POLITIK KOTOR (BAB X)

0
0
Deskripsi

Masih tentang Sido Mukti kawan-kawan..

Penempatan pertamaku sebagai seorang PNS di sebuah kota kecil bernama Kertoloco. Terus terang aku tidak suka dengan tempat itu, tetapi aku suka dengan rumah dinas yang aku tempati.  Sampai sekarang, aku masih ingat ruangannya. Ruangan yang aneh tapi bersih dan terang benderang.  Sebuah AC tua di sisi kiri atas mengeluarkan suara berputar yang keras.  Ada meja kayu mahoni yang berat di tengahnya.  Di sebelah kiri meja, beberapa arsip ditumpuk rapi di samping tempat pena emas dan bendera Nusantara kecil.  Di sebelah kanan ada beberapa pemberat kertas yang tampak aneh dan sebuah telepon.  Telepon ditutupi dengan kain kuning untuk beberapa alasan.  Saya bersemangat untuk memulai pekerjaan pada hari itu dan setelah berbasa-basi sebentar, saya meminta wakil saya, Turin Sigala-gala, untuk tetap tinggal. “Selamat, Pak.  Selamat datang di Kertoloco!”  Kata Turin sambil duduk.

Ku ambil file pertama yang diberi label sebagai ‘Sengketa Agama. Tanggal 12 September 1995’. Berkas itu belum dibersihkan dalam lima tahun. Kutanya Turin tentang file itu tetapi dia malah berkata: "Kertoloco itu tempat bagus, Pak. Banyak pejabat Depdagri memulai karir yang sangat bagus dari sini. Pak Sekjen, Kala Darbo juga memulai karir awalnya juga dari sini, Pak. Tempat ini sangat beruntung, ”dia berhenti dan menyeret udara melalui gigi terkatup, sangat membuatku jengkel. “Ini file lama, Pak Turin,” kataku pelan. “Dan itu yang pertama di tumpukan. Mari kita ubah beberapa hal di sekitar sini dan pastikan semua file ini dibersihkan!” “Tentu saja, Pak. Kami di sini siap untuk membantu Bapak. Hanya saja hari ini kan hari pertama Bapak, jadi santai sajalah. Dak usah memaksakan diri untuk hal-hal kecil,” ujar Turin.

"Ini bukan kasus sepele, Pak Turin, ”kataku dan membuka file. Itu adalah isyarat bagi Turin untuk pergi. Kasus itu tentang satu hektar tanah pemerintah di luar sebuah masjid kecil yang digunakan beberapa mahasiswa untuk protes. Sifat dan nama protes itu tidak diungkapkan, tetapi tampaknya para mahasiswa tersebut memprotes keberadaan mesjid tersebut yang ternyata beraliran Syiah. Keadaan menjadi lebih buruk selama prosesi Hari Asyura ketika pemimpin mahasiswa diserang oleh sekelompok orang. Kerusuhan komunal menyusul yang menewaskan sembilan orang. Mesjid pun ikut dibakar massa. Aku bisa merasakan ada pengaruh politik dalam kasus ini. Tidak ada tindakan yang diambil. Hal-hal tetap terkubur dalam file ini selama lima tahun.

 Hari pertama!

 Aku memanggil Turin lagi. “Sudahlah, Pak. Hari pertama juga. Santai aja lagi,”katanya, “Sudah berapa lama bapak disini…”       “Pak, saya telah ditempatkan di sini sejak tahun 1991. Jadi saya tahu cara kerja di sini , ”dia berhenti dan menghirup udara.  “Kertoloco ini kota yang tenang, Pak. Nikmati saja waktu Bapak di sini, gajian, dan jika ada kesempatan naik pangkat atau mutasi jangan dilewatkan. Biarkan saja file-file itu berada di tempatnya.  Kenapa kita harus menggali kuburan yang sudah dilupakan dan bakalan mendatangkan masalah buat kita, Pak? Bapak kan masih sangat muda.”  “Itu ancaman, peringatan apa nasihat ya Pak?”

"Bukan apa-apa, Pak. Hanya ingin memberitahu Bapak bagaimana cara terbaik bekerja di sini. Kalau Bapak mengungkit-ungkit masalah itu lagi, kita hanya akan berhadapan dengan masalah saja, Pak.” Turin benar. Tepat setelah sepuluh hari, aku dipindahkan ke Merkocolo, sebuah kota kecil yang tetanggaan dengan Kertoloco. Alasannya Penyegaran. Baru sepuluh hari sudah ada penyegaran. Sepertinya memang ada upaya untuk menutupi kasus ini. Tidak lama di Kertoloco, aku dipindahkan lagi! Dalam setahun aku sudah empat kali dimutasi. 

Jadinya aku tidak pernah pulang ke rumah. Orang tuaku mulai khawatir. Sepertinya benar apa yang pernah diutarakan oleh Pak Kropo beberapa tahun yang lalu. PNS cuma boneka saja. Mutasiku berikutnya adalah di Naradok. Ibuku menangis sewaktu mendengar aku dimutasi lagi ke tempat yang lebih sepi lagi. Dia tahu aku dimutasi karena tidak mengikuti sistem yang berlaku di tempat itu. 

Jadi selama enam bulan ke depan, aku berusaha untuk tidak mencoba mengubah sistem. File-file lama tak kusentuh sama sekali dan masalah kontroversial dihindari. Selama enam bulan, aku pergi ke kantor pukul sembilan pagi dan pulang pukul lima sore! Meskipun pada akhirnya muncul ketidakpuasan dalam diriku. Aku mulai kehilangan kepercayaan diriku. Pergulatan batin antara benar dan salah terus menghantui hari-hari ku sehingga membuat ku tidak yakin dengan pilihan batinku. Aku ingat, aku mengalami sakit kepala ringan hari itu setelah pulang kantor. Mbok Darbi, assisten rumah tanggaku meletakkan secangkir teh di atas meja begitu aku merosot di sofa. 

Aku merasa pembantu rumah tangga buta huruf jauh lebih tulus terhadap pekerjaan mereka daripada petugas lulusan sarjana yang kerjanya hanya duduk-duduk di kantor pemerintah dengan gaji besar tanpa melakukan apapun. "Kayanya Bapak kurang sehat ya?" katanya. “Kena migren kayanya, Mbok.” "Mau dipijet ga?" dia bertanya dengan khawatir, "Ah, ga usah, Mbok. Ga papa kok," kataku sambil meminum tehku. "Mungkin Bapak butuh refreshing," kata Mbok Darbi dengan empati. “Mau nyoba cari angin Pak? Biar nanti saya telpon si Peteng untuk datang kemari. Nanti dia yang bawa Bapak keliling-keliling kota. Kan dari Bapak baru datang kemari belum ada keliling-keliling kota toh! ” Mbok Darbi benar. Aku belum pernah pelesir sejak aku datang ke Naradok. Namun kucegah Mbok Darbi untuk menelpon Pak Peteng karena aku juga tidak mau merepotkannya untuk membawaku pelesiran malam-malam. Aku memutuskan untuk jalan kaki saja. 

Setelah berjalan di trotoar bersih yang bersebelahan dengan mess pemerintah, aku belok ke kiri secara acak kejalan yang lebih sempit. Jalan itu sangat kontras dengan jalan yang lebih lebar yang menghubungkannya. Jalannya sempit, kotor dan berisik, tapi penuh dengan kehidupan. Aku terus berjalan sampai kulihat sebuah SUV yang memblokir jalan sedemikian rupa sehingga bahkan pejalan kaki pun kesulitan untuk melewatinya. Aku menyadari, aku tidak bisa bergerak lebih jauh lagi. Jadi aku memutuskan untuk kembali, hanya untuk menemukan diriku terjebak dalam kekacauan lain. Sebuah truk yang sedang menurunkan kerikil di depan salah satu rumah hanya menyisakan sedikit ruang untuk dilalui kendaraan lain. Itu pun sudah diblokir oleh taksi online yang tidak sabaran, yang salah menghitung lebar kendaraannya dan terjebak di ruang itu, membuat pejalan kaki tidak bisa lewat! Ku cari jalan keluar lain. Frustrasi, aku meraba-raba saku celanaku dan menyadari bahwa aku lupa membawa telepon genggamku. Aku mulai menyesali keputusanku.  Hanya setengah jam yang lalu aku merasa senang berada di luar rumah dan sekarang aku rasanya pengen pulang ke rumah. Kuhentikan seorang pria tua dengan motor matiknya dan menanyakan arah.  Dia bilang dia akan menurunkanku di jalan utama dan dari sana aku bisa naik taksi atau ojek untuk mencapai tujuanku.  Ketika aku duduk di atas motor matik itu, aku tidak tahu bahwa itu akan mengubah hidupku selamanya. “Naradok banyak berubah sekarang,” kata lelaki tua itu ketika kami mulai bergerak.  Segera dia mulai mengomel tentang administrasi di kantor-kantor pemerintah yang semakin lama semakin memburuk.  Aku biarkan dia terus berbicara karena aku tau dia tidak berbohong.  “Semenjak banyak industri dibuka,” lanjut pria itu.  “Gadis-gadis berkeliaran bahkan sampai tengah malam karena mereka bekerja dalam shift. Setelah pulang kerja, mereka tidak langsung pulang. Tapi lebih memilih untuk menikmati malam di tempat-tempat hiburan malam bersama dan berbaur dengan para lelaki. Dulunya Naradok adalah daerah yang konservatif, tidak seperti Tembilun. Tapi sekarang sudah berubah. Memang sebenarnya tidak ada masalah dengan pembangunan.  Hanya saja pembangunan di Nusantara ini tidak diimbangi dengan pembangunan manusianya.  Saya pernah membicarakan hal ini kepada generasi muda sekarang. Tetapi mereka malah mengejek saya.  Mereka menunjuk jumlah mobil, ATM, bank dan toko-toko mewah sementara saya berbicara tentang pembangunan manusia." Pria itu mengubah skuternya ke gang lain yang remang-remang.  Satu-satunya cahaya yang menerangi seluruh gang adalah cahaya yang berasal dari lampu teras sebuah rumah besar.  Saat motor matik melewati rumah itu, lelaki tua itu menggelengkan kepalanya.  “Rumah itu milik anggota dewan, Mas. Anggota dewan yang katanya wakil rakyat. Saya rakyat, Mas. Seperti mas juga. Tetapi orang seperti saya diprogram untuk tetap tinggal di dalam ruangan sempit sementara wakil saya hidup dan tinggal di rumah mewah. Wakil saya bebas berbicara sementara saya hidup penuh ketakutan, tidak pernah diberi kebebasan berbicara bahkan diabaikan.  Gimana menurut, Mas?"  "Hmm."  Lelaki tua itu terdiam dan kemudian berbicara, “Mas pasti bertanya-tanya kan kenapa lelaki pikun ini ngoceh terus?”  “Hmm…” Orang tua itu tidak membiarkanku menyelesaikannya, “ Setiap tahun saya berharap ada perbaikan di negara ini. Tata kelola yang lebih baik, fasilitas yang lebih baik, perlakuan yang lebih baik kepada masyarakat biasa. Tapi setiap tahun rakyat pasti kecewa. Kenapa begitu sulit untuk menemukan pemimpin yang baik di negara berpenduduk 250 juta jiwa ini?  Mas tahu kenapa?  Karena orang Nusantara ini terlalu jujur, polos dan lugu sementara wakilnya korup. Sementara untuk memimpin pemerintahan yang sempurna Anda harus menjadi Malaikat. Nusatara butuh orang yang mampu memanfaatkan uang dari para pembayar pajak dengan benar dan meluruskan orang-orang korup yang ada di negara ini.   Sayangnya sampai saat ini saya belum menemukan sosok yang tepat .”

Dia menurunkanku dan bahkan membantuku mendapatkan taksi. Dia juga meminta maaf atas kata-katanya apabila ada yang menyinggung perasaanku dan aku berterima kasih kepadanya karena telah mengeluarkanku dari situasi itu. Di tempat tidur, aku lelah dan frustrasi. Acara malam itu ternyata tidak seperti yang direncanakan. Memulai dengan baik tetapi berakhir dengan menyedihkan. Aku masih depresi dan tidak berdaya. Saat kegelapan menyelimutiku, aku mulai mendengar suara-suara acak di kepalaku. Dari suara serak penjual mi tektek hingga jeritan anak-anak yang menggetarkan dari gang. Dari nada dering yang menjengkelkan, hingga suara ibuku. Aku tidak tahu kapan aku mampu membungkam suara-suara itu demi mendengar hati nuraniku sendiri. Anehnya, suara bapak tua itu terngiang lagi di kepalaku,"…untuk memimpin pemerintahan yang sempurna Anda harus menjadi Malaikat ..." Aku langsung duduk.  Mengapa hal itu tidak terpikirkan olehku sebelumnya? 

Mulai hari berikutnya dan seterusnya, aku mendedikasikan seluruh energiku untuk merubah sistem yang berlaku disini.  Saat berada di dalam tembok kantor pemerintah, aku akan melanjutkan rutinitas seperti biasa. Setelah itu, diluar jam kerja, aku akan bekerja untuk meluruskan sistem. Jadi aku berusaha mengumpulkan berkas-berkas para pejabat dan politisi yang terkait dengan kerja sampinganku. Aku juga mencari jaringan informan yang dapat memberiku laporan tentang aktifitas penyelewengan yang terjadi di daerah tersebut. Aku bertekad untuk memperbaiki sistem dengan caraku sendiri.  Akhirnya setelah empat bulan, aku mendapat kesempatan untuk menguji keefektifan cara kerjaku. Ini terjadi saat salah satu informan memberi tahuku  tentang penipuan tender konstruksi untuk sekolah negeri di desa Bancuapit.  Yang membuatku heran, nama perusahaan yang akan mengikuti tender itu sudah diputuskan bahkan sebelum pengumuman tender diumumkan. Sepertinya ada korupsi dalam sistem lelang dan itu perlu dibersihkan. 

Memang lucu saat melihat kinerja Kepala Pejabat Pengguna Anggaran dan Camat yang duduk di seberang mejaku saling berdebat untuk memastikan penawaran terbaik atas tender yang diusulkan. Seolah-olah mereka benar-benar khawatir tentang uang pembayar pajak. Seolah-olah mereka belum mengetahui nama perusahaan yang akan mendapatkan tender. Untuk sesaat aku berpikir untuk menolak saran mereka agar mereka kecewa. Tapi itu tak kulakukan. Sebaliknya aku malah berkata, "Di mana saya harus tanda tangan?" Mereka berdua tampak bahagia karena berhasil menyelesaikan tugas. 

Ketika Pak Bupati Kebo Locoyo melihatku, dia tersenyum. Senyumnya tampak beringas ketimbang ramah. “ Gimana kabarmu hari ini, Ndok? Sehatkan?” Kebo bersandar di kursinya. Dia biasa memanggilku Ndok yang artinya anak dalam bahasa Jawa. Setelah itu ia melirik sekilas ke file biru, yang kusimpan di mejanya sebelum duduk, dan bertanya, "File apa ini?" “Dokumen untuk tender pembangunan sekolah negeri,” jawabku. “Tendernya sudah ke PT. Karya Agung Pembangunan, Pak" "Oke," katanya dengan acuh tak acuh. Aku masih duduk dan terdiam. “Ada lagi yang ingin kamu sampaikan, Ndok?”  "Ya. Saya ingin Bapak menghentikan kontraknya!”  "Apa?"  Kebo Locoyo duduk.  “Kamu menyuruhku menghentikan kontrak? Lantas kenapa kamu tanda tangani!"  dia menambahkan dengan marah. Aku tidak menjawab apapun. Hanya tersenyum dan menghadapkan layar smartphone ke arahnya.  “Sekarang terserah Bapak untuk menghentikannya atau tidak. Yang penting saya sudah melaksanakan kewajiban sesuai Tupoksi yang saya emban." Kebo duduk dalam keterkejutan saat melihat dirinya mengambil uang dari pemilik PT. Karya Agung Pembangunan. 

Setelah seminggu, PT. Karya Agung Pembangunan menarik keikutsertaannya dalam tender.  Itu adalah kesuksesan pertamaku dan jelas memberiku kepercayaan diri untuk menerapkan metode seperti itu untuk menjalankan fungsi pemerintah dengan benar. Aku tetap ditempatkan di Naradok selama tiga tahun. Suatu masa jabatan terlamaku di suatu daerah. Aku mulai bekerja dengan benar di sana dan tidak ada yang berani melakukan intimidasi kepadaku. Bahkan, petugas korup pun mulai bekerja sama. Aku mulai mampu membawa perubahan signifikan di daerah itu. Jadi saat aku dipindahkan kembali ke suatu daerah bernama Tembakul, aku sudah lebih siap dan percaya diri.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya POLITIK KOTOR (Bab XI)
0
0
Masih belum beranjak dari cerita Sido Mukti….
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan