#1 - Rara

2
0
Deskripsi

I know there is hope in these waters

But I can't bring myself to swim

When I am drowning in this silence

Baby, let me in

Go easy on me, baby

"Ta."

I was still a child

Didn't get the chance to

Feel the world around me

"Mita."

I had no time to choose

"Halloow! Mita?"

Tangan Kak Hana menjentikkan jari hingga berbunyi berusaha menarik perhatian perempuan itu kembali, dan berhasil membuat wanita yang dipanggil Mita terkesiap bangun dari lamunan. Sedari tadi ia diam memandangi rintik hujan yang terlihat dari balik jendela. Tidak sadar soal panggilan Kak Hana berkali-kali menyebut namanya.

"Eh, iya Kak?"

"Galau banget ya?"

"Hah?" Perempuan itu menaikkan kedua alisnya. Kaget karena Kak Hana seakan bisa membaca isi hatinya.

"Lagunya Adele galau banget ya sampe bikin lo tercenang kaya gitu." Kak Hana tersenyum lebar.

Ya. Jawabannya iya. Lagunya Adele yang ia putar dari playlist bikinan spotify ini memang cukup membantunya merasakan kegalauanya. Ia nggak membuatnya sendiri, tapi platform streaming ini cukup pintar bisa melihat history lagu-lagu yang terputar (yang beberapa pekan terakhir penuh dengan kegalauan) hingga daily mix sudah otomatis menambahkan satu lagu yang membuatnya tenggelam tadi. Ditambah cuaca siang ini yang kelam karena hujan dan sepinya kantor di hari Sabtu, rasanya membuat ia ingin diam saja dan merenung.

“Hehe, duh kenapa laptop gue tiba-tiba muter lagu ini sih, mana cuacanya mendukung.” Mita hanya berusaha berkelakar sambil mengusap tengkuknya tanpa alasan. "Btw ada apa, Kak, kok manggil tadi?"

"Gue udah mau pulang. Lo mau kapan?" Kak Hana memang sudah mengemasi barangnya. Layar PC di depannya juga sudah gelap entah sejak kapan Mita tak menyadari. Mejanya yang terletak dekat dengan jendela lebih banyak mencuri fokusnya.

Mita melirik jam kecil yang melingkari pergelangan tangannya dan tersadar kalau satu jam lagi matahari tenggelam sepenuhnya. Sudah sesore itu ternyata.

Sebenarnya, pekerjaan Mita bisa sebenarnya dilanjutkan secara mobile di rumah, or anywhere. WFA adalah sebutan terkini untuk tipe pekerjannya. Ia mengemban title sebagai seorang salah satu editor di sebuah media kecantikan di Indonesia, Beauty Daily. Jam kerja miliknya nggak terpatok 9-5. Kadang bisa siang hingga malem tergantung kebutuhan. Dan karena itu juga, ia bisa masuk kerja hari Sabtu begini. Hari ini ia masik karena harus koordinasi soal script sama Kak Hana yang mengakomodasi bagian digital produk termasuk produksi video untuk youtube account mereka.

Hari Sabtu juga sebenarnya jadi hari yang semi-resmi masuk. Nggak semuanya dapat jadwal piket weekend. Di kubikel-kubikel sekelilingnya tinggal beberapa orang saja dari DevOps enginger yang bertugas melakukan pemeliharaan terhadap aplikasi milik mereka. Juga dari bagian sales yang hari ini masuk untuk mengecheck stock opname di shop studio mereka. Biasanya weekend banyak orang punya waktu lebih buat scrolling media sosial dan membeli barang kebutuhan termasuk yang tersier. Sehingga seringnya memang anak-anak dari bagian ini yang Mita temui kalau lagi ngantor weekend.

"Hmmm, duluan aja kak. Gue selesaiin ngedit artikel editorial buat Senin. Nanggung soalnya."

"Oke deh. Gue cabut ya kalau gitu."

"Tiati, Kak, nyetirnya."

Yang dipanggil Kak Hana sebenarnya hampir seumuran dengan Mita. Beda 3 bulan saja sebenarnya, akan tetapi sudah berbeda tahun. Dan sebab Kak Hana sudah lebih dulu bekerja di sini, Mita sungkan untuk menyebut nama dengan langsung tanpa embel-embel Kak seperti yang biasa ia tujukan pada senior lain ketika awal bekerja, dan akhirnya kebiasaan itu berlanjut hingga sekarang.

Kak Hana mengacungkan jempolnya yang bebas sedikit lebih tinggi. Di tangan kirinya sudah menenteng tas laptop, tangan kanannya yang mengapit tumblr yang berisi kopi--mungkin tinggal bersisa di dasar--masih berusaha melambai ringan mengucap salam tinggal.

"Jangan kesorean. Malam minggu banyak macet di mana-mana."

Pesan Kak Hana sebelum menghilang menuju lift membuatnya mengingat kembali. Ya, ini akhir pekan. Malam minggu. Waktu yang entah bagaimana sejarahnya dijadikan waktu dedikasi untuk berpacaran. 

Ya, ada sih Friday night juga yang berbeda dari malam-malam di hari kerja lainnya. Menurut Mita, friday night ini lebih cocok diasosiasikan dengan malam untuk bersenang-senang bareng temen, melepas lelah dan stress setelah weekday bekerja (yang sebenarnya baginya tidak terlalu ngaruh karena kadang masih kerja juga saat weekend), 

Namun berbeda dengan malam minggu. Satnight just vibes differently. Kalau lagi nggak hujan, keluar jalan-jalan bakal melihat pasangan berboncengan mesra dan jumlahnya nggak satu dua. Saturday night is kind of night that just has this pinkish hue in the air. Membuatnya berpikir soal, apa dia juga punya warna merah muda itu.

Ting!

Panjang umur...

Dean Nugraha A

Ra.

Di rumah apa di kantor?

Paramitha

Di kantor

Dean Nugraha A

Udah mau pulang, kan? Aku jemput ya.

Paramitha

Emangnya kamu udah di Jakarta?

Aduh! Pekik Mita kecil dalam hati. Jempolnya telanjur memencet tombol kirim setelah mengetik pesan itu. Pertanyaannya memang harmless sih, dan wajar untuk cari tahu. Tapi rasanya, ia jadi perempuan nggak perhatian banget dengan nggak membuka foto tiket yang dikirim Nuga kemarin. 

Seharian ia disibukkan dengan kegiatan event kantornya makanya nggak sempet buat fokus sama percakapan mereka di aplikasi pesan. Semalam Mita juga nggak membuka lagi pesan itu gara-gara lupa dan drained setelah kerja sampai malam. And heck, this little words makes her guilty. 

Dean Nugraha A

Udah. Tadi jam 11 landing.

Aku bawain bika ambon buat kamu sama keluarga bude.

Takut keburu basi kalau lama ketemu kamunya.

Hmm. Jadi dia ngajak ketemu cepet gara-gara bika ambon, bukan gara-gara kengen. Snap! Mita menyuruh pikirannya berhenti. Bekerja dengan kata-kata tuh susah ya. Yang literal saja bisa diartikan lebih. Apalagi kalimat konotasi. Bisa tersinggung si overthinking di kepalanya.  

Paramitha

Kamu capek nggak tapi? Apa aku aja ambil itu ke apartemen kamu?

Kata Kak Hana kan macet. Lagi pula, it's been a long time. It's been a long time Mita nggak bertemu Nuga. Kalau dihitung ya hampir... hampir 3 minggu padahal mereka tinggal di kota yang sama. Ralat deh, seminggu terakhir Nuga ada penugasan di Medan. Tapi ya gitu, aside from that intensistas bertemu mereka berkurang banyak dari sebelumnya, yang dalam seminggu bisa 2 atau 3 kali makan malam bareng. Dan Mita tahu itu membuatnya banyak berpikir akhir-akhir ini. 

Dean Nugraha A

Gapapa?

Paramitha

Iya, Nuga gapapa.

Dean Nugraha A

Yaudah. Kabari kalau udah di jalan. Hati-hati.

Mita menutup ruang pesan itu dan melihat ke luar jendela. Hujan tinggal rintik gerimis terlihat dari mejanya. Langit menyebarkan warna abu-abu yang makin petang berapa lama lagi sebelum berubah gelap total. Ia kembali fokus menyelesaikan kerjaannya.

Ketika selesai, ia cepat berbenah dan pamit pulang sama beberapa yang masih berada di balik meja. Berterimakasih dalam hati keberadaan mereka cukup membuatnya memiliki teman walau hanya saling diam. 

Untungnya ketika tiba di bawah, hujan telah berhenti. Mita memutuskan untuk memesan ojek online saja dibanding taksi untuk sampai ke apartemen Nuga yang jaraknya ‘hanya’ memakan waktu satu jam. Jalanan begitu macet dan tanpa keberanian tukang ojeknya yang sat set mencari celah di antara kendaraan, dirinya mungkin akan lebih lambat dari itu. 

Nuga sudah menunggunya di lobi depan sambil ngobrol dengan Pak Satpam yang berjaga. Mengenakan kaus pendek abu-abu polos dan celana selutut warna khaki.

"Ra." Nuga mendekat merengkuhnya saat Mita berjalan masuk. Dan perempuan itu bisa mencium wangi sabun mandi citrusy yang segar. Di tambah aroma detergen dari kaus laki-laki itu. Menyenangkan. Menyamankan.

"Aduh, Ga." Mita teringat. Buru-buru menutup kepalanya dengan kedua telapak tangan. Mencegah pria itu mencium bau rambutnya. "Aku kan belum keramas dari kemarin." Tadi juga helm tukang ojeknya separuh basah menambah lepek mahkotanya.

Kemarin sampai malam ia tepar setelah seharian ikut acara even launching sebuah brand yang bekerja sama dengan kantornya. Tadi pagi tidak sempat keramas karena bangun kesiangan lewat dari jam yang ditentukan. Meski Kak Hana orangnya selow kalau terlambat 10-15 menit, Mita nggak suka membuat dirinya tidak menepati janji sesuai waktu. Jadinya ya hari ini ia ke kantor dengan gaya mencepol rambut.

"Yaudah, mandi aja dulu di atas. Yuk."

Nuga mengajaknya masuk apartemennya. Di ruang tamu, Mita bisa melihat kalau laki-laki itu langsung bekerja selepas dari dinasnya di Medan. Ada laptop beserta berkas-berkas yang berserakan di meja.

Mita langsung mandi sore itu di apartemen Nuga. Ia akhirnya bisa membersihkan rambutnya dari dosa yang telah melekat. Kalau menumpang mandi, ia menggunakan samponya Nuga. Mandi pakai sabun Nuga juga. Pilihan produk pria itu nggak jauh beda sama preferensi produk miliknya. Pun selama bekerja di industri kecantikan, ia sadar kalau sebenarnya nggak ada produk yang bergender. It's all unisex. Hanya pada hal tertentu lebih preferred by men or women.

Mita  nggak berganti pakaian karena memang nggak meninggalkan pakaian di sini. Meski sudah bukan lagi hitungan jari ia mampir kemari selama hampir dua tahun hubungannya ini. Apalagi ia  sering menginap kalau kerjanya sampai malam dan pulang ke Beji terasa melelahkan (jauh dekat itu perkara lain di kota ini). Nuga sempet menyarankan untuk ninggalin aja beberapa potong pakaian, terutama dalaman karena dia pasti nggak bisa kasih pinjam. 

For some poeple it might be... just normal. Bahkan, bisa semacam penanda wilayah seperti khas beberapa hewan. That Nuga is taken, by her. Tapi bagi Mita itu agak nggak nyaman. Meski ya pakaian dalam pasti hanya diletakkan dalam lemari, bukan dipajang tapi dia masih belum bisa. Gimana kalau yang ke sini ternyata mama papanya Nuga dan mereka melihat itu. Showing her panties is obviously not the first thing she wants to present to them.

Untungnya ia tak banyak berkeringat hari ini jadi bajunya masih layak dipakai ulang. Di sini Mita cuma ninggalin pembersih wajah, pelembab, sama suncreen. Basic skincare kalau dia sedang menginap, yang nggak pakai punya Nuga karena beda preferensi.

Entahlah, terkadang Mita penasaran pada alasannya sendiri yang tak menginginkan Nuga terlalu mengisi kehidupannya. Bukan sebab ia nggak percaya pria itu, tetapi justru karena ia tak sepenuhnya percaya pada dirinya sendiri.

Mita keluar kamar dan hendak bertanya di mana hair dryer pria itu tapi Nuga nggak ada di ruangan manapun. Mita hendak menelpon tetapi tak lama Nuga itu kembali dari luar, membawa bungkusan pesanan makanan.

"Ga, hair dryer kamu di mana?"

"Oh! Masih di koper."

Koper pria itu masih utuh di sudut ruang tamu. Masih dengan tempelan logo maskapai penerbangan yang ia naiki tadi pagi.

"Oh, ya udah. Abis makan juga nggak apa-apa." Mita berkata tetapi Nuga sudah lebih meletakkan makanan sembarang di sofa lalu bergerak menuju kopernya untuk membuka benda itu.

"Nggak apa-apa sebentar aja, keburu kamu kedinginan."

Nuga punya rambut yang bergelombang. Tidak sampai keriting sih memang. Namun pria itu lebih senang kalau rambutnya lurus rapi (bukan seperti klimis mengkilat tetapi rapi yang nyaman dipandang). Makanya, Nuga punya hairdryer sekaligus catokan untuk membantu meluruskan rambutnya. Nuga meski pun tidak langsung, bekerja di dunia yang dekat dengan kecantikan. Ia tergabung dalam RnD team di perusahaan parfum yang akhir-akhir ini melejit namanya. Bagi Nuga dan seperti sudah diketahui, walau penampilan bukan segalanya, tetapi menjadi rapi dan elegan itu sebuah point plus dalam memberikan kesan pertama.

"Aku siapin dulu makanannya, sekalian nunggu kamu."

"Makasih. Ga."

Mita kembali ke kamar untuk mengeringkan rambutnya. Dengan panjang yang ia punya, butuh setidaknya 15 menit untuk bisa kering dari akar hingga ujung, terlebih sebab rambutnya tipe yang tebal. Kalau nggak distyling dengan benar bisa terlihat awut-awutan karena mengembang tak rapi.

Setelah merasa cukup kering, ia mengikat rambutnya dengan ikat rambut. Lalu Mita kembali menuju ruang tamu dan di situ, Nuga sudah membereskan meja. Mengganti yang meletak di atasnya dari laptop menjadi sajian nasi goreng kambing, salmon mentai, matcha dingin, jus mangga, dan beberapa potong buah. Sebelum Mita mandi ia menitipkan apa saja yang ia inginkan. Ternyata Nuga juga sedang ingin makan banyak jenis, itu sebabnya ia cukup lama menunggu di bawah sebab memesan dari beberapa penyedia makanan. 

"Gimana kemarin event-nya? Seru?" Nuga menyesap minumannya terlebih dahulu.

“Seru dan lumayan rame, Ga. Sampai malam juga masih banyak orangnya nggak nyangka banget. Aku jadi bikin lima highlight artikel untuk itu. Tapi masih on-progress tiga.”

“Pelan-pelan aja, nggak harus semua langsung kan publishnya.”

“Enggak sih,” Mita mulai melahap nasi goreng kambing yang sudah ia idam-idamkan sejak kemarin. “Tapi suka takut aja kalau apa yang di sini ilang," ujarnya menunjuk dahinya sendiri.

“Ditulis poinnya aja dulu. Kan kamu sendiri bilang, ide yang beneran bagus nggak akan terlupa. Kalau lupa berarti nggak bagus-bagus amat.”

Keduanya tertawa rendah. Memang, Mita suka menggerutu saat sedang writer's block padahal memang pekerjaan dia menulis--yang mana ia tergantung dengan kemampuannya menyusun kalimat supaya nggak hanya make senses tapi juga bisa menarik pembaca. Makanya ia cukup terhibur sama quotes yang tak sengaya ia temukan di sosial media. Palingan kalau idenya bagus, nanti bakal inget lagi.

"Kamu sendiri gimana? Di Medan nyobain apa?"

Nuga mulai membagi ceritanya panjang di sela acara makan malam mereka. Ada beberapa yang membuatnya tertawa seperti saat Nuga berkata ia sempat dikejar kuda di sana. Sebuah highlight aneh dari perjalanan bisnisnya. 

“Yang di-casting jadi talent kemarin aman?” Nuga tiba-tiba ingat cerita Mita minggu lalu yang belum selesai.

“Kamu nanya aku jadi inget lagi deh, Ga. Keselnya.”

“Ouch, sorry-sorry. Lha kok kesel sih?” 

"Ini cerita terbarunya ya, sampai aku sama anak-anak yang bikin script tuh gemes gitu lho, Ga, padahal udah dibuatin yang gampang banget. Tapi dia tuh kaya, enggak menjiwai jadi yaa oke.. ini memang scripted, tapi ya harusnya bisa dong kalau jadi talent bikin itu nggak terasa scripted. Kan dia dibayar untuk itu. Toh fleksibel juga bisa diselingi sama wits dia sendiri, kan."

"Ya kenapa nggak kamu aja, Ra yang ngisi. Kan udah tahu banget."

Mita mengernyitkan hidung. "Mirip Kak Nopi deh kamu nyuruh-nyuruh aku terus."

"Ya kenapa sih? Kan nggak ada salahnya. Katamu juga yang jadi talent di video emang sebagian besar pegawai biasa kaya kamu."

Ya memang. Kantor Mita terkadang tidak menghadirkan khusus talent buat ngisi youtube channel mereka. Sebagian besar ya pegawainya *nyambi* ngisi job tersebut. Jadinya ya mungkin ada yang rada bikin krik, walau ada juga yang bagus karena menguasain materi.

"Malu, Ga."

Pria itu meloloskan senyum. Kan, selalu begini. Mita selalu malu kalau disuruh muncul di depan kamera. Mungkin ya ada satu kali dua kali dia wajahnya tersorot kamera kalau lagi ada event shooting bareng. Tapi kalau untuk yang take satu dua orang ia selalu menolak.

Jadi begini, kecantikan itu kadang bukan sepenuhnya soal keselarasan bentuk wajah dalam mencipta jadi 'seni'. Tapi juga soal bagaimana pembawaan diri seseorang. Seseorang yang nggak cantik-cantik amat tetapi punya percaya diri yang positif, bukan berarti songong tetapi lebih pada pembawaannya yang 'bright' bisa bikin itu terlihat lebih bagus dibanding seseorang berwajah cantik tapi auranya depressing atau nggak excited. Mita? Dirinya merasa jadi gabungan antara nggak cantik dan nggak pede, makanya enggan kalau disuruh maju untuk muncul di dunia maya.

"Jangan terus-terusan, Ra. You have so much wonders, why do you ashamed for?" Nuga mengelus lengan perempuan itu.

Mita menghirup napas panjang. Selalu. Selalu Nuga yang percaya padanya. "Aku belajar dulu pelan-pelan."

Setidaknya, walau nggak muncul di layar digital, Mita masih bisa sekali dua kali berbicara di depan umum. Jadi MC event atau moderator. Public speaking-nya masih bagus walau bukan untuk direkam. Kalau nggak direkam kan kalau bikin kesalahan nggak diingat lama sama orang (padahal, biasanya yang paling sering mengingat kesalahan itu diri sendiri).

"Ra."

"Apa?"

"Mau nonton nggak?" 

Masih jam 8 lebih sedikit. Masih ‘cukup’ sore untuk ukuran jam pulang Mita.

"Nonton apa?"

"Kata Yudhis ada film mundane bagus di Tubi."

"Apa?"

"Bentar aku cari dulu apa judul filmnya." Nuga mencari di layar percapakannya dengan teman sekantornya itu.

Nuga senang menonton film. Bukan yang cinema addict banget sih yang sampai tahu banget jadwal film apa saja yang sedang tayang bioskop, tapi pria itu cukup senang menghabiskan waktu dengan menonton film. Menonton membuat fokusnya tak terdistraksi oleh hal lain, dan rasanya setelah nonton jadi lebih tenang apalagi kalau filmnya heartwarming, jenis yang disukai Nuga.

Makanya kalau pacaran di luar, Mita dan Nuga sering mampir bioskop sebelum atau sesudah makan-makan. Selain itu paling ya hanya ngobrol sambil ngeteh (they both are not coffee lover). Kalau di apartemen juga selain ngobrol biasanya nonton film bareng sambil diskusi. Mita jadi menonton film banyak gara-gara Nuga sih.

"Jadi pengen bolu yang dijual deket kantor kamu, deh," komentar Nuga saat melihat tokoh bikin kue bolu warna-warni.

Diskusi mereka kali ini nggak banyak, karena mereka sama-sama fokus nonton. Filmnya terlalu menarik fokus mereka. Menceritakan kisah seorang anak menemukan niche dari kehidupannya sendirian tanpa orang tua. Tahu-tahu, pundak Mita terasa lebih berat.

Ketika perempuan itu menoleh, Nuga sudah merem sepenuhnya tak lagi menonton. Padahal tadi ia yang mengajak nonton, malah tidur duluan. Namun, Mita nggak membangunkannya. Ia memilih diam menonton film itu sampai akhir. Lebih tepatnya, sebenarnya ia terhanyut dengan filmnya.

Memang ini bukan film yang menyajikan konflik tajam, membuat deg-degan atau ikut overthinking. Sebaliknya, ini bisa dibilang film yang menenangkan. Saat-saat tokoh utama perempuannya kembali ke kampung halaman dan bertahan hidup. Awalnya memang untuk lari dari kehidupan perkotaan yang dulu ia impi-impikan saat tinggal di desa, yang kini jadi menyiksa, sebab kerjaan, sebab kehidupan asmara dengan pacarnya, sebab hubungannya dengan mamanya sendiri. Namun, lama-lama ia bisa menemukan sendiri keselarasan dengan tempat tinggalnya ini meski tinggal di rumah sendirian. Pertemanan dan hubungan cinta dengan kawan lamanya tidak kental menguasai konflik, tetapi tetap mengharukan. Seperti bagaimana manusia ketika kembali ke akarnya, ke hutan kecil miliknya. There, she sees the clarity.

Mita merasa nyaman setelah menonton film itu. Membayangkan sendiri apabila ia punya waktu untuk meninjau ulang semuanya. Soal dirinya, soal hubungannya dengan Nuga, dan perasaan-perasaan aneh yang timbul, sebab pertanyaan asing menyuara di kepalanya.

Ia ingin mengenang dan mengulang waktu kembali pada pertemuan-pertemuan awal mereka. Pada saat segalanya tak harus beralasan tujuan atau pun impian. Sebab ia, barangkali, entah lupa di mana meletakkan itu.

"Ga."

Jemari Mita pelan mengelus tangan Nuga. Lelaki itu membuka mata perlahan sedikit lebih lama untuk mengumpulkan kesadaran.

"Hmm. Aku ketiduran ya?"

"Iya, Ga."

"Kok kamu nggak bangunin aku?" ujar pria itu sambil mengucek matanya dengan tangan kanan.

"Kamu kelihatannya capek banget."

Nuga menghembuskan napas berat. Pekerjaannya memang menumpuk setelah perjalanan dinas. Baru tadi *landing* pun ia harus menyiapkan presentasi hari Senin, yang minimal draftnya dikonsultasikan besok ke Andra si ketua tim. Ia baru istirahat dan ingat soal oleh-oleh ketika sore hari, sesaat sebelum mengirim pesan pada Mita.

"Jadi nggak selesai aku nonton."

"Ya nggak apa-apa, Ga. Kapan-kapan pas nggak ngantuk kan bisa di lanjut."

Mita berdiri untuk membereskan bekas makan malam mereka. Membuang sampah bekas-bekas bungkus makanan. Mencuci beberapa gelas dan sendok yang tadi dipakai. Mereka telah memberesi meja dari sisa-sisa makanan yang tak mampu lagi mengantri masuk ke perut mereka. Sebagian Nuga masukkan ke dalam kulkas.

"Kamu nginep kan, Ra?"

"Niatnya tadi pulang sih, Ga."

Mita jadi melihat pergelangan tangannya sendiri. Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Sebenarnya, kemungkinan masih bisa ia mengejar krl tujuan bogor yang masih ada 1 atau 2 pemberangkatan terakhir. Ia lebih gamang soal cara untuk sampai di stasiun terdekat.

"Aku panasin dulu ya mobil aku di bawah. Seminggu nggak dipake." Laki-laki itu beringsut. Hendak mengambil kunci mobilnya saat Mita kemudian berkata.

"Nggak usah repot, Ga. Kamu juga ngantuk kan."

"Aku lebih nggak bisa kalau kamu sendirian naik ojek jam segini."

Selama Mita mengenal Nuga, laki-laki itu memang begini. Nuga sering melakukan sesuatu meski Mita nggak minta. Not a worst thing, memang. Seperti mengantarnya pulang. Hanya saja, setelah sekian lama perlakuan itu tak lagi membuatnya berdebar, melainkan malah membuat Mita tak enak hati. Pria itu telah melakukan banyak hal baik untuknya. Tak sebanding dengan apa yang Mita lakukan untuk Nuga. Mita tak pernah merasa bisa membalas segalanya. 

He's the greenest flag she ever saw, but her is a beast.

"Nggak apa-apa, Ga. Aku..." Mita membilas tangannya. Berbalik badan mendapati Nuga sudah menenteng dompet dan jaketnya. Hendak keluar ruangan. "Nuga, aku nginep!"

"Hmm?"

"Aku pulang besok pagi aja. Udah lewat jadwal keretanya."

"Aku bisa nganter sampai-"

"Nuga, aku punjam kaos ya?"

Nuga terdiam. Baru setelah satu hembusan napas ia menerima kalau Mita memang benar menginap. Sebab sering, menurutnya Mita seperti terpaksa. Nuga senang Mita di sini, tetapi tak ingin apabila gadis itu terpaksa menemaninya. Berbeda dengan Mita yang dekat dengan keluarga, Nuga tinggal sendirian selama merantau di kota besar ini. 

Nuga menurut untuk menutup pintu depan dan meletakkan kembali benda-benda di tangannya. Kemudian menuju kamarnya sendiri dan mengambilkan kaos polos untuk Mita supaya lebih longgar digunakan untuk tidur.

Mita tersenyum menatap Nuga. Membuat pria itu menarik ujung bibirnya kecil.

Saat kembali dari kamar mandi, Nuga sudah berada di kasur. Perempuan itu masih diam mengamati Nuga.

"Tidur, Ra."

"Iya, aku kasih kabar bude dulu."

Mita memakai skincare singkat lalu mengetik pesan untuk mengabari budenya kalau ia menginap di rumah teman. Budenya nggak membalas kemungkinan sudah tidur. Paling tidak kalau bude bangun tengah malam tidak panik kalau tahu Mita belum pulang.

Mita memang tinggal di rumah bude sejak bekerja di sini. Keluarganya ada di Cirebon, dekat dengan kakek nenek. Bude dan Pakdenya tinggal di daerah Pondok Cina, memiliki anak satu yang lebih muda dari Mita karena dulu bude nikahnya ketika sudah lewat usia 30.

Bude Vana orang yang sangat woles kalau bisa Mita katakan. Nggak begitu ribut protes ini itu, atau terlalu kepo soal personal space-nya. Yang penting dalam mempertahankan boundaries adalah punya kecukupan komunikasi. Makanya Mita betah aja tinggal di rumah bude tanpa ingin ngekos di dekat kantor. Meski perjalanan sehari-hari panjang jadinya—ojek, krl, angkot (atau ojek lagi kalau kepepet). Masih tetap lebih hemat baginya dengan tinggal di rumah bude.

Ia meletakkan handphonenya di dalam tas. Lalu berjalan ke kasur Nuga. Mengamati sesaat profil pria itu dalam tenangnya. He's so beautiful, puji Rara dalam hati.

Mita duduk perlahan berharap itu nggak membangunkan Nuga. Meski ya Rara nggak yakin Nuga sebenarnya sudah pulas atau hanya merem aja. Goyangan kecil di kasur sebab Rara yang naik di atasnya nggak membuat Nuga bergerak.

Sekarang, lebih dekat. Dan Mita bisa melihat alis pria itu yang rapi membingkai wajahnya. Tulang hidungnya lurus, tidak bengkok seperti milik Mita. bibirnya tipis saling terkatup. Ada barisan tipis bulu halus yang mulai muncul di bawah hidung dan di dagunya yang tegas. Mita yakin besok pagi ia akan melihat Nuga bercukur melihat panjangnya. Setelah sekian lama, melihat Nuga selalu membuat hatinya terasa aneh. Seperti nyeri yang bertemu rasa bungah.

“Jangan dilihatin terus, Ra,”

"Sok tahu." Mita mendengus merasakan Nuga belum tidur. Pria itu memang masih menutup matanya ketika meledek barusan.

"Tahu lah, aku punya mata batin kamu pasti lagi kesengsem lihatin aku."

Nuga membuka matanya pelan memperlihatkan dirinya yang mengantuk.

"Tidur aja, Ga." Mita merebahkan diri. Menata selimut menutup dirinya hingga ke leher. Ia selalu suka begini.

"Good night, Rara."

Satu tangan Nuga menyampir di atas selimut itu. Tidak mendekap erat, tidak menekan berat. Hanya meletak sebagaimana ia hanya meminta ruang dalam hidup Mita.

"I love you."

Mita menengok cepat mendengar suara lirih Nuga. Pria itu tidak membuka matanya. Hanya pelan bernapas teratur.

Sedang tenggorokan Mita tercekat. Sungguh ia ingin mengatakannya juga. Bahwa ia mencintai pria itu. Begitu kan perasaannya?

Tapi tak ada yang keluar dari mulut Mita. Ia memilih diam. Ia memilih tak menyuarakan sebentuk ragu yang menggerayangi ruang hatinya. 

Ia tak ingin ragu, namun ia juga tak ingin berdusta.

Love does fade, even though she doesn't want it.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Rara Nuga
Selanjutnya Slice #1 - Their First Child Story
5
0
Ini adalah sebuah kisah yang terjadi pada 2214 hari sejak pertemuan pertama mereka. Cerita tentang bagaimana keluarga kecil itu terbangun. Special Chapter dari Salted Caramel. Ini (masih) tentang Will dan Anya.   [contain spoiler to the now-published chapter in wattpad by Jun 2nd, 2024 | voucher discount available on instagram @sketsamidy post]
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan