
Jangan lupa untuk love dan komen ya
Part 2
Falisha menekuk lututnya dan memeluk bantal guling semakin erat. Bed cover satin di bawahnya terasa sejuk dan membuatnya semakin enggan membuka mata. Hawa malas membuatnya menarik selimut semakin tinggi hingga menutupi telinganya.
Apa kabar Mas Dokternya? Tanyanya dalam hati. Seketika menyebut nama itu membuatnya tersentak. Falisha membuka mata dan langsung menoleh ke bagian belakang punggungnya.
Kosong.
Dengan malas Falisha bangkit dari tidurnya. Matanya memandang sisi lain tempat tidur dengan sedih. Lantas ia meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas di samping tempat tidurnya.
Tidak ada pesan. Tidak juga panggilan.
Apa operasi yang dilakukan suaminya belum selesai? Tanya Falisha dalam hati seraya mengerutkan dahi.
Sudah berapa jam berlalu? Falisha mencoba menghitung dalam diam. Apa operasinya serumit itu sampai memakan waktu belasan jam? Falisha tidak mengerti dunia medis, jadi dia tidak bisa berasumsi lebih jauh lagi.
Ia mengetuk-ngetuk benda pipih itu pada permukaan tangannya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Di hari pertamanya sebagai seorang istri?
Disaat wanita lain mungkin melewati pagi pertama dengan sebuah romansa indah, Falisha malah merasa sendirian. Bukan hanya merasa, dia memang sendirian. Terbangun seolah pagi ini ia masih memiliki status yang sama seperti pagi kemarin.
Dengan enggan Falisha membuka selimut yang sejak tadi menghangatkan kakinya. Membereskan tempat tidur seperti semula sebelum kemudian beranjak menuju kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air hangat,
Ini hari pertamanya sebagai seorang istri dan Falisha tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini.
Dalam romansa yang seringkali ia tonton ataupun ia baca, seharusnya saat ini Falisha sedang menghabiskan waktunya dengan bulan madu yang sedang panas-panasnya. Alias menghabiskan waktunya dengan bercumbu dan bercinta dengan sang suami. Namun apalah daya, ekspektasi tak selamanya berbanding lurus dengan realita. Alih-alih dibangunkan dengan ciuman hangat atau secangkir kopi yang wangi, dirinya malah terbangun sendirian di kamar yang sepi seperti tak berpenghuni.
Tapi apa karena itu Falisha harus bersedih? Jawabannya tidak.
Falisha menarik napas panjang, berusaha untuk menarik aura positif ke dalam tubuhnya. Berhenti berpikiran yang buruk karena itu hanya akan membuat otaknya terkontaminasi dengan pikiran yang jelek. Perintahnya dalam hati.
Jadi, apa yang bisa ia lakukan di hari pertamanya sebagai seorang istri? Tanyanya seraya memandang berkeliling apartemen Gibran.
Bersih-bersih? Ruangan itu sudah sangat bersih sehingga Falisha tidak perlu melakukan apapun lagi. Ia berjalan menuju tempat cuci setrika dan dia juga tidak menemukan pekerjaan apapun disana. Memasak? Tanyanya pada diri sendiri. Mungkin itu ide yang bagus.
Falisha kembali ke dapur dan membuka lemari es Gibran dan kembali ia dibuat terkejut karena lemari es pria itu nyatanya sangat bersih, sebersih tempat yang lain. Dengan kata lain, tidak ada apapun yang bisa dia masak ataupun makan selain air putih kemasan dalam botol
Falisha menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Mungkin karena berpikir akan menghabiskan waktu dengan berbulan madu makanya Gibran membiarkan lemari esnya kosong. Gumamnya dalam hati.
Falisha kembali ke kamar Gibran dan mencari dompetnya. Apa memang mengisi lemari es sudah menjadi kewajibannya? Entah itu di apartemen pamannya ataupun di apartemen Gibran, selalunya dia terus yang berbelanja bahan makanan. Tapi Falisha tidak mengeluh, sebab dia memang suka berbelanja.
Dua jam lamanya menghabiskan waktu dengan memilih bahan makanan segar di supermarket yang lokasinya tak jauh dari apartemen, Falisha akhirnya memulai hobi lainnya yaitu memasak. Rencananya, setelah membuatkan makanan untuk Gibran dia akan pergi ke rumah sakit dan mengajak suaminya itu untuk makan siang bersama.
Falisha melirik ponselnya dan merasa kesal karena Gibran masih belum ada menghubunginya. Namun lagi-lagi dia berusaha berpikiran positif. Mungkin suaminya itu sedang sibuk jadi pria itu tidak sempat mengabarinya. Atau mungkin, baterai ponsel suaminya sudah habis dan pria itu lupa untuk mengisi ulangnya.
Sambil bersenandung ria dan membayangkan ekspresi Gibran saat ia datang ke rumah sakit, Falisha mulai memasak.
Satu setengah jam kemudian, Falisha sudah berada di pelataran parkir rumah sakit. Ia membenahi penampilannya di depan kaca mobilnya. Falisha merasa dirinya sudah cukup cantik. Mengenakan dress berwarna putih berlengan panjang, dengan bagian kerah terkancing sampai ke leher, dan bagian rok yang mencapai setengah betis. Rambut hitam panjangnya ia cepol dengan rapi dibagian atas kepala.
Falisha tidak mengenakan make-up tebal karena memang dia tidak menyukainya. Cukup mengenakan sunscreen dan bedak tipis serta pelembab bibir tanpa warna dan hal itu membuatnya terlihat seperti remaja belasan tahun daripada seorang perempuan berusia dua puluhan yang telah menikah.
Dengan antusiasme yang tinggi, Falisha berjalan dengan menenteng kotak bekal di tangan kanannya. Falisha sudah beberapa kali berkunjung ke ruangan Gibran, jadi dia melangkah dengan percaya diri menuju sana. Ada atau tidaknya Gibran di ruangannya, baginya bukan masalah. Dia bisa menunggu suaminya disana sampai suaminya nanti kembali.
Namun, langkah Falisha terpaksa terhenti saat satu belokan terakhir menuju ruangan Gibran dia mendengar sebuah percakapan yang ia rasa itu mengenai suaminya.
"Iya, gue juga kaget.” Ucap salah satu karyawan wanita—entah itu perawat, dokter atau staff administrasi. “Tadi pas over shift gue heran lihat dokter Gibran ada. Katanya pengantin baru, tapi kok udah dinas aja? Bukannya seharusnya mereka bulan madu?"
"Dokter Haldi kecelakaan, pas konfirmasi di grup satu-satunya dokter yang ngasih respon cuma dokter Gibran aja.” Sahut suara lainnya.
"Kok bisa ya?” Tanya suara pertama dengan ragu. Membuat Falisha yang sebelumnya hendak melanjutkan langkahnya terpaksa mendengarkan lagi.
“Maksudnya?”
“Ya, kan mereka mau bulan madu. Kok bisa-bisanya dokter Gibran masih aktif baca chat grup. Kalo gue yang jadi dia, udah gue lupain kerjaan. Gue fokus buat senang-senang.” Ucap suara pertama dengan senyum dalam suaranya. “Gila aja, hari pertama nikah gitu loh. Lagi panas-panasnya. Jangankan kerjaan, keluarga yang ada aja gue anggap cuma pajangan.” Lanjutnya yang dijawab kekehan rekan-rekannya.
“Mungkin karena dedikasinya yang tinggi.” Ucap suara lain menimpali.
“Dedikasi ya dedikasi. Tapi kan ini beda situasi.” Ucap yang lain dengan nada mengejek. “Kasihan juga sama istrinya. Malam pertama merana karena tidur sendirian. Gak apa batal bulan madu, tapi malam pertama sendirian rasanya ikut sakit ni hati.”
Falisha mengernyit sendiri mendengarkannya. Sedih? Apa dia merasakan hal itu?
Baiklah, Falisha akui. Sedikitnya ia merasa sedih, dan juga cemburu. Namun Gibran tidak sedang menyelingkuhinya atau meninggalkannya untuk sesuatu yang tidak penting. Pria itu meninggalkannya untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Jadi seharunya dia merasa bangga untuk hal itu, kan?
“Bisa jadi operasi ini memang keberuntungan buat dokter Gibran.” Ucap seseorang yang membuat Falisha mengernyitkan dahi semakin dalam.
“Maksudnya?”
“Katanya sih, ini juga katanya." Suara itu kembali membuat Falisha menajamkan telinga. "Dokter Gibran itu gak bener-bener cinta sama istrinya. Dia nikah karena terpaksa." Ucapnya dengan nada pelan namun masih bisa Falisha dengar dan mata Falisha seketika terbelalak, diiringi suara kesiap kaget yang jelas bukan berasal dari mulutnya namun berasal dari si pendengar di belokan sana.
"Kalo ngomong jangan asal." Terdengar suara tepukan yang Falisha duga pukulan asal yang dilayangkan si pendengar kepada si pembicara.
"Gue gak asal. Kabar itu juga gue denger dari orang-orang yang kerja disini." Ucap si pembicara tadi. "Kita emang baru disini, jadi kita gak tahu apa-apa. Tapi kalo para senior yang ngomong, itu udah pasti fakta kan?”
“Gue gak ngerti.”
"Jadi gini. Menurut kabar yang gue denger, katanya istrinya Dokter Gibran itu salah satu pasien disini.”
“Pasien apa?”
“Gak tahu, katanya sih dia punya penyakit parah. Malah katanya, waktu itu dokter Gibran juga ngelamar istrinya disini, di taman. Pake lagu-lagu romantic gitulah.” Ucapnya yang membuat temannya ber’wow’ karena terpukau.
"Beneran itu? So sweet nya.” ucap si pendengar dengan nada kagum.
"Sweet sih sweet. Tapi kan jadinya balik tanda tanya. Dokter Gibran ngelamar cewek itu karena beneran cinta, atau karena kasihan. Lagian kenapa harus di rumah sakit? Apa gak bisa nunggu istrinya sehat dulu terus ngelamar di tempat yang romantis gitu."
"Ya mungkin karena dokter Gibran gak mau kehilangan kesempatan?” Tanya si pendengar ragu-ragu.
“Itulah yang jadi tanda tanyanya. Apa dokter Gibran memang sengaja melamar karena mikir kalo hidup calon istrinya itu memang gak lama lagi?”
“Maksudnya? Dia ngelakuin itu karena kasihan?”
“Ya bisa jadi.” Jawab si pembicara dengan nada yakin. “Dia berpikir buat ngebahagiain itu cewek karena berpikir umur ceweknya gak lama lagi. Atau..”
“Atau apa?”
“Atau mungkin dia dipaksa buat ngelakuin itu.”
“Maksudnya?”
“Gue denger keluarga ceweknya itu orang kaya. Dia yang punya rumah sakit ini apa pengelola atau donatur gitu, pokoknya ceweknya itu orang berkuasa deh. Jadi siapa tahu orangtuanya ngancam dokter Gibran supaya ngelakuin itu semua biar anaknya bahagia.” Lanjutnya menuturkan skemanya dengan lancar.
“Dramatisir keadaan banget sih loe.”
“Bukan dramatisir keadaan. Gue Cuma bahas opsi versi gue. Loe pikir adegan yang ada di drama, film sama novel itu berasal darimana? Itu semua terjadi di dunia nyata. Dan bisa jadi salah satunya itu terjadi sama dokter Gibran sama istrinya itu. Duit kalo udah ngomong bisa beli segala hal.” Ucapnya yakin.
“Kalo emang begitu keadaannya, kasihan dong.”
“Siapa? Dokter Gibran atau istrinya?”
“Dua-duanya.” Jawab si pendengar dengan nada sedih.
“Kenapa harus kasihan? Dia anak orang kaya, dia punya segalanya, dia bisa dapat apa yang dia mau. Kenapa juga dikasihani? Justru yang mestinya dikasihani itu ya Dokter Gibran. Dia terjebak sama istri yang gak dia cintai. Udah itu sakit-sakitan pula. Iya kalau istrinya beneran sehat, kalo enggak?"
“Ya kalo emang dokter Gibran ngelamar dia karena perintah orantuanya cewek itu, ya kasihan tuh cewek karena berpikir perasaan dokter Gibran sama dia tulus. Dan iya, kasihan juga dokter Gibran karena dia terjebak di situasi yang rumit seperti ini. Padahal kalo dia mau, dia bisa dapet cewek yang cantik dan sehat ya?"
“Itulah. Makanya, kita itu hidup di zona aman-aman aja. Jangan bergaul sama orang yang punya kuasa karena kita gak tahu kapan kita dimanfaatkan dan kapan kita dijatuhkan.”
“Iya, kamu bener. Nyatanya temenan sama orang kaya gak seenak itu ya. Iya sih, enak pas dapet traktiran. Tapi..” si pembicara tak melanjutkan kalimatnya. “Jadi menurut loe sekarang ini dokter Gibran ada disini buat ngehindarin istrinya?"
"May." Jawab si pembicara. "Maybe yes maybe no. Mungkin Dokter Gibran lagi mikir-mikir juga."
"Mikir-mikir apa?"
"Mikir-mikir apa tindakannya bener atau salah." Jawab si pembicara sambil cekikikan.
"Ih, loe tuh ya. Kasihan tahu istrinya." Dan Falisha tak lagi mendengar suara mereka.
Dia terduduk dengan kaki lemas seraya memandangi kotak bekal di tangannya. Sudah berapa kali dia mendengar kata ‘kasihan’ yang dilontarkan orang-orang padanya?
Seringkali. Namun selama ini dia berusaha mengabaikannya.
Dan sudah berapa kali dia berpikir kalau Gibran menikahinya dengan alasan yang sama? Kalau pria itu hanya mengasihaninya saja? Puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali.
Tapi setiap kali ia menanyakan hal itu, setiap kali itu pula Gibran berhasil meyakinan Falisha kalau dia memang mencintai Falisha terlepas dari kondisi Kesehatan fisiknya. Tapi sekarang, mendengar ucapan itu secara langsung dari mulut orang lain yang tidak dikenalnya membuat pikiran buruk Falisha kembali muncul permukaan.
Pikiran positif yang sejak tadi coba ia tanam menghilang, berganti dengan pertanyaan-pertanyaan yang berusaha Falisha abaikan.
Kenapa Gibran tidak kembali setelah operasi selesai? Kenapa pria itu membiarkannya sendirian di apartemen? Kenapa pria itu sama sekali tidak memberikannya kabar?
Falisha membuka tas nya dan menyalakan ponselnya. Masih tidak ada satu pun pesan dari Gibran dan itu semakin menguatkan pikirannya kalau Gibran memang sama sekali tidak mengingatnya atau memikirkannya.
Kini terduduk diam di lorong rumah sakit yang mulai kembali ramai. Haruskah dia melanjutkan niatannya untuk menemui Gibran? Bagaimana jika memang Gibran tidak menginginkan kehadirannya?
Jika dia menunjukkan wajahnya di depan orang-orang yang mengenalnya dan juga Gibran. Dia tahu bahwa diam-diam mereka akan menggunjingkannya dan mengasihaninya, sama seperti yang dua orang tadi lakukan.
Pengantin yang ditinggal suami pada malam pertama. Itulah julukannya saat ini.
Atau mungkin mereka mengasihani Gibran? Pengantin pria yang dikasihani karena terjebak dengan pengantin wanita penyakitan yang terpaksa dinikahi dengan harapan akan segera mati.
Falisha menghela napas panjang. Lupakan saja niatannya. Dia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri dan membuat orang lain mengasihani Gibran lebih jauh lagi.
Part 3
Part 3
Alif mengetuk pintu ruangan Gibran. Perintah untuk masuk dari dalam membuatnya membuka pintu seketika. Namun saat melihat atasannya, dia malah mengerutkan dahi.
"Loh, kok?" Ucapnya heran.
"Apa?" Tanya Gibran dengan nada datarnya. "Jangan tanya kenapa pengantin baru ada disini." Ucap Gibran ketus.
Alif menggelengkan kepala. "Bukan itu," jawabnya. "Meskipun ya, seharusnya itu jadi pertanyaan juga. Tapi bukan itu yang aneh. Falishanya mana?" Tanya Alif dengan kepala celingukan. Pria itu bahkan masuk dan membuka kamar mandi yang ada di bagian dalam ruangan. Tapi sama sekali tidak menemukan Falisha disana. Dan itu yang membuatnya semakin heran.
"Falisha gak ada disini. Dia ada di apartemen." Jawab Gibran dengan senyum, seolah menertawakan kebodohan Alif.
Alif kembali ke depan meja Gibran, masih dengan dahi berkerut. "Yakin? Aku pikir dia ada disini sengaja mau nemenin dokter." Ucapnya masih dengan nada bingung.
"Ngawur." Ucap Gibran yang masih setia dengan dokumen yang ada di hadapannya.
"Saya gak ngawur, Dok. Jelas tadi lihat di parkiran kalo dia ada disini. Dia pake dress warna putih. Rambutnya dicepol tinggi. Malah yang saya lihat dia bawa bekal segala. Kirain udah kesini, makanya saya samperin. Ya kali aja diajak makan siang bareng. Masakannya istri dokter kan ngangenin.” Jawab Alif dengan cengiran jahil yang membuat Gibran balik memandangnya dengan alis bertaut.
Gibran meraih ponselnya yang ia charger di bagian bawah meja. Selesai operasi tadi dia baru tahu kalau ponselnya kehabisan baterai. Karena lupa membawa charger juga power bank, Gibran terpaksa meminjam dari salah satu perawat jaga dan sampai saat ini dia belum menyalakannya lagi. Pasti Falisha sudah mengiriminya banyak pesan. Pikir Gibran dalam hati
Dengan tak sabar Gibran menunggu ponselnya menyala. Namun kerutan di dahinya semakin dalam saat dia tidak mendapatkan notifikasi apapun dari istrinya itu. Apa Falisha memang berniat memberikannya kejutan? Lagi-lagi ia bertanya dalam hati.
"Coba Dokter video call. Kali aja emang tadi saya salah lihat. Meskipun saya yakin itu Falisha." Lanjut Alif lagi.
Gibran menurut. Dia dengan cepat mencari kontak Falisha dan melakukan panggilan video pada istrinya. Untungnya, Falisha menjawab pada deringan kedua.
"Assalamualaikum." Sapa gadis mungil yang kini menjadi istrinya itu. Benar kata Alif, Falisha memang tampak mengikat rambutnya dan juga mengenakan pakaian putih.
"Waalaikumsalam. Kamu udah bangun?" Tanya Gibran berbasa-basi.
Falisha tampak mengangguk di kejauhan sana. "Mas udah beres operasinya?" Kini giliran Gibran yang mengangguk. "Lancar?" Tanyanya lagi.
"Alhamdulillah." Jawab Gibran penuh syukur.
"Alhamdulillah." Jawab Falisha juga penuh syukur. "Mas masih lama di RS?" Tanya Falisha ingin tahu.
"Iya. Ada beberapa hal yang mesti Mas urus." Falisha tidak menjawab. Istrinya itu tampak menganggukkan kepala. "Kamu dimana? Masih di apartemen?"
Falisha menggelengkan kepala. "Enggak, Fali udah keluar dari tadi." Jawabnya jujur. "Ya udah, kalo Mas masih sibuk, Fali tutup ya. Assalamualaikum."
Gibran hendak bertanya lagi, namun Falisha sudah menutup panggilan telepon lebih dulu. Tatapan Gibran kini teralih pada Alif. "Kamu beneran lihat Falisha disini?" Tanyanya tak yakin.
"Doktet lihat sendiri kan kalo ucapan saya bener." Jawab Alif pasti.
Gibran mau tak mau mengiyakan. Apa yang Alif katakan memang benar. Tentang penampilan Falisha. Tapi kalau memang istrinya itu ada disini, kenapa dia tak juga muncul.
"Kapan kamu lihat dia di parkiran?" Tanya Gibran penasaran.
"Saya datang sekitar sepuluh menit yang lalu." Jawabnya lagi. Mengkalkulasikan waktu saat dia datang, berganti pakaian dan melakukan absensi sampai ia berjalan menuju ruangan Gibran.
"Lantas kenapa Fali belum muncul juga?" Tanya Gibran yang kini mulai panik.
Alif mengedikkan bahu. "Dokter yang suaminya. Bukan saya." Jawabnya dengan santai. "Saya kesini awalnya mau nyapa pengantin baru. Tapi karena pengantinnya gak ada, saya pamit aja." Ucapnya dan kemudian meninggalkan Gibran sendirian.
Gibran mengetuk-ngetukan jari jemarinya di atas meja dengan tak sabar. Sepuluh menit. Dia akan memberi waktu sepuluh menit bagi Falisha untuk datang. Jika istrinya itu tak muncul juga maka... Maka ia sendiri pun tak tahu apa yang harus dilakukan.
Sementara itu, Falisha yang memilih untuk meninggalkan rumah sakit kini tidak tahu harus pergi kemana. Apartemen hanya akan membuatnya mengingat ketiadaan Gibran.
Rumah orangtuanya? Ia tak mau membuat orangtuanya berpikiran yang tidak-tidak. Apalagi ayahnya sampai saat ini masih belum bisa menerima Gibran sebagai suaminya. Entah karena cemburu karena putri semata wayangnya direbut orang lain atau mungkin karena ayahnya juga berpikir yang sama seperti para perawat rumah sakit tadi kalau Gibran menikahinya karena kasihan padanya? Falisha tidak tahu dan dia menggelengkan kepala cepat, hatinya terasa tercubit jika memang fakta itu yang membuat ayahnya belum menerima pernikahan mereka.
Haruskah Falisha mengajak sahabatnya bertemu? Tapi tidak, lagi-lagi Falisha menggelengkan kepala. Menemui Intan ataupun Meylan jelas bukan pilihan. Bukannya menyemangati, keduanya bisa jadi malah mengejeknya karena gagal pergi berbulan madu. Ya meskipun pada akhirnya keduanya pasti akan menghiburnya, tapi Falisha tetap enggan bertemu mereka.
Alhasil Falisha hanya bisa duduk termenung di tempat pertama yang bisa ditemukannya.
"Sendirian?" Sapaan seseorang membuat Falisha mendongakkan kepala.
"Abang Uncle?" Falisha terkejut dengan sosok pria yang menyapanya. Pria paruh baya yang menjadi suami kakak sepupunya itu tersenyum dengan lembut dan meminta izin untuk duduk di samping Falisha. Falisha hanya mengangguk dan menggeser tubuhnya supaya paman sekaligus kakak sepupunya itu bisa duduk.
"Kenapa kamu disini? Bukannya seharusnya kamu pergi sama Gibran?” Tanya pamannya itu dengan tatapan mengarah ke jalanan.
“Ada operasi dadakan. Masa Abang Uncle gak tahu.” Ucap Falisha lebih terdengar seperti nyinyiran.
“Ah, iya. Karena dokter Haldi kecelakaan ya. Maaf, Uncle gak tahu.” Ucap pria paruh baya itu tulus.
Falisha menjawab dengan kedikan bahu. “Slow aja. Fali tahu kok, meskipun Abang Uncle ini kepala rumah sakit, tapi Abang Uncle gak tahu segala hal.” Ucapnya yang dijawab anggukkan dokter Gilang.
“Terus, kenapa kamu disini sendirian?” Tanya dokter Gilang heran.
"Abang Uncle juga ngapain disini sendirian?" Falisha balik bertanya yang malah membuat pamannya terkekeh.
"Kan Abang Uncle yang nanya duluan."
"Ya kan bebas, Fali mau jawab atau balik nanya." Jawab Falisha tak mau kalah. Alhasil Gilang tertawa dan mengusap rambut keponakan sekaligus adik sepupunya itu dengan sayang.
"Abang Uncle tadi lagi ngisi ban bocor di bengkel disana." Tunjuknya pada arah bengkel yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari tempat mereka duduk. "Abang Uncle lihat kamu keluar dari RS. Abang Uncle kira kamu mungkin butuh tumpangan buat pulang."
Falisha mengerutkan dahi. "Trus, kalo Fali butuh tumpangan, Abang Uncle mau anterin?" Gilang menjawab dengan anggukan. "Trus Abang Uncle mau bolos kerja gitu, demi anterin Fali?" Tanyanya lagi, yang dijawab Gilang lagi-lagi dengan anggukan. Falisha mencebik. "Halah, bilang aja Abang Uncle itu kepo. Mau nanya kenapa pengantin baru kayak Fali malah jalan-jalan sendiri, bukannya ditemenin sama suami." Ucapnya dengan nada nyinyir.
Gilang seketika terbahak mendengar jawaban keponakan sekaligus sepupunya itu.
"Kok gitu sih?" Tanya Gilang pada akhirya. "Memang salah ya, kalo Abang Uncle nanya begitu? Kan itu pertanyaan yang wajar."
Falisha mengedikkan bahu. "Wajar sih, kalo ditanyain sama orang-orang normal yang alasan nikahnya juga normal." Jawab Falisha lirih, namun masih bisa Gilang dengar.
"Maksudnya?" Tanya Gilang penasaran.
Falisha terenyak dan seketika menggelengkan kepala. "Gak ada maksud apa-apa." Jawabnya cepat.
Gilang memandangi wajah sepupu sekaligus keponakannya itu dengan seksama. "Fali, apa ini ada hubungannya sama Gibran?" Tanyanya cemas.
"Apaan ih, Abang Uncle mulai kepo deh." Elak Falisha.
Gilang menggelengkan kepala. "Abang Uncle kepo karena Abang Uncle sayang sama kamu." Ucapnya seraya mengusap kepala Falisha lembut. "Jika memang ini adalah urusan rumah tangga. Maka bagus kalo kamu merahasiakan ini dari orang-orang untuk menjaga aib keluarga. Tapi, masalah itu gak akan selesai hanya dengan diam." Tutur Gilang dengan lembut. "Abang Uncle gak tahu apa yang ada di pikiran kamu saat ini. Tapi seandainya hal itu meresahkan. Jangan didiamkan. Minimal kamu ngobrol sama seseorang yang bisa kamu percaya dan bisa ngasih kamu solusi." Sarannya. "Karena seringkali, saat kita punya masalah dan memikirkannya terlalu dalam, justru yang datang malah pikiran-pikiran buruk. Bukan solusi.
“Mengadu pada Allah adalah pilihan utama. Tapi mendengarkan pendapat orang lain juga perlu. Setidaknya supaya pikiran kamu terbuka. Nanti keputusannya kamu sendiri yang ambil. Mengerti?"
Falisha hanya terdiam. "Terus Fali harus bilang sama siapa? Disekeliling Fali gak ada yang Fali anggap netral."
"Kak Qilla?" Gilang menyebut nama istrinya sendiri. Falisha menggelengkan kepala. "Jadi benar, semuanya ada hubungannya sama Gibran?" Falisha menggigit bibir bawahnya kemudian mengangguk. "Kenapa sama Gibran?" Tanya Gilang pada akhirnya.
"Tapi Abang Uncle jangan bilang siapa-siapa, apalagi sama kak Qilla." Pinta Falisha yang kemudian diangguki Gilang. "Sejak awal, semua orang dirumah ragu dan gak yakin sama Mas Gibran. Fali sendiri juga gitu." Jawab Falisha pada akhirnya.
"Kenapa?" Tanya Gilang heran. "Maksud Abang Uncle, kenapa kamu gak yakin? Kalau Papa kamu, Kak Qilla atau Akara, Abang Uncle bisa mengerti alasannya. Tapi kamu, kenapa kamu gak yakin sama Gibran? Kamu cinta kan sama dia?"
Seketika Falisha mengangguk. "Sejak pandangan pertama." Jawabnya malu-malu.
"Lantas, apa yang buat kamu gak yakin sama dia?" Tanya Gilang lagi.
"Karena kondisi Fali yang seperti ini." Keluh Falisha. Gilang mengangkat sebelah alisnya, memandangi Falisha dari atas kebawah. "Bukan karena penampilan Fali, Abang Uncle. Semua orang tahu kalo Fali itu cantik, menggemaskan bin kiyut. Sekilas pandang aja orang bisa jatuh cinta sama Fali. Apalagi dua kilas." Jawabnya seenaknya yang membuat Gilang tertawa.
"Trus kenapa?"
"Maksud Fali, tentang kondisi kesehatan Fali." Jawabnya lesu. "Semua orang, apalagi si Iler sama si Santan tahu dengan sangat sangat sangat jelas kalo Mas Gibran sejak awal gak suka sama Fali. Bahkan dengan terang-terangan nolak Fali. Tapi Mas Gibran berubah drastis baiknya sama Fali pas tahu Fali sakit. Semua orang jadinya mikir kalo Mas Gibran gak bener-bener suka sama Fali. Tapi Mas Gibran nekad ngelamar Fali karena kasihan. Karena mungkin pikirnya Mas Gibran menikah itu keinginan terakhir Fali sebelum Fali dipanggil Tuhan."
"Memang, keinginan terakhir kamu sebelum meninggal itu, menikah?"
Falisha menggelengkan kepala. "Keinginan terakhir Fali itu berumur panjang, Abang Uncle. Bukan nikah." Ketusnya yang lagi-lagi membuat Gilang terkekeh.
"Trus, kata siapa kalo Gibran mikir itu keinginan terakhir kamu? Kalo dia nikahin kamu karena kasihan?"
Falisha menarik napas panjang dan kemudian menghembuskannya pelan. "Kata orang-orang." Jawabnya lesu. "Dan kata hati Fali sendiri."
"Kamu udah coba tanya langsung sama Gibran?"
Falisha mengangguk. "Tapi tentu aja Mas Gibran gak akan bilang yang sebenernya. Dia pasti bilang apapun supaya Fali senang. Meskipun itu bohong."
"Tapi Fali gak bisa bedakan yang mana bohong dan bukan, betul kan?"
"Fali kan bukan ahli terawang." Bisiknya.
Gilang tersenyum dan merangkul bahu Falisha seraya mengusap lengannya lembut. "Fali, percaya sama Abang Uncle. Manusia itu, hanya ingin mendengar apa yang mereka ingin dengar. Hanya akan percaya pada apa yang ingin mereka percayai.
“Jika hati kita percaya bahwa itu benar, saat orang lain mengatakan itu salah, maka tetap akan benar bagi kita. Tapi jika kita percaya bahwa itu salah, seberapa keras pun usaha orang untuk membuktikan bahwa itu benar, kita pasti akan menganggap itu salah." Ucap Gilang dengan bijak. "Sekarang, saat kamu ragu tentang perasaan Gibran. Sekeras apapun dia mengatakan dia cinta sama kamu. Sebanyak apapun dia membuktikan kalau dia mencintai kamu. Kamu akan tetap ragu. Karena mindset kamu sejak awal sudah ter-setting ragu.
“Tapi jika sejak awal kamu yakin kalau Gibran itu benar-benar cinta sama kamu. Sebanyak apapun, sesering apapun orang mengatakan kalau Gibran berbuat curang, kalau Gibran main perempuan, kalau Gibran gak cinta sama kamu, kamu gak akan percaya karena menurut kamu, Gibran hanya mencintai kamu.
“Coba pikir baik-baik. Apa Abang Uncle salah?" Tanya Gilang. Falisha terdiam. Memilih memandangi jari jemarinya yang terpilin.
"Biar Abang Uncle ceritakan sebuah kisah. Dulu, ada seorang wanita yang benar-benar mencintai seorang pria dalam diamnya. Di benaknya, dia merasa bahwa dia tak pantas untuk mencintai si pria. Dalam kepalanya si wanita berpikir bahwa si pria tidak akan pernah mencintainya.
“Lantas suatu ketika si pria menyatakan perasaannya. Karena ternyata, tanpa wanita itu tahu, selama ini si pria pun menduga hal yang sama tentang si wanita. Bahwa ia tak pantas untuk si wanita. Meskipun dengan alasan yang berbeda.
“Lantas apa yang terjadi? Keduanya saling mengutarakan perasaan masing-masing. Saling mengetahui dan percaya pada perasaan satu sama lain. Saling yakin. Hingga saat dalam kondisi terburuk pun, saat guncangan datang dari berbagai sisi, karena keduanya saling yakin, saling percaya, guncangan itu tidak berhasil merobohkan apapun. Meskipun orang-orang menduga akan timbul keretakan dan kehancuran. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah, keyakinan dan kepercayaan itu sendiri yang menjadi perekat, menjadi dinding, menjadi pondasi hubungan itu tetap bertahan.
“Intinya adalah, sesuatu itu harus dimulai dengan keyakinan. Bukan keraguan. Karena kalau kita melakukan sesuatu dengan ragu, saat ditengah jalan ada hambatan, kita akan memilih berhenti, atau malah mundur. Tapi saat kita melakukan sesuatu dengan yakin, saat ditengah jalan kita mendapatkan hambatan, kita tidak akan menyerah. Kalau bukan melompati hambatan, kita akan menanjakinya, atau bahkan memutar jalan. Yang pasti kita akan tetap meneruskan perjalanan sampai kita mencapai tujuan. Karena kita yakin kita bisa.
“Tapi jangan lupa. Kembalikan semua keraguan dan keyakinan itu terlebih dulu pada Yang Maha Pemilik Rasa. Minta kepada Allah. Mintalah kepada-Nya supaya segalanya dipermudah, dan ada pada tempat yang tepat. Yang ragu buat menjadi yakin. Yang yakin dibuat menjadi semakin kokoh keyakinannya. Jangan menyerah, jangan berburuk sangka. "Aku sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku. Aku bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku.*" Jadi Fali teruslah berbaik sangka. Teruslah berdoa. Karena Allah tidak akan menguji Fali diluar kemampuan Fali." Ucap Gilang kembali mengusap kepala Falisha dengan penuh kasih sayang.
[HR. Muslim 4832, 4851; Tirmidzi 3527, Ahmad 7115]
Part 4
Falisha akhirnya kembali ke gedung apartemen dengan diantar Gilang. Meskipun ia berusaha menolak, tapi paman sekaligus kakak sepupunya itu memaksa dengan alasan takut Falisha tersesat dan kehilangan arah tujuan. Seolah Falisha itu anak kecil yang tak tahu arah jalan pulang.
"Makasih Abang Uncle udah mau anterin Fali pulang." Ucapnya dengan nada mengejek. Gilang yang mendengarnya malah terkekeh dan mengacak rambut Falisha dengan gemas.
"Jangan nakal. Jangan lari-lari, apalagi lari dari masalah." Ejek Gilang yang membuat Falisha mendelik.
"Kenapa gak sekalian bilang cuci kaki, cuci muka trus gosok gigi sebelum tidur?" Tanyanya dengan nada mengejek.
Gilang mengedikkan bahu. "Masa iya yang begitu mesti Abang Uncle ingetin." Jawabnya jahil.
Falisha mencebik. Namun kemudian ia mengulurkan tangannya. Gilang turut mengulurkan tangannya. Falisha mencium punggung tangan pria itu sebagai tanda hormat sebelum benar-benar pamit dan turun dari mobil.
Dalam perjalanannya menuju lantai unit tempat tinggalnya. Kepalanya dipenuhi pikiran tentang apa yang harus ia lakukan kedepannya. Faktanya, sekarang ini hatinya terusik. Pertanyaan yang ada di kepalanya dan pernyataan yang didengarnya membuat keyakinannya pada perasaan Gibran goyah. Ia mulai meragukan niatan pria itu menikahinya, dan meragukan rasa cinta pria itu terhadapnya.
Cintakah Gibran padanya?
Syukur jika memang Gibran mencintainya. Tapi jika tidak? Jika benar semua itu hanya kasihan saja, Falisha harus bagaimana?
Lebih baik berpisah saja. Mumpung belum terjadi apa-apa. Bisik setan di kepalanya.
Berpisah? Tapi mereka baru saja menikah. Bahkan belum sampai 24 jam mereka menjadi suami istri.
Lantas kamu mau menunggu sampai kapan? Sampai Gibran menyatakan sendiri bahwa dia menikahimu karena dia merasa kasihan? Atau menunggu Gibran bertemu wanita yang benar-benar dicintainya dan meninggalkan mu tanpa alasan?
Falisha menggelengkan kepalanya keras. Tidak dia tidak mau menunggu hal itu. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin? Tanyanya dalam hati. Falisha berjalan keluar dari lift. Kembali dibuat bimbang diantara dua pintu yang harus dia masuki.
Haruskah dia masuk ke apartemen Gilang? Atau haruskah ia masuk ke apartemen Gibran? Sementara pintu manapun yang ia masuki hanya akan membuatnya menunggu dalam kesendirian.
Jangan lari, apalagi lari dari masalah. Falisha mengingatkan dirinya sendiri. Karena itulah, dengan menarik napas panjang ia membuka pintu unit Gibran. Falisha meletakkan tas dan juga kotak makan yang tadi dibawanya ke rumah sakit di atas meja bar. Setelahnya ia berjalan menuju balkon, membuka pintunya lebar dan membiarkan angin masuk ke kediamannya.
Falisha memegangi pagar balkon dengan kedua tangannya. Kepalanya menoleh ke sisi kiri ke tempat milik pamannya. Ingatannya kembali ke masa lalu dimana ia banyak menghabiskan waktu disana. Masa perkenalannya dengan Galih dan Gibran. Falisha membayangkan dirinya dalam posisi Gibran.
Apakah selama ini Gibran kesal dengan sikapnya yang konyol? Apa pria itu jijik padanya?
Falisha seringkali merayunya. Mengucapkan kalimat gombal dan bahkan menantang pria itu dengan ungkapan cintanya. Kini, saat ia mengingat lagi rasanya memalukan.
Falisha sendiri tidak menyangka kalau hubungannya dengan Gibran akan berakhir sampai sejauh ini. Meskipun Gibran cinta pertamanya, namun ia tidak pernah bermimpi kalau mereka akan berakhir bersama. Ia tidak pernah menduga kalau pada akhirnya Gibran akan melamarnya. Karena semenjak mendapatkan vonis dari dokter, ia tidak pernah bermimpi untuk hidup dalam waktu yang lama.
Falisha kembali menarik napas panjang dan kembali berjalan menuju pantry. Sekali lagi ia membuka lemari es Gibran yang kosong. “Beli apa ya?” Tanyanya pada diri sendiri seraya menutup kembali lemari es. Mengambil kotak makannya yang pasti isinya sudah dingin dan juga tasnya, Falisha memilih untuk keluar lagi.
***
Gibran memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit setelah mendengar perkataan Alif tentang Falisha. Meskipun enggan mengakui, namun sebenarnya Gibran merasa khawatir pada istrinya itu. Ia takut terjadi sesuatu padanya, karena meskipun kondisinya dikatakan stabil, ia tidak tahu apa yang bisa saja terjadi pada Falisha sewaktu-waktu.
Dalam perjalanannya, Gibran kembali mengingat ekspresi wajah Falisha. Apakah itu imajinasinya atau ia memang melihat raut sedih di wajah istrinya.
Kenapa? Apa Falisha sedih karena Gibran lebih memilih pergi ke rumah sakit daripada pergi berbulan madu dengannya?
Itu bisa saja terjadi. Tapi itu juga bukan keadaan yang Gibran ingini. Dan lagi, Falisha sendiri yang mendorongnya pergi karena istrinya itu tahu kalau dirinya akan khawatir. Gibran menekan password apartemennya dan mengerutkan dahi saat melihat apartemen itu kosong.
Falisha belum kembali? Tanyanya seraya melangkah masuk dan mencari sang istri di huniannya yang tidak bisa disebut luas itu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Falisha. Ruangannya terasa dingin seolah tidak berpenghuni.
Apa semalam Falisha tidak tidur disini? Tanyanya lagi pada dirinya sendiri. Ia melihat tempat tidurnya masih serapi saat ia meninggalkannya. Ia melirik ke keranjang cucian dan juga tak menemukan pakaian Falisha. Gibran kemudian berjalan masuk ke dalam kamar mandinya. Tidak ada yang berbeda disana. Semua letak shampoo dan sabun yang ia beli khusus untuk Falisha tampaknya tidak tersentuh sama sekali. Bahkan sikat gigi berwarna merah muda masih dalam bungkusannya. Dimana istrinya? Kemana dia?
Gibran kembali meraih ponselnya dan menghubungi nomor Falisha namun istrinya itu tidak menjawabnya. Gibran akhirnya memilih untuk keluar dari unitnya dan melangkah ke pintu sebelahnya. Berharap passwornya masih sama, Gibran kemudian menekannya. Beruntungnya, Falisha belum mengganti password lamanya sehingga Gibran bisa masuk ke dalamnya.
Tidak ada siapa-siapa disana. Saat Gibran memanggil nama istrinya, yang terdengar justru hening. Ia membuka semua pintu yang ada dan memang Falisha tidak ada disana. Gibran keluar dari unit Falisha yang lama dan tertegun kala melihat istrinya keluar dari lift ditemani pria bertubuh tinggi besar yang membawa belanjaannya.
“Mas Dokter?” Tanya Falisha kaget saat melihat Gibran yang kini tengah menatapnya dengan tatapan tajamnya. “Kapan pulang?” Tanya Falisha lagi.
“Kenapa kamu gak jawab telepon Mas?” Gibran balik bertanya dan mendekati Falisha dengan langkah lebarnya. Mengambil kantong belanjaan berukuran besar yang ada di kedua tangan istrinya dan berputar untuk kembali menuju kediaman mereka.
“Oh, Mas nelepon.” Falisha mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya. “Maaf, tadi Fali kerepotan bawa belanjaan jadi getaran ponselnya gak kerasa.” Ucapnya dengan cengiran malunya. “Untung aja tadi ada Pak Bono, kalo enggak kerepotan Fali.” Ucap Falisha seraya tersenyum pada petugas kebersihan yang kini meletakkan kantong belanjaan Falisha di dekat meja pantry.
“Ibu lain kali kalau memang ada perlu, hubungi saya aja.” Ucap pria paruh baya itu dengan sopannya.
“Iya, lain kali Fali coba inget buat hubungin bapak.” Ucap Falisha seraya tersenyum dan menyelipkan uang kepada petugas kebersihan itu. Petugas itu awalnya menolak pemberian Falisha karena Falisha sebelumnya sudah memberikannya makan siang, namun Falisha bersikukuh supaya pria itu menerimanya dan setelah mendapat teguran dari Gibran, pria itu pun menerimanya seraya berulangkali mengucapkan terima kasih pada keduanya.
“Mas kenapa udah pulang? Fali pikir Mas bakal terus di rumah sakit sampai jam kerjanya beres.” Ucapnya tanpa menoleh ke arah Gibran.
“Kamu nyindir, atau nanya beneran?” Tanya Gibran dengan nada ketusnya yang membuat Falisha berhenti dari kegiatannya yang tengah mengeluarkan belanjaan dari kantong plastiknya.
“Nyindir?” Falisha berbalik dan memandang suaminya. “Maksud Mas?”
“Tadi kamu ada ke rumah sakit kan? Alif bilang dia lihat kamu. Tapi Mas tunggu-tunggu kamu gak ada datang ke ruangan Mas.” Tegur Gibran yang membuat Falisha menggigit bibirnya kikuk. Ia tidak menyangka kalau Alif sempat melihatnya dan melaporkan keberadaannya pada Gibran. Sekarang, haruskah Falisha berkilah atau haruskah ia mengatakan yang sejujurnya?
“Mmmm… Tadi Fali emang sempat pergi ke rumah sakit.” Ucap Falisha jujur dan kembali pada kegiatannya untuk menghilangkan gugupnya. “Tapi Fali takut ganggu Mas, makanya Fali pulang lagi.”
Gibran memandang istrinya dengan mata menyipit tajam. “Yakin karena itu?” Tanyanya curiga. Falisha menganggukkan kepala. “Biasanya juga kamu kalo mau ganggu orang ya ganggu aja. Gak ada istilah gak enak.” Sindir Gibran yang membuat Falisha semakin membungkam mulutnya. “Trus, makanan yang Alif bilang kamu bawa, kemana?” Tanyanya ingin tahu.
“Ya, itu tadi Mas dengar sendiri. Makanannya Fali kasih sama Pak Bono.” Ucap Falisha malu-malu.
“Itu kan jatah Mas, kenapa dikasih ke orang.”
“Ya habis Fali pikir Mas udah makan di kantin rumah sakit.” Cicitnya pelan.
“Kok Mas malah makin curiga ya?” Gibran menyandarkan pinggulnya di meja bar. Melipat kedua tangannya di depan dada dan memandang Falisha dengan tajam. “Apa yang sebenarnya terjadi di rumah sakit yang bikin kamu jadi putar arah?” Tanya Gibran, kini pria itu membuka kedua tangannya dan meraih pinggang Falisha supaya berdiri di hadapannya. Falisha yang memang bertubuh pendek mau tak mau harus mendongakkan kepalanya supaya bisa melihat wajah suaminya yang memiliki tinggi seratus delapan puluh sentimeter itu. “Apa kamu mendengar sesuatu yang gak menyenangkan?” Tanya Gibran mengangkat tangannya dan mengusap kedua sisi kepala Falisha seolah sedang membetulkan posisi rambut istrinya.
“Mmmm…” Falisha tidak memberikan jawaban.
“Apa yang kamu dengar?”
“Gak ada.” Jawab Falisha ragu.
“Pasti ada.” Desak Gibran yakin.
“Fali gak dengar apa-apa. Fali cuma bertanya-tanya aja sama diri Fali sendiri apa tindakan Fali sampai sejauh ini sudah benar. Apa ini pilihan yang terbaik atau semua yang Fali lakukan sampai saat ini itu salah?”
“Apa yang benar dan apa yang salah?” Tanya Gibran ingin tahu.
“Semuanya.” Jawab Falisha sambil mengedikkan bahu. “Fali ngerasa semuanya serba salah. Entah kenapa, Fali mendadak ngerasa gak siap untuk menikah.”
"Tapi kita ini udah nikah." Gibran mengingatkan.
Falisha menganggukkan kepala. "Iya, Fali tahu. Fali masih inget kok siapa yang ngucap ijab kabul di depan Papanya Fali. Tapi sekarang, setelah Fali pikir-pikir lagi. Fali ragu dan belum siap untuk jadi istri.”
“Udah terlambat.” Ucap Gibran seraya merangkum wajah Falisha dengan kedua tangannya. Dengan sengaja menekan pipi Falisha yang membuat bibir gadis itu maju ke depan mirip paruh bebek. “Kamu udah jadi istri Mas, dan itu gak bisa diubah lagi. Gak ada istilah pembatalan pernikahan karena pernikahan kita sudah tercatat di pengadilan agama. Bilang aja yang jujur, apa yang sebenarnya membuat kamu risau seperti ini?” Tanyanya ingin tahu. “Apa kamu mau kita jadwal ulang acara bulan madu kita?” Tanyanya penuh pengertian.
Falisha menggelengkan kepala. Dia meletakkan kepalanya di dada suaminya dan memeluk pinggangnya erat. “Gak usah. Nanti aja.” Suaranya teredam oleh dada bidang Gibran.
Gibran balas memeluk istrinya. Meletakkan dagunya di puncak kepala Falisha dan mengusap punggung istrinya pelan.
“Mas cinta sama Fali?” Tanya Falisha secara tiba-tiba. Gadis itu mendongakkan kepalanya dan memandang Gibran dengan mata indahnya. Gibran bisa melihat kilau airmata disana. Gibran tersenyum, mengusap rambut Falisha dengan kedua tangannya dan menganggukkan kepala. “Jawab.” Rengek Falisha seraya mengguncang tubuh Gibran dengan tubuh kecilnya.
“Iya. Mas cinta sama kamu. Mas minta maaf karena udah batalin bulan madu kita. Mas tahu kamu kecewa karena Mas lebih mementingkan pasien daripada kamu.”
Falisha menggelengkan kepala. “Itu udah kewajiban Mas. Fali gak marah kok.” Ucap Falisha kembali menyandarkan kepalanya di dada Gibran. Mendengar pernyataan cinta Gibran sebelumnya itu sudah cukup bagi Falisha, ia tidak mau menambahkan yang lain lagi.
"Mas gak bisa janji kalau kedepannya hal seperti itu tidak akan terjadi lagi." Lanjut Gibran lagi, kembali memeluk Falisha dan meletakkan dagunya di atas puncak kepala istrinya. "Mas juga gak bisa selamanya minta kamu untuk mengerti semisal keadaan memaksa Mas harus memilih. Tapi kamu harus ngerti, kalau inilah resiko menikah sama dokter. Dan ini adalah jalan yang Mas ambil jauh sebelum Mas kenal sama kamu. Jadi, kamu mau kan maafin Mas?" Tanya pria itu dengan lembut.
Falisha kembali mengeratkan pelukannya dan menganggukkan kepala. Dadanya berdebar sangat kencang karena rasa cintanya yang begitu menggebu. Ia memejamkan mata, memilih untuk menikmati hangatnya pelukan Gibran yang jarang sekali ia dapatkan.
~Jangan lupa komen~
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
