Arah Pulang yang Sama #CeritadanRasaIndomie

0
0
Deskripsi

Hampir menginjak tiga tahun lamanya, Buma masih bersandar pada kesendiriannya. Tak pernah ada lagi barang satupun yang berhasil mengetuk pintu hatinya. Bukan karena tak ada. Bukan. Lebih tepatnya Buma lah yang memang mengunci rapat-rapat hatinya. Segalanya tak pernah sama semenjak perempuan itu memberinya sepucuk amplop hitam yang tergeletak begitu saja di kotak pos depan rumahnya. Tiba-tiba segalanya hilang. Baik perempuan itu maupun hati utuh Buma raib dibawanya entah kemana. Kini Buma hanyalah...

Seorang cowok sedang duduk termenung di halte bus. Matanya nampak nanar memandangi rintik hujan yang turun begitu lebat. Awan abu-abu semu putih masih nampak bergelantungan manja. Sesekali saut-sautan guntur terdengar berbarengan dengan riuhnya angin. Vespa tuanya dibiarkan begitu saja terguyur hujan sambil berharap cemas setelah ini tidak ada drama motor mogok. Bumantara Aksara. Buma. Begitulah orang-orang memanggilnya. Cowok yang dikenal memiliki gaya nyentrik karena kemana-kemana selalu bersama vespa tuanya. Buma si kulkas seribu pintu. Bagaimana tidak? Wajahnya yang nyaris seperti pahatan seniman sempurna selalu melayangkan tatapan elangnya kepada siapa saja. Bahkan lengkungan senyum di bibirnya bisa dihitung jari dalam sebulan. Buma pikir dengan bersikap seperti itu dia akan dijauhi orang-orang. Tapi Buma salah. Bakat berkelahi dan royalitasnya yang tinggi membuatnya memegang jabatan sang pentolan SMA Lima Sila. Ditambah lagi parasnya yang mendukung dan sikap dinginnya malah makin membuatnya menjabat double sebagai sang cassanova SMA Lima Sila. 

            Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya hujan berangsur reda. Buma menghela napas lega karena ia tidak harus menunggu lebih lama di halte bus ini sampai pantatnya panas. Sekarang ia tinggal berharap saja vespa nyentriknya tidak mogok karena terlalu lama terguyur hujan. Buma bangkit dari duduknya dan mencoba menyalakan vespanya. Tidak membutuhkan waktu lama, vespa Buma ternyata tidak masuk angin mendadak. Dengan kecemasan yang sudah menguap sempurna, Buma melajukan vespanya menyusuri jalanan Yogyakarta. Perasaan Buma selalu menjadi penuh ketika menyusuri jalanan Jogja sehabis hujan begini. Ditambah lagi siang dengan langkah malu-malunya yang menjemput sore membuat perasaannya menjadi tenang. Tak lupa Buma selalu melakukan ritualnya sebelum pulang ke rumah, yaitu menyusuri jalan Kota Baru. Yah. Buma sudah melakukan ritual seperti ini hampir dua tahun lamanya. Tepat setelah segalanya hilang. Hatinya dan gadisnya. Lembayung Renjana. Nja. Begitulah Buma suka memanggil gadis itu. 

Buma melambatkan lajunya ketika dua roda vespa kesayangannya menginjak jalan Kota Baru. Buma memilih berhenti ketika matanya menangkap warmindo di sebrang jalan depan rumah klasik berwarna coklat muda. Hatinya tiba-tiba seperti teriris ketika menatap warmindo dan rumah klasik tersebut. Masih segar benar di ingatan Buma bahwa warmindo itu adalah tempat pulang melepas penat bersama Renjana. Renjana yang akan selalu mengajak Buma untuk mampir ke warmindo apapun keadaannya. Renjana yang selalu memesan semangkuk indomie kuah kari dan Buma dengan semangkuk indomie ayam bawang. Kemudian mereka berdua akan mengambil tempat di beranda rumah klasik bercat coklat muda. Karena kebetulan pemilik rumah klasik bercat coklat muda adalah sang pemilik warmindo. Setelah menghabiskan indomie, keduanya akan bercerita apa saja yang menyenangkan. Entahlah, bersama Renjana, semangkuk rasa indomie kuah dan obrolan tidak penting menjadi lebih menyenangkan berkali-kali lipat. 

Tanpa disadari mata Buma sudah berkaca-kaca. Segala ingatan tentang Renjana berputar terus menerus bak kaset rusak. Sejujurnya Buma sangat rindu dengan rasa indomie di warmindo itu. Akan tetapi semenjak Renjana pergi, trauma untuk mendatangi tempat itu terbentuk di benak Buma. Tapi separuh hatinya mengatakan untuk mendatangi warmindo itu lagi. Mengenang dan berpulang pada Renjana lewat semangkuk indomie kuah ayam bawang bersama rasa hilang. 

Buma menghela napas gusar. Otaknya sungguh bertentangan dengan keinginan hatinya. Sudah hampir dua puluh menit ia masih bersandar pada vespa tuanya dan menatap warmindo itu dengan kegamangan. Ini sudah dua tahun. Tak seharusnya ia berlarut-larut dalam rasa trauma dan kehilangan. Mau bagaimanapun ia harus melawannya. Siapa tahu dengan keberaniannya untuk menginjakkan kaki di warmindo itu lagi, ia dapat mengikhlaskan Renjana dan berdamai. 

Setelah mempertimbangkan berbagai resiko, Buma akhirnya memutuskan untuk melajukan vespanya ke arah warmindo itu. 

Deg!

Jantungnya mendadak seperti berhenti ketika Buma menginjakkan kaki di parkiran warmindo itu. Bau Indomie yang sedang di masak membuatnya menghela napas kasar. Rasa-rasanya seperti ruh Renjana ikut ada di antara aroma Indomie itu. 

Buma masuk ke warmindo itu dan memesan. Ia memilih duduk di bangku panjang. Perasaan ini ternyata tidak seburuk bayangannya. Buma pikir ia akan disergap habis-habisan oleh ingatan tentang Renjana. Nyatanya semesta masih berbaik hati padanya untuk merasakan kenangan Renjana dengan cara baik-baik. Sungguh rasa-rasanya Buma tidak pernah sebahagia ini. Dua tahun lamanya Buma melewatkan begitu saja perasaan semenyenangkan ini. Semuanya masih terasa sama. Hanya satu yang berbeda, dulu Buma datang bersama Renjana, kini Buma datang bersama kenangan Renjana. 

“Kenapa ga ditempat biasanya? Takut keinget gue?” 

Deg!

Suara itu. Apakah Buma salah dengar? Akan tetapi Buma yakin pendengarannya masih berfungsi normal dan ingatannya masih merekam dengan baik bahwa pemilik suara itu adalah Renjana. Perlahan, Buma menengokkan kepalanya ke kiri. Memastikan apakah benar itu suara Renjana atau hanya halusinasinya saja. 

Deg! Ketiga kalinya jantung Buma hampir berhenti di tempat. Kali ini ditambah dengan kakinya yang mendadak selunak jelly. Tidak salah lagi. Matanya melihat Renjana.

Renjana tersenyum manis. Semanis bunga-bunga yang sekarang tiba-tiba bermekaran di perut Buma. Rasa-rasanya Buma seperti mimpi. Gadisnya kembali. 

“Bu, kayak biasanya ya?”

“Siap neng!”

Renjana menatap Buma, “Duduk di tempat biasanya mau?”

Buma menganggukkan kepalanya. Ia masih sulit berkata-kata. Keduanya menuju tempat biasa mereka duduk. Tak lama kemudian indomie kuah rasa kari dan indomie kuah ayam bawang mereka datang. 

Buma masih terpaku pada Renjana. Seakan-akan melihat Renjana seperti penemuan keajaiban dunia. 

“Kaget?”

“Saya nyaris jantungan,”

Renjana tertawa renyah. Tawa itu. Tawa yang sangat Buma rindukan selama dua tahun terakhir. 

            “Kenapa tiba-tiba? Sejujurnya saya mau marah sama kamu karena meninggalkan saya dengan sepucuk amplop hitam tapi hati saya kamu bawa lari.”

Renjana menarik napas panjang, “Maafin gue Ma. Gue Cuma ga siap Ma waktu itu kalo-kalo apa yang gue sampein ke elo bakalan ngerusak semua. Gue Cuma ga siap nerima kenyataan kalo gue jatuh cinta sendirian. Makanya gue mutusin buat ngasih tau elo lewat cara itu dan pergi adalah pelarian gue kalo apa yang gue takutin beneran terjadi.”

Buma tersenyum tipis. “Apa kamu pernah nanyain ke saya gimana perasaan saya pas itu? Saya hancur Nja. Kehilangan kamu juga saya kehilangan diri saya.”

            “Gue tau Ma. Gue salah. Tapi akhirnya gue sadar. Gue egois. Gue pikir dengan pergi gue lupa sama elo. Nyatanya engga Ma. Adanya gue makin kepikiran elo. Makanya gue balik ke Jogja. Dan kebetulan sebelum ke rumah elo gue emang niat mau lewat jalan ini. Terus gue liat lo lagi duduk di warmindo ini. Akhirnya gue mutusin buat ke sini. Dan pas sampe sini cuma liat punggung lo aja gue tau Ma itu elo. Dan gue siap Ma sekarang apapun yang mau lo bilang. Apapun.” 

Buma mengambil tasnya. Di keluarkannya amplop hitam.  Kemudian diberikannya amplop itu kepada Renjana. 

 Renjana menerima amplop itu dengan tatapan bingung, “Ini apa?”

“Ini surat dari saya. Buka aja. Kamu bisa tahu semuanya dari sini.” 

Dengan jantung berdegup dua kali lebih cepat, Renjana membuka perlahan amplop hitam pemberian Buma. Perlahan ia membaca kata demi kata yang terserat. 

‘Nja, mau dua tahun, lima tahun, bahkan sepuluh tahun lagi sekalipun, segalanya tetap sama. Selama bersama kamu, saya tetap mau menghabiskan waktu hanya untuk semangkuk indomie kuah kari dan semangkuk indomie ayam bawang di teras rumah klasik coklat muda di jalan Kota baru dengan obrolan-obrolan hangat. Karena Nja, saya rasa bersama kamu, indomie kesukaan kamu, rumah klasik, dan obrolan tidak pentingmu nyatanya akan selalu menjadi tempat pulang saya. Kamu dan indomie adalah satu paket arah pulang yang sama.’

Tes.

Air mata bahagia mengalir dari mata hazzel milik Renjana.

“Bener ya Ma, Arah pulang manusia itu mau diubah sebagaimanapun tetap sama. Kayak gue sama elo. Mau kepisah dua tahun dengan ego dan takut nyatanya arah pulang gue tetep ke elo, indomie, dan rumah klasik ini.”

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Hidden [BAB 1]
3
2
Roda putaran dunia tidak hanya berputar disatu orang saja. Dia juga perlu berputar pada orang diseluruh dunia. Hidup seperti bermain panggung sandiwara. Penuh drama. Ada kalanya sedih ada kalanya bahagia. Ada tokoh protagonis ada tokoh antagonis, ada juga tokoh netral. Dalam hidup nalar hanya membawamu dari A sampai B, tapi imajinasi akan membawamu dari A sampai ke manapun.🍭🍭🍭   Hujan rintik-rintik perlahan membasahi baju hitam yang tengah dikenakan oleh gadis yang sekarang sedang berjongkok di depan sebuah gundukan tanah bernisan. Gundukan tanah itu sudah kelihatan usang. Terlihat dari nisan yang tadinya berwarna putih berganti warna menjadi kecoklatan terkena tanah. Dilihatnya bunga yang tersandarkan di nisan itu mulai melayu,Gadis itu lalu menaburkan bunga tabur dan mengganti bunga yang tersandar di nisan itu dengan yang baru.Ia seperti tidak peduli dengan hujan yang sekarang mulai deras. Siapa yang tau, sekarang gadis itu tengah menangis dalam hujan. Disentuhnya nisan di hadapannya. Di elus-elusnya nisan itu dengan lembut.'Alvaro Demitris Khan, lahir 26 April 2000, wafat 11 Januari 2015 'begitulah nama yang terukir di nisan itu.Gadis itu terus saja menatap gundukan tanah di hadapannya. Sorot matanya menyiratkan kesedihan yang teramat dalam. Seperti kehilangan sosok yang benar-benar berarti dalam hidupnya.Hai Var, apa kabar? Kamu baik-baik aja kan di sana? Aku baik-baik aja di sini. Maaf ya aku baru dateng ke sini, aku akhir-akhir ini sibuk ngurus kepindahan aku.Gadis itu berkata kepada gundukan tanah di hadapannya. Tapi gundukan tanah itu hanya terdiam. Gadis itu melanjutkan ceritanya kembali.Var, mungkin ini bunga terakhir yang aku kasih ke kamu, maaf. Besok aku harus pindah ke Jogja. Bang Gavin kuliah di sana. Kata mamah sama papah, kita sekeluarga juga ikut pindah ke sana, biar ngawasin bang Gavinnya gampang.Gadis itu menatap nisan itu lagi. Ia menarik nafasnya dalam-dalam.Aku rindu kamu Var, aku kangen sama kamu. Kamu kenapa sih var harus ninggalin aku? Kenapa Var? Harusnya kamu dengerin omongan aku, pasti jadinya gak bakalan kaya gini.Gadis itu menjerit, tak kuasa menahan kepedihan di hatinya. Siapa yang tau bahwa sekarang ia tengah menangis di tengah hujan.Ia sudah tau, bahwa jika ia datang ke tempat ini akan beresiko besar pada hatinya. Akan beresiko besar untuk jiwanya. Akan beresiko besar membuka luka yang perlahan dijahitnya rapi-rapi kembali ternganga besar. Dan satu lagi, pasti akan memunculkan satu persatu kenangan yang berusaha ia enyahkan dua tahun terakhir ini.Di usapnya air mata yang bercampur dengan hujan.Aku pergi dulu ya Var.Setelah mengatakannya, gadis itu lantas bangkit dari tempatnya berjongkok dan berlalu begitu saja di tengah derasnya hujan sore itu.🍭🍭🍭   Ya ampun Bitha, Kamu dari mana aja? Kok bisa basah kuyup begini? Wanita paru baya dengan paras cantik dan dandanan elegan itu menghampiri putrinya yang baru saja kembali dengan keadaan basah kuyup.Dari hujan-hujan, jawab Bitha enteng.Kok hujan-hujan sih? Nanti kalo sakit gimana? Hm? Cepet mandi terus ganti baju, Bunda bikinin teh anget dulu. Bundanya ngomel panjang lebar, yang membuat Bitha memutar matanya jengah.Iya Nda.Dengan langkah gontai Bitha menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Baru saja ia menaiki anak tangga ke tiga bundanya sudah menyerukan suaranya dengan lantang.Bithaaaaa. Jelas, suara itu menggema ke seleruh ruangan. Yang Bitha yakini itu berasal dari dapur.Bitha berdecak, langkahnya terhenti.Apa Nda?Jangan lupa kemasi barang-barang kamu, kamu gak lupa kan kita mau pindahan?Hmmmm. Bitha hanya menjawab dengan gumaman, yang tentunya tidak akan di dengar oleh Bundanya yang berada di dapur itu.Bitha, Kamu denger Bunda ngomong kan? Bitha sudah menduga bahwa bundanya akan meneriaki namanya lagi.iya Nda, Bitha denger.Dengan muka yang ditekuk dua belas, ia menaiki anak tangga sambil menghentak hentakkan kakinya menuju kamarnya. Lalu ia langsung masuk ke kamar mandi.Satu jam ritual mandi Bitha akhirnya selesai juga. Ia keluar dengan handuk yang menyelimuti rambutnya yang basah. Ia kemudian mengambil koper yang tersimpan di lemari khusus semua tasnya di simpan. Dibukanya lemari pakaian berwarna merah itu. Seketika memaparkan berderet deret pakaian yang tertata rapi. Di ambilnya pakaian itu dan dimasukkan ke koper besarnya.Jreggg!Terdengar pintu kamar Bitha terbuka, membuat sang penghuni kamar yang tadinya sibuk dengan pakaian-pakaiannya sontak langsung menengokkan kepalanya dan didapatinya abangnya tengah berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di depan dada. Abangnya itu langsung masuk ke kamar Bitha dan mengambil posisi duduk di tepi ranjang tak jauh dari tempat Bitha menata pakaiannya.Dari mana aja? suara itu tampak tenang tapi mengintrogasi.Dari hujan-hujan. jawab Bitha tanpa menengok ke abangnya. Berusaha fokus dengan apa yang dilakukakannya.Bohong. Dingin. Suara itu terdengar datar tak ada nada di dalamnya. Suara itu langsung menghentikan aktivitas Bitha. Ia duduk di samping abangnya. Dia seharusnya tau, dia tidak mungkin berbohong kepada lekaki di sampingnya yang jelas-jelas tau benar luar dalamnya Bitha.Lo ke sana lagi?Skak mat!Dugaan abangnya selalu benar. Abangnya selalu tahu jika Bitha pulang dalam keadaan yang tak biasanya, pasti dari tempat itu.Bitha menganggukkan kepalanya pelan. Matanya menatap lurus-lurus ke depan. Kosong. Semua kosong.Gak selamanya lo ada di bayang-bayang masalalu kayak gini. Gue gak mau lihat lo nangisin sesuatu yang jelas-jelas udah gak ada wujud dan rupanya.Yah, abangnya benar, selama ini dia masih terbayang bayang dengan Varo. Seseorang yang membuat hatinya mati seperti tidak berfungsi. Yang membuatnya tidak bisa keluar dari labirin masa lalu yang semakin hari membuatnya semakin terperosok di dalamnya. Dia berusaha membangun benteng kokoh, tapi benteng itu runtuh kembali ke pondasi awal ketika dia datang ke tempat itu.Gue gak maksa lo buat ngelupain semuanya. Gue tau, ngelupain lebih sulit, gue tau sesuatu yang dipaksa akan jadi buruk endingnya. Maka dari itu jangan pernah paksa hati lo buat ngelupain dia. Biarin dia ada, yakin sama gue, seiring Berjalannya waktu lo bisa nerima semuanya. Berdamailah dengan masalalu. Jangan mencoba melawannya atau lo sendiri yang akan kena jebakannya.Abangnya itu mengelus puncak kepala Bitha. Lalu meninggalkan Bitha yang masih pada posisi awalnya.Diam-diam, Bitha membenarkan kata abangnya itu. Diam-diam hatinya mengiyakan. Gak selamanya dia terperangkap dan tidak berusaha keluar dari masalalu. Mulai sekarang, dirinya benar-benar akan mencoba melakukan apa yang dikatakan abangnya. Berdamai dengan masalalu. Itu yang akan dilakukannya.🍭🍭🍭   Matahari menelisik masuk ke sela-sela jendela disalah satu kamar di lantai nomer dua sebuah rumah besar nan megah bercat merah marun itu. Membuat penghuni kamar lantai dua itu membuka matanya. Mengrejap ejapkan matanya. Ia mengulet sebentar. Mengumpulkan kesadarannya. Baru setelah dirasa terkumpul ia bergegas ke kamar mandi.Satu jam kemudian, ia keluar kamar mandi lalu menuju meja riasnya. Di poleskannya bedak setipis mungkin dan mengolesi bibirnya dengan lipblam. Di kuncirnya rambut panjang sepinggang itu ala-ala poni tail.Ia mengamati dirinya di kaca. Hari ini Bitha memakai hot pans warna hitam dan sweater warna merah serta sepatu adidas putih kebanggaannya.Sejujurnya Bitha berat meninggalkan kota Jakarta ini. Bukan karena dia akan meninggalkan teman-temannya di sini, toh Bitha belum begitu kenal dengan mereka, karena baru dua bulan Bitha masuk sekolah menengah atas di salah satu sekolah ternama di Jakarta. Menurutnya anak-anak di Sana gak sesuai dengannya. Menurut Bitha, anak-anak di sana lebay, alay, dan sebagainya. Jadi itu bukan masalah. Tapi, di kota Jakarta inilah semua di mulai. Semuanya terukukir dengan indah. Kenangan bersama laki-laki yang selama dua tahun penuh terus ada di pikirannya.Bitha menarik nafas dalam dalam. Menghembuskannya perlahan lahan. Is mengedipkan sebelah matanya di pantulan cermin dan menyeret kopernya yang berjumlah hingga enam koper. Sampai ia harus membawanya dua koper berulang tiga kali.Sempat bi Tatik menawarkan untuk membawakan koper Bitha turun, tapi di tolak oleh Bitha dengan alasan'udah bi gak papa, Bitha bisa kok, nanti kalo bibi bantuin encoknya kambuh lho'.Selalu saja seperti itu. Yang tak urung membuat pembantu rumah tangga yang sudah delapan belas tahun mengabdi untuk keluarga Roynaldi itu menjadi tertawa. Entah kenapa bi Tatik sangat senang dengan sikap Bitha yang mandiri, dan mengurus semuanya sendiri selagi bisa.Nda, pesawat kita berangkat jam berapa?Jam 9 tha, ngomong-ngomong bawaan kamu banyak banget sih. Bunda Bitha menatap enam koper yang di taruh tak jauh dari meja makan bersama koper-koper lainnya.Kayak gak tau Bitha aja nda, celana waktu dia bayi aja masukin situ juga kali.brisik lu bang! Bitha melengos.Tapi memang benar, di antara kakaknya, Bunda dan Ayahnya dia lah yang kopernya paling banyak. Lainnya maksimal hanya tiga koper. Untung saja barang-barang besar seperti mobil dan motor abang nya itu sudah di angkut duluan jauh-jauh hari.Buruan ah, di habisin sarapannya. Keburu pesawatnya take off.Bitha dan Gavin menghabiskan sarapan roti isi nya dengan lahap. 🍭🍭🍭    Setengah jam kemudian mereka sampai di bandara. Pesawat yang akan ditumpangi keluarga Roynaldi sebentar lagi akan take off.     Yok kita masuk, bentar lagi pesawat kita take off. Bang Gavin, menggandeng tangan Bitha.     Bitha menganggukkan kepalanya. Mengikuti langkah abangnya.     Bitha menatap sekeliling bandara.     Selamat tinggal Var, selamat tinggal Jakarta, semoga semua akan baik-baik saja.  Bitha berkata dalam hati diikuti kakinya yang satu persatu meninggalkan jejak kenangan di Kota kelahirannya itu.         
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan