan Ibra kembali muncul.

Ibra: Aku jemput kamu, udah di parkiran nih =)

Hana: Hah? Oke oke aku turun.

Hana menatap pintu ruangan Evan beberapa detik, kemudian membatalkan niatnya untuk izin keluar. "Katanya cuma urusan kerjaan kan baru boleh masuk ruangannya. Fine." Ia kemudian melangkah tergesa menemui Ibra yang sudah menunggunya.

Semula Hana berniat untuk menghampiri mobil Ibra yang sudah dihapalnya, walaupun ia harus mencari dulu di sebelah mana lelaki itu memarkirkan mobilnya, tapi Ibra melarangnya. Ibra meminta Hana untuk menunggu di lobby sementara Ibra akan menjemputnya di area drop off depan lobby.

"Hai, Bang," sapa Hana setelah masuk ke dalam mobil Ibra dan sibuk mengenakan safety belt. "Baru kelar meeting?"

"Iya."

"Emang nggak disediain makan siang di tempat meeting?"

"Disediain sih. Tapi pengen udon. Makanya ngajak kamu. Mau nggak makan udon?"

"Mau. Kan Bang Ibra tau aku pemakan segala. Nggak ngajak Vio?"

"Vio lagi ke Jakarta Utara, ketemu klien di sana. Keburu laper kalo nunggu dia."

Hana tersenyum mengerti. Ibra yang juga kakak dari sahabatnya ini selalu memperlakukannya layaknya adik sendiri. Kalau ia membelikan Vio suatu barang, pasti Hana juga dibelikannya. Kalau Vio tidak bisa menemaninya ke suatu tempat, pasti Hana yang akan diajaknya.

Bersama lelaki itu, Hana seperti memiliki kakak, rasanya mirip saat ia baru tinggal di kediaman Cakrawangsa, saat Evan memperlakukannya seperti adik, belasan tahun lalu.

"Bang, boleh mampir di Pooki Bbang dulu nggak?" pinta Hana saat mereka baru saja memasuki Kokas.

"Sekarang? Nanti kamu jadi kenyang, nggak makan udon dong."

"Nggak, aku makannya nanti di kantor kok. Beli sekarang aja mumpung lewat maksudku, daripada nanti mesti muter lagi."

"Ok, ok." Ibra menuruti permintaan Hana yang ingin menyantap cemilan asal Korea itu.

Setelahnya, baru lah keduanya menuju tujuan utama mereka.

"Kamu duduk aja, Han. Biar aku yang mesenin. Kayak biasa kan?" Ibra menghentikan langkahnya di depan salah satu restoran udon.

"Kasian Bang Ibra ngantri sendiri."

"Nggak apa-apa, kamu cari tempat aja. Kalo nggak gitu, kita malah nggak dapet tempat duduk."

Hana mengalah, mencari tempat duduk yang untungnya masih tersisa.

Sekitar lima belas menit kemudian, Ibra datang dengan membawa nampan berisi Niku Udon kesukaan Hana dan Abura Udon untuknya.

Hana sempat menatap lesu ke arah nampan karena tidak ada Kakiage kesukaannya. Ibra memperhatikan reaksi Hana lantas mengacak rambutnya. "Kakiagenya nanti dianter, habis tadi stock-nya, masih digoreng."

Senyuman langsung teruntai di bibir Hana. "Hampir aja aku mau jalan ke sana pesen sendiri."

Ibra hanya terkekeh melihat kelakuan Hana. "Ya nggak mungkin aku lupa sama kesukaanmu, Han."

"Laper banget, Bang? Kelamaan nungguin di Pooki Bbang tadi ya, maaf ya." Hana merasa bersalah karena membuat Ibra menunda laparnya demi menuruti kemauannya.

"Nggak apa-apa. Udah, kamu makan dulu."

Interaksi keduanya tidak luput dari tatapan dua orang yang menunggu di area waiting list karena kehabisan tempat untuk duduk di dalam restoran itu.

"Van, itu Hana bukan? Yang sama Hana itu bukannya Ibra, Direktur di Wasesa Group?" tanya Darel yang juga menjabat sebagai Direktur Keuangan di salah satu anak perusahaan Cakrawangsa.

Evan menoleh ke arah yang ditunjuk Darel. Matanya membulat sempurna menyaksikan pemandangan itu.

Bukan karena apa yang Hana lakukan dengan pasangan makan siangnya itu, melainkan karena sosok lelaki yang makan siang bersama Hana adalah Ibra Aji Wasesa, penerus Wasesa Group yang merupakan pesaing dari Cakrawangsa Group.

"Are you kidding me?" Asisten yang paling dipercayai ayahnya tengah makan siang dengan pesaing bisnis perusahaannya.

 

 

 

 

Bab 7

Hari Spesial Bagi Hana

 

"Mana bahan buat meeting siang ini?" tanya Evan sedikit berteriak kesal pada Hana yang baru masuk ke dalam ruangannya.

"Kan sudah saya email, Pak," jawab Hana juga tak kalah kesalnya.

"Saya mau print out-nya," desak Evan.

Hana mengernyit, tapi kemudian menurut pada Evan. "Sebentar, Pak," ucap Hana sambil menahan geraman kesalnya. Ia keluar ruangan Evan dan kembali tak lama kemudian. "Jadi, mulai sekarang Pak Evan maunya bentuk print out, bukan softcopy via email?" tanya Hana memastikan.

"Ya terserah saya mau bentuknya apa," jawab evan dingin.

Ingin rasanya Hana mencekik laki-laki di depannya ini. Padahal dulu saat menjadi asisten Direktur Utama, pekerjaannya tidak seruwet ini. Hey, Evan hanya Direktur Pengembangan Usaha dan tingkahnya melebihi Komisaris Utama.

"Baik, Pak. Lain kali saya tanyakan dulu ke Pak Evan. Maaf, soalnya saya baru tahu kalau untuk bahan meeting pun harus mengikuti mood Pak Evan yang naik turun." Hana lantas pergi begitu saja setelah menyentil ego Evan.

Evan mendengkus kesal. "Sialan! Dia ngatain gue moody!" umpatnya setelah Hana meninggalkan ruangannya.

Evan meletakkan kembali print out yang diberikan Hana karena memang sebenarnya dia sudah membaca bahan meeting dengan Direktur Strategi Pemasaran via email yang dikirimkan Hana, ia hanya ingin mengerjai Hana saja.

Setengah jam kemudian, Hana mengetuk kembali ruangan Evan dan mengingatkannya untuk segera bersiap karena Direktur Strategi Pemasaran pun sudah menuju ruang rapat.

Evan dengan langkah lebarnya berjalan di depan, dengan Hana yang mengekorinya beberapa langkah di belakang. Begini lah posisi yang seharusnya menurut Evan. Seorang bawahan harusnya berdiri beberapa langkah di belakang atasan.

Indra, Direktur Strategi Pemasaran tiba hampir bersamaan dengan Evan. Evan yang sudah pernah bertemu dengan lelaki paruh baya itu menjabat tangannya sebelum mengambil posisi duduk. Yang tidak disangkanya, Indra menyempatkan untuk berbasa-basi dengan Hana. Evan bisa melihat ada rasa tidak nyaman dari Hana tapi wanita itu bisa menguasai keadaan dengan baik, tanpa membuat Indra marah atau merasa canggung.

Meeting yang berlangsung sekitar dua jam itu membuat Evan sedikit pusing dan ingin segera kembali ke dalam ruangannya. Sebelum ia beranjak, Evan masih sempat mendengar Indra mengatakan sesuatu pada Hana.

"Han, nanti kalau ada yang perlu diklarifikasi dari divisi saya, langsung kontak saya ya."

Hana tersenyum tipis lalu menjawab, "Nanti saya kontak Mbak Sita, Pak. Kan nggak mungkin saya ganggu kesibukan Pak Indra."

Indra kemudian terkekeh karena lagi-lagi mendapat penolakan secara halus dari Hana.

‘Murahan’.

Itu yang dipikirkan Evan saat melihat Hana masih bisa melemparkan senyumnya pada pria paruh baya yang seumuran ayahnya dan jelas-jelas sejak tadi menggodanya.

Hana melirik jam tangannya yang sudah menunjuk pukul empat sore. Sudah saatnya pulang, tapi Evan belum juga keluar dari ruangannya. Hana menimbang-nimbang apakah dirinya perlu izin terlebih dulu atau tidak. Apakah izin pulang masuk kriteria yang bagi Evan menjadi alasan pembenaran untuk Hana mengetuk ruangan Evan?

Tapi Hana juga yakin Evan akan mengamuk kalau ia tidak menemukan Hana stand by di tempatnya saat ia membutuhkan sesuatu.

Setelah menghela napas beberapa kali, dengan keengganan maksimal, Hana akhirnya memutuskan untuk mengetuk pintu ruang kerja Evan.

"Saya izin pulang ya, Pak, udah jam empat," ucap Hana.

Tanpa mendongak dari layar komputernya, Evan berdecak kasar. "Asisten mana yang pulang duluan sementara atasannya masih berkutat dengan kerjaan?"

"Hari ini saja, Pak. Saya minta izin pulang lebih dulu dari Pak Evan. Saya ada acara."

"Sama siapa?" tanya Evan yang kini menatap Hana dengan penasaran. "Sama Direktur Wasesa Group? Atau Direktur Strategi Pemasaran Cakrawangsa? Wah, kamu pasti sombong ya, bisa deket sama orang-orang penting."

Mendengar ucapan Evan yang kentara sekali menyiratkan ejekan, membuat Hana mengepalkan tangannya. "Van, aku bener-bener harus pulang cepet."

"Ini di kantor, bukannya kita udah sepakat, kita harus menghormati jabatan masing-masing. Rasanya nggak enak kamu manggil saya hanya dengan nama."

Hana mencoba mengatur deru napasnya yang sudah mulai tidak teratur. Ingin rasanya ia menarik kerah baju lelaki di hadapannya itu dan menamparnya dengan keras.

"Saya masih baru di sini, masih banyak yang perlu saya pelajari. Kamu harus stand by."

Tanpa menjawab ucapan Evan, Hana berlalu dan membanting pintu ruangan Evan dengan cukup kencang. Ia harus menemukan tempat lain di mana tidak ada orang yang melihatnya, saat ini sudut matanya telah basah, air matanya hampir tumpah, dan ia tidak ingin seorang pun melihatnya, terutama Evan.

Hana masuk ke dalam bilik kamar mandi. Untung saja sebagian besar pegawai sudah pulang, jadi ia bisa sedikit berlama-lama di dalam bilik kamar mandi itu untuk menuntaskan tangisnya.

Ia tidak akan memohon pada Evan seandainya hari itu bukan hari spesial untuknya.

Belasan tahun ia merayakan hari spesial itu seorang diri dan kini ia terpaksa melewatkan hari spesial itu.

"Selamat hari lahir, Ma. Maaf hari ini Hana nggak bisa masakin makanan kesukaan Mama," ucapnya lagi sambil menahan tangis.

Setiap tahunnya Hana selalu melewatkan dua hari terpenting di hidupnya untuk melakukan hal-hal yang disukai ayah dan mamanya. Pertama, hari lahir mamanya, dan kedua, hari lahir ayahnya. Di dua hari spesial itu, Hana akan masak makanan kesukaan ayah dan mamanya, kemudian melihat-lihat lagi album foto keluarganya beserta video-video yang direkam ayahnya semasa hidup.

Hana kembali ke mejanya setelah berhasil menghilangkan jejak-jejak tangisnya. Beberapa pegawai yang hendak pulang menyapanya saat melihat Hana masih berkutat di depan komputer.

Hana mendengkus kesal, setelah berjam-jam ia duduk di kursinya, tidak sekali pun Evan memanggilnya. Lalu untuk apa dia duduk di sana dan melewatkan hari lahir mamanya.

***

"Azka, anterin ini ke apartemen Hana!" perintah Rimbi pada anaknya.

Rimbi, yang merupakan kakak dari Letta—mama Evan—dan juga sahabat dari almarhumah Shanti—almarhumah mama Hana—tahu pasti kalau Hana akan menyendiri di apartemennya seperti biasanya. Kalau ada segelintir orang yang masih mengingat hari lahir Shanti, itu adalah Rimbi dan Letta.

Azka tiba-tiba teringat hari lahir almarhumah mama dari Hana setelah mamanya menyerahkan paper bag yang berisi satu kotak saus  daging lada hitam dan dua toples nastar untuk diberikan pada Hana. "Hari lahir Tante Shanti ya, Ma?"

Rimbi mengangguk.

"Ya udah, aku anterin dulu," Azka kemudian pamit pada mamanya dan segera melajukan mobilnya menuju apartemen di kawasan Kuningan.

Saat Azka tiba di parkiran apartemen Hana, waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Azka yakin Hana sudah berada di apartemennya, karena itu Azka langsung turun dari mobil dan menunggu Hana di lobby sembari ia mencoba menelepon Hana.

"Halo, Ka," sapa Hana saat menyadari siapa yang meneleponnya.

"Turun gih Han, aku di lobby, Mama nyuruh aku nganterin sesuatu buat kamu."

"Lobby? Lobby apartemen?"

"Iya lah, lobby mana lagi?" Azka tergelak mendengar suara bingung dari Hana.

"Tapi aku masih di kantor, Ka. Kamu titipin aja ke penjaga di bawah ya."

"Hah? Kamu masih di kantor? Kamu nggak lupa hari ini hari apa kan?"

Terdengar helaan napas dari Hana. "Nggak, Ka. Lagi ada kerjaan aja," jawab Hana lirih.

"Ok, kalo gitu. Aku jemput kamu ke kantor." Setelah mengucapkannya, Azka langsung menutup teleponnya dan kembali menuju mobil dengan membawa tentengan dari mamanya. Ia agak yakin kalau Evan yang menahan hana di kantor hingga malam. Ia tahu bagaimana tabiat adik sepupunya. Karena itu, ia menghubungi orang lain untuk meminta bantuan.

"Halo, Tante."

"Kenapa, Ka?"

"Tante, Tante Letta inget kan hari ini hari apa? Tapi Hana masih ada di kantor, Tante."

"Hah? Hana masih di kantor? Evan memang belum pulang juga sih. Ya udah tante telepon Evan dulu biar nyuruh Hana pulang."

"Makasih ya, Tan. Ini aku lagi dalam perjalanan ke kantor Om Ares buat jemput Hana."

"Iya, iya, tante pastiin begitu kamu nyampe sana, Hana udah ada di lobby kantor."

***

Dering ponsel Evan membuat lelaki itu menghentikan apa yang dikerjakannya. "Iya, Ma? Aku masih di kantor."

"Mama tau. Suruh Hana pulang sekarang!" perintah Letta dengan nada dingin.

"Mama gimana sih, mana ada asisten pulang sebelum bosnya," jawab Evan sambil terkekeh.

"Evan! Hari ini hari lahir mamanya Hana. Yang dipunya Hana cuma kenangan sama mamanya. Mama nggak mau tau, kamu suruh Hana pulang sekarang juga!"

Evan terdiam setelah mendengar kata-kata mamanya, pantas saja tadi Hana membanting pintu saat ia tidak mengizinkannya pulang. Ia lantas merapikan barang-barangnya dan berniat pulang sekaligus menyuruh Hana pulang.

Saat keluar dari ruangannya, Evan menemukan Hana yang termenung di depan komputernya. "Han, kamu boleh pulang," ucapnya kemudian berlalu menuju lift.

Dalam beberapa detik saja, setelah mendengar ucapan Evan, Hana sudah berlari menuju lift dan beruntung, Evan masih menahan lift khusus VIP itu untuk Hana.

Tidak ada kata yang mampu diucapkan Hana, bahkan untuk sekadar berterima kasih, hatinya masih terlalu kesal dengan Evan, jadi ia memiliih diam.

"Mau kuanter?" tanya Evan.

"Nggak, makasih. Azka jemput aku," jawab Hana.

"Kamu mau ngapain memangnya?" tanya Evan penasaran. Apa yang harus dirayakan di hari lahir seseorang yang sudah tenang di alam lain?

"Harusnya aku bisa masakin makanan kesukaan mama, trus ngelihat album foto keluargaku, nonton video yang direkam ayahku. Aku cuma takut lupa sama orang tuaku. Kamu nggak tau rasanya takut ngelupain orang yang kamu sayang. Gara-gara kamu aku ngelewatin salah satu hari spesial dalam hidupku." Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, pintu lift terbuka dan Hana berlari menuju Azka yang sedang menunggunya.

 

 

 

 

Bab 8

Labil

 

"Han, ke ruangan saya!" perintah Evan melalui sambungan internal.

Beberapa detik kemudian, Hana telah berdiri di hadapan Evan. "Ada apa, Pak?"

Evan menelaah reaksi Hana. Apakah Hana masih marah padanya karena kejadian malam sebelumnya? Tapi rasa-rasanya ia tidak menemukan perbedaan berarti dari ekspresi Hana padanya. Tetap dingin.

"Saya nggak suka warna background power point yang kamu siapkan buat presentasi."

Seriously? Warna background power point? Ingin rasanya Hana mengumpat. Hana selalu menggunakan warna netral dalam setiap presentasi yang ia siapkan, jadi ia harus mengganti dengan warna apa? Pink?

"Pak Evan mau warna apa?"

"Terserah kamu. Pokoknya jangan ini."

"Kalau terserah saya, mungkin saya akan ganti warna biru ini jadi pink atau merah darah. Pak Evan mau?"

Evan mendesis kesal. Kenapa wanita di depannya itu selalu bisa membantahnya. Dan itu adalah hal yang paling dibencinya. "Ah udah lah. Nggak jadi."

"Lah, labil!" gumam Hana yang ternyata didengar Evan.

"Kamu bilang apa barusan?" bentak Evan.

Hana tidak menjawab pertanyaan Evan, ia hanya tersenyum pongah sambil berkata, "Kalau tidak ada apa-apa lagi, saya permisi."

Evan menggebrak meja setelah Hana keluar. Niat baiknya semula untuk menanyakan kondisi Hana dan meminta maaf lenyap seketika saat menatap Hana. Egonya masih terlalu tinggi untuk sekadar mengucapkan maaf.

***

-Malam sebelumnya-

"Are you ok, Han?" tanya Azka yang melirik sesekali ke arah Hana yang terdiam menatap jalanan yang berada di sisi kirinya.

Hana menoleh kemudian tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Lagian juga sebenernya apa yang kulakukan selama ini ... nggak ada gunanya juga kan, Ka. Jadi sekali ini aku ngelewatin, ya nggak masalah."

"Apa yang nggak berguna buat orang lain, belum tentu nggak berguna buat kamu, Han. Lagian ini Mama bawain makanan kesukaan Mama kamu, jadi kamu udah nggak perlu masak lagi."

"Sampein makasihku ke Tante Rimbi ya, besok aku juga telepon Tante deh."

Azka mengangguk karena Hana masih menatapnya. "Aku ... sebenernya nggak keberatan buat nemenin kamu, siapa tau kamu butuh seseorang untuk melampiaskan emosi."

Hana menikmati waktunya untuk terkekeh sambil merasakan kekhawatiran dari Azka, baru kemudian menjawab, "Kamu tau kan, Ka, ada hari di mana aku bener-bener pengen sendirian, dan salah satunya hari ini. It's ok, Ka. Kamu nggak perlu khawatir. Next time aku bakal traktir kamu, karena kamu udah repot-repot nganterin makanan dari mamamu sama jemput aku ke kantor malem ini."

"Nggak sekalian curhat tentang tingkah Evan?"

"Emang kamu masih mau ngedengerin aku curhat tentang dia? Bukannya kamu udah bosen dengerinnya."

Sejak SMP atau SMA, sejak kelakuan Evan berubah pada Hana tepatnya, Azka memang menjadi seseorang yang selalu mendengarkan cerita, omelan, pujian, sampai umpatan Hana tentang Evan. Wajar kalau Hana merasa Azka sudah bosan mendengarkan curhatnya.

"Aku kan pendengar yang baik, Han."

"Iya, aku tau, Ka. Tapi makin ke sini kayaknya aku makin kebal deh sama dia. Jadi aku nggak perlu curhat sesering dulu."

"Pokoknya yang mesti kamu inget, I'm all ears, Han. Kapan pun."

"Aku tau, Ka. Tenang aja. Sekarang, aku nggak serapuh dulu kok."

Azka kini masuk ke area parkir apartemen Hana. Jarak antara kantor dan apartemen Hana memang tidak terlalu jauh, padahal Azka masih ingin bersama Hana yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri. "Aku anter ke atas ya?"

"Nggak usah, Ka. Kan ini juga nggak berat bawaannya."

Kalau hati kecilnya ditanya, Azka benar-benar ingin mengantar Hana sampai depan pintu unit apartemennya. Tapi mengetahui sifat Hana, tentu saja Azka akan berakhir di dalam unit apartemen wanita itu, kemudian Hana akan sibuk membuatkannya minuman, mengajaknya makan malam sebelum pulang. Padahal Azka juga tahu kalau Hana sedang ingin sendiri untuk menggali kembali kenangan masa lalunya.

"Ya udah, hati-hati ya! Aku langsung balik," ucap Azka sesaat sebelum Hana membuka pintu mobil.

"Makasih ya, Ka."

Hana melangkah gontai menuju unit apartemennya. Senyum yang sejak tadi menghias bibirnya saat bersama Azka, kini hilang sudah. Sejak tadi pun ia tersenyum hanya agar Azka tidak khawatir padanya. Kalau sampai Azka khawatir, bisa dipastikan orang tua dari lelaki itu yang juga adalah sahabat almarhumah mamanya, akan merasa khawatir.

Setelah masuk ke dalam unit apartemennya, yang pertama dilakukan Hana adalah menyiapkan masakan yang dibawakan Azka di atas piring kemudian menghangatkannya. Hana juga mengambil sepiring nasi putih dan meletakkannya di atas meja. Semenit kemudian, microwave yang sedang menghangatkan daging lada hitam buatan Rimbi berbunyi.

"Maaf ya, Ma, Hana pulang telat." Ia tahu kalau ia sedang bermonolog, tidak ada sosok mamanya di depannya. Tapi ia hanya ingin merasakan seolah-olah mamanya ada. "Hana nggak sempet masak makanan kesukaan mama, tapi tadi dibawain Tante Rimbi. Kayaknya Tante Rimbi punya feeling ya, Ma."

Hana mulai menyuapkan makanannya sambil melanjutkan ceritanya. "Ma, Evan sekarang ngeselin banget deh. Tapi Tante Letta minta Hana nikah sama Evan, Hana mesti gimana? Bisa nggak sih Mama dateng ke mimpi Hana buat ngasih tau jawabannya?"

Hatinya mulai merasa sesak, tapi ia berjanji untuk tidak menangis di hari lahir mamanya, meski seringnya gagal. "Tante Letta sampe nangis, Ma. Hana bingung, Hana nggak tega sama Tante Letta. Tapi Hana juga nggak mau nikah tanpa cinta, Ma. Hana pengen kayak Mama sama Ayah yang saling cinta."

"Ada nggak ya yang bakal cinta sama Hana kayak Ayah cinta sama Mama?"

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Hana sempat terkesiap, sebelum akhirnya menghapus air matanya yang sempat jatuh beberapa tetes.

'Siapa? Azka? Ada yang kelupaan kah?' pikir Hana bingung. Ia tidak pernah menerima tamu di jam-jam seperti ini.

Mata Hana membulat sempurna saat melihat Evan berdiri di depan pintu unit apartemennya.

"Ngapain, Van?"

Evan tidak menjawab, hanya mengangsurkan tote bag berisi beberapa karton susu coklat.

"Buat aku?"

***

Entah kenapa Evan merasa gelisah setelah Hana pergi meninggalkan lobby kantornya bersama Azka. Bukan ia tidak percaya kalau Azka akan mengantar Hana pulang, bagaimana pun Azka sepupunya dan ia tahu bagaimana sikap Azka ke Hana. Rasanya hanya ... entahlah. Evan masih bingung untuk mendefinisikannya.

Ia memilih masuk ke dalam salah satu minimarket yang ia lewati, setelah menimbang-nimbang beberapa saat, ia memasukkan 5 karton susu coklat ke dalam keranjang belanja.

Setelahnya, ia langsung melajukan mobilnya menuju apartemen Hana. Evan tau pasti di mana dan berapa nomor unit apartemen Hana karena dulunya apartemen itu adalah apartemen yang ditinggali ayahnya saat masih belum menikah dan awal menikah dengan mamanya, sebelum mereka pindah ke rumah Menteng. Ia bahkan punya satu unit di lantai yang sama. Jadi, untuk urusan kartu akses, ia tidak akan kesulitan.

Dan kini, ia berdiri di depan pintu unit apartemen Hana, mengetuknya beberapa kali, sampai akhirnya Hana membukakan pintu.

Mungkin Hana pikir, Evan tidak akan sadar kalau ia baru saja menangis. Tapi Hana salah, Evan bisa melihat mata Hana yang masih berkaca-kaca. Tiba-tiba saja Evan membisu, tidak tahu harus mengatakan apa, karenanya ia hanya memberikan susu coklat yang tadi dibelinya di minimarket.

"Aku nggak tau kalo hari ini hari lahir mamamu. Kamu biasa minum susu coklat kan kalo nggak bisa tidur." Evan ingin meminta maaf karena menahan Hana di kantor, tapi rasanya lidahnya kelu. Ia memilih berbalik dan pergi, bahkan tanpa berpamitan pada wanita yang kini membeku di tempat setelah mendengar ucapannya.

***

Evan keluar dari ruangannya. Tanpa diminta, Hana mengambil tab-nya dan mengekori Evan. "Pak Evan nggak bilang mau berangkat sekarang? Saya minta supir kantor nyiapin mobil di lobby dulu," ucap Hana sambil berusaha menghubungi seseorang dengan ponselnya.

"Nggak usah. Bawa mobil sendiri aja."

"Eh?" Hana mendengus kesal. Ia paling malas kalau disuruh menyetir. Ares pun tidak pernah menyuruhnya menyetir. Tapi ia sadar, di sampingnya bukan Antares Cakrawangsa yang baik dan gentleman, melainkan Evan Gale Cakrawangsa yang ... begitu kelakuannya.

"Bisa nyetir kan?" Evan mengulurkan kunci mobilnya pada Hana.

Evan menarik kembali tangannya karena melihat keraguan di mata Hana. "Udahlah, saya aja yang nyetir."

'Astaga! Labil banget sih dari pagi!' batin Hana.

"Ini beneran nggak pake supir kantor aja, Pak?" tanya Hana sekali lagi sebelum mengenakan seat belt.

"Berisik ah, orang dibilang mau nyetir sendiri. Biar sekalian nanti bisa pulang, jadi nggak perlu ke kantor lagi abis meeting."

"Ok."

Evan mengemudikan mobilnya dengan santai. Meeting dijadwalkan jam dua, sementara saat ini masih jam satu siang. Mereka masih punya waktu satu jam, dan itu lebih dari cukup.

"Evan, awas!" teriak Hana.

Mendengar teriakan hana, Evan menginjak remnya dengan sigap. Ia melirik spionnya, aman, mobil di belakangnya juga berhenti tepat pada waktunya. Hanya dua mobil di depannya yang berjarak sekitar sepuluh meter yang terlibat kecelakaan. Entah apa yang terjadi pada dua mobil itu. Evan tidak sempat melihatnya karena sedikit kaget akibat teriakan Hana. Come on, jarak sepuluh meter, dengan kecepatan mengendarai Evan, Hana harusnya tidak perlu berteriak sekencang itu.

"Jauh di depan sana, Han, kecelakaannya. Astaga! Bisa nggak sih nggak ngagetin orang? Untung aja mobil belakang nggak nubruk kita," omel Evan.

Karena tidak ada jawaban dari Hana, Evan menoleh dan mendapati Hana memejamkan mata dengan tubuh gemetar sambil tangannya mencengkeram seat belt.

"Han, kenapa?"

Hana masih tidak bisa menjawab. Gemeletuk giginya justru semakin jelas terdengar.

"Han, kamu nggak apa-apa?" tanya Evan sambil menggoyang-goyangkan lengan Hana.

Sesaat kemudian, tubuh Hana tidak gemetar lagi. Evan menghela napas lega, sebelum kemudian kepala Hana terkulai lemas membentuk kaca jendela mobil.

"Han!"

 

 

 

 

Bab 9

Hana dan Traumanya

 

Hana mengerjapkan matanya perlahan. Setelah matanya membuka sempurna, barulah Hana mengernyit bingung, pemandangan yang ada di depan matanya bukanlah dinding dan plafon kamarnya. Saat ia akan menggerakkan tangannya, sesuatu terasa menahan tangannya. Hana menoleh dan mendapati Azka yang tertidur di kursi yang ada di sebelah kasurnya sambil menggenggam tangannya.

"Udah bangun?" tanya Azka saat merasakan gerakan tangan Hana yang digenggamnya.

"Hmm ...." Hana hanya menjawabnya dengan gumaman. Kemudian ia teringat sesuatu. "Tante Rimbi nggak tau kan kalo aku masuk rumah sakit? Tante Letta? Om Ares?"

"Kamu beruntung, mama papaku, Tante Letta sama Om Ares, semua lagi ke Jogja ke tempat Mbah, coba kalo mereka di sini, udah penuh ini kamar."

Hana terkekeh dan berusaha untuk mengubah posisinya.

"Kamu butuh sesuatu? Aku panggiling dokter ya?"

Hana menggeleng. Dari jam dinding yang ada di kamar itu, ia tahu kalau waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan pastinya psikiaternya sudah tidak berada di rumah sakit. Ia terlalu malas untuk bertemu dengan dokter umum untuk menceritakan semuanya. Lebih baik ia langsung bertemu dengan psikiaternya agar ia tidak perlu mengulang-ulang ceritanya.

"Laper nggak? Kata Dokter Erlin kamu boleh makan apa aja kok. Lagi pengen apa, biar aku beliin."

"Nggak terlalu laper sih, tapi kayaknya makan roti bakar coklat keju enak deh, pengen yang manis-manis." Hana memang terbiasa memakan makanan manis setelah traumanya kambuh.

Azka tersenyum sambil merapikan anak rambut Hana yang berantakan. "Aku keluar dulu ya, nyariin kamu roti bakar."

"Biar aku aja."

Suara itu berhasil membuat dua orang—yang sejak tadi mengobrol di dalam kamar—itu menoleh bersamaan.

Tanpa bicara lagi, Evan keluar dari ruang rawat yang kini ditempati Hana itu.

"Sejak kapan Evan di sini, Ka?"

"Sejak tadi lah. Kamu lupa? Kamu kambuh kan waktu lagi sama dia. Dia panik, trus bawa kamu ke rumah sakit. Dia nggak tau mau ngehubungin siapa karena kan orang tuanya sama orang tuaku lagi di Jogja, jadinya dia telepon aku."

Hana terdiam, mengingat-ingat apa yang terjadi. "Dia marah? Soalnya tadi itu lagi dalam perjalanan ke tempat stakeholder buat meeting."

"Nggak kok. Lebih kelihatan kayak orang cemas dan takut."

"Mana mungkin." Hana mendengus pelan, merasa Azka membohonginya agar ia tenang.

***

"Sebenernya Hana kenapa, Mas?" tanya Evan pada Azka saat Hana sudah kembali terlelap.

Keduanya duduk di sofa yang ada di dalam kamar itu, mengobrol pelan sambil menunggu kantuk.

"Masa kamu nggak tau kalo Hana punya PTSD? Dia kan tinggal di rumahmu dari kecil."

Evan mengernyit bingung, apakah ia yang selama ini memang tidak peduli pada Hana ataukah orang tuanya yang sengaja menyembunyikan kenyataan itu darinya?

Melihat Evan yang terdiam, Azka jadi yakin kalau Evan tidak tahu apa-apa tentang kondisi Hana. Post-Traumatic Stress Disorder sudah diderita Hana sejak kecelakaan yang dialaminya dengan orang tuanya, belasan tahun lalu. Semakin Hana dewasa, dia semakin bisa mengendalikan penyakitnya. Tapi, ada saat di mana ia tidak bisa mengontrolnya.

"Biasanya tersulut kalau dia ngelihat kecelakaan dan posisi dia lagi di dalam mobil. Kayaknya itu ngingetin dia sama kejadian belasan tahun lalu. Kali ini lebih parah karena kemaren hari lahir mamanya. Dia pasti ngorek kenangan masa lalunya semalem, cuma untuk ngingetin dia sama orang tuanya dan tiba-tiba hari ini dia ngelihat kecelakaan selagi naik mobil sama kamu."

"Aku harus apa kalo ini kejadian lagi?"

"Simple-nya jangan bikin ini kejadian lagi."

"Ya tapi kan aku nggak bisa ngontrol di jalanan bakal ada kecelakaan atau nggak, Mas." elak Evan.

"Iya, aku tau. Cukup berlaku baik aja sama Hana, biar dia nggak merasa sendirian."

Evan menghela napas. Entah apakah ia bisa melakukan apa yang dikatakan Azka. Berat untuknya. Ia membenci Hana, itu pasti. Ditambah beberapa hari sejak ia selalu bersama Hana, ia bisa melihat sendiri bagaimana Hana dekat dengan beberapa lelaki, bahkan pesaing bisnis Cakrawangsa. Rasanya semua karakter yang tidak disukainya ada pada Hana.

"Ayah sama Mama tau kondisi Hana?"

"Nggak mungkin nggak tau lah, Van. Mereka ngerawat Hana dari kecil."

"Kalo gitu kenapa Mama sama Ayah justru nyuruh Hana jadi asistenku? Kalau Hana masih jadi asisten Ayah, pastinya Ayah lebih bisa ngelindungin Hana."

"Ya aku nggak tau. Kamu inget-inget apa yang udah kamu lakukan, atau Hana lakukan sampe Om sama Tante sekeras ini sama kalian berdua."

Evan menyugar rambutnya dengan frustasi.

"Ada sesuatu yang terjadi?" tembak Azka lagi. Melihat adik sesupunya itu belum juga menjawabnya, Azka menghela napas sambil mencoba mengoreknya, siapa tahu Evan mau menceritakannya. "Ya aku nggak bakal bisa ngasih saran apalagi bantuin kalau kamu sama Hana nggak ada yang cerita ke aku. Yang pasti Van, aku nggak suka kalo Hana disakitin. Dia udah kuanggep kayak adekku sendiri, sama kayak Elaksi, kayak Elga." 

Di sisi lain, Evan ingin menceritakan apa yang terjadi tapi terlalu ragu. Ia masih belum dapat jawaban pasti apa yang dilakukannya pada Hana malam itu. Ia bisa saja berpura-pura percaya diri kalau malam itu tidak terjadi apa-apa. Tapi bagaimana kalau ia benar-benar telah merusak Hana?

***

"Han, aku ke kantor sebentar ya. Cuma buat meeting sebentar, nanti siang aku pasti udah balik ke sini," pamit Azka. Ia ingin tetap berada di sisi Hana, tapi ada satu meeting yang tidak bisa ditinggalkannya.

"Iya, Ka. Aku nggak apa-apa kok. Nanti cuma ada sesi konsultasi sama Dokter Erlin. Palingan abis itu dibolehin pulang," jawab Hana menenangkan.

Saat itu, tiba-tiba saja pintu ruang rawat Hana terbuka. Evan muncul sambil membawa paper bag yang kemudian diserahkannya pada Azka. "Nih, Mas. Katanya butuh kemeja buat meeting."

Azka mengangguk kemudian menuju kamar mandi untuk berganti pakaian setelah mengucapkan terima kasih.

Evan melirik Hana. "Kamu udah baikan?"

Hana mengangguk. "Oh iya, Van. Kemaren meetingnya gimana?" Hana lantas mengambil ponselnya, ingin menghubungi klien secara langsung untuk meminta maaf karena dirinya lah meeting mereka batal.

"Kamu mau apa? Kemaren aku udah hubungi mereka kok. Mereka ngerti dan meeting-nya bakal ditunda. Nanti kamu cek aja jadwal penggantinya ke Ribka."

"Maaf ya, karena aku—"

"Udah lah, yang penting kamu cepet keluar dari sini. Aku nggak bisa terus-terusan bolak-balik kantor-rumah sakit."

"Aku nggak minta kamu nungguin aku di sini, Van," balas Hana dengan kesal.

"Aku yang minta dia nemenin kamu, Han," ucap Azka yang baru saja keluar dari kamar mandi, dengan penampilan siap ke kantor. "Aku nggak mungkin ninggalin kamu sendirian, walaupun sebenernya nggak tega juga ninggalin kamu sama dia, tapi better ada dia, minimal nanti bisa nganter kamu ke dokter Erlin."

Tak lama kemudian, Azka benar-benar pergi dari sana, meninggalkan Hana dan Evan berdua.

"Kamu ke kantor aja, Van."

"Nanti Mas Azka ngamuk kalo kamu sendirian."

"Aku udah bilang Vio kok, nanti dia langsung ke sini abis dari pengadilan."

"Ya udah kalo gitu aku nunggu Vio dateng."

Hana hanya bisa menghela napas. Evan memang duduk di sofa yang jaraknya jauh darinya, tapi hal itu membuat Hana tidak mampu menahan dirinya untuk melirik ke arah sofa berkali-kali.

"Aku harus konsul," ucap Hana akhirnya setelah jarum jam menunjuk ke angka sembilan.

Evan berdiri untuk membantu Hana turun dari kasur dan membawakan cairan infusnya.

"Aku bisa sendiri, Van."

"Bisa nurut nggak sih? Mas Azka yang minta aku buat nemenin kamu sampe depan ruang konsul, nungguin kamu konsul, dan nganterin kamu ke  kamar lagi. Ok?"

Hana akhirnya menuruti apa yang diinginkan Evan. Oh bukan, lebih tepatnya apa yang diinginkan Azka.

***

"Kapan boleh pulang?" tanya Evan saat keduanya berjalan kembali menuju ruang rawat Hana pasca konsultasi dengan psikiater yang biasanya menangani Hana.

"Hari ini, nunggu cairan infusnya habis."

Keheningan kembali menyelimuti keduanya, sampai mereka tiba di depan pintu ruang rawat Hana.

Evan membantu membukakan pintu sementara satu tangannya yang lain mendorong tiang infus.

"Babe ... astaga, kenapa baru ngabarin tadi sih?" Vio yang ternyata sudah berada di dalam kamar, berlari memeluk Hana. Tanpa basa-basi, Vio meraih tiang infus yang semula dipegang Evan.

"Gimana? Lo nggak apa-apa kan?"

"Nggak apa-apa, biasa lah. Abis ini udah boleh pulang kok."

"Syukur deh. Lo balik ke apartemen abis ini?"

"Iya lah," jawab Hana sambil terkekeh melihat kepanikan sahabatnya.

"Di rumah gue aja ya, gue nggak tenang kalo lo tinggal di apartemen sendiri."

"Gue nggak kenapa-kenapa, Vi."

Tiba-tiba pintu ruang rawat itu terbuka lagi. Semula Evan pikir Azka yang sudah kembali dari meeting, ternyata perkiraannya salah.

Lelaki yang baru saja masuk itu, hanya menatap Evan sesaat, mengangguk, kemudian berlalu begitu saja untuk mendekati Hana.

Ibra mengusap puncak kepala Hana. "Gimana, Han?"

"Udah nggak apa-apa, Bang. Astaga, kalian ini kakak adek bener-bener setipe ya." Hana menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku udah boleh pulang, nunggu cairan infus abis aja."

"Tinggal di rumah kita aja ya, Vio tadi pagi udah izin ke Mama. Mama ngebolehin kok. Ya? Biar ada yang jagain kamu." Ibra menatap Vio dan Hana bergantian, benar-benar berharap Hana mempertimbangkan tawaran keluarganya.

Evan menggeram kesal mendengar lelaki yang baru saja sampai itu mengajak Hana tinggal bersama keluarga mereka. Bukan karena cemburu, ya, Evan yakin ia tidak cemburu. Hanya otaknya saja yang mulai menduga-duga. Pertama, Ibra berniat memanfaatkan Hana untuk mendapatkan rahasia Cakrawangsa. Kedua, Hana memang selama ini berhianat, karenanya ia bisa dekat dengan keluarga Wasesa, pesaing Cakrawangsa.

"Hana nggak akan tinggal sama kalian. Dia tinggal di rumahku." Ucapan Evan itu sukses membuat ketiga orang yang ada beberapa meter di depannya membeku.

 

 

 

 

Bab 10

Never Say Never

 

Vio kemudian menatap Hana, seakan meminta Hana mempertimbangkannya.

"Aku bakal ngasih tau orang tuaku apa yang terjadi kalau kamu nggak pulang ke rumah," ancam Evan.

Hana menghela napas, lantas tersenyum sambil memegang tangan Vio. "Gue ke Menteng aja, nggak apa-apa."

"Yang ada bukannya sembuh, malah makin parah," gumam Vio yang ternyata didengar Evan dan membuahkan cibiran dari Evan.

***

Hana berusaha memejamkan mata sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Evan. Berbicara dengan Evan adalah salah satu hal yang paling tidak diinginkannya saat ini.

Tapi sepertinya Evan tahu kalau Hana tidak benar-benar sedang tidur. "Aku nyuruh kamu tidur di rumah karena nggak pantes buat seorang cewek tidur di rumah laki-laki yang bukan keluarga," ucap Evan tiba-tiba. "Ayah sama Mama pasti juga bakal ngelarang kalau tau."

Hana terpaksa membuka matanya. Keningnya berkerut memikirkan ucapan Evan. "Kita juga bukan keluarga by the way." Hana mendengkus kesal. "Aku udah nggak punya keluarga." Entah kenapa kemarahan Hana meledak. Harusnya Evan tidak mengajaknya bicara saat Hana sedang dalam masa pemulihan.

"Sorry, sorry, aku belum minum obat," ucap Hana lagi setelah menyadari ia baru saja membentak Evan dan membuat lelaki itu terdiam. Mood Hana memang akan naik turun beberapa saat setelah PTSD-nya kambuh. Ia bahkan butuh bantuan obat antidepresan selama jangka waktu tertentu untuk mengendalikan dirinya.

Evan terdiam, tidak lagi ingin mendebat Hana karena ia tahu kondisi Hana yang masih belum stabil, sampai akhirnya mobil yang dikendarainya memasuki halaman rumah.

"Kamu di kamar tamu dulu aja, biar kamarmu dibersihin Bibi dulu."

Lagi-lagi Hana melirik Evan sesaat dan melangkahkan kakinya menuju rumah belakang di mana kamarnya berada.

"Apa sih maunya dia? Udah bagus gue baikin," gumam Evan. Ia kemudian mencari salah satu ART di rumahnya untuk membersihkan kamar Hana yang beberapa waktu lalu dijadikannya gudang.

"Loh, udah diberesin kok Mas, disuruh sama Mbak Elga waktu itu," jawab ART yang diperintahnya.

"Oh, udah beres. Ya udah kalo gitu, Bi."

Evan setidaknya bersyukur karena Hana bisa langsung beristirahat tanpa harus membereskan kamarnya dulu. Diam-diam Evan takut kalau mood Hana kembali berubah karena kondisi kamarnya. Karena itu, dia melangkah menuju kamar Elga. Di antara dirinya dan kedua adiknya, Elga lah yang terlihat sangat nyaman dengan keberadaan Hana.

"El," panggil Evan dari depan pintu kamar Elga setelah mengetuknya beberapa kali.

"Kenapa, Mas?" tanya Elga yang keluar sambil mengusap matanya, sepertinya Elga sedang tidur saat Evan membangunkannya.

"Ada Hana, temenin dia ya. Nanti kamu tidur di kamar dia nggak apa-apa kan?"

Elga menatap kakaknya dengan bingung. Permintaan itu cukup absurd untuk keluar dari mulut seorang Evan. "Mas kesambet apa?"

"Apa sih? Hana baru keluar dari rumah sakit. Kan nggak ada Ayah sama Mama, jadi kamu aja yang nemenin dia, kan nggak mungkin aku nyuruh Elaksi, yang ada berantem mereka nanti."

Elga berbalik, mengambil ponsel dan charger miliknya kemudian berlalu meninggalkan kakaknya yang kini sedikit merasa tenang.

"Eh, El, hati-hati ya, mood-nya lagi naik turun," ucap Evan menambahkan sedikit penjelasan kondisi Hana.

"Kak Hana masuk rumah sakit karena PTSD-nya kumat?" Elga menghentikan langkahnya dan menoleh ke kakaknya yang mengekorinya.

Evan mengangguk. Apa hanya dirinya seorang di rumah itu yang tidak tahu kondisi Hana? Sampai Elga pun tahu kondisi Hana, kenapa tidak ada seorang pun yang memberitahukan hal itu padanya?

"Kamu tau dari mana kalo Hana punya PTSD?"

"Mas aja terlalu cuek selama ini, nggak pernah peduli sama Kak Hana. Jarang pulang juga kan Mas kalo weekend, jalan-jalan terus, ya mana mungkin tau."

Elga melanjutkan langkahnya menuju lantai 3 di mana kamar Hana berada. Ia mengetuk pintu beberapa kali sebelum mendengar suara Hana yang mempersilakannya masuk.

"Kaaak." Hana merebahkan dirinya di kasur, tepat di samping Hana yang juga sedang berbaring. Dengan santainya ia memeluk Hana dari samping, seperti seorang adik yang sedang bermanja dengan kakaknya.

Elga sudah terbiasa menghadapi Hana saat PTSD-nya kambuh. Ia tahu topik pembicaraan mana yang sebaiknya tidak diucapkannya agar tidak memancing emosi Hana. Salah satunya adalah terkait rumah sakit dan keluarga.

"Kak Hana tidur di sini kan?"

"Iya, kenapa? Kamu mau tidur sama kakak?"

Elga mengangguk antusias. “Udah lama kita nggak cerita-cerita, Kak."

"Kamu mau cerita apa emangnya?"

Elga belum sempat menjawab, saat Evan berdiri di depan pintu kamar Hana yang tidak tertutup dan mengingatkannya untuk minum obat. "Udah minum obat, Han?"

Hana dan Elga sama-sama menoleh ke asal suara. Setelah beberapa detik, baru Hana menjawab, "Belum."

"Bentar aku minta bibi buat bawa minum sama cemilan ke sini, abis itu langsung diminum obatnya," ucapnya dengan wajah datar.

"Mas Evan kenapa sih? Aneh banget dah."

Hana mengedikkan bahu. Tak berselang lama, seorang ART membawakan apa yang tadi disebutkan Evan. Hana segera meminum obatnya, karena ia tahu gadis di depannya yang sudah dianggapnya seperti adik itu akan mengomel dan khawatir kalau ia mengabaikan jadwal minum obatnya.

"Kak."

"Hmm ...."

Elga kemudian tersadar kalau Hana masih dalam masa pemulihan, sebaiknya ia tidak mengungkit masalah yang didengarnya beberapa hari sebelumnya, kalau tidak mau Hana tersulut emosinya. "Nggak jadi."

"Apa, El?"

"Nggak." Elga tersenyum sambil berjalan menuju sofa yang ada di dekat jendela kamar itu.

"Kamu pasti mau nanyain masalah yang kamu dengerin beberapa hari lalu, tentang Kakak sama masmu. Iya kan?" tebak Hana telak.

Kalau Hana yang sudah menyinggungnya duluan, dengan nada bicara yang biasa saja, artinya hal itu masuk dalam kategori aman, Elga bisa melanjutkan pertanyaannya.

"Sebenernya hubungan Kak Hana sama Mas Evan gimana?"

"Nggak gimana-gimana. Ya cuma bos sama asisten."

"Kok yang kudenger waktu itu nggak kayak gitu."

"Kamu masih terlalu kecil untuk ngerti, El."

"Kak, aku udah kelas 2 SMA, bentar lagi 17 tahun. Dan Kakak tau kan kalo anak jaman sekarang lebih cepet dewasanya."

Hana menghela napas, setelah mempertimbangkan beberapa saat, Hana akhirnya berusaha menjelaskan dengan kalimat yang sederhana. "Kakak sama Evan ngelakuin kesalahan. Intinya gitu, jadi orang tuamu mau ngasih pelajaran ke kami biar nggak ngelakuin hal itu lagi."

Elga mengerjapkan matanya beberapa kali. "Kak Hana sama Mas Evan ... mmm ... ML?"

Hana menggeleng cepat. "Nggak, nggak, cuma kami memang minum alkohol pas malemnya, dan yah singkat cerita kami tidur bareng sekamar, tapi nggak ngapa-ngapain kok. Jangan ditiru ya. Kamu lihat kan gimana marahnya ayah sama mamamu."

"Kalian disuruh nikah? Aku nggak keberatan kok, Kak, seneng malah kalo Kak Hana beneran jadi kakak iparku."

"Evan nggak tau kalo kita nggak ngapa-ngapain. Dia bener-bener lupa karena mabuk parah. Aku—"

"Ini kesempatan buat Kak Hana. Kakak masih suka kan sama Mas Evan?"

Tiba-tiba kepala Hana terasa pening, bagaimana seisi rumah itu bisa tahu kalau ia pernah menyukai Evan? Bahkan orang tua Evan juga mengetahuinya. Apakah memang ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya?

"Aku mau nikah sama orang yang cinta sama aku, El." Hana mengusap puncak kepala Elga dengan sayang. "Jadi berat rasanya—"

"Aku juga nggak mau ya nikah sama kamu. Never!" Entah sejak kapan Evan berada di depan pintu, tapi dengan Evan tidak mengungkit-ungkit kejadian yang dilupakannya malam itu, dan hanya membahas masalah pernikahan, Hana yakin Evan belum lama berada di sana.

"Mas Evan!" panggil Elga sebelum kakaknya benar-benar pergi. "Never say never! Tau rasa kalo nanti Mas Evan yang jatuh cinta sama Kak Hana!"

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Trapped In Love
Selanjutnya Trapped in Love (Bab 11 - 15)
10
6
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan