Emang Susah LDR #BanyakCeritadiRumah

0
0
Deskripsi

Mana suaranya para pejuang LDR? Cung! Suka duka hubungan jarak jauh bagaikan sambungan telepon yang kerap kesulitan menangkap sinyal, kadang ada dan kadang tenggelam. Menurut kamu, siapa yang harus mengalah? Gading atau Rania?

Gading masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya ketika Rafael datang membawa sekotak donat dan tiga liter es kopi.

“Seniat itu lu bawa es kopi banyak banget?” Gading mengerutkan keningnya. 

“Di warung lu ini, mana ada es kopi enak begini, Ding?” tanya Rafael mendelik sebal. 

“Beli di mana emangnya?” Gading mengambil sebotol dan mengecek labelnya. 

“Biasa, di tempatnya Roni. Dia, kan, sekarang jualan es kopi. Tepatnya kakaknya, sih. Roni bagian jualin. Tau, dong, siapa korban target pertamanya? Sialan emang. Dasar barista tanggung,” jawab Rafael sambil menarik kursi dan duduk di seberang meja Gading. 

Gading terkekeh. “Udah dapet berapa sales dia hari ini?” tanya Gading sambil menuangkan es kopinya ke gelas kosong. 

“Nggak tau. Curiga gue, sih, baru tiga botol ini,” jawab Rafael tergelak. 

“Suruh dia jual di sini juga, kalo dia mau. Ada chiller, tuh, bisa dimanfaatkan. Gue nggak ambil uang sewa dulu, deh. Dagangan dia laris aja gue udah seneng,” ujar Gading seraya menyesap minumannya. “Hm, enak. Pahitnya pas. Manisnya gula aren ini juga nggak bikin eneg.”

“Doyan lu?” tanya Rafael heran. “Lu biasanya minum kopi sasetan aja belagu.”

“Enak. Beneran. Ya, kan, ini kopi elu yang bayarin. Jelas enak,” seloroh Gading.

“Eh, tapi serius, deh. Sejak kapan lu doyan kopi beginian?” tanya Rafael curiga. 

“Sejak diajak Rania ke kafe punya temennya di Malang,” jawab Gading santai. 

“Astaga. Diracunin Karmila, ternyata,” ujar Rafael pura-pura terkejut. 

“Dan kenapa juga elu masih manggil cewek gue kayak gitu?” tanya Gading dengan nada protes. 

“Cocok aja buat dia,” jawab Rafael acuh. 

“Astaga!” Gading melotot. 

“Ngomong-ngomong, kapan dia ke sini lagi? Belum ada proyek lagi dia di Cilegon?” tanya Rafael penasaran. 

“Belum. Kemarin dia baru dari Samarinda. Nggak tau kapan lagi ke sini,” jawab Gading datar. 

“Tapi, Ding … Lu mau sampe kapan, LDR-an kayak gini? Nggak kasian lu sama Karmila?” tanya Rafael prihatin.

“Kami udah sepakat, kok. Sementara ini kami sibuk masing-masing dulu, sambil pelan-pelan nyusun rencana. Tenang aja. Lu kagak usah kepo,” ujar Gading mengedipkan matanya. “Lu tunggu di sini. Gue mau fokus ngirim kerjaan dulu.”

Rafael mengangguk pelan. Ia mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Ia memperhatikan Gading sibuk dengan pekerjaannya, sementara dirinya santai menunggu Roni dan Wahyu datang. 

***

Rania mengirimkan pesan singkat kepada Gading. Ia memberitahukan tentang kiriman paketnya untuk keponakan Gading yang memesan strudel untuk acara reuni sekolahnya. 

“Paket sudah meluncur, ya.”

Gading membuka pesan dari Rania dan mengerutkan keningnya. 

“Paket apaan, Yang?” 

Rania cemberut. Ia mengetik sambil memonyongkan bibirnya. 

“Paket untuk Sarah. Sekalian aku kirim sesuatu juga buat kamu.”

Gading membulatkan mulutnya. 

“Oh, oke. Ditunggu dengan senang hati. Terima kasih, Yang.”

Rania menghela napas. Ia rindu sekali pada kekasihnya itu. 

“Yang, kamu makin sibuk, deh, belakangan ini. Jaga kesehatan, ya. Jangan sampe sakit. Ada yang khawatir sama kamu di Malang.”

Gading tersenyum simpul. 

“Iya, aku tau. Emang begini yang namanya LDR. Susah, kan, ngatur waktu ketemunya? Kamunya harus sabar. Tahan-tahan aja dulu kalo sekarang. Aku juga kangen sama kamu.”

Rania manyun. Dia merebahkan badannya di atas tempat tidur. Cuaca panas di luar membuatnya lemas dan malas beraktivitas. 

“Gimana caranya supaya kita bisa melipat jarak ini, Yang?” 

Gading tersenyum kesal. Ia mengerti perasaan Rania, tapi ia pun merasa tidak berdaya untuk saat ini. Kesibukannya di Cilegon membuat dirinya belum bisa menjadwalkan pertemuan dengan kekasihnya itu.

“Udah pernah kita bicarakan ini, kan, Nia? Saat ini, dalam waktu sampe dua tahun ke depan, Nia. Kira-kira kemungkinan paling masuk akal adalah kamu yang pindah ke Cilegon, bukan aku ke Malang.”

Rania menggaruk kepalanya. 

“Iya, inget, kok. Aku juga udah bilang kalo aku siap ke Cilegon. Aku, kan, tinggal nunggu kamu ketemu sama Ibu dan Bapak.”

Gading menarik napas dalam-dalam. 

“Kamu udah yakin mau nikah sama aku? Dengan kondisi seadanya begini? Tabungan aku nggak banyak, loh.”

Rania tersenyum kecut. 

“Tabungan kita juga nggak akan bertambah banyak dengan cepat kalau habis di ongkos untuk saling ketemu, Ding. Kalau kita nikah, nggak akan ada lagi keluhan susahnya LDR kayak tadi. Bener, nggak?”

Gading mendesah berat. 

“Iya, emang. Tapi kita mau tinggal di mana?”

Rania tersenyum tipis. 

“Ngontrak? Kan, kamu bilang nggak mau tinggal serumah dengan orang tua kalo udah nikah. Ya, solusinya ngontrak kalo di Cilegon. Kalo di Malang, ya, tinggal di rumah aku sambil nabung buat beli rumah baru.”

Gading meringis. 

“Keliatannya, kok, segampang itu, ya? Kamu nggak inget gimana ruwetnya di Cilegon ini?”

Rania mengubah posisi rebahannya dan menarik napas panjang. 

“Iya, aku inget. Nantilah, kita obrolin langsung pas ketemu. Chat begini rawan miskom, Ding. Apalagi kamu sibuk banget akhir-akhir ini. Kita chat aja jarang-jarang. Boro-boro video call. Aku usahakan selekasnya ke Cilegon.”

Gading menggaruk kepalanya.

“Pulanglah padaku, Nia. Aku butuh kamu.”

Rania mengangguk. Tentu saja Gading tidak bisa melihatnya. 

“Aku akan selalu pulang kepadamu.”

Chat di kotak masuk Instagram itu terhenti. Gading kedatangan tamu dari Tangerang di warmindonya dan Rania teringat jadwal Zoom meeting setengah jam ke depan. 

Jadwal pulang tinggal menunggu sinyal dari Semesta. 

***TAMAT***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Lupa Cara Memasak #BanyakCeritadiRumah
0
0
Terlalu lama tidak masuk dapur dan lebih sering membeli makanan siap saji membuat Rania serba salah ketika memiliki dapurnya sendiri. Apakah Rania berhasil membuat masakan perdananya di dapur baru?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan