
“Gak shalat di masjid ini aja? Gak papa gue bantu gendong anak lo sampe masjid.”
“Gak usah, lagian kenapa juga lo keluyuran di jam kerja padahal GM loh.”
“Ada kepentingan tadi. Dan gak perlu khawatir gue juga mau sekalian shalat di masjid sini sebelum balik ke kantor," kata Kai berusaha meyakinkan.
“Hah? Bentar-bentar bukannya lo….”
“Gue udah mualaf sejak 2 tahun lalu, Ca."
-oOo-
“Mas aku izin mau jalan-jalan di sekitaran taman. Agak sumpek di rumah seharian," kata Ayesha sembari membantu merapikan rambut suaminya yang mulai memanjang.
“Boleh, asal jangan terlalu lama ya.”
Ayesha tersenyum. “Iya, Mas.”
“Umi,” panggil Khalid tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kamar. Bocah itu sudah siap dengan seragam RA-nya.
Senyum Ayesha mengembang. Perempuan itu langsung berjongkok. “Kenapa, Sayang?”
“Bajunya.”
Sontak Ayesha terkekeh. Perempuan itu langsung peka dan segera merapikan seragam anaknya yang sebenarnya sudah rapi. “Lucu amat anak umi.”
“Dia cemburu lagi tuh,” bisik Gus Daiyan.
Ayesha menahan senyuman. “Mas juga suka gitu,” balas Ayesha jahil.
“Terimakasih Umi.”
Ayesha mengusap-usap sayang puncak kepala anaknya. Setelah itu, ia tak melunturkan senyum manisnya bahkan ketika anak pertamanya keluar dari kamar.
“Nanti sore mas mau ke Ponpes Al-Hidayah, ketemu sama temen mas. Kamu juga ikut ya.”
Ayesha mengangguk. “Oke.”
Usai pembicaraan ringan yang terus terulang itu, Ayesha dan Gus Daiyan menuju ruang makan. Seperti biasa mereka sarapan pagi. Anak keduanya juga sudah ada di sana.
“Makasih udah jagain adeknya,” kata Ayesha begitu sampai di ruang makan dan melihat Khalid yang tampak mengawasi adiknya yang berada di baby walker.
Khalid hanya mengangguk.
-oOo-
Setelah sekian lama, akhirnya Ayesha keluar rumah agak jauh. Kali ini ia mengunjungi taman meskipun hanya sebentar, dilanjut juga ia melihat di area skate park.
“Kak Ayesha.”
Ayesha mendongak ketika melihat remaja perempuan yang tiba-tiba menghampirinya di tepi area skate park. Ia bahkan sedang memangku Nadhifa, anak keduanya yang sedari tadi tampak antusias melihat permainan skateboard.
“Siapa?”
Perempuan berkerudung hitam itu mengulurkan tangannya. “Aku … Yeri, Kak. Ketua komunitas skateboard fire tahun ini.”
Ayesha menerima uluran tangan itu. “Oh, maaf. Udah lama gak dateng ke base camp jadi gak tahu.”
Yeri mengangguk. Sampai perempuan itu salah fokus pada Nadhifa. “Kak ini anak ke berapa?”
“Ini Nadhifa, anak kedua gue.”
“Lucu bangett.”
Ayesha terkekeh. “Yaa kan. Btw, Gina dan yang lainnya masih suka mampir ke base camp gak?”
“Masih, Kak. Mereka kadang juga ikut main.”
“Yaampun udah berumur juga.”
“Oh iya, kak aku duluan ya, ada urusan di base camp. Kakak kalau mau main, main aja kak. Anak-anak pada nungguin."
Ayesha terkekeh. “Kok bisa kenal gue sih.”
“Kak Ayesha kan emang terkenal, hebat banget soalnya.”
Ayesha hanya geleng-geleng kepala.
“Aku duluan, Kak.”
“Iya.”
Setelah kepergian Yeri, Ayesha kembali menikmati pemandangan orang-orang bermain skateboard. Sampai tiba-tiba seorang laki-laki datang menghampirinya.
“Ayes."
Ayesha kontan mendongak. “Kai?”
“Boleh gue duduk?”
“Duduk aja tapi….”
“Jaga jarak?” Kai terkekeh. “Tahu kok.”
“Boleh gak si gue gendong anak lo? Gemes banget.”
“Boleh, tapi hati-hati. Sampe anak gue kenapa-kenapa gue hajar lo.”
Kai terkekeh mendengar ucapan Ayesha. Laki-laki itu lantas mengendong Nadhifa dan anak tersebut juga tampak senang-senang saja. “Lo gak berubah, masih aja galak.”
“Harus biar gak ada yang seenaknya.”
Kai sesaat sibuk bermain dengan Nadhifa. Bahkan laki-laki itu sukses membuat anak keduanya tertawa. Membuat Ayesha yang memperhatikan interaksi itu merasa gemas.
“Kesibukan lo apa?”
“Biasalah, jadi pelatih karate dan sekarang kerjaan utama gue General Manager di Itech Company.”
“Woahh keren.”
“Maasya Allah gak si harusnya.”
Ayesha tertawa, “Iya ya.”
Tak lama adzan dzuhur berkumandang. Ayesha berdiri. “Sini, gue mau pulang.”
“Gak shalat di masjid ini aja? Gak papa gue bantu gendong anak lo sampe masjid.”
“Gak usah, lagian kenapa juga lo keluyuran di jam kerja padahal GM loh.”
“Ada kepentingan tadi. Dan gak perlu khawatir gue juga mau sekalian shalat di masjid sini sebelum balik ke kantor," kata Kai berusaha meyakinkan.
“Hah? Bentar-bentar bukannya lo….”
“Gue udah mualaf sejak 2 tahun lalu, Ca."
-oOo-
“Mas tadi aku ketemu sama Kai, kaget banget ternyata dia udah mualaf," kata Ayesha.
Gus Daiyan mengangguk pelan, laki-laki itu memang sempat kaget sejenak. Tapi, tak menghentikan aktivitasnya yang sedang membantu membenarkan tatanan belakang kerudung istrinya. Karena bagi Gus Daiyan dengan Ayesha bicara jujur begini ia sudah merasa cukup tenang.
“Udah belum, Mas? Jangan lama-lama kasian Khalid jagain adeknya.”
“Tapi Khalid anak baik si.”
Baru saja selesai bicara begitu, tiba-tiba suara tangisan Nadhifa terdengar. Sontak saja Ayesha dan Gus Daiyan bergegas keluar menuju ruang tamu.
“Sayang kenapa?” tanya Ayesha sembari menggendong Nadhifa untuk menenangkannya.
Gus Daiyan berjongkok di depan putranya. “Kenapa Sayang? Coba cerita.”
“Nyamuk.”
“Jangan bilang dia geplak adeknya gara-gara nyamuk.”
“Maaf Umi, Abi.” Khalid yang biasanya memasang wajah datar, saat ini raut wajahnya terlihat merasa bersalah.
“Udah gak papa sayang." Gus Daiyan menepuk-nepuk puncak kepala anaknya pelan.
“Lain kali jangan gitu, ya, Sayang.”
Khalid mengangguk patuh.
-oOo-
Setelah hampir 7 tahun menikah dengan Gus Daiyan, Ayesha sudah tak asing lagi mengikuti suaminya berkunjung ke berbagai ponpes. Sudah terbiasa juga dengan lingkungan yang kental akan agama. Ia juga sudah sering menghadiri berbagai acara keagamaan lainnya. Dan perlahan-lahan Ayesha juga mulai terbiasa memperbaiki penampilannya. Lebih tepatnya berpakaian sesuai syariat agama bukan karena trend.
Malam ini Ayesha dan Gus Daiyan datang berkunjung ke Ponpes Al-Hidayah. Tujuan sebenarnya memang sang suami ada keperluan dengan Gus Hanif selaku pemilik ponpes sekaligus teman semasa mondok juga. Walau beberapa menit ia sempat hanya mendengarkan suaminya mengobrol. Untungnya sesekali Ning Hawa, istri dari Gus Hanif mengajaknya mengobrol.
“Dulu tuh ya … Hawa suka sama kamu. Dia mondok di ponpes yang sama kayak kita. Perempuan yang diam-diam nyari tahu dan kepergok sama saya."
“Mas!” tegur Ning Hawa.
“Jangan bikin marah istri kamu, Gus. Lagi mengandung kan," kata Ayesha.
Gus Hanif terkekeh. “Iya, doain yang terbaik ya.”
Gus Daiyan mengangguk. “Doa yang terbaik pasti.”
“Pasti Gus.”
“Sudah berapa bulan?”
Ning Hawa mengusap perutnya pelan. Perempuan itu tersenyum. “Sudah 7 bulan.”
Ayesha turut tersenyum. Tadi, saat Gus Daiyan dan Gus Hanif mengobrol. Ayesha juga sempat mengobrol singkat dengan Ning Hawa. Perempuan itu menceritakan sedikit soal kisahnya. Ya, kisah rumah tangga yang sebenarnya berjalan baik-baik saja pada awalnya, sampai ia dinyatakan tidak bisa memiliki keturunan. Dari awal keduanya sudah berusaha semaksial mungkin lalu memasrahkan segalanya pada Sang Pencipta. Tak lagi yang menuntut. Belajar menerima keadaan yang tak sesuai dengan ekspektasi. Seperti halnya istri Nabi Zakaria yang divonis mandul akan tetapi dengan kuasa Allah dikaruniai anak. Mereka berdua juga berusaha memperjuangkannya seperti Nabi Zakaria.
Mendengar cerita itu membuat Ayesha benar-benar terharu. Perempuan itu menyadari bahwa, setiap bahtera rumah tangga pasti memiliki ujiannya masing-masing. Bedanya pasangan itu bisa tidaknya menerapkan sikap yang tepat sesuai dengan Al-Quran di dalam kehidupan berumah tangga.
“Khalid dan Nadhifa lucu ya, saya jadi gak sabar nunggu bayi saya lahir," kata Ning Hawa ketika matanya tertuju pada Khalid yang tampak duduk sopan dan Nadhifa yang tak bisa diam berada dipangkuan Ayesha.
“Lucu iya, sakit kepala juga iya.”
Ning Hawa dan Gus Hanif tertawa pelan. “Lagi aktif-aktifnya ya.”
-oOo-
Diperjalanan menuju rumah, kala kedua anaknya sudah tertidur. Ayesha tiba-tiba bertanya. “Sebenarnya ada berapa banyak perempuan luar biasa sih yang naksir sama. Mas?”
Gus Daiyan melirik sebentar. Laki-laki itu berusaha mati-matian menahan senyumnya. Ia jelas tahu bahwa saat ini istrinya sedang merajuk. “Memangnya kenapa?”
“Dari mulai ning, ustadzah, dokter, perawat, bahkan seleb pun pada suka sama Mas.”
“Cemburu nih,” goda Gus Daiyan jahil. Bahkan diumur yang menginjak kepala tiga sifat jahilnya tak hilang.
“IYA," jawab Ayesha sedikit ngegas.
“Buat apa cemburu, toh yang sekarang jadi istri saya dan bikin saya jatuh cinta kan kamu bukan mereka.”
Ayesha diam. Berusaha menahan rasa saltingnya.
“Jangan ditahan gitu.”
“Apanya?”
“Saltingnya.”
“Apaan sih, gak yaa.”
“Pokoknya kamu jangan merasa insecure ya. Jadiin mereka-mereka yang terlihat hebat di matamu sebagai motivasi. Kamu juga perempuan luar biasa kok. Luar biasa bisa bertahan istiqamah hijrah dari awal hingga sekarang. Karena nyatanya hijrah itu mudah tapi yang sulit itu berusaha istiqamah.”
“Aku juga manusia yang kadang masih suka goyah dikit mas.”
“Wajar, tapi usahakan buat gak berlarut-larut dalam sebuah dosa. Yang sebenarnya kamu tahu itu dosa tapi tetep dilakuin, karena mikir besok juga masih hidup, kan bisa taubat besok aja sekalian nanggung. Padahal belum tentu besok kita masih hidup kan, intinya jangan menyepelekan dosa.”
-oOo-
Mohon dukungannya (◍•ᴗ•◍)❤
See you next part guyss :)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
