
Dinner at De Felici must be interesting right?
"Welcome Signor, Signora, et Signorina Vittori.”
Luna menganggukkan kepala sesaat staf kediaman De Felici menyambut rombongan keluarganya. Rombongan yang dimaksud tentu saja kedua orang tua Luna, Alberto dan Elena, juga beberapa staf keamanan yang memang mengikuti kemanapun orang tuanya pergi.
“Tuan Carlo, Nyonya Marina dan Tuan Muda Tristan sedang menyelesaikan rapat di ruang kerja, sebentar lagi mereka akan menyusul, sementara kami persilahkan untuk menunggu di Summer Room, kami telah menyiapkan cocktail dan tapas sebagai pembuka.”
Gaun hitam Luna sedikit menyapu lantai berlapis granit coklat muda yang mendominasi ruang tamu, sebelum melangkah masuk ke ruang tunggu, ia dapat melihat hamparan taman belakang yang asri, juga labirin tanaman yang mengusik rasa ingin tahunya.
“Signorina Lunetta, mawar-mawar kami baru saja mekar, kebetulan Nyonya sedang menyukai mawar putih, sehingga kami banyak menanamnya musim ini,” jelas salah satu staf yang tadi menyambutnya.
“Boleh saya melihatnya? Sepertinya ada bunga Saffron juga ya?”
“Betul sekali.”
Usai mendapatkan persetujuan orang tuanya, Luna menginjakkan kaki ke taman kediaman De Felici. Sebetulnya tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di belakang rumahnya, hanya saja, labirin yang berada di tengah taman seolah sejak tadi memanggilnya untuk berkelana.
“Signorina, sebaiknya—”
“I’ll company her.”
Mendengar suara yang sangat familiar di telinga, Luna segera membalikkan badan, betul saja, siapa lagi kalau bukan si bungsu De Felici, looking as handsome as she remembers in a wine colored suit, dan yang membuat Luna cukup terkejut, Seven tampaknya baru saja memotong rambutnya menjadi lebih pendek dan rapi.
Luna memastikan staf tersebut telah berjalan cukup jauh agar tidak mendengar percakapan mereka sebelum membuka suara.
“Rasanya gue ngelihat lo jauh lebih sering dalam dua hari ini dibanding 10 tahun terakhir. What are the odds.”
Seven mengambil langkah panjang demi menyejajarkan diri di sebelah Luna yang berjalan semakin mendekat ke arah masuknya labirin.
“Ouch, I see you all the time though, Vittori.”
“How??”
“Always have been keeping an eye on beautiful things.”
Seven finds it amusing that the girl who dressed gracefully in a tulle black dress laughed her ass off, instead of blushing like any other girls usually do.
“Lo punya pick up line yang lebih canggih nggak sih?”
“Itu bukan pick up line, Vittori, it’s just a fact.”
Alih-alih tersanjung, Luna kembali tertawa, yang akhirnya membuat Seven tak dapat menahan tawanya juga.
“Udah? Can we talk like adults now?”
“Gue rasa lo yang dari tadi cekikikan kayak bocah,” goda Seven.
“Ya gue geli aja, nggak heran cewek-cewek pada segitu infatuated ya sama lo, you really are kinda persistent with your sweet talks.”
“I consider myself as a man who appreciates women, that’s all.”
Tanpa disadari, keduanya berjalan semakin dalam ke labirin, menikmati konversasi playful di antaranya. Lagi-lagi, membuat Luna bertanya-tanya, betapa mudahnya Seven membuatnya nyaman.
“Is it appreciating when you gave them sweet nothings and never call back?”
Seven kembali terkekeh, semakin menikmati permainan kata yang terjadi di antara mereka.
“Itu namanya living in the moment, Vittori, you should try it. Don’t be so uptight all the time.”
“Gue bukan uptight ya, being responsible and considerate namanya. Mungkin tuan muda Seven De Felici nggak butuh, toh, lo akan selalu dilayani, diiyakan dan dimaklumi, am I right?”
Luna dapat merasakan langkah Seven yang makin dekat di belakangnya, ia menyadari dari harum parfum yang sama yang dihirupnya kemarin saat…
“You couldn’t be more wrong, Signorina, mungkin kalau lo bagi waktu lo yang berharga, lo bisa mengenal sisi lain dari gue, I believe you know that a person is never one dimentional.”
Luna yang menghentikan langkahnya mendadak nyaris membuat Seven menabraknya. Sang puan tiba-tiba berhenti karena dihadapkan oleh pertigaan, ke kanan atau kiri, dua-duanya terlihat persis sama, tanpa petunjuk apapun, hanya ada rangkaian jenis bunga yang berbeda di tiap dindingnya. Dinding sebelah kanan dipenuhi bunga lily berwarna oranye yang tumbuh kurang beraturan, sedangkan dinding sebelah kiri terdapat beberapa bunga hydrangea yang cantik.
Melihat Luna yang kebingungan, Seven justru membiarkan dirinya tetap berdiri di belakang sang puan, sedikit menunduk agar dapat berbisik, menghembuskan nafas hangat yang membuat bulu kuduk Luna meremang.
“Use your gut to choose, choose wisely."
“Gue…”
Terpesona dengan kecantikan bumga Hydrangea yang berwarna biru muda, Luna melangkah ke arah kiri, tangannya hanya beberapa sentimeter dari menyentuh sebelum ditahan oleh tangan berhiaskam tato yang jauh lebih besar darinya. Tangan yang sama, menggenggam miliknya kemarin, menimbulkan getaran yang sama di dalam dada.
“Beracun.”
“Nggak gue makan.”
“I’m not taking the slightest chance.”
“Why? Gue musuh lo, your family hates mine, and vice versa.”
“Lo ngerasa begitu? Dari kemarin sama gue, lo ngerasa gue benci?”
Luna kehilangan aksaranya, terutama ketika netranya kembali bersitatap dengan milik Seven. Why does he look at her like she's his whole universe?
“You can help your family achieve more by killing me, you know,” suara Luna semakin pelan, karena entah mengapa, tubuhnya justru bergerak semakin dekat dengan Seven, menyisakan jarak yang semakin tipis.
“There are many other things I’d like to do to you, Luna, but killing obviously far from it.”
“Seven… I…”
“Ssshh… don’t overthink it, live the moment."
Perlahan kedua kelopak matanya menutup, mengundang Seven untuk semakin menundukkan kepalanya, sedikit lagi, hanya satu tarikan nafas sebelum labium keduanya bertemu.
“There you are!”
Seven dan Luna sontak bergerak mundur mendengar suara yang memanggil dari ujung labirin, sebelah kiri.
“Lunetta, aku cari kemana-mana, nggak tahunya tunanganku lagi sama adikku?”
“Tunangan?”
“Yea, gue belum cerita ya, Sev? We are getting married. Tonight’s dinner is to decide the date,” jawab Tristan sebelum meraih tangan kanan Luna untuk mengecup punggung tangannya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
