
[ KUMPULAN CERPEN ]
Aku terlalu takut untuk membuka mata sesaat setelah tertawa bahagia. Meskipun hanya sedetik saja. Karena banyak hal-hal yang bisa terjadi setelahnya.
Aku selalu mengingatkan hatiku untuk tidak terlalu bahagia. Karena masih banyak orang bersedih di luar sana.
Aku berusaha untuk selalu biasa-biasa saja. Meskipun terjadi hal yang luar biasa.
MENGANGKASA
Aku mengenal ketinggian karenamu.
Aku jatuh cinta pada ketinggian pun karenamu.
Tapi aku tidak pernah berharap akan berakhir di ketinggian. Apalagi bersamamu.
Pertemuan
Aku bertemu denganmu secara tak sengaja di lapangan parkir. Kamu dengan peralatan panjat yang dulu belum kuketahui nama-namanya. Motorku terjebak di area papan panjat, dan kamu membantuku memindahkan motor-motor yang menghalangi motorku. Aku ingat senyum tulus yang kamu berikan saat itu. Kamu sempat menawarkanku untuk mencoba olahraga panjat tebing, tapi kutolak dengan alasan aku sedang buru-buru. Sebenarnya aku rikuh. Aku tidak bisa seluwes kamu dalam menghadapi orang-orang baru. Saat itu kamu hanya tersenyum, dan mengatakan, "oke, kapan-kapan cobain ya". Kujawab dengan anggukan ragu.
Tapi keraguanku saat itu bisa kutangkal dengan menerima tawaran memanjat darimu yang ketiga kalinya. Aku ingat pada percobaan pertamaku, aku mencapai batu pegangan di papan ketiga dari bawah. Aku sempat memekik kaget saat tanganku terlepas dari batu pegangan. Belum lagi saat mendarat ke tanah, kakiku gemetar hebat sehingga aku tak sanggup berdiri. Namun dengan sigap kamu menopang tubuhku sehingga aku tidak terjatuh menghantam tanah. Pun dengan tanganku. Mereka gemetar tanpa kuminta, dan kamu tertawa terbahak-bahak. Kamu katakan bahwa itu hal yang biasa untuk orang-orang yang baru pertama kali memanjat.
Kita saling bertukar informasi setelah itu. Kamu mengenalkan diri sebagai Damar, aku mengenalkan diri sebagai Rista. Kamu, seorang mahasiswa tingkat akhir, sedangkan aku si mahasiswa baru. Aku yang berasal dari salah satu pulau di Indonesia bagian timur, kamu yang orang asli tanah Sunda. Kamu yang selama kuliah aktif di organisasi kepegiatan alam, tapi tidak berusaha mengajakku untuk bergabung di organisasi kepegiatan alam tempatmu bergabung. Kamu seakan membuat batas, agar aku tetap menjadi diriku, tapi menjadikan panjat tebing sebagai bagian dari diriku.
Pertemuan yang awalnya hanya untuk memanjat di papan panjat kampus, dua bulan kemudian bertambah intensitasnya dengan saling bertukar cerita, makan dan olahraga bersama. Pengetahuanku akan olahraga panjat tebing bertambah dengan cepat. Bulan ketiga dan bulan-bulan berikutnya, kamu mengajakku untuk pergi ke sebuah tebing di daerah barat kota ini, tapi belum bisa kupenuhi karena tugas kaderisasi pers kampus yang cukup menumpuk.
Hingga setahun sejak perkenalan kita, kamu tidak pernah absen ataupun bosan untuk mengajakku memanjat. Seakan tahu bahwa aku adalah orang yang potensial untuk menjadi bagian dari orang-orang yang mencintai ketinggian. Toh aku penuhi ajakanmu, seakan panjat tebing sudah menjadi bagian dari hidupku. Selasa, Rabu dan Jum'at menjadi jadwal tetap kita untuk memanjat di papan panjat kampus dan mulai akhir pekan bulan keenam sejak perkenalan kita, aku mencoba memenuhi ajakanmu untuk pergi ke tebing yang pernah kamu sebut.
Dan disanalah aku jatuh cinta pertama kalinya pada hamparan langit biru yang ku lihat setelah memanjat tebing setinggi 125 meter dari tempat awalku memanjat.
Memanjat dan Jatuh Cinta pada Ketinggian
Masih segar juga di ingatanku akan desakanmu agar aku menyetujui pendapatmu yang mengatakan bahwa pemandangan di puncak papan panjat kampus adalah pemandangan yang indah. Aku tidak perlu dipaksa untuk menyetujuinya. Hanya saja, aku sulit menemukan kata yang tepat untuk mewakili kekagumanku. Pemandangan yang kulihat saat itu sempurna. Sebelah timur bukit yang menjadi ikon kampus kami, dan di sebelah utara ada gunung dengan dua puncak yang salah satu puncaknya mencuat seperti cula badak. Belum lagi di sebelah selatan terdapat apartemen mahasiswa yang nampak nyentrik di antara sawah-sawah hijau yang tersusun secara terasering. Ditambah langit biru yang bersih tanpa awan sedikitpun. Rasanya semuanya terlukis sempurna.
Waktu itu aku baru tahu kamu membawa hammock untuk dipasang di antara rangka, saat aku memasang pengaman di hanger papan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelincahanmu dalam memasang semua pengaman dan hammock di atas papan yang menjulang 15 meter di atas tanah. Sedangkan untukku, berdiri di atas ketinggian pertamaku sungguh membuatku berdebar.
Rasa berdebarku pada ketinggian kembali muncul tepat setahun setelah pertemuan kita. Setelah setahun kamu biasakan aku dengan panjat tebing dan pernak-perniknya. Saat matahari sudah semakin condong ke barat, dan saat kulihat jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul 17.15. Hebatnya, dalam waktu 15 menit, kamu selesai membuat tempat peristirahatan kita. Aku ingat saat kamu tersenyum usil dan mengatakan, "jangan kebelet ya sampe besok pagi. Paling enggak jam 9 lah, pas kita sampe ke atas atau jam 10 saat balik lagi ke pos pemanjatan." dan saat ku tanya kenapa, kamu bilang bahwa buang air yang normalnya merupakan hal paling melegakan, berubah menjadi hal paling menyebalkan saat dalam kondisi menggantung di tebing. Kamu juga bilang, kamu tidak bisa membayangkan wajah cantikku harus bersusah payah buang air di atas tebing. Kamu juga menjelaskan tata cara buang air. Penjelasanmu saat itu sangat cukup untuk membuatku bergidik.
Namun di pemanjatan kita yang ketiga, kita terpaksa berbagi bunyi yang tak enak saat bermalam di tebing. Kamu dengan suara kentut saat buang air dan air seni yang mengalir ke dalam botol dengan deras. Sedangkan aku sudah cukup malu dengan suara air seniku yang menerpa plastik yang menampung air seniku. Meski kamu membelakangiku saat itu, tapi aku benar-benar tidak siap jika dengan keusilanmu, kamu berbalik dan melihatku yang buang air. Semua hal memalukan saat itu bisa kulupakan sejenak dengan menikmati matahari yang terbit di timur yang persis di belakang kami. Meski setelah turun dari tebing, hal memalukan ini menjadi bahan olok-olok di antara kita.
Tapi rasanya, semua hal yang tidak normal dan memalukan menjadi normal saat aku lakukan bersamamu.
Satu setengah tahunku bersamamu terasa cepat. Kita habiskan waktu bersama kita hanya dengan memanjat, memanjat dan memanjat. Aku dengan kegiatan persku, kamu dengan tugas akhir dan kegiatan organisasi kepegiatan alammu --yang sesekali ku ikuti. Setelah kamu lulus dan menerima proyek pertama untuk membangun tempat outbound di daerah Sumatera Utara, aku hanya bisa mengikuti perkembangan proyekmu lewat foto dan video yang kamu kirimkan padaku.
Selama kamu tidak ada, panjat tebing jadi olahraga paling sulit untuk kulakukan. Sesekali ku paksakan diri bergabung dengan teman-teman seorganisasi-mu, sesekali kupaksakan diri bergabung dengan organisasi panjat tebing di papan panjat taman kota, sesekali aku bergabung dengan pemanjat yang sedang melakukan pemanjatan di tebing pertama yang kamu kenalkan padaku.
Aku merasa kehilangan, karena tidak memanjat hingga sore atau bermalam di tengah tebing. Aku tidak bisa melakukan hal-hal semacam itu dengan orang lain selain kamu. Aku bukan kamu, yang bisa luwes dalam keadaan tidak nyaman sekalipun. Aku hanya bisa luwes dalam keadaan tidak nyaman dengan segelintir orang, dan kamu salah satunya. Atau mungkin hanya kamu satu-satunya?
Selama kamu tidak ada, aku lebih banyak melakukan olahraga panjat tebing seorang diri, di papan boulder taman kota. Tidak ada tebing yang memompa adrenalin, tidak ada langit luas, tidak ada matahari terbit dan terbenam yang bisa dinikmati, tidak ada city light yang samar terlihat, tidak ada bintang di langit malam yang selalu kita terka nama rasi-nya, tidak ada kekonyolan bersamamu.
Hanya aku, papan boulder, dan rasa sakit ketika terjatuh menghantam matras keras.
Peralatan Panjat
Kamu mengenalkan peralatan panjat di pemanjatan ketigaku di papan panjat kampus. Katamu, alat-alat ini bisa membantuku untuk mencapai ketinggian: carabiner, figure of eight, grigri, tali karmantel, harness... semuanya bisa ku ingat hanya dengan satu kali dengar. Penjelasanmu akan kegunaan masing-masing peralatan masih bisa kuingat dengan jelas.
"Figure of eight, grigri bisa dipake buat nahan orang yang manjat. Juga bisa buat turun lewat tali." Dan aku merasakan turun lewat tali menggunakan figure of eight dan grigri pada pemanjatan ke-dua puluh-ku bersamamu. Kamu tidak memanjat di papan, kamu menjagaku lewat tali karmantel lain yang menjuntai dari roof papan panjat menggunakan salah satu alat ascender yang saat kutanya namanya, kamu jawab Zumar. Sedangkan aku, memanjat lewat papan panjat, dan kemudian turun lewat tali yang sudah kamu sediakan untukku melakukan rappelling.
Peralatan lainnya kamu kenalkan secara bertahap. Sejak itu, semua peralatan panjat menjadi familiar untukku. Hingga kamu lulus, dan pergi meninggalkan lingkungan kampus untuk mengerjakan proyek di Aceh. Peralatan itu tidak bisa lagi kutemui seintens saat kamu ada bersamaku. Peralatan-peralatan panjat itu tidak bisa kumiliki secara pribadi, karena harga-harganya yang cukup untuk membuatku tidak makan selama berbulan-bulan jika menggunakan uang saku yang diberikan orang tuaku.
Kepulanganmu setelah enam bulan pengerjaan proyek, menjadi hal yang sangat berharga bagiku. Pertama karena kamu seperti setetes air yang menghilangkan sedikit hausku akan berkegiatan di ketinggian dan rasa rinduku menggunakan alat-alat panjat. Kamu masih seperti kamu yang dulu: tanpa sungkan mengajakku pergi ke tebing-tebing tempat kita memanjat dulu. Kamu lakukan sebelum aku sempat mengajukan ajakanku untuk melakukan pemanjatan.
Kedua, karena kamu memberikan peralatan panjat padaku. Peralatan yang hanya bisa kita bayangkan untuk menjadi barang pribadi kita, setiap kita pergi ke toko penjual barang-barang outdoor. Aku tidak bisa berkata-kata saat kamu mengatakan semua peralatan yang menempel di tubuhku bisa menjadi milikku.
Kamu ingat? Setelah kamu katakan aku bisa memiliki semua peralatan yang menempel padaku, aku langsung mencermati semua barang yang menempel padaku saat itu. Helm, harness, sepatu panjat, chalk bag, selusin runner, lima buah carabiner, satu buah grigri, sepasang ascender dan selusin tali pengaman yang tergantung pada sistem pengaman yang kamu pasang. Dengan cepat otakku dengan cepat mengkalkulasi semuanya.
Tentu saja kalimat, "semua peralatan itu buat kamu" yang keluar dari mulutmu saat itu tidak membuatku cepat percaya. Aku yakin, total harga itu tak mungkin membuatmu bisa seroyal itu. Kamu selalu perhitungan akan segala hal.
Kamu pasti ingat wajah tercengang --tak percayaku saat itu. Karena kamu mendorong dahiku dengan telunjuk. Tapi saat kamu katakan, "aku serius." dengan wajah yang juga serius, aku baru mempercayainya. Sekaligus mendesakmu untuk mengatakan alasan kamu memberikan semua peralatan itu padaku. Ah, mungkin kamu tidak tahu, tapi akan kuberi tahu sekarang: Jawabanmu saat itu membuatku sedikit berdebar. Tapi tenang saat itu bisa kuatasi.
Aku baru sadar peralatan panjat yang menempel pada tubuhku tidak jauh dari nuansa hijau tosca dan abu-abu, warna kesukaanku. Lalu kamu bilang, kamu membeli barang-barang itu sambil membayangkan wajah antusiasku saat mengenakannya. Dugaanmu tepat. Saat itu kamu bilang, kamu senang saat melihat ekspresiku pertama kali mengenakan barang-barang yang kamu beli itu. Katamu, ekspresiku saat mengenakan peralatan serba hijau tosca itu sesuai dengan bayanganmu. Pun denganku. Aku bahkan ingat perasaanku saat mengenakan peralatan itu. Bahagia, sangat. Karena setelah menemukan runner dengan warna hijau tosca metalik, aku tak pernah berhenti berandai-andai bisa segera lulus kuliah, bekerja, dan membeli barang-barang dengan warna yang sama.
Semua alat pengaman itu kamu berikan secara cuma-cuma, dan hingga kini masih kusimpan karena kamu tidak bersedia jika peralatan itu kukembalikan.
Berpisah dan Saling Meninggalkan Jejak.
Kamu tahu aku bukan berasal dari keluarga berada, sepertimu. Ayahku hanya seorang pensiunan pegawai swasta yang sudah tidak berpenghasilan, bundaku seorang wiraswasta katering kecil. Berbeda denganmu yang seorang anak pengusaha tekstil ternama di daerah ini. Karena itulah aku menjaga jarak dengan organisasi pegiat alammu, komunitas panjat tebing, dan tetek bengeknya, jika tidak ada kamu. Aku tidak sanggup untuk menanggung resiko barang hilang atau rusak. Sama seperti ketidak sanggupanku jika terjadi kecelakaan saat aku melakukan olahraga panjat tebing ini. Seperti katamu, aku dan kamu adalah free-spirited climber. Tidak bisa menjadikan panjat tebing sebagai ladang penghasil uang seperti atlet-atlet.
Untuk itulah aku berambisi untuk cepat lulus dan bekerja.
Serta menolak lamaranmu.
Kamu tahu, saat itu ambisiku pada ketinggian melebihi rasa cintaku pada apapun --termasuk kamu. Semangat masa mudaku lebih berambisi pada ketinggian, dibanding ambisi berumah tangga, sekalipun denganmu. Meski kamu bilang kamu sanggup membiayai mimpi-mimpi kita, tapi aku tidak bisa. Aku harus selalu mempersiapkan kemungkinan terburuk jika kamu tidak ada. Kamu saat itu tidak tahu, bahwa pengalamanku hidup susah, membentukku untuk lebih hati-hati dalam mengambil setiap langkah.
Kupikir saat itu kamu bisa menerima alasanku. Ternyata tidak. Setelah mengajukan lamaran yang kutolak itu, dua, tiga, enam, sepuluh bulan bahkan setahun tidak ada kabar darimu.
Sama sekali.
Bahkan kamu menghilang dari seluruh media sosial.
Tahun ketiga perkenalan kita, kamu hanya mengatakan permintaan maaf karena tidak bisa datang untuk merayakan prosesi wisudaku. Bersama dengan ucapan 'sebaiknya kita begini dulu', yang hingga saat ini tidak bisa kuterjemahkan artinya. Aku mempercepat waktu kuliahku dengan mengerjakan skripsi secepat kilat dengan tujuan agar bisa mengeskalasi cita-cita: menghasilkan uang dan melakukan cliff travel bersamamu, seperti cita-cita yang kita impikan dulu.
Aku mengikuti pendidikan flight attendant, dan mendaftar sebagai pramugari di salah satu maskapai penerbangan. Sengaja kupilih pramugari, agar aku bisa terus menikmati ketinggian dan mengingat seluruh cita-cita kita.
Tapi tiga tahun tanpa kabar darimu membuatku sangsi.
Apakah kamu masih mengingat cita-cita kita?
Apakah kamu masih memanjat? Apakah kamu masih mencintai ketinggian?
Apakah kamu masih mencintaiku?
Penutup
Seluruh kenangan, peralatan dan pertanyaanku akan kamu dan ketinggian serta cita-cita kita masih tersimpan rapi di salah satu ruang di memori otakku, juga salah satu bilik di hatiku. Kusimpan rapat-rapat, dan kujaga untuk pertemuan kita selanjutnya. Meskipun tak bisa kuprediksi kapan akan terjadi.
Aku tidak tahu pertemuan kita akan terjadi hari ini: hari kelima belas di bulan Januari. Menurut para pemanjat negara tropis seperti negara kita, Desember dan Januari adalah waktu yang tidak tepat untuk melakukan pemanjatan di tebing karena cuaca membuat tebing basah, sehingga tebing menjadi licin dan sulit untuk dipanjat.
Tepat di depan pintu pesawat rute Jakarta-Pontianak, kita berpapasan. Kamu dengan seorang anak laki-laki berusia sekitar dua tahun di gendonganmu. Meski terlihat kaget, kamu masih bisa melemparkan senyum hangatmu yang sama seperti dulu.
Berbeda denganku.
Aku perlu mengatur nafas untuk membalas senyumanmu. Apalagi ketika wanita yang sudah masuk setengah menit lebih dulu darimu, datang kembali untuk menghampirimu, dan mengatakan "ayo, Yah."
Aku baru bisa melemparkan senyum balasan yang kuusahakan terlihat normal, meski bisa kurasakan bibirku bergetar dan mataku berkedut menahan luapan perasaan kehilangan.
Kamu beruntung. Pertemuan terakhir kita tak memerlukan penjelasanmu mengenai akhir dari hubungan dan cita-cita kita. Sebagai orang dewasa, ingin rasanya aku menghapus segala kemungkinan dan perkiraan yang menari-nari di kepalaku. Sehingga aku bisa bersikap seperti anak kecil yang secara natural bertanya ini-itu dengan penuh rasa penasaran.
Kenapa kamu meninggalkanku?
Bagaimana bisa kamu melupakan semua angan dan kenangan kita?
Seperti tingkat kesulitan dalam pemanjatan, berapa grade kesulitan kamu menghapus semua kenangan kita?
Rasanya ada lusinan pertanyaan lain yang bisa kuajukan, tapi sebagai orang dengan usia dewasa, rasanya aku tahu dimana akar semua jawaban itu: penolakanku akan lamaranmu bertahun lalu. Rasanya, ingin kuputar ulang waktu, dan menurunkan semangat idealisme masa mudaku, dengan menerima saja lamaranmu saat itu. Tapi aku tahu, saat ini semuanya sudah terlambat.
Tidak apa.
Sampai aku menjelaskan tata cara menyelamatkan diri menggunakan pelampung dan menjelaskan penggunaan oksigen darurat, aku masih bisa melemparkan senyum ke kursi tempatmu duduk bersama istri dan anakmu. Senyum kali ini aku lebih percaya diri.
Kuperhatikan, istrimu cantik. Berkulit kuning langsat, alis tebal yang melengkung secara alami. Sorot matanya tajam. Ia punya lipatan mata yang mungkin diinginkan beberapa artis-artis Korea. Hidungnya tidak mancung, terpahat seperti jambu.
Anakmu tumbuh sehat. Jika benar usianya dua tahun, maka ia termasuk anak yang amat sehat dengan tubuh gempalnya. Aku tahu persis matanya mengikuti bentuk matamu yang melancip ke bawah.
Sebelas menit awal sudah berlalu. Pesawat take off dengan sempurna. Namun tanpa kuminta, otakku memutarkan siaran prediksi cuaca hari ini yang tak sengaja kudengar pagi tadi sebelum berangkat.
Seorang rekan yang memintaku untuk mengantar obat pada seorang penumpang, cukup untuk membuyarkan asumsiku. Aku hanya bisa menghela nafas saat rekanku menyebut nomor kursinya. Kursi itu tepat ada di depan kursimu.
Aku bisa menangkap pandanganmu yang juga memandangku saat aku berjalan mendekat untuk memberikan obat yang kupegang pada penumpang yang duduk di depanmu.
Namun pada langkah kelima, aku merasakan getaran yang tak biasa pada pijakanku. Aku tahu ini bukan getaran yang nyaman untuk dilalui penumpang. Kabin tempat penyimpanan barang bagian belakang menjeblak terbuka, menyebabkan beberapa barang berjatuhan dan menimbulkan bunyi debam yang cukup keras.
Otakku dengan cepat bisa memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Setelah berhasil menenangkan penumpang yang panik, aku kembali melempar pandanganku padamu.
Pandanganmu sama seperti tiga tahun lalu, saat menunggu jawabanku. Pandangan yang menuntut, meskipun kamu tahu jawabanku. Dan dengan pandangan itu, kamu berhasil mengunci ruang dan waktu dalam diriku.
Seperti tiga tahun lalu, saat ini aku pun bisa membaca arti dari pandanganmu: kamu menangkap kalimat penghiburanku yang sangat baik untuk para penumpang itu penuh dengan omong kosong.
Bukankah aku masih sama? Masih menjadi orang naif, yang tidak bisa mengungkap realitas segamblang yang kurasakan dan kupikirkan.
Detik berikutnya, terjadi dengan cepat.
Aku melemparkan senyum padamu. Aku melihat tangan istrimu menggenggam erat telapak tanganmu, sedangkan anakmu meronta di pelukan ibunya.
Hei kamu, mau kusebutkan kado-kado terbaik yang pernah kau berikan padaku selama kita bersama? Pada tahun pertama, kau mengenalkanku pada ketinggian lewat panjat tebing dan kau membuatku jatuh cinta pada ketinggian. Pada tahun kedua, kau berikan peralatan memanjat yang membantuku untuk mencapai ketinggian. Pada tahun ketiga, kau tinggalkan aku karena kau menginginkan jenjang yang lebih tinggi untuk hubungan kita, tapi aku tak bisa.
Kau harus tahu, tiga kado darimu kusimpan baik-baik. Bahkan kujadikan ketinggian bagian dari hidupku dengan menjadi pegawai maskapai penerbangan. Kulakukan agar bisa kuingat tiga kado terbaikmu.
Maka dari semua kado yang kau berikan, aku ingin mengucapkan permohonan maaf, karena aku tidak bisa memberimu kado berupa keselamatan saat pesawat mulai berguncang kembali dengan lebih kencang, kemudian terjun bebas. Aku tak punya kekuatan untuk memberimu kado berupa kehidupan.
Maaf, bahkan aku tidak bisa mengungkap kebenaran bahwa aku juga amat mencintaimu, tiga tahun lalu hingga saat ini. Juga permohonan maaf karena aku tidak bisa mengatakan kemungkinan yang bisa terjadi saat pesawat mengalami turbulensi tepat setelah take off.
Tapi biarkan aku berasumsi bahwa senyum tulus yang kau lemparkan padaku saat kita secara kebetulan bertemu di pintu masuk pesawat tadi, adalah kado terakhirmu untukku. Kado terakhir dan kado terbaik yang membuatku melambung tinggi dan berada di antara dunia nyata dan dunia khayal.
Sedangkan pandangan menuntutmu, biar kujadikan pupuk tanaman rasa bersalahku hingga saat ini, saat seluruh persendian kita lepas dari pusat kehidupan manusia.
*
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°