
“Kisah sakinah, di tanah Madinah,” begitu angannya.
Sheina sangat mencintai Kota Madinah, hingga ia enggan kembali ke tanah air meski pendidikan S1-nya di Riyadh sudah selesai. Gadis itu memutuskan melanjutkan kuliahnya ke jenjang S-2 di Universitas Taibah. Menetap lebih lama di kota terakhir di mana nafas Nabi berhembus.
Tak seperti saat kuliah S1, kali ini dia membutuhkan syarat mahram tinggal bagi pelamar beasiswa putri. Keputusan untuk tidak pulang ke tanah air juga mendapat penentangan dari Ayah...
MIMPI buruk tak pernah absen menghiasi malam-malam ketika Vian menutup mata, pelipisnya berkeringat, matanya terlelap namun wajahnya masih saja penuh kegusaran. Tidurnya tidak pernah nyenyak. Sesekali ia nampak meringis kesakitan memegangi punggung bagian bawah.
“Tinggalkan rumah ini, lakukan sesuka kamu, dan jangan sekali-kali berharap bisa kembali lagi ke rumah ini! Mami menghentikan segala pengakuan terhadap kamu sebagai anak, Ian! Mulai sekarang Mami mung duwe anak telu! Kamu ndak diinginkan lagi di sini!”
Vian terperanjat dengan kedua tangannya yang agak gemetar. Jantungnya berdebar hebat dan suhu tubuhnya terasa sedikit naik. Mimpi yang selalu sama. Dia mengucapkan istigfar sambil mengusap wajahnya pelan. Masih jam dua dini hari. Kaca besar dilantai dua puluh apartemen La Maison Barito itu sudah menunjukan pemandangan malam Kebayoran Baru dari ketinggian, dihiasi kabut abu-abu yang menambah kesan berduka. Punggungnya terasa pegal setelah tak sengaja tertidur di meja kerja.
Semalam setelah isya dia menyalakan laptopnya sebentar, berniat membaca regulasi terbaru yang dikeluarkan Kemenkeu berkaitan dengan pajak perusahaan properti. Tak sadar dirinya terlelap masih di posisi yang sama. Dia tiba-tiba terbangun setelah teringat ibunya. Kalimat-kalimat itu selalu terdengar jelas mengisi kepala.
Enam tahun lamanya, masih tak ada yang berubah. Tak ada hal yang bisa Vian lakukan, bahkan untuk sekadar berkomunikasi melalui telepon. Kedua orang tuanya sudah terlalu kecewa dengan keputusan besar yang ia ambil sepihak. Kekecewaan yang pada akhirnya membuat mereka memutus segala komunikasi dengannya, memblokir semua akses dan fasilitas, juga mengeluarkannya dari kartu keluarga.
Semua itu masih tak seberapa bagi Vian, pria itu sudah pernah membayangkan konsekuensi terburuk apa yang akan diterimanya saat dia memberi tahu kedua orang tuanya bahwa dia sudah pindah agama, akan tetapi Vian tidak pernah membayangkan dia akan dianggap tiada oleh orang tuanya sendiri. Hal paling menyakitkan yang ia terima sejauh ini adalah dianggap sudah wafat.
Bahkan ayahnya mengabarkan kematiannya keseluruh keluarga besar dan mewanti-wanti kepada mereka bahwa anak bungsu mereka sudah berpulang ke rumah Bapa di Surga. Jika Vian menghubungi mereka, mereka tidak perlu meresponnya, membantunya, atau lebih baik menganggapnya seperti orang asing.
Hanya kakak tertua laki-lakinya yang tinggal di Bandung yang masih mau berkomunikasi dengannya. Meskipun begitu, tak jarang bujukan untuk kembali ke agama sebelumnya atau bercandaan-bercandaan menyinggung masih ia dapatkan.
"You tanya kabar Mami sendiri lah, jangan tanya ai. Balik aja Surabaya. Agama you yang sekarang menyuruh you taat sama orang tua to? Yowes, kalau Papi sama Mami maunya you jadi Katolik lagi, ya mestinya you balik.”
Berulang kali ia mengambil nafas lebih dalam untuk menormalkan gelisahnya. Entah sampai kapan kondisi seperti ini akan berlangsung. Dia selalu nampak baik-baik saja, padahal kenyataanya segala hal dalam hidupnya berantakan.
Ketika hendak beranjak mengambil wudu, layar besar di hadapannya tiba-tiba menyela. Touchpad MacBook-nya tak sengaja tersentuh. Ada satu notifikasi email masuk di samping kanan atas yang sempat tertangkap matanya. Email itu sudah dia terima sejak semalam, namun ia baru sempat membukanya.
Subjek email dan nama pengirim membuat pria yang memiliki garis keturunan Tionghoa itu mendesah pelan. Dia tidak habis pikir dengan temannya yang tiba-tiba menginginkan dia bertaaruf dengan adiknya. Padahal dulu seorang Athaya sangat amat menghindari membicarakan adiknya sedikit pun. Bahkan menyebutkan namanya saja tak pernah, karena adiknya perempuan dan dia tahu bagaimana karakter laki-laki yang ada di circle pertemanannya.
“Ini CV-nya Sheina. Dibaca sampai tuntas, jangan lupa kirim juga CV lo ke email gue segera ya.” Hanya kalimat tersebut yang terdapat di badan email.
Vian mengklik attachment yang terlampir, sebuah dokumen berformat pdf yang terdiri dari dua lembar langsung muncul di layar. CV ta'aruf yang pernah Vian lihat sebelum-sebelumnya biasanya berbentuk seperti biodata dan menggunakan format tertentu dengan sebuah pas foto dibagian paling atas, tak jauh berbeda dengan CV lamaran kerja namun dengan versi yang lebih lengkap dan rinci.
Kali ini tampilannya sedikit berbeda, isinya berupa narasi tanpa ada foto sama sekali. Dibandingkan CV taaruf, dokumen yang terlampir lebih terkesan seperti artikel ilmiah. Bahkan CV tersebut diberi judul, “Dalam Sebuah Perjalanan”. Vian hampir tidak bisa membaca tulisan arab tanpa tanda baca di bagian paling atas, padahal ternyata hanya tulisan bismillah dan salam. Matanya bergerak membaca kata tiap kata berikutnya.
Sebelumnya saya mohon izin untuk menyampaikan tentang diri saya menggunkan narasi di CV ini. Sebab saya yakin Kakak saya tidak menyampaikan keseluruhan tentang saya secara utuh, sedangkan saya tidak ingin ada yang ditutup-tutupi, dikurangi, atau bahkan dilebih-lebihkan.
Nama saya Sheina Haqiesya Adyatama, biasanya orang yang kenal saya memanggil saya “Shei”, atau “Na”. Di tempat saya menetap sekarang—masih di Riyadh—tak jarang ada yang memanggil saya dengan panggilan “Haqi”, namun saya tidak senang dipanggil dengan nama tengah karena panggilan tersebut lebih terkesan seperti laki-laki.
Saya lahir di pertengahan bulan Ramadan, lebih tepatnya tanggal 30 November 2002. Jadi tahun ini saya sudah berusia 22 tahun. Saya lebih senang menyebutkan tanggal lahir saya dengan tahun Hijriah dibandingkan Masehi karena saya bisa sering mengatakan bahwa bulan kelahiran saya sama dengan bulan lahirnya Al-Quran.
Papa saya Andreas Yudistira Adyatama, merupakan seorang pengusaha properti asli Jakarta, sedangkan mama saya Cut Nadira Ahya merupakan perempuan asal Banda Aceh yang berprofesi sebagai seniman semasa hidupnya. Saya lahir dan besar di Jakarta, tepatnya di Menteng. Anak bungsu dari dua bersaudara dan memiliki satu kakak laki-laki. Namanya Athaya Khalil Adnan Adyatama.
Hubungan kami agak rumit. Kami lahir dari rahim yang berbeda dan karena hal tersebut mungkin dia akan mengatakan kalau saya anak tunggal. Mama saya wafat saat usia saya empat tahun delapan bulan, menjelang lima tahun. Terkait hal ini, saya tidak bisa menceritakan keseluruhannya di sini. Lebih jelasnya akan saya ceritakan saat sudah berada di tahap yang lebih serius.
Pendidikan TK saya diawali di sekolah Discovery Center Menteng. Saat itu setelah saya selesai TK, Papa saya sibuk dengan karirnya dan Kakak saya juga mulai fokus dengan kuliahnya. Selama SD dan SMP saya mengambil homeschooling di Discovery Homeschooling, Homeschooling Cambride Internasional, karena Papa khawatir dengan pergaulan saya di luar sana setelah tidak ada orang dewasa yang memperhatikan.
Baru saat akan masuk SMA, saya meminta Papa untuk bersekolah di sekolah umum. Saya bersekolah sampai kelas XI semester 2 di SMAN 68 Jakarta, kemudian pindah ke Al Azhar Rawamangun saat ingin mulai belajar tentang Islam sambil mengambil kusus bahasa Arab selama kurang lebih satu tahun dua bulan.
Saat itu adalah awal mula saya mengenal kakak ipar saya sekarang, Kak Shafira. Ada beberapa hal penting yang perlu Anda ketahui. Kak Shafira adalah orang pertama yang menyadari bahwa ada yang salah dalam diri saya. Selama belasan tahun ternyata saya menyangkal bahwa Mama sudah meninggal dan berperilaku seolah Mama masih ada.
Kecemasan itu membuat kakak saya membawa saya mengunjungi psikiater beberapa kali. Saya didiagnosa mengidap PTSD, post traumatic stress disorder. Gangguan stress pascatrauma setelah peristiwa traumatis kehilangan Mama yang saya alami. Saya menjalani pengobatan selama kurang lebih enam bulan sebelum dinyatakan sembuh.
Usai lulus SMA saya berkuliah di LIPIA Jakarta mengambil program studi manajemen keuangan dan ekonomi syariah. Sebenarnya saya ingin study abroad sejak awal, tapi Papa tidak mengizinkan saya untuk berkuliah di luar negeri. Satu tahun kuliah, akhirnya saya mengambil kesempatan pertukaran pelajar ke Princess Nourah University di Riyadh selama satu semester.
Lalu tanpa seizin orang tua, setelah program pertukaran pelajar itu selesai saya mendaftar kembali di universitas tersebut sebagai mahasiswa tahun ajaran baru, mengambil program studi manajemen dan bisnis. Agak durhaka memang, saya baru mengatakannya dan meminta izin setelah saya diterima.
Saya lulus S1 dari Princess Nourah Univercity beberapa bulan lalu dan sudah diterima sebagai mahasiswa S2 di Universitas Taibah di Madinah dengan program studi administrasi bisnis. Lagi-lagi saya mengatakannya pada keluarga setelah saya diterima. Saya pikir, untuk apa meminta izin akan sesuatu yang belum jelas kepastiannya, kan?
Vian mendadak agak ragu ketika membaca riwayat pendidikannya. Meski riwayat pendidikannya selama bersekolah di Surabaya dan berkuliah di Italia tidak kalah mentereng dengan Sheina, namun sebagian besar pendidikannya dia habiskan di sekolah-sekolah dan universitas Katolik.
Meski tidak ada syarat harus ada mahram saat kuliah S1, saya tetap tinggal dengan Tante saya dari pihak ibu yang kebetulan menikah dengan orang sana dan menetap di Riyadh. Mungkin di sinilah titik kritisnya, lain halnya selama kuliah S1, selama kuliah S2 ini Univesitas Taibah mengharuskan adanya mahram atau wali yang menetap di Madinah dan menyerahkan identitas mukim sebagai salah satu syarat memperoleh beasiswa di sana.
Saya tidak punya saudara yang tinggal di Madinah. Papa saya juga tidak mungkin menemani studi saya di sini. Mungkin saya terkesan memutuskan menikah hanya untuk beasiswa, tapi saya serius ketika memutuskan untuk menikah. Bukan pernikahan setahun-dua tahun atau pernikahan hitam di atas putih yang selesai bersamaan dengan selesainya kuliah S2 saya.
Saya tidak ingin menggadaikan syariat hanya untuk sesuatu yang hanya berlangsung sesaat.
Pernikahan ini perlu visi misi yang jelas, dibangun atas pondasi yang kokoh, dan direncanakan berlangsung hingga Jannah-Nya. Saya hanya meminta didampingi selama studi S2 sebagai syarat, selebihnya—dan seterusnya—saya akan berusaha dengan maksimal untuk taat dan berbakti selayaknya seorang istri.
Saya belum pernah bekerja dan berencana berkecimpung ke dunia kerja setelah pendidikan saya selesai. Sebenarnya masih dalam pertimbangankan, sebab saya tidak terlalu tertarik dengan dunia properti seperti ayah dan kakak saya dan lebih ingin mendalami dunia pendidikan.
Apalagi ya? Ah, ciri fisik.
Meskipun saya perempuan, saya memiliki bentuk wajah diamond dengan rahang yang cukup tegas. Mungkin itu warisan genetik dari Papa. Warna kulit saya kalau tidak salah termasuk medium atau mungkin kuning langsat. Entahlah, yang jelas bukan fairy atau porcelen. Kulit khas perempuan Indonesia pada umumnya. Silakan cari saja skin tone “beige” yang menurut saya cenderung cocok dengan kulit saya.
Bibir Vian agak terangkat ketika membaca bagian tersebut. Dia baru merasakan Sheina seperti perempuan sungguhan setelah menyebutkan berbagai warna yang tidak diketahuinya. Laki-laki hanya mengenal satu warna spesifik, sedangkan mata perempuan sepertinya lebih banyak mengenal jenis warna.
Tipe rambut saya benar-benar lurus, warna hitam. Mata saya juga warna hitam namun coklat pekat seperti warna biji kopi ketika sedang berada di bawah sinar matahari. Saya tidak memiliki cacat fisik, ciri khas, atau tanda lahir. Tinggi badan 162cm, berat badan 53kg.
Olahraga yang digemari hiking atau jogging. Riwayat penyakit, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya pernah menjalani pengobatan pada dokter spesialis kejiwaan selama enam bulan terhitung sejak kelas tiga SMA karena mengidap PTSD. Saya juga pernah mengalami kecelakaan tunggal mobil yang membuat saya diharuskan menjalani operasi besar di waktu yang hampir berdekatan. Saya sengaja tidak menampilkan foto sebab merasa tidak nyaman dengan hal tersebut. Kita akan tahu satu sama lain setelah sepakat untuk nadzor.
Masih banyak hal yang Sheina sampaikan dalam dua lembar pdf tersebut, mulai dari catatan prestasi, informasi pendidikan non formal, gambaran pribadi seperti motto hidup, target hidup, aktivitas sehari-hari, profil keluarga, visi-misi pernikahan, dan rencana setelah menikah. Sheina benar-benar menuliskannya tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Namun meskipun begitu Vian tetap saja merasa kecil. Dengan usia Sheina yang masih muda dan segala pencapaiannya rasa-rasanya selain cocok menjadi adik, Sheina juga lebih cocok menjadi gurunya. Perempuan itu sudah memiliki hafalan 30 juz mutqin, rajin tikrar, dan senang murajaah untuk mengisi waktu senggangnya. Sedangkan Vian membaca Al-Quran saja masih belum begitu lancar dan baru pernah hatam tiga kali. Selama kurun waktu enam tahun ini, dia benar-benar belajar membaca Al-Quran dari dasar.
Dua hal yang sempat menarik perhatian Vian sebelum beranjak dari kursi untuk mengambil wudu. Karakter-karakter negatif yang ditulisnya dan kriteria calon pasangan. Sheina menulis semua karakter negatifnya, namun dia hanya menulis satu paragraf pendek untuk kriteria calon pasangannya.
Saya tidak bisa memasak dan hanya bisa melakukan hal-hal ringan dalam memasak. Walau agak memalukan karena memasak adalah skill basic sebagai manusia, tapi ini CV taaruf bukan proposal pembukaan cabang rumah makan. Saya perlu menyampaikan sejujur-jujurnya agar tidak terdapat kekecewaan di masa yang akan datang. Saya juga agak berantakan dan kurang bisa beres-beres rumah. Ada kalanya gengsi saya setinggi gunung Uhud. Banyak orang yang mengatakan seperti itu.
Saya bukan orang yang boros, hanya saja saya kurang bisa mengatur skala prioritas dan buruk dalam memperkirakan sesuatu. Saya kurang bisa menahan diri membeli barang-barang yang terlihat lucu meskipun tidak berguna.Tapi Insyaallah, saya orang yang mau belajar dan bersedia keluar dari zona nyaman.
Vian tersenyum kecil untuk kesekian kalinya, adakah perempuan seberterus terang ini dalam CV taarufnya. Sheina benar-benar menyampaikan segala hal tentangnya, bahkan nyaris membongkar aibnya sendiri.
Kriteria calon pasangan ideal bagi saya adalah orang yang sama-sama ingin belajar dan mengamalkan ayat-ayat Al-Quran. Sebab hanya akan ada dua hal yang terjadi. Antara Al-Quran yang menjauhkan kita dari dosa dan maksiat, atau dosa dan maksiat yang menjauhkan kita dari Al-Quran.
Dengan segala hal yang dia miliki Sheina hanya menulis satu kriteria tersebut dalam kriteria calon pasangan ideal yang diinginkannya. Padahal dia bisa mendapatkan laki-laki dengan pekerjaan sekelas ayahnya, atau keilmuan sekelas dirinya.
Mohon Mas Shazil berkenan mempertimbangkan segala hal yang telah saya sampaikan dalam CV ini. Begitu kalimat penutupnya sebelum diakhiri salam.
“Kenapa dia memanggil gue dengan sebutan Mas Shazil?” gumamnya merasa heran. Vian mengira mungkin Sheina sudah lupa dengan dirinya, lagipula mereka tidak pernah bertemu secara langsung waktu itu. Dia malah jadi teringat seseorang. Selama enam tahun lamanya hanya satu orang yang selalu memanggil Vian dengan panggilan tersebut setelah dia menjadi mualaf.
Satu orang yang cukup memberikan andil besar dalam keislamannya.
✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩
Authoor's Note
Hello, Dear. Masyaallah, kalian udah baca sampai bagian tiga nih. Terima kasih banyak sudah mengikuti cerita ini sampai bagian tiga. Boleh cek seri “Shazil Medina” untuk keseluruhan bagian ya, atau follow instagram @amimomile & @ima.madani untuk informasi update.
Kira-kira siapa ya yang manggil Vian dengan panggilan Mas Shazil? Ada yang penasaran?
See you in the next chapter. Jazakumullah khairan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
