CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, TEMPAT KEJADIAN, ATAUPUN CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN.
๐ฟ๐ผ๐ฑ Floway 13 ๐ฑ๐ผ๐ฟ
"Berbelanjalah. Aku akan pergi sebentar, nanti aku jemput lagi disini."
"Ya? Kak Dira tak ikut memilih denganku? Aku tak terlalu bisa memilih daging."
"Kau bisa bertanya pada Bibi nanti. Bibi justru yang lebih tahu dariku. Lagipula, tadi aku diminta untuk mengantarmu, bukan menemanimu. Jadi tak apa bukan jika aku punya keperluan lain?"
๏ฟผ
"Heish, baiklah baiklah." Arin mengangguk kepalanya beberapa kali. "Pergilah. Lagi pula dari awal aku juga bisa sendiri."
"Ya? Jelas-jelas tadi kau--"
"Pergilah pergi Kak, aku mau segera memilih daging."
"Heish." Dira mendesis kecil dan beralih pada wanita paruh baya yang tengah memandangi perbincangan antara dirinya dan Arin itu. "Bi, aku titip Arin, oke!"
"Tenang saja. Mbak Arin pasti aman dengan saya Mas."
Sempat terdiam berpikir dengan senyuman Bibi Mirna yang aneh, pada akhirnya Dira hanya mengabaikannya dan segera pergi.
Kini tinggallah Arin bersama dengan Bibi Mirna yang menatapnya dalam.
"Mbak Arin, mau ngobrol sebentar?"
๐ฑ๐ผ๐ฟ
"Mama Kak Dira meninggal karena kecelakaan?"
Bibi Mirna mengangguk. "Setelah Ibu kecelakaan, Mas Dira tak pernah datang lagi kemari. Ini, kali kedua saya melihat Mas Dira datang setelah Ibu meninggal."
Bibi Mirna kemudian menatap Arin dalam.
"Mungkin kalau bukan karena Mbak Arin, Bibi tak bisa melihat Mas Dira datang kemari lagi."
Arin terkekeh kecil. "Tidak, tapi bukankah Bibi terlalu berlebihan? Kak Dira kesini atas kemauannya. Dia yang mengajakku."
Bibi Mirna bergedek. "Jika Mbak Arin tak ada acara untuk makan bersama, mungkin Mas Dira tak akan merekomendasikannya."
"Mbak Arin, Bibi masih ingat bagaimana antusiasnya Mas Dira saat dia bilang ingin mempunyai toko roti sendiri. Bibi juga masih ingat rasa roti buatan Mas Dira yang dibawakan saat datang kemari."
"Meski dia lebih ingin masuk di bidang perotian, saya tahu jika Mas Dira bisa sebenarnya bisa menguasai banyak resep. Saat ibu masih ada dulu, semua resep akan dicoba bersama, dan Bibi akan mendapatkan bagian untuk dicoba."
Bibi Mirna bercerita sembari membayangkan masa kenangan itu. "Ibu sangat mendukung, tapi tidak untuk Bapak. Bapak tak suka dan cenderung menentang. Bahkan setelah Ibu meninggal saya mendengar kabar dari Mbak Angga jika Mas Dira lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Dibandingkan seperti dulu yang suka menghabiskan waktu bersama Ibu di dapur, sekarang Mas Dira seolah tak peduli lagi dengan hal yang disukainya itu. Saya rasa Mas Dira sudah menyerah dengan mimpinya."
"Tapi setelah tahu jika Mas Dira mau memasakkan makanan untuk keluarga Mbak Arin, Bibi sangat senang." Kini Bibi Mirna menggenggam tangan Arin lembut. "Mbak Arin, bisakah Mbak Arin membantu Mas Dira agar bisa mencapai impiannya."
"Ya?! Tapi?"
"Aih sudah kuduga. Pasti kalian akan mengobrol." Dari ambang pintu masuk terlihat Dira sudah berdiri sembari membawa satu kotak cukup besar ditangannya. Apakah itu alasan laki-laki itu pergi? Untuk membeli sebuah kado?
Dira beranjak mendekati, masih dengan membawa kotak itu. "Untung aku cepat-cepat bergerak. Bibi tidak cerita yang aneh-aneh bukan?"
"Memangnya Bibi akan bercerita apa Mas? Bercerita saat umur 10 tahun Mas Dira menangis keras di taman karena di tinggal oleh Mbak Angga yang ternyata sedang ke kamar mandi?"
"Ya? Ei, itu aku hanya takut jika anak itu hilang. Aku takut jika Papa dan Mama marah."
Bibi tersenyum mengejek. "Bukannya karena takut ditinggal sendirian di taman bermain?"
Dira terlihat sedikit gelagapan. "Tidak! Sejak kapan?"
"Aih, ayo kita pulang. Tante Tari pasti sudah menunggu." ucap Dira pada Arin yang kemudian menarik tangan gadis itu untuk beranjak dari duduknya itu.
Tidak memberikan timbal balik, Arin tak menimpali dan cenderung menahan tarikan tangan Dira. "Tapi aku belum membeli dagingnya."
"Ya?!" Dira memekik sejadinya. "Sedari tadi aku tinggal, kau sama sekali belum memilih daging?"
"Bibi!" Kini Dira beralih arah pada Bibi Mirna, memekik dan memberikan protesnya. Ia pun menghela napas lalu bergumam kemudian. "Dasar wanita!"
๐ฑ๐ผ๐ฟ
Dira mengamati jalannya kegiatan memasak antara ibu-anak itu dengan antusias. Sedangkan Arin yang duduk disebelahnya, hanya menatap kearah Dira penuh tanya.
Pikirannya masih terbayang akan ucapan Bibi Mirna tadi siang. Jadi itu bukan semata hanya ucapan untuk memenangkan hati Ayahnya saja? Ucapan itu, benar-benar dari lubuk hatinya? Dia memiliki impian itu?
Fokus Arin seketika terbelah saat ia merasakan Dira yang ingin beranjak. Heish, sedari tadi ia memang tak ingin berdiam saja dan ingin ikut membantu. Tapi, dengan cepat Arin menahan tangannya dan membuat laki-laki itu mengurungkan keinginannya.
"Kak Dira ingatlah, Kak Dira itu tamu. Tak perlu membantu."
Dira yang telah berdiri pun kembali duduk pada kursi didekat Arin yang juga sama, tengah duduk dan menemani dua orang yang tengah saling membantu dalam kegiatan memasak itu.
Menanti pada kursi mini bar yang ada di dapur itu, Arin menemani Dira yang ingin menonton dengan catatan tak boleh ikut serta dalam memasak. Ya, Dira adalah tamu yang diundang, jadi ia tak disarankan untuk ikut serta dalam kegiatan tuan rumah. Lalu Arin, ya, karena tugasnya berbelanja, jadi ia sama sekali tidak ingin mengikuti jejak kakaknya yang mendapatkan peran untuk membantu Bundanya memasak di dapur.
"Ei, tidak enak jika aku hanya duduk dan berdiam diri saja sedangkan orang lain sedang bekerja."
"Jika kau tak enak hati, seharusnya kau pulang saja dulu dan datang lagi nanti sesuai dengan jam undangan." Amel yang tengah mengeksekusi timun dengan pisau di tangan kanannya itu pun menimpali santai.
"Ei, jika aku pulang sekarang, nanggung."
"Ya sudah, kalau begitu diamlah dan ikuti saja apa yang Bunda katakan."
Tari tersenyum kecil. "Nak Dira, bagaimana jika sembali menunggu, Nak Dira mandi dulu saja? Nanti setelah mandi, masakannya mungkin juga sudah selesai."
Menghela napasnya, Dira mengangguk kemudian. "Baiklah Tante, saya akan mengikuti apa yang Tante Tari katakan."
Laki-laki itu pun langsung beranjak keluar, menurut pada titah yang disarankan.
"Dek, tolong siapkan handuk bersih untuk Nak Dira ya?" beralih menuju anak bungsunya, Tari pun mendapat anggukan atas apa yang baru saja ia arahkan.
Kini arah pandang tari menuju pada anak sulungnya. Ia menatap dan menghela napas sebentar. "Ei Kak, janganlah terlalu keras seperti itu pada temanmu."
Tak ada jawaban, Amel hanya menjawab dengan bahunya yang mengangkat saja dan melanjutkan pekerjaannya kemudian.
๐ฑ๐ผ๐ฟ
"Kau sudah memberikannya handuk bersih, Dek?"
Mengganguk, Arin kembali duduk pada kursinya dan memberi balasan atas pertanyaan ibunya itu. "Sudah kuberikan meski dia sedang sabunan, aku tetap memberikannya."
๏ฟผ
"Dek?!" Amel menghentikan pekerjaannya sejenak. "Saat Dira sabunan, kauโmemberikannya? Langsung? Terlihat?"
Arin mengernyit atas pertanyaan Kakaknya yang sepertinya lebih menjurus pada makna yang aneh.
"Eish Kak Amel! Jangan bilang Kakak berpikiran yangโ. Ah, apa kau tak pernah melihat adegan-adegan di film? Saat seorang memberikan handuk lalu tangan seseorang keluar mengambilnya, apakah Kakak tak bisa membayangkannya? Heish, bisa-bisanya." Arin mengegas sejadinya.
"Ah, jadi adegan itu yang sedang kau bicarakan?"
"Oh! Tak perlu menggodaku!"
Amel kembali mengeluarkan senyum gelinya. Ia sebenarnya suka saat harus menggoda adiknya hingga sewot seperti itu. Tapi, saat ini sepertinya ia harus menghilangkannya karena sebuah bel telah terdengar.
Ah, tanda ada tamu. Untuk memberitahu akan keberadaannya, orang itu pasti memencet tombol bel dan menunggu untuk dibukakan pintu.
"Aku akan bukakan Bun."
Tak perlu disuruh, dengan tahu diri bahwa dialah yang hanya duduk menganggur, Arin beranjak melakukan hal yang semestinya ia lakukan.
Membukakan pintu, Arin sedikit bingung dengan orang yang ada dihadapannya itu.
Sejenak ia melihat jam yang ada di ruang tamu. Benar, waktu masih menunjukkan jam 3 sore. Itu berarti, belum waktunya orang ini datang.
Tapi, mengapa orang ini sudah ada disini?
"Aku berencana datang lebih awal." Satria tersenyum manis sembari menyerahkan bingkisan kue yang dibawanya. "Ini sedikit."
"Ah terima kasih. Sebenarnya Kak Satria tak perlu repot-repot seperti ini juga. Cukup datang saja, bukanlah masalah."
Bergedek, Satria tetap menjaga senyumnya. "Membawa sesuatu juga bukanlah sebuah masalah."
Arin mendesis kecil.
"Kalau begitu mengapa lama-lama disini? Masuklah Kak."
"Ah, aku dengar Dira sudah sampai sini dari tadi?" Satria membuka obrolan seiring dengan laju tubuhnya yang sudah dipersilahkan masuk.
"Ah, Kak Satria pasti tahu dari kak Amel." Mungkinkah? "Jangan bilang, Kak Satria langsung kesini karena tahu Kak Dira sudah kemari?"
"Wah, siapa itu?" Suara yang tiba-tiba datang itu, seketika saja berhasil mengalihkan pembicaraan antara Satria dan Arin.
"O? Sat? Kau sudah datang? Awal sekali." Sambil menggosokkan handuk di kepalanya, Dira mencoba mengeringkan rambut yang baru saja ia keramasinya itu.
"Hei, kau pikir kau tidak?"
Sembari menggosokkan handuk pada bagian rambut bawahnya, Dira terkekeh kecil. "Apa? Apa kau khawatir karena aku mencuri start?"
Satria terdiam tanpa memberi balasan. Tak terlalu suka dengan perkataan Dira, ia pun tak sengaja mengalihkan pandangannya dan beralih menatap kearah Arin yang kini berdiri disebelahnya itu.
Matanya menajam, rahangnya mengeras. Dari tangkapan matanya, Satria bisa mendapati dengan jelas tubuh gadis yang menghadap kearahnya itu tengah terdiam membeku sembari menengokkan kepalanya, berfokus menatap takjub kearah Dira yang saat ini masih saja sibuk dengan urusan pengeringan rambut itu.
Apa ini? Apakah Arin telah terpesona dengan Dira yang tengah mengibas-ibaskan rambut semi basahnya itu?
"Dek, mengapa kau diam saja?" Satria mendapati fokus Arin pecah oleh ucapan Dira yangโ, ia kini beralih menatap laki-laki itu juga. "Kau tak mau membuatkan minuman?"
Arin telah tersadar dari acara bengongnya itu. Pikirannya kini lebih terpusat pada kata panggilan yang diucapkan Dira untuknya. Apa? Dek?! Adek? Apa orang itu tengah memainkan peran sebagai anggota rumah ini? Heish, bisa-bisanya.
"Ayo Sat, duduk."
Mendengar desisan dari sebelahnya, Satria kembali menaruh pandangannya pada Arin. Gadis itu tak berucap lebih. Ia hanya pergi dengan gelengan kepala yang ditepuki pelan oleh tangannya sendiri.
Dalam pengamatan diamnya, Satria hanya bisa menghela napas kecil dengan mimik muka yang menunjukkan kekecewaan.
"O! Kalian sudah datang? Awal sekali."
Dari pintu yang terbuka, terlihat dari luar Tirta telah pulang dari jam kerjanya. Ya, mungkinkah ini berarti sang penengah mungkin diperlukan?
๐ฑ๐ผ๐ฟ
Urung untuk meraih gagang pintu, Amel terdiam sejenak saat ia merasakan suara yang beradu telah terdengar dari pintu yang masih tertutup itu.
"Aih apa yang mereka lakukan sampai suaranya seperti itu?"
Pikiran Amel kini terasa aneh pada empat kandidat yang ada dalam satu ruangan itu. Setelah pulang dari toko, Ayahnya tiba-tiba saja mengajak dua tamu itu untuk melakukan kembali permainan game seperti tempo hari. Tidak, mungkin lebih tepatnya meneruskannya.
Ya, Ayahnya seperti menemukan kebahagiaan tersendiri setelah bertemu dengan orang yang bisa diajaknya bermain game bersama.
Heish, apakah ada bapak-bapak seperti itu? Atau hanya Ayahnya saja yang seperti itu?
Amel membuka pintu. Situasi saat itu pun terlihat. Kini Satria dan Dira sedang serius saling bertarung stick, dengan Ayah dan Adiknya yang berseru geregetan.
Permainan balapan itu, apa sedang seru-serunya?
Amel memicing. Ya, jika dilihat dari dua motor virtual yang saling beradu sengit itu, sepertinya begitu adanya.
"Makanan sudah siap. Ayo ke meja makan!"
"Ah sebentar lagi. Sedang nanggung."
"Benar Kak, sebentar lagi. Setelah kami tahu siapa pemenangnya, kami akan menyusul."
Bergantian, Ayah dan Adiknya merespon, berkebalikan dengan dua orang laki-laki muda yang saat ini masih fokus bermain tanpa memberikan tanggapan lebih.
"Heish, seberapa penting balapan ini? Ayo cepat ke meja makan!"
"Kak, karena Adek pegang Nak Dira, bagaimana jika kau pegang Nak Satria menggantikan Ayah?"
"Wah, Ayah mau lepas tanggungjawab?"
"Heish, tidak. Ayah tetap akan memberikannya. Hanya saja, kali ini Ayah menjadi produser, sedangkan kalian yang bertarung. Siapapun yang kalah nanti, tak harus membelikan roti dari Toko Ayah. Biarkan Ayah saja yang memberikan pada pemenangnya."
"Heish, benar? Jadi jika Kak Dira kalah, aku tak perlu membelikan untuk yang menang bukan?"
"Okay!" Arin berseru kala Ayahnya mengangguk pasti. "Ayo Kak! Kakak pegang Kak Satria, aku pegang Kak Dira."
"Tunggu, kalian taruhan?" Amel yang sedari berdiri pun beranjak duduk dan bergabung.
"Bukan, ini sejenis penghargaan."
"Penghargaan apanya Yah? Jelas-jelas kalian membuat kesepakatan yang kalah akan mentraktir yang menang. Itu taruhan namanya."
"Jelas-jelas sekarang bukan. Jika kau mau menggantikan Ayah, Ayah yang akan mentraktir tanpa ada yang kalah yang akan mentraktir yang menang. Ayah akan menjadi sponsor yang memberikan penghargaan untuk peserta, yaitu kalian."
"Heish, bisa-bisanya!"
"O!"
Perhatian Amel dan Ayahnya seketika teralihkan oleh pekikan Arin yang tiba-tiba. Obrolan merekapun selesai sampai disana dan beralih pada layar televisi.
"Kenapa berbelok menukik seperti itu?"
"O?" Amel memekik kecil saat melihat reaksi kecewa Dira dan respon yang Arin berikan. "Kau memimpin Sat?"
Tak perlu waktu lama, Amel sudah memposisikan duduknya untuk berfokus pada pertandingan virtual itu. Tertarik? Sepertinya begitu.
"Wah ayo Sat! Menangkan!"
Tak sesuai dengan hal yang disampaikan di awal, Amel, kini justru bergabung dalam kelompok Ayahnya itu, bersorak dan memekik khas orang yang tengah tegang menonton pertandingan.
Hingga~
"Kakak, disuruh untuk memanggil mengapa malah ikut serta?"
Sang Bunda pun harus turun tangan untuk melakukan tugas menggiring orang-orang yang tengah asyik bermain itu untuk pergi menuju ke ruang makan, melaksanakan acara yang sesungguhnya.
Makan malam bersama.
๐ฟ๐ผ๐ฑFloway 13๐ฑ๐ผ๐ฟ
tbc...
Sabtu, 1 April 2023
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ