
Hampir menginjak tiga tahun lamanya, Buma masih bersandar pada kesendiriannya. Tak pernah ada lagi barang satupun yang berhasil mengetuk pintu hatinya. Bukan karena tak ada. Bukan. Lebih tepatnya Buma lah yang memang mengunci rapat-rapat hatinya. Segalanya tak pernah sama semenjak perempuan itu memberinya sepucuk amplop hitam yang tergeletak begitu saja di kotak pos depan rumahnya. Tiba-tiba segalanya hilang. Baik perempuan itu maupun hati utuh Buma raib dibawanya entah kemana. Kini Buma hanyalah...
Seorang cowok sedang duduk termenung di halte bus. Matanya nampak nanar memandangi rintik hujan yang turun begitu lebat. Awan abu-abu semu putih masih nampak bergelantungan manja. Sesekali saut-sautan guntur terdengar berbarengan dengan riuhnya angin. Vespa tuanya dibiarkan begitu saja terguyur hujan sambil berharap cemas setelah ini tidak ada drama motor mogok. Bumantara Aksara. Buma. Begitulah orang-orang memanggilnya. Cowok yang dikenal memiliki gaya nyentrik karena kemana-kemana selalu bersama vespa tuanya. Buma si kulkas seribu pintu. Bagaimana tidak? Wajahnya yang nyaris seperti pahatan seniman sempurna selalu melayangkan tatapan elangnya kepada siapa saja. Bahkan lengkungan senyum di bibirnya bisa dihitung jari dalam sebulan. Buma pikir dengan bersikap seperti itu dia akan dijauhi orang-orang. Tapi Buma salah. Bakat berkelahi dan royalitasnya yang tinggi membuatnya memegang jabatan sang pentolan SMA Lima Sila. Ditambah lagi parasnya yang mendukung dan sikap dinginnya malah makin membuatnya menjabat double sebagai sang cassanova SMA Lima Sila.
Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya hujan berangsur reda. Buma menghela napas lega karena ia tidak harus menunggu lebih lama di halte bus ini sampai pantatnya panas. Sekarang ia tinggal berharap saja vespa nyentriknya tidak mogok karena terlalu lama terguyur hujan. Buma bangkit dari duduknya dan mencoba menyalakan vespanya. Tidak membutuhkan waktu lama, vespa Buma ternyata tidak masuk angin mendadak. Dengan kecemasan yang sudah menguap sempurna, Buma melajukan vespanya menyusuri jalanan Yogyakarta. Perasaan Buma selalu menjadi penuh ketika menyusuri jalanan Jogja sehabis hujan begini. Ditambah lagi siang dengan langkah malu-malunya yang menjemput sore membuat perasaannya menjadi tenang. Tak lupa Buma selalu melakukan ritualnya sebelum pulang ke rumah, yaitu menyusuri jalan Kota Baru. Yah. Buma sudah melakukan ritual seperti ini hampir dua tahun lamanya. Tepat setelah segalanya hilang. Hatinya dan gadisnya. Lembayung Renjana. Nja. Begitulah Buma suka memanggil gadis itu.
Buma melambatkan lajunya ketika dua roda vespa kesayangannya menginjak jalan Kota Baru. Buma memilih berhenti ketika matanya menangkap warmindo di sebrang jalan depan rumah klasik berwarna coklat muda. Hatinya tiba-tiba seperti teriris ketika menatap warmindo dan rumah klasik tersebut. Masih segar benar di ingatan Buma bahwa warmindo itu adalah tempat pulang melepas penat bersama Renjana. Renjana yang akan selalu mengajak Buma untuk mampir ke warmindo apapun keadaannya. Renjana yang selalu memesan semangkuk indomie kuah kari dan Buma dengan semangkuk indomie ayam bawang. Kemudian mereka berdua akan mengambil tempat di beranda rumah klasik bercat coklat muda. Karena kebetulan pemilik rumah klasik bercat coklat muda adalah sang pemilik warmindo. Setelah menghabiskan indomie, keduanya akan bercerita apa saja yang menyenangkan. Entahlah, bersama Renjana, semangkuk rasa indomie kuah dan obrolan tidak penting menjadi lebih menyenangkan berkali-kali lipat.
Tanpa disadari mata Buma sudah berkaca-kaca. Segala ingatan tentang Renjana berputar terus menerus bak kaset rusak. Sejujurnya Buma sangat rindu dengan rasa indomie di warmindo itu. Akan tetapi semenjak Renjana pergi, trauma untuk mendatangi tempat itu terbentuk di benak Buma. Tapi separuh hatinya mengatakan untuk mendatangi warmindo itu lagi. Mengenang dan berpulang pada Renjana lewat semangkuk indomie kuah ayam bawang bersama rasa hilang.
Buma menghela napas gusar. Otaknya sungguh bertentangan dengan keinginan hatinya. Sudah hampir dua puluh menit ia masih bersandar pada vespa tuanya dan menatap warmindo itu dengan kegamangan. Ini sudah dua tahun. Tak seharusnya ia berlarut-larut dalam rasa trauma dan kehilangan. Mau bagaimanapun ia harus melawannya. Siapa tahu dengan keberaniannya untuk menginjakkan kaki di warmindo itu lagi, ia dapat mengikhlaskan Renjana dan berdamai.
Setelah mempertimbangkan berbagai resiko, Buma akhirnya memutuskan untuk melajukan vespanya ke arah warmindo itu.
Deg!
Jantungnya mendadak seperti berhenti ketika Buma menginjakkan kaki di parkiran warmindo itu. Bau Indomie yang sedang di masak membuatnya menghela napas kasar. Rasa-rasanya seperti ruh Renjana ikut ada di antara aroma Indomie itu.
Buma masuk ke warmindo itu dan memesan. Ia memilih duduk di bangku panjang. Perasaan ini ternyata tidak seburuk bayangannya. Buma pikir ia akan disergap habis-habisan oleh ingatan tentang Renjana. Nyatanya semesta masih berbaik hati padanya untuk merasakan kenangan Renjana dengan cara baik-baik. Sungguh rasa-rasanya Buma tidak pernah sebahagia ini. Dua tahun lamanya Buma melewatkan begitu saja perasaan semenyenangkan ini. Semuanya masih terasa sama. Hanya satu yang berbeda, dulu Buma datang bersama Renjana, kini Buma datang bersama kenangan Renjana.
“Kenapa ga ditempat biasanya? Takut keinget gue?”
Deg!
Suara itu. Apakah Buma salah dengar? Akan tetapi Buma yakin pendengarannya masih berfungsi normal dan ingatannya masih merekam dengan baik bahwa pemilik suara itu adalah Renjana. Perlahan, Buma menengokkan kepalanya ke kiri. Memastikan apakah benar itu suara Renjana atau hanya halusinasinya saja.
Deg! Ketiga kalinya jantung Buma hampir berhenti di tempat. Kali ini ditambah dengan kakinya yang mendadak selunak jelly. Tidak salah lagi. Matanya melihat Renjana.
Renjana tersenyum manis. Semanis bunga-bunga yang sekarang tiba-tiba bermekaran di perut Buma. Rasa-rasanya Buma seperti mimpi. Gadisnya kembali.
“Bu, kayak biasanya ya?”
“Siap neng!”
Renjana menatap Buma, “Duduk di tempat biasanya mau?”
Buma menganggukkan kepalanya. Ia masih sulit berkata-kata. Keduanya menuju tempat biasa mereka duduk. Tak lama kemudian indomie kuah rasa kari dan indomie kuah ayam bawang mereka datang.
Buma masih terpaku pada Renjana. Seakan-akan melihat Renjana seperti penemuan keajaiban dunia.
“Kaget?”
“Saya nyaris jantungan,”
Renjana tertawa renyah. Tawa itu. Tawa yang sangat Buma rindukan selama dua tahun terakhir.
“Kenapa tiba-tiba? Sejujurnya saya mau marah sama kamu karena meninggalkan saya dengan sepucuk amplop hitam tapi hati saya kamu bawa lari.”
Renjana menarik napas panjang, “Maafin gue Ma. Gue Cuma ga siap Ma waktu itu kalo-kalo apa yang gue sampein ke elo bakalan ngerusak semua. Gue Cuma ga siap nerima kenyataan kalo gue jatuh cinta sendirian. Makanya gue mutusin buat ngasih tau elo lewat cara itu dan pergi adalah pelarian gue kalo apa yang gue takutin beneran terjadi.”
Buma tersenyum tipis. “Apa kamu pernah nanyain ke saya gimana perasaan saya pas itu? Saya hancur Nja. Kehilangan kamu juga saya kehilangan diri saya.”
“Gue tau Ma. Gue salah. Tapi akhirnya gue sadar. Gue egois. Gue pikir dengan pergi gue lupa sama elo. Nyatanya engga Ma. Adanya gue makin kepikiran elo. Makanya gue balik ke Jogja. Dan kebetulan sebelum ke rumah elo gue emang niat mau lewat jalan ini. Terus gue liat lo lagi duduk di warmindo ini. Akhirnya gue mutusin buat ke sini. Dan pas sampe sini cuma liat punggung lo aja gue tau Ma itu elo. Dan gue siap Ma sekarang apapun yang mau lo bilang. Apapun.”
Buma mengambil tasnya. Di keluarkannya amplop hitam. Kemudian diberikannya amplop itu kepada Renjana.
Renjana menerima amplop itu dengan tatapan bingung, “Ini apa?”
“Ini surat dari saya. Buka aja. Kamu bisa tahu semuanya dari sini.”
Dengan jantung berdegup dua kali lebih cepat, Renjana membuka perlahan amplop hitam pemberian Buma. Perlahan ia membaca kata demi kata yang terserat.
‘Nja, mau dua tahun, lima tahun, bahkan sepuluh tahun lagi sekalipun, segalanya tetap sama. Selama bersama kamu, saya tetap mau menghabiskan waktu hanya untuk semangkuk indomie kuah kari dan semangkuk indomie ayam bawang di teras rumah klasik coklat muda di jalan Kota baru dengan obrolan-obrolan hangat. Karena Nja, saya rasa bersama kamu, indomie kesukaan kamu, rumah klasik, dan obrolan tidak pentingmu nyatanya akan selalu menjadi tempat pulang saya. Kamu dan indomie adalah satu paket arah pulang yang sama.’
Tes.
Air mata bahagia mengalir dari mata hazzel milik Renjana.
“Bener ya Ma, Arah pulang manusia itu mau diubah sebagaimanapun tetap sama. Kayak gue sama elo. Mau kepisah dua tahun dengan ego dan takut nyatanya arah pulang gue tetep ke elo, indomie, dan rumah klasik ini.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰