Shazil Medina - Bagian 5

329
52
Deskripsi

“Kisah sakinah, di tanah Madinah,” begitu angannya.

Sheina sangat mencintai Kota Madinah, hingga ia enggan kembali ke tanah air meski pendidikan S1-nya di Riyadh sudah selesai. Gadis itu memutuskan melanjutkan kuliahnya ke jenjang S-2 di Universitas Taibah. Menetap lebih lama di kota terakhir di mana nafas Nabi berhembus.

Tak seperti saat kuliah S1, kali ini dia membutuhkan syarat mahram tinggal bagi pelamar beasiswa putri. Keputusan untuk tidak pulang ke tanah air juga mendapat penentangan dari Ayah...

SHEINA senang dengan syariat-syariat yang dipertahankan, lalu lambat laun berubah menjadi budaya dan meresap dalam jiwa-jiwa yang hidup di tengah masyarakat. Riyadh menjadi kota pertama yang mengenalkan hal tersebut padanya. Sheina sangat mencintai kota ini, bahkan beserta segala lukanya.

Di sini orang-orang yang bergelimang riyal membangun rumah mereka tinggi-tinggi. Gerbangnya menutup hampir keseluruhan bangunan hingga sama sekali tidak terlihat dari luar. Bukan tanpa alasan, konon kata tantenya para lelaki Arab melakukan itu agar istri atau anak perempuannya bisa leluasa bergerak di halaman rumah mereka tanpa cemas terlihat oleh lelaki yang bukan mahram dari luar.

Hal tersebut yang juga menjadi alasan mengapa pasar-pasar dipenuhi laki-laki, baik sebagai penjual maupun pembeli, karena hakikatnya memang laki-laki yang seharusnya ke luar rumah dan melakukan itu. Mereka ke pasar membeli kebutuhan memasak, bahkan yang paling aneh yang pernah Sheina temui mereka juga yang membelikan segala jenis pakaian termasuk pakaian krusial untuk saudara, istri, atau anak-anak perempuannya.

Tentu, sekarang itu hanya dilakukan segelintir orang saja. Sebagian lagi banyak yang mulai melonggarkan syariat. Konser musik mulai sering digelar meski banyak ikhtilatnya, perempuan sudah boleh menyetir sendiri, bahkan Sheina sebenarnya tak membutuhkan mahram selama kuliah S1-nya di Riyadh. Lima tahun lalu, kampusnya sudah penghapus persyaratan tersebut. Namun berlandaskan rasa khawatir ayahnya, dia tetap tinggal dirumah tantenya dari pihak ibu meski itu hanya berlangsung beberapa bulan.

Orang yang hanya mengenal Sheina dari mulut orang lain, akan beranggapan bahwa dia pasti tumbuh menjadi anak manja. Bagaimana tidak? Dia menyandang status sebagai anak bungsu sekaligus anak perempuan satu-satunya dari keluarga Adyatama. Padahal seperti yang Athaya bilang, Sheina sudah lebih dewasa dari umurnya. Keadaaannya sejak kecil, kesendiriannya, rasa sepi yang ia rasakan, mendesaknya untuk mandiri tanpa ada yang mengajari.

Setidaknya itu berlangsung sampai dia kelas tiga SMA sebelum akhirnya keluarganya kembali membaik seperti sekarang. Namun yang jadi masalah, mereka menunjukkan kasih sayang diusia Sheina yang sudah tidak lagi membutuhkan hal tersebut. 

Ayah dan kakak laki-lakinya memperlakukan dia seperti Sheina yang masih berusia empat tahun. Terlalu over protective, strict parent, atau sejenisnya. Itulah alasan kenapa Sheina agak kesulitan mendapatkan izin untuk melakukan apapun, termasuk mendapatkan izin untuk kuliah di luar negeri.

Menjadi anak rantau membuat ia semakin mandiri lagi. Sekarang, segala keputusan ada di tangannya. Seorang Sheina harus membereskan semua barangnya sendiri, memikirkan dan menentukan transportasi apa yang digunakan, atau sesederhana menentukan hari ini harus makan apa walau kadang itu membuatnya bingung setengah mati. Bagi Sheina menentukan menu makan malam tidak lebih membingungkan dibandingkan menentukan kampus tujuan. Seperti sekarang, kepindahannya dari Riyadh ke Madinah juga tak begitu membuatnya keteteran.

Tring

“Dibaca dengan teliti!”

Sheina membuka email masuk itu. Belum sempat melihat apa isinya, notif lain masuk ke WhatsApp-nya. Kakaknya memiliki tingkat kesabaran yang terlampau minim akan segala hal yang berkaitan dengannya, hampir seperti membagi sebatang rambut menjadi dua.

Tring

“Kakak udah kirim CV-nya Shazil ke email kamu. Dibuka sekarang, terus dibaca! Kasih Kakak jawaban secepatnya."

Disela-sela mata Sheina yang fokus pada ponsel, Lael tiba-tiba sudah duduk di sampingnya dengan dua botol Almarai, minuman mix fruit buah jeruk dan wortel yang dia beli dari minimarket. Kontan Sheina memilih menghapus dua notifikasi tersebut dan mematikan ponselnya agar Lael tidak membacanya, meski Sheina yakin perempuan di sampingnya belum tentu bisa memahami isinya.

Mereka berdua tengah menunggu jam keberangkatan kereta cepat Haramain di Stasiun Raja Salman menuju Madinah, “Minum?" tawar Lael. Temannya ini sering sekali membelikan sesuatu tanpa diminta. Dia seolah memiliki prinsip tidak boleh minum atau makan sendirian saat sedang bersama orang lain.

“La, mitsyakkir… (1)” Sheina menolak halus. Namun tetap saja Lael memberikan sebotol Almarai itu ke pangkuan Sheina. Baginya menawarkan sama dengan memberi, bahkan terkadang sama dengan memaksa.

Hari ini mereka berdua akan ke Madinah dan berencana menginap tiga hari di hotel yang sudah mereka pesan sebelumnya. Mereka berdua sama-sama membutuhkan tempat tinggal untuk menetap selama dua tahun di sana. Sheina belum mendapatkan apartemen, flat, atau asrama, sedangkan Lael tidak mungkin tinggal di asrama suaminya dan perlu mencari tempat tinggal yang lebih luas agar dapat tinggal serumah berdua.

“Aku bilang apa? Keretanya masih satu jam lagi. Kita datang terlalu awal.”

“Nggak masalah, sambil menunggu Ammar. Dia masih diperjalanan.” Pupil mata Sheina sontak membesar ketika mendengar Lael membahas soal kedatangan Ammar. Bertemu dengan Ammar saja dia tidak ingin, apalagi bertemu dengan Ammar seperangkat dengan Lael.

“Di perjalanan? Maksudnya Ammar sedang dalam perjalanan dari Madinah ke sini?” 

Lael mengangguk, “Kenapa kaget begitu?”

“Hanya… merasa heran aja,” jawab Sheina dengan jeda. “Ammar ke sini, sedangkan kamu mau ke Madinah. Aku kira kamu akan menemuinya saat kita udah di sana.”

“Awalnya begitu, tapi dia melarang aku safar sendirian. Meskipun pakai Haramain dan hanya beberapa jam di perjalanan. Katanya Madinah-Riyadh sekitar 513 mil. Sudah melebihi ketentuan jarak untuk perempuan safar sendirian. Dia pulang ke sini untuk mendampingi kita ke sana. Perempuan tidak bisa menjadi mahram untuk perempuan lain ketika safar, kan?”

Sheina meringis mendengar itu, lalu tersenyum kaku untuk menyembunyikan segala resahnya. Memendam rasa pada laki-laki yang bukan mahram saja sudah aib, apalagi memendam rasa pada laki-laki yang statusnya sudah beristri. Lagipula Sheina merasa Lael banyak benarnya. Safar sendirian, masih menjadi salah satu dosa yang masih saja Sheina lakukan.

“Memang pengantin baru nggak bisa berpisah barang sebentar, ya? Masyaallah… menemani safar atau masih dimabuk cinta ini?” cada Sheina menutupi keberatannya. Lael ikut tertawa.

Ammar rela pulang dari Madinah ke Riyadh, hanya untuk mendampingi istrinya selama di perjalanan agar tidak safar sendirian. Siapapun akan menilai bahwa hal tersebut sangat romantis. Sayangnya keromantisan tersebut menciptakan rasa sesak di dadanya Sheina. Harusnya ketika tak berhasil meninggalkan orangnya, Sheina harus meninggalkan kotanya. Bukan malah semakin mengikis jarak seperti ini.

Sekitar setengah jam kemudian, pria dengan tulang hidung tegas serta bulu mata dan alis yang tebal itu menghampiri mereka di kursi tunggu. Mata coklatnya yang tajam seolah menelisik setiap penjuru stasiun untuk menemukan keberadaan mereka. Lael sudah lebih dulu mengatakan pada suaminya di mana titik lokasi mereka menunggu.

“Es salâmu 'alaikum…” Sheina tersentak kaget dan langsung berdiri tatkala ada sebuah tangan yang menggenggam pundaknya dari belakang. Dia bisa mengenali suaranya tanpa melihat sosoknya. Kalau saja laki-laki itu bukan Ammar, Sheina mungkin sudah melemparkan botol Almarai ke kepalanya.

“'Afwan… ‘afwan… Innalillah… ’afwan, Sheina. Saya kira Lael, pakaian kalian sama.” Pria yang memegang bahunya dari belakang dan itu sama kagetnya dengan Sheina. Ammar berdebar karena dia menyentuh perempuan selain istrinya, Sheina berdebar karena lelaki itu Ammar. Dia benar-benar membenci dirinya sendiri yang masih saja merasakan kejutan-kejutan listrik saat mendengar suara pria itu.

“Parah banget… kamu belum mengenali istrimu sendiri,” goda Lael, berusaha mencairkan suasana canggung di antara mereka. Harusnya ekspresi Sheina tidak seberlebihan itu, dia jadi gampang kaget ketika mendengar suara laki-laki.

“Tinggi kalian hampir sama, pakaian kalian juga sama-sama hitam. Mungkin kalau dari depan saya bisa mengenali Lael dari matanya….” Ammar berulang kali beristighfar dan mengucapkan maaf pada Sheina tanpa memandangnya sama sekali.

Lael tersenyum, “Baiklah… aku anggap itu sebuah pengakuan, kalau aku satu-satunya perempuan yang matanya sering kamu tatap,” respons Lael, Ammar tersenyum tipis dan meminta istrinya untuk tidak mengatakan hal semacam itu di depan orang lain.

Bagi Ammar sekadar kata-kata saja sudah termasuk kategori mengumbar kemesraan. Islam melarang keras pasangan suami istri untuk mengumbar hal tersebut, dan memang benar adanya. Sebab Sheina tenggelam dalam gemuruh pikirannya sendiri, dia muak melihatnya. Dia menahan diri agar gelombang di matanya tak menciptakan pandangan hasad atau meluap tanpa seizinnya.

“Karena sudah bertiga dan masih setengah jam lagi, bagaimana kalau kita makan dulu? Aku lapar… sebotol Almarai nggak cukup untuk membungkam perut.” Ammar menyetujui ajakannya Lael, membuat perempuan yang kekurangan karbohidrat itu seketika kembali bersemangat.

“Haya!(2) Kita cari makan….” Lael kemudian menarik lengan Sheina untuk mencari tempat makan. Belum sempat beranjak, suara pria itu kembali membuat hati Sheina bergemuruh.

“Sheina, kakak kamu menghubungi saya.” Baru mendengar satu kalimat itu, Sheina seolah sudah tahu apa kelanjutannya. Malah Lael yang nampak lebih penasaran mendengar hal tersebut.

“Ada apa memangnya?”

“Dia hanya bertanya apakah kamu sedang bersama Sheina atau tidak. Kalau iya, dia meminta Sheina untuk membuka email dan membaca CV taarufnya Shazil sesegera mungkin.” Ammar mengambil jeda, “Kamu udah baca CV-nya?” tanyanya pada Sheina.

Andai Athaya memiliki kontak empat koma lima juta penduduk Riyadh selain Ammar, Sheina yakin dia akan menghubunginya satu persatu hanya untuk menanyakan keberadaannya, “Oh, udah kok. Afwan, jadi merepotkan.”

“Siapa Shazil? Kamu mau taaruf? Kenapa aku baru tahu info sepenting ini sekarang?”

“Dia… hanya kenalan kakakku. Baru rencana, semuanya masih belum pasti.”

“Bagaimana mungkin belum pasti kalau Kakak kamu sampai menghubungi Ammar untuk menanyakan ini? Calon suami kamu orang mana? Turki, Mesir, Maroko, Uzbekistan? Atau jangan bilang dia mahasiswa di salah satu kampus Saudi. Universitas Raja Saud, King Fahd, atau jangan-jangan anak UIM kayak Ammar ya? Mahasiswa Indonesia kan banyak banget yang berkuliah di sana.” Kecepatan bicaranya Lael melebihi kecepatan Haramain High-speed railway.

“Bukan calon suami, Lael… masih tahap taaruf. Ketemu aja belum.”

“Ucapan adalah doa, Sheina… ditambah Allah itu sesuai dengan prasangka hambanya. Meski baru tahap taaruf, kamu harus mengharapkan hal-hal baik yang terjadi kedepannya. Siapa yang tahu mungkin aku dan Ammar akan ke Jakarta dalam waktu dekat?” goda Lael namun tak ditanggapi oleh Sheina, dia hanya menarik lengan temannya itu untuk segera mencari tempat makan dibanding membicarakan taarufnya. Ammar seolah mengerti, dia berjalan lebih dulu di depan mereka agar tak berjalan di depan perempuan meski ada istrinya.

Sebenarnya selain tak nyaman dengan dirinya sendiri ketika ada Ammar, Sheina juga merasa ruang gerak pria itu menjadi terbatas karena kehadirannya. Meski sedang bertiga, Ammar memilih makan di meja yang berbeda dan membiarkan Sheina dengan istrinya, seolah tahu bahwa Sheina tak akan leluasa makan jika mereka duduk satu meja dan tentu Lael dengan baik hatinya tidak mungkin membiarkan Sheina duduk sendirian untuk makan, kecuali suaminya yang meminta. Sungguh kerja sama dari dua orang yang memang terlampau baik.

Tak ingin kehadirannya mengusik, saat menaiki kereta akhirnya Sheina meminta bertukar tempat duduk dengan Ammar agar mereka bisa duduk berdampingan. Usul itu jelas ditolak keduanya, namun sekeras kepala apapun orang-orang Arab, Sheina jauh lebih keras kepala dari itu. Dia mengancam turun dari kereta dan tak jadi berangkat ke Madinah kalau mereka tak sepakat dengan usulnya dan akhirnya mereka mengalah.

Ammar dan Lael duduk berdua terhalang beberapa kursi di tempat Sheina duduk sekarang. Syukurlah tak ada orang yang duduk di sampingnya. Bahkan dari keempat kursi yang saling berhadapan, hanya ada dirinya yang duduk di sana. Tepat ketika kereta mulai bergerak, matanya menangkap keduanya tengah bercengkrama dan sesekali bercanda hingga membuat ujung bibir pria itu terangkat. Ammar memandang lekat wanitanya hingga matanya berbinar setiap kali manatap Lael. 

Sheina melengos lesu menyaksikan itu. Entah untuk keberapa kali dia mengalami porak-poranda perasaan dan perlu membereskannya sendirian.

Kalau saja dia tidak butuh tempat tinggal di Madinah, dia akan memutuskan tidak jadi pergi dengan alasan apapun. Sheina memilih pindah tempat duduk membelakangi mereka dan mengeluarkan Al-Quran saku dari dalam tasnya. Ada hal yang lebih penting untuk terus diingat selain senyumnya Ammar. Sheina lebih memilih murajaah hafalannya untuk mengugurkan segala ingatannya.

Madinah Station tidak pernah terasa sepi. Dua kota yang selalu menjadi tujuan utama para jemaah umrah ini terasa padat sekali ketika Sheina sampai. Beberapa jasa tour dan travel menambahkan akses kereta cepat dalam fasilitas umrah yang mereka tawarkan.

Disela-sela Sheina membereskan tasnya, memasukan segala jenis barang yang sempat ia keluarkan selama di kereta, ponselnya malah berdering. Padahal dia harus segera meninggalkan tempat duduk untuk turun.

“Astagfirullah Sheina… kamu lama banget balas pesan Kakak. Kamu nggak punya kuota atau gimana sih?” 

“Tadi ponselnya nggak sengaja ke silent. Lupa di nonaktifkan lagi setelah salat Zuhur. Ada apa?” Dia berdiri meninggalkan kursi dengan ponsel ditelinganya.

“Kamu udah baca CV-nya Shazil belum? Taarufnya mau dilanjut nggak?” Parahnya dia tak terpikirkan untuk membuka email selama diperjalanan tadi. Kalau dia menjawab belum, bisa-bisa telepon ini berlangsung dua jam penuh berisi khutbah dari kakaknya. Lael juga sudah melambaikan tangan memberinya intruksi untuk segera mengikuti langkahnya.

“Udah kok, semuanya oke. Lanjut aja.”

“Serius?”

“Serius…,” dalam hati Sheina memohon ampun karena membohongi kakaknya. Dia belum melihat CV pria bernama Shazil itu sama sekali.

“Alhamdulillah, berarti Kakak bisa minta Shazil ketemu Papa dulu hari minggu besok sekalian menentukan tanggal kalian nadzhor. Minggu depan kamu kosongkan jadwal dan pulang ke Indonesia, biar Kakak yang pesan tiket pesawatnya. Kamu pelupa soalnya, nanti nggak kebagian tiket lagi.”

“Oke, forward aja nanti tiketnya ke email aku. Kak, aku tutup teleponnya ya, lagi mau keluar kereta nih. Nanti aku telepon lagi kalau udah nyantai.” Panggilan itu berakhir.

Dan ya, selain selalu lupa memesan tiket pulang dari jauh-jauh hari, sebenarnya Sheina juga selalu lupa untuk menghubungi kakaknya lebih dulu. Kecuali ia memiliki masalah yang tak sanggup dia selesaikan sendiri, baru dia akan menghubungi kakaknya lebih dulu. Seperti soal harus adanya pendamping yang menetap di Madinah untuk studi S2-nya sekarang.

 

✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩

 

Bahagianya Vian sesederhana ada pekerjaan di daerah Sukabumi. Walau panasnya sebelas dua belas dengan Jakarta, setidaknya indeks air quality kota ini tak seburuk di Ibu Kota. Dia tidak akrab dengan Pucak, Batu, Dieng, Garut, Lembang dan kota-kota lain yang sering membuatnya terkena flu. Tumbuh besar di Surabaya membuatnya lebih tahan dengan cuaca panas dibandingkan cuaca dingin. Namun hari ini ketenangannya di salah satu resort dengan view pemandangan Pantai Amanda Ratu terusik dengan pesan yang dikirim Athaya.

Dia setengah tak percaya memandang isi pesan tersebut hingga membacanya berulang-ulang. Athaya memintanya untuk menemui ayahnya, karena Sheina sepakat untuk lanjut ke tahap berikutnya. Dia kira dia akan ditolak mentah-mentah setelah mengirimkan CV-nya. Tak ada satu bagian pun yang bisa Vian banggakan di dalamnya, namun Sheina tetap sepakat untuk melanjutkan taaruf ini bahkan setelah membacanya.

Tak lama nama si pengirim pesan dan wajahnya langsung muncul di layar.

Ian, lo di Sukabumi sampai hari Jumat, kan? Nah, Sabtu istirahat sehari. Minggunya lo bisa kan ketemu bokap gue dan makan malam di sini?”

“Ini Sheina beneran udah baca CV gue? Lo beneran udah mengirimkan CV gue ke adik lo kan, Tha? Kok mulus banget begini jalannya."

“Bukannya Alhamdulillah, malah ngomong begitu. Beneran…. Perlu gue screenshot bukti kirim emailnya? Bahkan gue menanyakaan langsung lewat telepon buat memastikan jawabannya, dia setuju. Minggu ini lo ketemu bokap gue dulu, minggu depan adek gue pulang dari Riyadh buat nadzor. Ini tenggatnya cuma sebulan, siapa tahu kan minggu ketiga udah bisa akad, khitbahnya skip aja kayak gue dulu.”

“Biasanya kalau di awal lancar begini, di akhir suka ada kejutan. Gue belum siap dengan plot twist takdir season tiga,” jawab Vian agak tertawa. “Bisa Senin aja nggak? Gue rencananya mau nginep empat hari di Sukabumi. Malam Senin baru mau balik ke Jakarta.”

“Boleh, tapi paling kalau Senin gue nggak bisa mendampingi. Lo tahu sendiri Senin gue harus terbang ke Kyoto, stay di sana tiga hari. Lo datang aja ke rumah, entar gue bilang ke Papa kalau lo bakalan bertamu hari Senin.”

“Jangan dong! Masa gue menghadap sendiri?”

“Lah, biasanya ketemu bokap gue sendiri juga santai-santai aja.”

“Ini kan lain cerita, Tha… Insyaallah gue balik dari Sukabumi Minggu pagi deh, entar sorenya atau habis magrib baru ke rumah lo.” Mereka menemukan titik temu dan sepakat dengan sarannya Vian.

Waktu empat hari selalu berjalan lebih cepat jika tidak ditunggu. Minggu sore itu Vian sudah kembali ke apartemennya di Jakarta. Matahari yang menyorot Kota Sukabumi ternyata cukup membuat kulit porcelennya menjadi sedikit lebih gelap. Dia suka sekali melihat kulitnya setelah tanning, terasa menjadi lebih lokal dan pribumi walau tahu kondisi tersebut hanya akan berlangsung beberapa hari.

Vian menatap pantulan dirinya dari dalam cermin usai bersiap. Dia menggunakan baju koko berwarna navy yang membuat penampilannya masih nampak kontras. Biasanya dia menggunakan pakaian itu ketika salat saja, rasanya aneh tiba-tiba menggunakannya untuk pergi makan malam walau dia akan berjamaah magrib terlebih dahulu nantinya.

“Jangan percitraan lah, Ian!” monolognya sambil kembali mencari kaos polo warna hitam dan mengganti pakaiannya. Dia tak ingin mendadak menggunakan baju koko saat akan menemui Pak Andreas hanya agar terlihat lebih agamis dan terkesan baik.

Setelah merasa penampilannya cukup sopan, akhirnya Vian berajak mengabil barang-barang penting seperti dompet dan ponsel yang akan dibawanya. Awalnya dia juga akan berangkat menggunakan mobil, tapi untuk apa memamerkan diri agar terlihat kaya di depan orang yang jelas lebih kaya darinya. Apalagi ini bertepatan dengan jam pulang kerja, betapa macetnya jalanan Jakarta jika mengendarai mobil. Akhirnya seperti biasa dia mengambil kunci motor scrambler dan helm full face-nya.

Vian memang hanya memiliki dua kendaraan sekarang, mobil second yang masih layak dibawa menyetir keluar kota dan sebuah motor custom yang dibelinya pertama kali setelah membutuhkan kendaraan untuk mengunjungi beberapa tempat di Jakarta. Dia sudah sering bertamu ke rumahnya Athaya ketika mereka harus meeting membahas pekerjaan, sedangkan pria itu sedang tak bisa meninggalkan rumah.

Rumah Athaya dan rumah ayahnya berada disalah satu kawasan elit proyek lama di daerah Menteng, terlihat dari beberapa arsitekur rumahya yang sudah berbeda satu sama lain. Lokasi rumahnya persis bersebrangan. Karena saat itu gerbang rumahnya Athaya tertutup, Vian memarkirkan motornya di halaman rumah Pak Andreas. Dia juga sudah terbiasa melakukan ini.

“Mas Shazil…,” panggil seseorang antusias dari balkon lantai dua ketika melihat kedatangannya. Mendengar suaranya saja membuat Vian agak berdebar, padahal biasanya dia tak segugup ini bertemu dengan Pak Andreas. Di beberapa pertemuan sebelumnya, mereka berdua sering bertukar pikiran dan mendiskusikan banyak hal seperti tren pasar properti, potensi investasi, nilai properti, bahkan seputar perizinan bangunan.

Satu-satunya orang yang selalu memanggilnya dengan panggilan Mas Shazil setelah dia mejadi mualaf adalah Pak Andreas, dan panggilan tersebut tak pernah berubah hingga sekarang. Lelaki berusia senja yang ikut merayakan bahagiannya ketika mendengar kabar keislaman itu membuat Vian tak merasa kehilangan identitas barunya sebagai seorang muslim.

Tebak siapa yang membeli dua mobilnya Vian saat dia mengalami krisis keuangan? Benar, Pak Andreas orangnya.

Entah mungkin Pak Andreas mengetahui kondisi Vian dari Athaya hingga dia membeli dua mobilnya sekaligus, kemudian melelang mobil tersebut dengan harga yang lebih tinggi, lalu keseluruhan hasilnya disumbangkan kepada beberapa yayasan dan rumah yatim di daerah Menteng. Beliau melipatgandakan pahala dengan menggunakan strategi bisnis.

Tatkala Vian melepas helmnya, beberapa menit kemudian sang pemilik suara nampak keluar dari pintu depan dan menuruni beberapa anak tangga. Kontan mereka saling bertukar salam dan berjabat tangan. “Wih…. Masyaallah, makin cakep aja ini motor. Warna hitamnya jadi glossy semua, ya? Terakhir rasanya baru fuel tank-nya doang yang glossy.

“Iya, Om. Biar makin cakep pas kena cahaya matahari. Ini handlebars-nya juga baru diganti…”

“Oh iya, ini juga baru diganti ya, denaya banget sih ini. Kalau Om masih sanggup bawa motor sendiri, rasanya udah pengen kemana-mana pake motor-motor macam cafe racer atau scrambler begini, keren abis, mana adem juga kena angin. Seratus dapat yang begini? Dilepas nggak nih?” Tanya Pak Andre mengamati setiap inci motor itu dengan teliti. Ketertarikannya bukan sekadar basa-basi.

“Nggak dulu Om, ini motor terlalu banyak sejarahnya buat dilepas. Delapan belas juga udah dapat kok. Ini kan motor custom, mesinnya motor-motor biasa sebenarnya. Cuma tampilan eksterior, ban, knalpot, sama catnya aja yang banyak dimodifikasi. Pas maju memang adem. Pas macet lampu merah tengah hari, lumayan juga panasnya.” Pak Andreas tertawa.

“Nggak aman tilang juga kan, ya? Secara dimensinya bertambah, warna motornya juga berubah…” Vian mengangguk.

“Terhitung udah hampir genap sepuluh kali saya kena tilang, Om.” Pak Andreas tertawa untuk kesekian kalinya.

“Kabarin Om pertama kalau mau di lepas. Ya udah, yuk masuk… ngobrolnya di dalam. Athaya lagi keluar dulu sebentar katanya, nggak tahu pergi kemana dulu dia.” Dalam hati Vian meringis, dia tak siap ditanya-tanya soal taaruf sendirian. Seperti biasa Pak Andreas akan langsung menanyakan mau makan atau minum apa ketika masuk, dan pertanyaan itu harus selalu dijawab secara eksplisit.

“Om baru tahu kamu bertaaruf sama Sheina. Om bahkan baru tahu dari Athaya semalam kalau kamu sama Sheina saling mengenal. Taarufnya sudah cukup lama, ya?"

“Baru sih, Om. Kami baru tukeran CV aja,” Pak Andreas tiba-tiba menoleh ketika mendengar itu, membuat Vian gelagapan menjelaskannya. “Sebenarnya… saya nggak terlalu kenal sama Sheina, kami pernah saling bicara sekali, setelah itu nggak pernah kontakan lagi sampai sekarang. Tukeran CV pun diperantarai Athaya. Saya nggak berkomunikasi secara langsung,” sambung Vian klarifikasi.

“Oh… Om kira kamu udah lama saling berkomunikasi sama Sheina. Kalian baru taaruf sebentar, tapi sudah langsung setuju untuk memberitahu orang tua? Bukannya biasanya taaruf itu kalau sudah sama-sama yakin akan menikah baru menemui keluarga satu sama lain?”

“Bisanya seperti itu. Sebenarnya Athaya yang meminta saya menemui Om minggu ini dan katanya minggu depan Sheina akan pulang untuk nadzor. Mungkin Athaya berpikir alangkah baiknya Om juga tahu lebih awal bagaimana kondisi saya, sebelum ternyata kami sepakat untuk khitbah namun Om tidak setuju dengan hal tersebut.”

“Kondisi kamu? Memangnya apa yang belum Om tahu tentang kamu, Ian?” Vian nampak berpikir, rasa-rasanya pria ini juga sudah tahu segala hal tentang hidupnya. Dia mempertimbangkan aspek apa yang mungkin akan membuat Pak Andreas keberatan.

“Saya seorang mualaf yang belum tentu bisa membimbing atau menjadi suami yang baik untuk anak Om. Di tambah… keputusan tersebut membuat saya tidak mungkin mendapatkan restu dari kedua orang tua kalau suatu saat nanti saya jadi menikah. Saya hanya bisa membawa kakak sulung saya sebagai perwakilan dari keluarga. Saya kira itu yang harus Om pertimbangkan baik-baik sebelum mengizinkan saya untuk bertaaruf dengan Sheina.” Pak Andreas mengangguk-angguk.

“Setiap langkah menuju Islam memang sebuah kemenangan di atas ketidakpastian. Mualaf bukan hanya tentang mengganti keyakinan, Ian… tapi juga tentang menemukan harmoni antara hati dan Pemiliknya. Om tahu, bukan keinginan kamu untuk terus menerus berseteru dengan orang tua kamu sendiri. Semua itu diluar dari kuasa kamu sebagai manusia.”

“Namun selayaknya seorang ayah, sebenarnya Om tetap ingin Sheina diterima dengan baik di keluarga pihak laki-laki. Sebab ketika kakaknya sudah berkeluarga dan sibuk dengan keluarganya, Om juga pasti akan berpulang suatu saat nanti, suaminya akan menjadi satu-satunya keluarga yang Sheina miliki.”

“Namum sebuah kehancuran bagi agama ini jika Om menolak niat baik dari orang saleh. Bukankah begitu?” Pak Andreas mengambil gelas berisi americano tanpa gula itu, sedangkan Vian hanya mampu merespons dengan senyum yang sangat terlihat dipaksakan. Dia sama sekali tak merasa dirinya termasuk kategori orang saleh.

“Om akan mengizinkannya, bahkan Om akan memberikan restu jika ternyata kamu dan Sheina sepakat untuk menikah nanti, tapi Om meminta satu hal dari kamu.” Jedanya membuat Vian menelan ludah.

“Kamu harus tetap memberitahu kedua orang tua kamu di Surabaya dan berusaha meminta restu dari mereka. Setidaknya kamu sudah berusaha. Apapun hasilnya, pahit atau manis, kita telan sama-sama….”

 

✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩

 

Footnote 

(1) Tidak, terima kasih.

(2) Ayo.

 

✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩

 

Authoor's Note

Alhamdulillah bisa update walau jam sebelas malam begini. :") Panjang kan bagian lima ini? Awas aja yang bilang pendek! Bukan pendek, kamu aja bacanya kecepetan, wkwkwk maksa.

Clear ya, yang manggil Vian “Mas Shazil” bukan perempuan masalalunya, tapi Pak Andreas. Next chapter, insyaallah tentu akan lebih panjang dua kali lipat (karena berbayar, biar kalian nggak rugi), Sheina juga bakalan teleponan sama ayahnya di bagian enam.

Kira-kira Vian bakalan dapat restu nggak ya?

Jazamumullah khairan, see you in the next chapter. ♡

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Shazil Medina - Bagian 6
274
65
“Kisah sakinah, di tanah Madinah,” begitu angannya.Sheina sangat mencintai Kota Madinah, hingga ia enggan kembali ke tanah air meski pendidikan S1-nya di Riyadh sudah selesai. Gadis itu memutuskan melanjutkan kuliahnya ke jenjang S-2 di Universitas Taibah. Menetap lebih lama di kota terakhir di mana nafas Nabi berhembus.Tak seperti saat kuliah S1, kali ini dia membutuhkan syarat mahram tinggal bagi pelamar beasiswa putri. Keputusan untuk tidak pulang ke tanah air juga mendapat penentangan dari Ayah dan kakak laki-lakinya. Pasalnya Sheina terlalu tertarik dengan ilmu sampai tak pernah memikirkan hal lain.Hingga menikah menjadi limitasi untuk mendapatkan izin dari keluarganya dan satu-satunya solusi untuk mendapatkan beasiswa. Sheina bersedia dinikahkan dengan siapapun asalkan nanti lelaki itu bersedia menyusulnya dan mendampinginya tinggal di Madinah.Pernikahan itu dilangsungkan tanpa kehadiran mempelai wanita. Dia sudah berstatus sebagai seorang istri. Namun tidak pernah tahu wajah suaminya, yang dia tahu hanya namanya saja. Orang-orang memanggilnya Shazil.Shazil Haqiz Ishak.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan