Akui saja, Burung Beo itu sudah tua

1
0
Deskripsi

Dari kejauhan, Yoesdi Gozali terlihat semringah ketika Burung Beo-nya tak lagi mengucap kalimat “Tandang ke gelanggang walau seorang.”

Kabar tentang Burung Beo milik Yoesdi Gozali terdengar oleh kerabatnya se-Indonesia, bahkan terdengar sampai ke kerabat yang berada di Mesir. Kabar tersebut menjadi gosip yang seksi karena sudah lama sekali Burung Beo itu hanya mengucapkan “Tandang ke gelanggang walau seorang.” Namun saat ini, Beo itu berucap “Bergerak berjamaah.” Hal ini menjadikan Yoesdi beserta...

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa cita-cita yang tertanam sedari zaman Yoesdi adalah Izzul Islam Wal Muslimin serta memiliki tujuan “Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan ummat manusia.” Hal teresebut menjadi amanah yang harus diemban oleh sang pemilik Burung Beo yang baru. Terlebih Burung Beo ini hidup dalam kepemimpinan sang Garuda. Maka, amanah yang diemban pemilik baru tidak bisa seenak jidat dituntaskan, namun harus memperhatikan juga kebijakan-kebijakan sang Garuda demi kenyamanan gerak si Burung Beo itu. Akan tetapi, bukan bermaksud menjadikan Burung Beo itu sebagai budak Garuda. Sebab Burung Beo memiliki haknya tersendiri untuk menjalani kehidupannya.

Sejak dua tahun terakhir hingga saat ini, Burung Beo itu mengalami masa-masa sulit. Matanya sudah sangat rabun, pendengarannya tak lagi bagus, suaranya tak lagi nyaring. Namun sudah berjalan (hampir) satu tahun ini kondisi Burung Beo itu terlihat membaik. Maka wajar saja Yoesdi terlihat semringah.

Tak hanya Beo yang mengalami masa-masa sulit seperti itu, sang pemimpin Beo pun sama menderitanya. Sang pemimpin burung itu (Garuda) terus menerus diserang penyakit hingga akhirnya memaksakan manusia yang berada dalam naungan sayapnya harus melakukan kegiatan dengan cara jarak jauh. Termasuk kegiatan pembelajaran.

Burung Beo Menyikapi Era Digitalisasi

Melihat kondisi pendidikan saat ini sangatlah miris. Hal ini bukan hanya terjadi di zaman kita saja. Ini sudah dimulai sejak lama, sejak negeri ini belum menemukan sosok Garuda. Pendidikan kita ini memiliki peringkat ke-72 dari 78 negara dalam bidang “Matematka” juga “Membaca”, kemudian bidang “Sains” pada peringkat ke-70. Peringkat ini tidak pernah mengalami perubahan drastis.

Melihat penanganan Garuda terhadap persoalan pendidikan, kita merasakan betul, tidak pernah ada keseriusan. Malah, masalah pendidikan di mata Garuda terasa tidak begitu penting. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya platform pendidikan yang mulai bermunculan, Quipper salah satunya. Ruang Guru yang belakangan mengisi hampir seluruh stasiun televisi, hm?

Ruang Guru yang berehasil mengisi hampir seluruh stasiun televisi yang ada, hemat saya, adalah suatu ciri kritik pedas yang menandakan bahwa pendidikan sang Garuda teramat gagal. Bagaimana mungkin kemeriahan hari pendidikan nasional kalah meriah oleh anniversary Ruang Guru?

Alih-alih Garuda tak ingin kalah oleh sistem pendidikan yang baru saja menetas, malah membuat Garuda kalang kabut menangani kondisi pendidikan itu sendiri. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) hadir karena kondisi Garuda yang sedang dilanda sakit tanpa henti. Bukan murni inovasi seperti Ruang Guru.

Garuda melakukan blunder keras terhadap pendidikan dalam jaringan (daring). Ia tidak mempertimbangkan murid yang tidak memiliki telepon pintar; tidak mempertimbangkan keadaan jaringan internet bagi murid yang tinggal di desa yang telah teretatih-tatih mendapatkan sebuah telepon pintar. Fenomena ini sangat terasa betul bahwa pendidikan sang Garuda tidaklah adil. Imbasnya lembaga pendidikan beserta pendidiknyalah yang tersudutkan oleh masyarakat.

PJJ yang diterapkan oleh Garuda tentunya berpengaruh juga terhadap geraknya Beo dan menjadiikan tujuan Beo menjadi amat sulit untuk dicapai.

Pemilik baru dari Burung Beo ini belum diketahui masa lalunya. Namun, dilihat dari perbuatannya terhadap Burung Beo yang sudah tua itu bisa mengucapkan kalimat baru, boleh kita akui orang ini cukup lihai merawat burung. Sosok ini dikenal sebagai Rafani Tuahuns.

Ketika makhluk menginjak usia tua, tak sedikit yang mengalami gangguan pada tubuhnya. Diantaranya adalah pendengaran yang kurang baik dan tenaga yang melemah. Namun, Burung Beo yang sudah tua itu terlihat jiwa mudanya kembali hadir berkat perawatan yang diberikan oleh Tuahuns—yang tentunya dibantu juga oleh kerabat-kerabatnya.

Selama satu tahun lamanya Beo itu di tangan Tuahuns, nampak perbedaan dari kondisi Beo yang sebelumnya. Beo itu meskipun sudah menginjak usia tua, ia tetap bisa membuktikan bahwa dirinya tidak terlampau pasif. Bisa kita lihat dari kegiatannya yang mulai kekinian. Ia melakukan kegiatan-kegiatan secara daring seperti yang dilakukan oleh pengajar di lembaga pendidikan yang menggunakan aplikasi Zoom.

Lebih dari itu, Beo mulai melirik zaman. Ia melakukan kajian mendalam mengenai persoalan-persoalan yang tidak bisa lepas dari yang namanya teknologi. Ia mulai berani membuat sistem bendahara secara online agar bisa digunakan oleh para kader Beo itu sendiri. Entah bentuknya akan seperti apa (bisa jadi seperti aplikasi kas), karena sejauh ini hal tersebut masihlah wacana, belum ketahapan realisasi.

(((Mari kembali ke pembahasan.)))

Meskipun Beo ini sudah tidak gagap lagi terhadap zaman, ia masih tidak bisa menjawab persoalan pendidikan yang terdigitalisasi. Kenapa demikian? Ini dikarenakan kerabat atau kader Beo masih melakukan transfer nilai secara tatap muka. Alasannya karena apabila dilaksanakan secara tatap muka, orang-orang hebat milik Burung Beo bisa menilai sisi kepribadian murid serta bisa menilai perlakuannya. Orang-orang hebat itu meyakini betul bahwa pendidikan memiliki hakikat untuk menumbuhkan adab, bukan malah persiapan untuk masuk kedunia pekerjaan. Jadi, Beo sendiri masih kebingungan terhadap pendidikan yang terdigitalisasi ini.

Wajar, Beo itu sudah tua. Kita harus akui itu. Pendengaran serta tenaganya tak sebaik masa mudanya.

Namun, tidaklah adil apabila menilai Beo yang hidup dalam sayap Garuda hanya dalam satu tahun saja. Boleh jadi satu tahun kedepan Beo itu akan semakin terlihat kehadiran kembali jiwa mudanya di tangan Tuahuns. Karena, ditangan Tuahuns-lah Beo itu bisa berucap kalimat baru “Bergerak berjamaah”.

Dengan kalimat baru inilah kita bisa—sedikitnya—menaruh harapan kepada Beo untuk membantu Garuda dalam penyempurnaan pendidikan. Ada satu cara jitu bagi Beo untuk menyelamatkan pendidikan ini: Membuat konten keilmuan semenarik mungkin secara kontinyu di berbagai media online.

Melihat Garuda yang santuy menangani persoalan pendidikan yang menimbulkan kekosongan di dalamnya, yang akhirnya diisi oleh Quipper atau Ruang Guru sekaligus menawarkan biaya yang lebih ngirit dari pada biaya yang ditawarkan oleh Garuda. Lalu bagaimana peran konkret Beo yang memiliki tujuan “kesempurnaan pendidikan” terhadap pendidikan Garuda ini?

Akui saja, Burung Beo itu sudah tua. Kalau Tuahuns bisa benar-benar menciptakan Bergerak Berjamaah, tercapailah semangat kolaborasi itu. Kalau toh tidak terdapat berubahan konkret?

Akui saja, Burung Beo itu sudah tua.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Esai
Selanjutnya Kematian
1
0
Sering terlintas dalam benaknya untuk mengakhiri hidup. Beberapa cara sudah dicoba. Menancapkan pisau pada dada seperti adegan di film. Kaki melayang sebab leher dan tali yang saling bermesraan. Membuat maha karya di permukaan tangan dengan silet. Berpura-pura mengantuk saat mengendarai roda dua di depan truk yang melaju cepat. Karena teman, semua cara itu tak berjalan mulus. Hanya satu cara lagi yang belum kucoba, pikirnya. Menjadi polisi tidur untuk kereta yang melaju dengan pesat.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan