
Sesuai ungkapan, penyesalan selalu datang di akhir.

Seberkas cahaya jingga seolah memeluk langit. Pertanda senja telah datang menyapa bumi. Sang surya perlahan beranjak ke peraduannya. Namun pesonanya tetap menggoda di balik awan. Menghadirkan aura magis sebagai isyarat menuju penghujung hari.
Raden Tumenggung Daru Reksodipuro berjalan tenang. Membiarkan semilir angin sore menyapa kulitnya. Rerumputan rebah seirama hentakan langkahnya menuju pelataran sebuah rumah joglo yang menjulang megah.
Para pengawalnya berada di depan gerbang. Berhubung jabatannya yang merupakan seorang Tumenggung di daerah Pesisiran Timur maka mustahil dirinya bepergian seorang diri. Entah untuk urusan terkait pemerintahan maupun urusan pribadi, dirinya tetap dikawal.
Sedikit demi sedikit jarak terkikis. Beberapa pelayan yang bekerja di rumah ini membungkuk hormat padanya sebelum melanjutkan langkah mereka. Namun alih-alih menuju pintu utama, Raden Daru malah berjalan ke arah samping rumah. Berhubung di sana ada sang putra pemilik rumah berserta beberapa orang pelayannya.
"Wah, pantas saja tadi siang matahari terik sekali rupanya itu isyarat dari semesta jika sang Tumenggung akan mampir ke rumah kami!" ucap Raden Praptadji yang membuat Raden Daru mendengkus samar.
"Itu pujian atau hinaan ya?!"
"Hahaha." Raden Praptadji malah tertawa. "Anggap saja pujian," lanjutnya. "Padahal jika saja kau memberi kabar terlebih dahulu sebelum berkunjung maka aku akan menyiapkan umbul-umbul penyambutan untukmu!" kerlingnya jahil.
Raden Daru diam tak menjawab. Bingung harus menanggapi bagaimana lelucon tadi. Sebenarnya, dibanding membalas dengan kata, dirinya lebih ingin menggeplak kepala lawan bicaranya itu, Eh.
"Kapan ya kau terakhir kali kemari?" Pura-pura berpikir. "Enan bulan atau malah setahun lalu, hm?"
Raden Daru berusaha tidak memutar matanya malas. "Tiga bulan lalu, Mas! Tepat saat pernikahan keduamu dilangsungkan," jawabnya segera sekaligus juga dimaksudkan sebagai bentuk sindiran terselubung. Tak lama sebelah tangan Raden Daru terangkat pada sang kakak ipar. Agak kesal tapi dirinya tetap harus bersikap sopan. "Apa kabar, Mas?"
Raden Praptadji terkekeh mendengar sindiran tadi. Tak sakit hati sebab aturan agama memperbolehkan seorang laki-laki menikahi lebih dari satu perempuan. Empat orang perempuan batasnya. Apalagi istri pertamanya telah memberi izin. Yang penting kan Raden Praptadji bisa adil. Harta keluarganya juga terlalu banyak jadi tak masalah jika dibagi pada istri lainnya.
Tentu Raden Praptadji menjabat hangat tangan dari laki-laki gagah dan tampan di sampingnya. "Kabarku baik." Tangannya yang bebas menepuk pelan lengan atas sang adik ipar. "Aku harap, kabarmu juga baik." Pandangannya tiba-tiba berubah menyendu.
"Aku baik," jawab Raden Daru jujur.
Demi Tuhan, Raden Daru tidak suka jika orang-orang menatapnya seolah dirinya perlu dikasihani. Bukan juga pura-pura kuat tapi apa yang disebut masalah besar bagi seseorang, belum tentu jadi masalah besar buat orang lainnya. Begitupun yang dirasakan oleh Raden Daru selama ini.
Sayangnya, Raden Daru tidak mungkin mengungkapkan isi hati terdalamnya. Tak disampaikan sebab kemungkinan besar dirinya tidak lagi mendapat simpati tapi justru tamparan atau malah tendangan dari kakak iparnya itu. Raden Daru sadar bahwa selama ini dirinya bukan orang baik. Bukan suami yang baik tepatnya.
Dunia adalah panggung sandiwara.
"Sudah setahun." Hela napas terdengar dari Raden Praptadji. "Lanjutkan hidupmu!"
Bisa dibilang, dunia punya berbagai warna kehidupan. Ada yang bahagia, tapi pasti ada yang menderita. Ada yang mencinta, tapi pasti ada yang merana. Ada yang tertawa, tapi pasti ada yang menangis. Itulah lika-liku hidup.
Raden Daru terkekeh. "Mas itu bicara apa? Hidupku baik-baik saja," sangkalnya yakin.
"Kau menolak beberapa tawaran perjodohan, bukan? Desas-desusnya sampai ke sini loh!"
Raden Praptadji menikmati perubahan raut wajah adik iparnya... Ah, mantan adik iparnya. Eh, adik ipar itu bisa jadi mantan adik ipar tidak sih? Hadeeeh, tapi tidak mungkin dirinya berkata, hai mantan adik ipar! Raden Praptadji segera menggelengkan kepala guna mengenyahkan pikiran ngawur-nya.
"Kenapa geleng-geleng kepala, Mas?" tanya Raden Daru bingung.
"Haaah." Raden Praptadji mengerjab menyadari tingkah bodohnya barusan. "Ada lalat tadi!" kelitnya sambil mengibas-ngibaskan tangan seolah mengusir lalat walau jelas-jelas bintang kecil bersayap itu tidak ada.
Terakhir kali, tiga bulan lalu mereka bertemu. Raden Praptadji sebenarnya ingat. Wajar sebab sang Tumenggung tinggal jauh dari desa ini. Belum lagi Raden Daru harus bepergian mengawasi seluruh penjuru daerah Pesisiran Timur yang cukup luas. Entah ada tujuan apa laki-laki ini mengunjungi kami. Hmm, atau mungkin sekedar sowan ke rumah mertuanya.
"Ehem. Pekerjaanku sedang banyak-banyaknya, Mas! Lagipula aku belum berpikir tentang pernikahan lagi."
Pandangan Raden Praptadji tiba-tiba menerawang sebelum berkata getir, "Bagaimanapun cara kematiannya, aku rasa adikku sudah tenang di sana!" Jeda saat terasa riak tak nyaman di hati. "Dua tahun. Aku yakin selama dua tahun, dia hidup bahagia bersamamu. Menikah denganmu adalah cita-citanya. Adikku itu sudah lama menyukaimu. Aku ingat, dulu dia sampai melompat-lompat kegirangan saat dapat lamaran dari keluargamu. Romo sampai melotot marah melihat kelakuan anak perempuannya." Tersenyum sebelum berkata, "Tapi ini rahasia ya!"
Raden Daru bungkam. Wajahnya memias. Terasa ada gejolak tak nyaman di dalam hati.
"Menikahlah lagi! Sudah cukup kau mengenangnya selama setahun ini," nasihat Raden Praptadji bijak.
Sebagai laki-laki dewasa maka pastinya butuh istri. Raden Praptadji tidak juga ingin mengekang suami adiknya. Yakin keluarganya juga begitu. Toh, saat ini adiknya sudah meninggal. Mungkin jodoh mereka berdua memang sudah berakhir. Sesederhana itu.
"Aku belum ingin menikah," ulang Raden Daru.
"Apa kau takut jika adikku menjadi hantu dan mencekik istri barumu, tah?" tanya Raden Praptadji iseng.
Jika jadi hantu, Amaratri sepertinya akan lebih memilih mencekikku, Mas! Balas Raden Daru di dalam hati sebab yang keluar dari mulutnya justru, "Kau memyumpahi adikmu menjadi hantu?!"
"Hahaha." Raden Praptadji kembali tertawa.
"Berhenti bercanda!" tegur Raden Daru.
Raden Praptadji menghentikan tawanya. Raut wajahnya berubah tegas. "Aku serius. Menikahlah lagi. Keluargaku juga tidak akan keberatan." Jeda saat mengambil napas panjang. "Mungkin ini alasan mengapa selama ini kalian tidak juga dikaruniai anak. Gusti Allah selalu tahu mana yang jadi takdir terbaik bagi makhluknya!"
Dan berencanalah kalian, Allah membuat rencana. Dan Allah sebaik-baik perencana.
DEG. Jantung Raden Daru rasanya tersentak hebat. Benar. Mungkin peristiwa kematian justru jadi rencana Gusti Allah untuk menyelamatkan Amaratri dari Raden Daru.
Pernikahan itu memang bukan hanya menyatukan laki-laki dan perempuan tapi juga kedua keluarga. Namun, tetap saja pasangan yang menikah tersebutlah yang tahu pasti apa yang terjadi dalam mahligai pernikahannya. Yang terlihat harmonis di luar belum tentu di dalamnya benar-benar harmonis. Ibarat, api dalam sekam. Semua bisa jadi hanya ilusi dan sandiwara belaka.
Satu-satunya hal yang Raden Daru syukuri selama menikah dengan Raden Ayu Amaratri Ning Gondoprodjo adalah istrinya tidak pernah membuka aibnya. Menjaga nama baik Raden Daru di mata keluarga maupun orang-orang. Entah apa alasan dari perempuan itu hingga bisa bertahan dalam diam.
Hiiiiiik... Hiiiiiik...
Ringkikan kuda membuat Raden Daru mengerjab pelan. Badannya tentu diam di tempat tapi pikirannya seakan telah melanglang buana dalam sesaat. Memang tadi dirinya menghampiri sang kakak ipar yang sepertinya sibuk dengan kuda. Ada juga beberapa orang pelayan laki-laki yang bersamanya.
"Untuk apa membeli kuda putih, Mas?" tanya Raden Daru penasaran sekaligus ingin mengalihkan pembicaraan.
Di masa ini, kuda jadi tunggangan yang berharga. Sebagai hewan tunggangan maka hal pertama yang jadi pertimbangan yaitu kekuatan kuda tersebut. Oleh karena itu, penampakan fisik hewan berkaki empat itulah yang penting. Pokoknya, kuda harus terlihat gagah.
Kuda yang gagah itu biasanya tampak pada kuda berwarna hitam atau coklat. Kuda putih, walau punya bentuk tubuh yang kekar tetapi entah kenapa tidak juga tampak kuat. Belum lagi kuda putih amat jarang ada. Walau begitu harganya tetap lebih mahal dibanding kuda-kuda biasa. Mahal karena langka tapinya.
"Akhirnya aku mendapatkan kuda ini. Sayangnya yang menginginkan kuda putih sudah tak ada lagi di dunia!" balas Raden Praptadji lebih pada diri sendiri.
"Amaratri ingin kuda putih?" tebak Raden Daru.
Raden Praptadji mengangguk kaku. "Dulu, aku sudah dapat kudanya tapi tidak putih bersih seperti kuda ini. Jujur, waktu itu aku memang setengah hati saat mencarinya."
Serta-merta Raden Daru memandang lamat-lamat kakak iparnya. Yakin bahwa kakak manapun akan sedih jika ditinggalkan oleh sang adik. Ditinggalkan dengan cara tragis pula. Maka Raden Daru memaklumi jika Raden Praptadji yang biasanya suka berlelucon kini tiba-tiba berubah melankolis.
Tak lama, tangan Raden Daru terangkat guna menepuk pelan punggung kuda putih di hadapannya. "Mungkin Amaratri ingin menunggangi kuda yang tidak dimiliki oleh orang lain. Kuda yang lain daripada yang lain." Terdiam sesaat. "Sulit kan dapat kuda putih ini?!" tebaknya.
Bibir Raden Praptadji justru berkedut menahan tawa. "Aku malah curiga jika dia sengaja meminta kuda putih sebagai cara mengulur waktu untuk belajar menunggangi kuda!" Terbayang wajah sang adik yang sedang bersungut-sungut jika diajari hal lain selain menari. "Dia terlalu dimanja oleh Kanjeng Ibu jadi tumbuh menjadi gadis yang serba penakut. Walau saat bepergian dia pasti akan menggunakan kereta kuda dan ada pengawal yang mengawalnya. Kau tahukan bagaimana ketatnya Romo menjaga keamanan adikku? Namun, menurutku tidak ada salahnya jika bisa menunggangi kuda sendiri. Berjaga-jaga siapa tahu ada hal mendesak terjadi."
"Haaah!" Alis Raden Daru menukik satu. "Tidak tahukah Mas jika Amaratri bisa menunggangi kuda?" tanyanya heran. Ternyata Amaratri tidak hanya menyembunyikan masalah yang terjadi dalam pernikahan mereka pada keluarganya tapi juga menyembunyikan kemampuannya.
"Apa adikku juga membual padamu bahwa dia bisa menunggangi kuda?!"
"Tidak." Raden Daru menghela napas gusar. "Maaf Mas tapi setahuku Amaratri sering berkuda dengan Rahayu."
"Oh, aku hampir lupa bahwa kau adalah sepupu jauh dari Rahayu." Raden Praptadji mengangguk paham.
"Hmm," dehaman pelan yang keluar dari mulut Raden Daru.
"Rahayu memang pandai berkuda tapi Amaratri tidak." Terdiam sejenak. "Awalnya mereka berkuda berdua. Rahayu membawa Amaratri di atas kudanya."
"Awalnya?"
Raden Praptadji terdiam cukup lama. Bukan menjelaskan maksud ucapannya tapi dirinya justru menengok ke arah para pelayannya. "Masukan kudanya. Rawat dengan baik!"
"Nggih, Ndoro," balas para pelayannya serempak. Mereka juga membungkuk hormat sebelum pergi ke bagian belakang rumah guna melaksanakan perintah sang majikan.
"Ayo!" ajak Raden Praptadji sambil menepuk pelan lengan adik iparnya.
Mau tak mau Raden Daru mengikuti langkah sang kakak ipar. Alih-alih dibawa masuk ke dalam rumah, Raden Praptadji justru membawanya ke pendopo. Amaratri dulu pernah bilang bahwa pendopo ini dibangun sebagai tempat menarinya. Benar kata Raden Praptadji bahwa Amaratri amat dimanja oleh keluarganya.
Keadaan pendopo tentu lenggang. Kedua laki-laki ini berakhir duduk lesehan di bagian pinggir pendopo. Berlatar langit senja serta semilir angin sore.
"Mereka kenal sejak kecil. Maksudku, Amaratri dan Rahayu." Jeda sejenak. "Tak ada pilihan sebab pola pikiran kolot orang tua yang melarang anaknya bergaul dengan anak orang biasa. Keluarga ningrat harus bergaul dengan keluarga ningrat juga. Status sebagai keturunan ningrat selalu membatasi pilihan hidup kita, bukan? Aku rasa kau juga mengalaminya. Benar tidak?"
"Hmm."
Raden Praptadji menghela napas panjang. "Mereka bersahabat. Mereka selalu bersama dan jika dipikir-pikir maka anehnya mereka berdua juga meninggal dengan cara yang tragis."
Dalam diam, gigi Raden Daru bergemeretak geram. Dirinya berusaha tidak menyemburkan kemarahannya. Amaratri pantas mati seperti itu, tapi tidak dengan Rahayu! Batinnya menggerutu.
Raden Praptadji menengok ke arah Raden Daru. Mengernyit saat menyadari rahang wajah sang adik ipar mengetat kaku. "Maaf, aku membuatmu mengenang kematian tragis lain," ucapnya salah menebak arti dari raut wajah sang adik ipar.
"Para perampok yang mencelakai Rahayu telah dihukum tapi____" Raden Daru tidak sanggup meneruskan perkataannya.
"Aku rasa, ini juga alasan yang menyebabkan Amaratri makin enggan belajar menunggangi kuda." Tercenung sesaat. "Mungkin dia merasa bersalah pada Rahayu."
"Seharusnya Amaratri tidak pulang duluan sehingga Rahayu tak sendirian di hutan!"
Dahi Raden Praptadji mengernyit sekali lagi sebelum sadar akan sesuatu. "Ah, kau pasti dengar cerita dari orang-orang. Apa pamanmu menceritakan hal yang sama atau malah cerita berbeda?"
Giliran Raden Daru yang mengernyit. "Apa sebenarnya maksud Mas? Tolong jangan berputar-putar!"
"Hahaha." Raden Praptadji justru malah tertawa.
"Mas!" Raden Daru habis sabar.
"Kenakalan remaja berujung kemalangan."
"Ck, aku paham Mas adalah kakak Amaratri. Wajar apabila Mas bersyukur Amaratri pulang duluan. Jika Amaratri tetap bersama Rahayu maka korbannya mungkin ada dua."
Raden Praptadji menganggukkan kepala. "Iya, mungkin korbanya akan ada dua tapi yang pasti, korban yang kedua bukan Amaratri."
"Maksudnya mereka tidak berkuda berdua tapi ada orang lain juga yang ikut?"
"Bukan begitu." Hela napas terdengar dari mulut Raden Praptadji sebelum melanjutkan perkataannya, "Yang pergi ke hutan saat itu memang dua orang. Namun, Rahayu bukan pergi dengan Amaratri." Sesaat menggigit bibir sambil berpikir. "Aku kan sudah bilang bahwa biasanya Amaratri itu ikut di kuda Rahayu. Coba pikirkan, mungkinkah Amaratri meninggalkan Rahayu? Masuk akalkah Amaratri berjalan kaki, sedang Rahayu menaiki kuda tapi yang ditangkap perampok justru Rahayu."
"Mas mungkin dibohongi oleh Amaratri. Dia bisa menunggangi kuda, Mas!" Raden Daru greget sendiri.
Wajar bila kakak membela adiknya tapi ini ada nyawa yang telah tergadai. Ada orang yang meninggal karenanya. Jadi amat keterlaluan jika kelakuan bejat sang adik tetap dibela. Apabila tadi Raden Daru ingin menggeplak kepala Raden Praptadji tapi kini dirinya ingin menempelengnya sekalian agar pikirannya kembali ke jalan yang benar, Eh.
"Yang bohong itu Rahayu dan Pamanmu!" Mata Raden Praptadji mengerjab pelan kala teringat peristiwa dulu kala. "Eh, keluarga kami juga memyepakati kebohongan itu. Berarti kami juga ikut berbohong ya?" lanjutnya lalu terkekeh geli.
"Mas jangan bercanda!"
"Rahayu punya kekasih rahasia."
DEG. Untuk kedua kalinya jantung Raden Daru terhentak. Namun, bukan hanya rasa tak nyaman yang muncul di hati tapi juga keterkejutan.
Rahayu, sampai kapan harus menyembunyikan hubungan kita? Kau tidak yakin padaku atau bagaimana? Aku rasa keluarga kita juga tidak akan keberatan dengan hubungan ini. Titah dari keraton Mataram akan segera diumumkan. Aku akan menjadi Tumenggung di Pasisiran Timur. Aku butuh pendamping. Aku butuh seorang istri.
Aku bukan tidak yakin pada Kangmas tapi aku butuh menyiapkan hati. Beri aku sedikit waktu.
Raden Daru teringat pembicaraannya dengan Rahayu beberapa bulan sebelum kematian tragis menimpa sang kekasih. Iya, hubungan Raden Daru dan Rahayu sebenarnya lebih dari sekedar sepupu jauh. Cukup lama mereka menyembunyikan romansa. Belum lagi Raden Daru tinggal jauh dari sini jadi pertemuan mereka teramat terbatas.
Hubungan ini dirahasiakan bukan sebab Raden Daru pengecut. Akan tetapi atas permintaan Rahayu sendiri yang belum ingin menikah. Mengungkapkan hubungan pada keluarga besar maka dipastikan pesta pernikahan akan digelar dalam waktu secepat-cepatnya.
Toh, pernikahan antar sepupu jauh masih kerap terjadi. Bebet, bibit, dan bobot mereka telah jelas diketahui sehingga tidak perlu pertimbangan mendalam apalagi butuh penyelidikan. Pernikahan antar sepupu juga kadang dilakukan demi mengamankan garis keturunan.
Dalam ajaran Islam juga bukan hal terlarang. Sepupu bukanlah mahram. Oleh karena itu, Allah SWT menghalalkan untuk menikahi sepupu. Entah hubungannya sepupu dekat maupun sepupu jauh.
"Kau diam berarti tidak tahu!" tebak Raden Praptadji sok tahu. "Kenakalan remaja berakhir kemalangan. Eh, tragedi tepatnya!" ulangnya lagi.
"Jadi maksud Mas itu Rahayu meninggal karena kekasih rahasianya, begitu?!" cecar Raden Daru. Tak terasa kedua tangannya mengepal erat.
Amaratri sialan!
Bukannya menyesali perbuatan. Perempuan itu justru malah mencari kambing hitam guna menutupi kebusukannya!

"Jadi maksud Mas itu Rahayu meninggal karena kekasih rahasianya, begitu?!" cecar Raden Daru. Tak terasa kedua tangannya mengepal erat.
Amaratri sialan!
Bukannya menyesali perbuatan. Perempuan itu justru malah mencari kambing hitam guna menutupi kebusukannya!
"Bukan, Rahayu kan meninggal oleh perampok."
Raden Praptadji tentu tak sanggup mengatakan bahwa perempuan malang itu tewas bukan sebab dirampok tapi justru diperkosa beramai-ramai. Rahayu kan berkuda ke hutan tanpa membawa barang-barang berharga. Sialnya, gadis itu justru bertemu kawanan perampok.
Oleh karena itulah, tadi Raden Praptadji memilih kalimat lain guna menghormati mendiang Rahayu. Bagaimanapun Rahayu adalah sahabat Amaratri jadi Raden Praptadji tentu menganggap Rahayu adiknya juga. Raden Praptadji yakin bahwa Raden Daru pasti tahu tentang sebab musabab tewasnya Rahayu. Mereka kan sepupu. Selain itu kabar ini dulu sangat menggemparkan desa.
"Tolong jangan mencla-mencle, Mas!" Raden Daru merasa dipermainkan.
"Maksudku, sebelum peristiwa nahas itu terjadi, Rahayu berkuda dengan kekasihnya!" ucap Raden Praptadji lugas.
Tentu alis Raden Daru menukik satu. Jelas-jelas saat tragedi itu, dirinya sedang berada di Tuban. Jauh sekali dari sini. Bagaimana mungkin bisa berkuda dengan Rahayu?
Sungguh, Raden Daru ingin mencekik Amaratri. Perempuan selicik ular itu pandai berkelit serta menjungkir balikan kenyataan. Parahnya, orang-orang percaya lagi pada bualan Amaratri.
Sial.
Sial.
Sialan.
"Maaf Mas, mungkin Amaratri takut disalahkan jadi dia terpaksa berbohong!"
Raden Praptadji mengangguk kaku. "Amartri memang ketakutan. Dia juga berbohong." Terbayang raut wajah sang adik yang sudah pucat pasi serta berurai air mata kala itu. "Tapi selama ini dia berbohong bukan untuk melindungi dirinya sendiri melainkan untuk melindungi sahabatnya, Rahayu."
Raden Daru terdiam dengan tangan kembali mengepal erat. Walau sadar bahwa setiap kakak pasti akan melindungi adiknya. Namun, tetap saja Raden Daru merasa kesal sekesal-kesalnya sebab kakak iparnya ini mau saja ditipu oleh sang adik yang bejat itu
"Rahayu bilang pada keluarganya bahwa dia berkuda dengan Amaratri. Itu adalah satu-satunya alasan agar dia bisa diizinkan pergi. Biasanya Amaratri akan dijemput lalu ditinggalkan di rumah Empu Rekasa. Tapi di hari nahas itu, Amaratri sakit jadi Rahayu tak membawanya."
"Amaratri sakit?" tanya Raden Daru memastikan.
"Iya, Amaratri sakit. Adikku ada di rumah."
"Jadi Rahayu pergi dengan siapa?" Batin Raden Daru tentu jadi tak tenang.
Amaratri sakit di rumahnya?
Demi Tuhan, Raden Daru ingin menyangkal bahwa cerita tadi hanya kebohongan belaka tapi raut wajah Raden Praptadji jelas-jelas sedang serius. Dirinya juga kenal watak kakak iparnya. Bisa dibilang, Raden Daru lebih percaya sang kakak ipar dibanding istrinya sendiri, Eh.
Dahulu Raden Daru tentu bertanya tentang sebab musabab tewasnya sang sepupu langsung pada ayah Rahayu alias pamannya. Raden Daru juga mendengar hal yang sama persis dari anggota keluarga besarnya. Pokoknya, cerita mereka serupa.
Rahayu katanya seperti biasa berkuda dengan Amaratri. Namun, Amaratri merasa tidak enak badan sehingga pulang duluan. Iya, Raden Daru tahunya Amaratri sakit tapi setelah berkuda, bukan sebelum berkuda.
Konon Rahayu menolak ikut pulang. Sebaliknya Amaratri kukuh pulang meninggalkan Rahayu yang berkuda di hutan sendirian. Akhirnya peristiwa nahas itu terjadi. Rahayu meregang nyawa setelah... setelah... Aaarrgghh.
Sepertinya, Raden Daru akan mengunjungi penjara lagi setelah dari sini. Dirinya akan menyiksa para perampok keparat itu. Iya, para perampok masih hidup sampai sekarang. Sengaja dibiarkan hidup tepatnya. Bukan karena alasan keadilan tapi Raden Daru ingin mereka merasakan penderitaan yang tak kunjung berakhir.
Kalau boleh jujur, kini keadaan para perampok sangat mengenaskan. Badan mereka yang awalnya besar dan berotot kini tinggal kulit dan tulang sangking kurusnya. Belum lagi ada luka di sekujur tubuh. Namun, erangan kesakitan para perampok saat disiksa itu justru bagai nyanyian surgawi di telinga Raden Daru.
Asal tahu saja, kegiatan menyiksa para perampok adalah hiburan tersendiri bagi Raden Daru. Apa sih yang tidak bisa dilakukan jika kau punya kuasa? Ingat, Raden Daru adalah seorang Tumenggung di Pasisiran Timur.
Alih-alih menjawab pertanyaan dari Raden Daru, Raden Praptadji justru berkata datar, "Empu Rekasa itu pembuat perhiasan. Aku juga baru tahu jika adikku diam-diam belajar membuat perhiasan. Kau tahukan jika membuat perhiasan bukanlah pekerjaan perempuan?!"
"Lalu apa hubungannya dengan Rahayu?" tuntut Raden Daru sebab dirinya lebih ingin mendengar cerita tentang kekasihnya dibanding kegemaran sang istri.
"Oh, iya." Raden Praptadji nyengir sambil menggaruk tengkuk walau tidak gatal. "Ehem. Malam itu ada pelayan dari rumah Rahayu yang datang kemari. Dia diperintahkan untuk menjemput Rahayu sebab tidak juga pulang padahal sudah larut malam. Pamanmu kira Rahayu menginap di sini setelah berkuda seharian jadi tidak pulang-pulang. Memang kadang adikku dan Rahayu saling menginap."
Raden Daru tentu diam menyimak. Penasaran sekaligus ingin mendengar versi lain dari kejadian nahas yang dulu menimpa Rahayu. Meski jauh di lubuk hati, mulai muncul bibit-bibit ragu. Keraguan yang berusaha diabaikan oleh Raden Daru.
"Kami tentu kaget sebab Amaratri jelas-jelas tidak berkuda dengan Rahayu. Lah, adikku kan sedang sakit. Selama tiga hari Amaratri terbaring di atas ranjang. Bagaimana bisa berkuda jika bangun dari pembaringan saja dia sudah merasa pusing?! Rahayu juga tahu adikku sakit sebab dia menjenguk Amaratri dua hari sebelumnya." Jeda sesaat. "Tak lama kemudian, Pamanmu dan Sugeng tiba di rumah kami. Pamanmu terlihat murka."
Raden Daru masih diam. Bibit-bibit ragu kini makin tumbuh membesar dan membuat batinya jadi tak nyaman. Apa selama ini dirinya salah paham pada Amaratri?
"Sebelum mencari Rahayu tentu kami perlu mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Dalam tangisnya, Amaratri mengatakan semuanya. Tentang apa yang selama ini terjadi serta mengenai kekasih rahasia Rahayu."
"Memang siapa kekasih rahasia Rahayu?" pancing Raden Daru.
Jika... Jika sang Paman tahu bahwa Raden Daru adalah kekasih rahasia Rahayu mengapa beliau seolah abai. Berpura-pura tidak tahu. Raden Daru juga tidak pernah dicecar oleh Pamannya menyangkut hubungan rahasianya dengan Rahayu.
Sungguh, Raden Daru penasaran, kebohongan apa lagi yang dilakukan Amaratri demi melindungi dirinya sendiri. Amaratri itu mirip kelinci. Terlihat baik, lembut, dan cantik dari luar tapi hatinya busuk.
Harimau yang buas itu tidak akan membunuh anaknya sendiri tapi kelinci justru bisa membunuh anaknya. Tidak percaya? Sayangnya, itu semua kenyataan. Penampilan luar kadang bisa menipu.
"Djati."
"Haaah. Siapa?" Raden Daru tentu tidak punya gangguan pendengaran tapi butuh memastikan bahwa dirinya tak salah dengar.
Raden Praptadji tadi itu menyebut nama orang kan? Siapa tahu itu nama pohon? Atau sebetulnya jauh di lubuk hati, Raden Daru malah berharap salah dengar.
Raden Praptadji memutar matanya malas. "Namanya Djati. Dia putra Empu Rekasa," ulangnya malas-malasan.
Nah... Nah kan, Amaratri berbohong.
Ternyata buang-buang waktu mendengar kisah rekaan konyol ini... Hadeeeh.
"Mas maaf tapi sepertinya Amaratri berbohong. Kekasih Rahayu itu bukanlah Djati!"
"Apa Rahayu punya kekasih lain?" Mata Raden Praptadji membelalak ingin tahu. Hadeeeh, dasar gadis nakal!
"Pokoknya kekasih Rahayu bukan Djati!" tegas Raden Daru. Tak mungkin juga dirinya mengakui.
"Benarkah?" Raden Praptadji tercenung sesaat. "Artinya Pamanmu harusnya tidak hanya membunuh Djati tapi juga laki-laki entah siapa itu." Matanya kembali menatap lekat Raden Daru. "Memang siapa laki-laki itu? Apa Rahayu memberitahu padamu tentang kekasihnya? Pemuda dari desa ini atau di luar desa?"
Raden Daru mengabaikan rentetan pertanyaan barusan namun justru balik bertanya, "Apa maksud Mas?! Paman Sumitro membunuh Djati? Benarkah itu?"
Ini hari apa sih?
Kenapa banyak sekali kejutan? Kejutan tidak menyenangkan lagi... Aaarrgghh.
"Ehem." Raden Praptadji berdeham. Merutuki diri sebab kelepasan bicara. Nyengir salah tingkah sebelum berkata, "Mungkin Pamanmu atau orang suruhan Pamanmu, tapi aku yakin semua ada kaitan dengan Pamanmu. Maaf, aku memang tidak punya bukti akurat tapi Djati tewas beberapa hari setelah kejadian itu. Mayatnya di temukan di dekat sungai." Terdiam sesaat. "Asal kau tahu Daru, desa ini aman. Tidak ada maling, kecu, rampok, atau bahkan pemabuk sekalipun. Aman. Desa ini aman, ayem tentrem loh jinawi pokoknya."
"Maksud Mas kematian Djati aneh, begitu?"
"Jangakan aku, lah Mbah Patiem saja sadar kematian Djati itu aneh!"
"Siapa lagi itu Mbah Patiem? Serius sedikit lah Mas!" Raden Daru gregetan sendiri.
Raden Praptadji terkekeh. "Mbah Patiem itu janda paling terkenal di desa ini!"
"Mas!"
"Bercanda. Mbah Patiem itu orang gila. Kadang saat dia sadar, si Mbah bisa diajak bicara ta___"
Raden Daru memotong perkataan Raden Praptadji yang mulai ngalor-ngidul lagi. "Aku lebih ingin mendengar cerita tentang Djati dibanding Mbah Patiem, Mas!" ucapnya berusaha mengais-ngais sisa kesabaran dalam diri.
Raden Praptadji nyengir kembali. "Djati dikenal warga sebagai pemuda yang baik dan sopan. Dia juga tidak punya musuh. Keluarga Djati memang miskin tapi tak pernah berhutang. Mereka hidup sederhana. Namun anehnya Djati tewas. Tewas dengan banyak luka pukulan serta tikaman keris. Mengenaskan pokoknya!"
Raden Daru terdiam lagi. Sadar bahwa keluarga ningrat kadang melakukan cara keji entah untuk mengumpulkan kekayaan atau guna melenyapkan musuh. Tentu tidak semua keluarga ningrat seperti itu tapi kebanyakan begitu, Eh.
"Kematiannya tidak diperpanjang karena keluarganya mengikhlaskan. Lebih tidak ingin menambah masalah mungkin. Orang-orang desa juga pura-pura tidak tahu dan hanya bergunjing di belakang." Raut wajah Raden Praptadji berubah sendu. "Aku sebenarnya kasihan pada pemuda itu."
Iya, adikmu artinya telah menyebabkan dua nyawa tak berdosa melayang demi memuluskan rencana busuknya. Rutuk Raden Daru di dalam hati. "Ah, pemuda yang malang," ucap Raden Daru tulus.
Sumpah, Raden Daru selalu emosi jika membicarakan Amaratri. Greget sendiri rasanya. Mungkin Amaratri terlihat baik, polos, dan tak jahat sebab punya paras cantik. Memang sekilas pandang, orang akan mengira Amaratri itu gadis anggun dan tak banyak tingkah. Namun aslinya, sifat perempuan itu tidak sebaik parasnya.
Kangmas, tahukan perempuan yang sering bersamaku? Itu loh, yang kalau Kangmas datang, dia akan salah tingkah lalu buru-buru pulang.
Oh, perempuan yang jadi sahabatmu. Orang yang sering kau ceritakan. Amaratri bukan namanya?
Iya, Amaratri. Dia itu suka padamu Kangmas. Lucu ya?
Alih-alih cemburu, kau malah menganggap lucu saat ada perempuan yang menyukai kekasihmu. Sungguh, aku tidak paham cara berpikirmu, Rahayu!
Raden Daru teringat pembicaraannya dulu dengan Rahayu. Orang-orang mungkin tidak tahu tapi Raden Daru tahu apa tujuan Amaratri sebenarnya. Cerdasnya perempuan itu hingga bisa membuat seolah-olah Rahayu tewas karena kesialan bertemu perampok. Belum lagi mengarang cerita tentang kekasih rahasia Rahayu yang bernama Djati.
Jangan-jangan perampok itu dibayar oleh Amaratri juga.
"Cinta antara si kaya dan si miskin kebanyakan berakhir tragis!" ucap Raden Praptadji sambil mengangguk-anggukkan kepala sok bijak.
"Mas, Djati bukan kekasih Rahayu!" ulang Raden Daru dengan gigi bergemeretak. Heran, harus betapa kali dirinya menjelaskan.
Raden Praptadji mendesah jengah. "Astaga, Daru! Djati memang kekasih Rahayu. Amaratri mengatakan itu!" Mengangkat sebelah tangan saat sadar sang adik ipar akan menyanggah perkataannya. "Dengar dulu penjelasanku! Waktu itu aku ikut Pamanmu mencari Rahayu. Bagaimanapun Rahayu sudah seperti adikku sendiri. Tempat yang pertama kali kami datangi tentu adalah rumah Empu Rekasa sesuai yang disampaikan Amaratri bahwa kemungkinan besar Rahayu pergi berkuda dengan Djati."
Mau tak mau, Raden Daru kembali diam menyimak. Mendengar sambil menelisik raut wajah kakak iparnya serta gerakan mata guna mencari gurat-gurat kebohongan. Sayangnya, tidak ditemukan sebab Raden Praptadji tampak serius dan pandangan matanya juga memancarkan ketegasan.
"Djati mengakuinya. Empu Rekasa juga meminta maaf sambil memohon-mohon atas kelancangan sang anak. Ada pula surat-surat yang ditulis Rahayu untuk Djati di sana. Aku sempat membaca salah satunya. Surat yang paling terakhir dikirin oleh Rahayu." Raden Praptadji menyeringai. "Kau pikir kami datang dengan cara baik-baik? Mengucap kulo nuwun lalu duduk manis menunggu disuguhi wedang, begitu? Pastinya tidak. Isi rumah Empu Rekasa kami buat berantakan! Kami ingin mengetahui kebenaran. Tanpa ancaman, mana mau seseorang mengakui kesalahannya."
Aku tidak ada hubungannya dengan kematian Rahayu. Berapa kali harus aku bilang pada Kangmas?
Diam kau sundal!
YANG SUNDAL ITU RAHAYU, BUKAN AKU!
Plaaaak.
Badan Raden Daru meremang kala gambaran masa lalu terpeta kembali di ingatan. Gambaran bagaimana kejamnya Raden Daru menyiksa Amaratri. Tak juga puas walau tamparan demi tamparan dilayangkan sekuat tenaga pada sang istri. Amarah justru makin tersulut karena Amaratri tidak juga mau memohon pengampunan. Perempuan itu bangkit lagi dan lagi seolah menantangnya.
Iya, seberapa kejamnyapun Raden Daru menyiksa, Amaratri tidak pernah memohon agar penyiksaan itu dihentikan. Tidak juga memohon belas kasihan. Tak pula pernah meminta didatangkan tabib setelahnya. Amaratri adalah perempuan paling aneh yang pernah dikenal oleh Raden Daru.
"Ti-Tidak mungkin!" suara Raden Daru bergetar.
Rahayunya tidak mungkin berkhianat.
Rahayu tidak mungkin mengkhianati cinta Raden Daru.
"Aku juga percaya tidak percaya. Namun buktinya ada semua." Raden Praptadji meraup wajahnya gusar. "Tahu kah kau jika setelah pencarian Rahayu aku mencecar adikku. Aku takut dia juga punya kekasih rahasia. Aku khawatir jika Amaratri berniat kabur dengan kekasih rahasianya seperti halnya Rahayu!"
"Rahayu berniat ka-kabur?" tanya Raden Daru gamang. Rasanya kepalanya dipukul godam tak kasat mata.
Raden Praptadji menganggukkan kepala. "Iya, itu pula konon yang menjadi alasan mengapa mereka bertengkar lalu berpisah jalan. Djati mengira Rahayu langsung pulang karena rutenya memang lebih dekat ke desa sedang Djati mengambil arah memutar."
Raden Daru bungkam. Lidahnya kelu. Perasaannya kacau balau.
"Surat yang aku sempat baca isinya juga tentang itu. Rahayu bilang bahwa waktunya tidak banyak lagi sebab akan ada laki-laki yang segera akan meminangnya." Jeda sejenak "Tapi aku tidak berani bertanya pada Pamanmu, siapa laki-laki yang meminang itu? Aku pikir Pamanmu menjodohkan Rahayu tapi sepertinya Rahayu tak suka sebab sudah punya kekasih."
DEG. Jantung Raden Daru tentu bagai diremas oleh tangan tak kasat mata.
Pokoknya, setelah pengangkatan resmiku sebagai Tumenggung di Pasisiran Timur maka aku akan langsung melamarmu pada Paman. Kita akan menikah secepat-cepatnya, Rahayu.
Raden Daru tentu ingat perkataannya yang terakhir kali pada Rahayu. Kekasihnya waktu itu sempat ternganga. Raden Daru kira Rahayu hanya terkejut bukan tertekan.
Rahayu selalu bilang butuh waktu untuk menyiapkan hati. Apa semua itu karena hatinya telah diberikan pada laki-laki lain? Apa Raden Daru selama ini mencintai sendirian? Jadi yang dilakukannya hanya sia-sia belaka?
"Se-semua ini cerita bohongan kan, Mas?!" Raden Daru tak ingin mengakui sebab kenyataan ternyata semenyakitkan ini.
"Terlalu mengagetkan ya?" Raden Praptadji menghela napas panjang. Kedua tangannya di jadikan penyangga sehingga badannya agak condong ke belakang. Kepalanya juga menengadah ke atas. "Awalnya aku juga tidak ingin percaya tapi aku ada di sana. Melihat dan mendengar semuanya. Tak ada untungnya juga aku mengarang cerita. Aku sayang pada Rahayu sebab dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri maka aku dan keluargaku sepakat merahasiakan kisah lengkapnya. Namun, kau adalah keluargaku sekaligus bagian keluarga Rahayu. Aku harap ini jadi pembelajaran saat kita punya anak perempuan nantinya. Yang terlihat baik-baik saja belum tentu begitu keadaan sebenarnya."
Raden Daru terdiam dengan wajah menunduk kalah. Kalah telak. Tak mungkin menyangkal lagi.
Raden Praptadji kembali duduk tegak. Setelahnya, menepuk pelan punggung sang adik ipar yang terlihat kalut itu. "Kau bisa bertanya pada Pamanmu. Hmm, namun, dari sifatnya maka aku tidak yakin beliau akan menceritakan yang sebenarnya. Bertanya pada beliau rasanya tidak tepat juga sebab seakan mengorek luka lama." Jeda sejenak. "Lebih bijaksana jika kau bertanya pada Sugeng, adik Rahayu. Jika belum cukup bagimu maka kau bisa bertanya pada Empu Rekasa langsung. Orang itu tinggal di bagian selatan desa."
"Hmm." Hanya dehaman yang keluar dari mulut Raden Daru.
Bertanya. Bertanya pada orang yang tepat. Harusnya Raden Daru bertanya dan memastikan kebenaran terlebih dahulu sebelum meluapkan amarahnya pada orang yang salah.
Seribu permintaan maaf tidaklah berguna sebab Amaratri sudah tak ada di dunia ini.
Sesuai ungkapan, penyesalan selalu datang di akhir dan akhirnya Raden Daru merasakan penyesalan yang teramat dalam sebab selama dua tahun telah menyiksa fisik dan batin perempuan yang tidak bersalah.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
