Jodoh Terbaik - BAB 13-14

0
0
Deskripsi

[Romance - Spiritual]

Jodoh? Siapa yang tau kita akan berjodoh dengan siapa. Tapi, sebagai hamba-Nya kita harus selalu memantaskan diri menjadi yang lebih baik. Karena yang baik akan Allah sandingkan dengan yang baik pula,  begitulah janji Allah.

Lalu bagaimana dengan Arkan yang terpaksa harus menikahi Ayesha, wanita asing yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Wanita yang jauh akan dari kata baik. Sedangkan dirinya telah mengkhitbah seseorang yang selama ini namanya selalu terucap dalam setiap sujud...

Part 13 : Bagian Masa Lalu

Sudah satu bulan berlalu, kehidupan rumah tangga Arkan dan Ayesha semakin membaik. Kini Ayesha hanya memiliki tantangan untuk merebut hati mertuanya yang  hingga saat ini belum bisa menerima keberadaannya. Sudah sebulan ini juga Ayesha tak berhenti berusaha mengambil hati mertuanya itu. Beberapa kali ia berkunjung ke rumah mertuanya hanya sekadar membantu memasak ataupun membawakan makanan kesukaan mamanya.

"Sayang, nanti antarkan makan siang untukku ya di kantor," seru Arkan yang sedang menatap pantulan dirinya sendiri di cermin sedang memakai dasi.

Pipi Ayesha memerah mendengar Arkan yang memanggilnya sayang. Walaupun panggilan itu dulu yang sangat ia harapkan, ternyata mendengarnya langsung membuat ia merasa malu dan geli. Ia masih belum terbiasa. Namun tak ayal hatinya berseru bahagia. Kini ia yakin Arkan sudah benar-benar menerimanya sebagai istrinya. Meskipun Arkan belum pernah menyatakan cinta padanya. 

"Siap, Mas. Kamu ingin dimasakkan apa?" balas Ayesha sambil mengacungkan kedua jempolnya seraya tersenyum sumringah.

"Apa aja asal masakan kamu aku suka," bahkan sekarang Arkan begitu senang menggoda Ayesha. Melihat pipi memerah Ayesha karena malu-malu sudah menjadi candu. 

"Berhenti menggodaku, Mas," gerutu Ayesha.

"Bukankah kamu menyukainya?" goda Arkan kembali dengan menaik turunkan kedua alisnya sambil menatap wajah manyun istrinya itu. Lalu keduanya terkekeh kecil. Ahh... Mereka seperti anak muda yang sedang kasmaran. 

"Ya sudah, saya berangkat dulu," pamit Arkan. Lalu Ayesha mencium punggung tangan Arkan dan kemudian Arkan mencium kening Ayesha. Ayesha mengantarkan Arkan hingga mobil yang dikendarai suaminya itu mulai menghilang dari jangkauannya. 

Ayesha kembali merasa bersyukur dan beruntung. Kenekatannya dulu untuk membuntuti Arkan membuahkan hasil. Kehidupannya benar-benar berubah sekarang. Terasa  sangat indah dan berwarna. Semoga akan selamanya seperti itu. Harap Ayesha.

Ia sekarang sudah menjadi wanita yang berbeda dari sebelumnya. Hampir setiap akhir pekan Arkan membelikannya buku bacaan baru tentang tokoh-tokoh wanita teladan. Perlahan demi perlahan ia berhijrah menjadi wanita salihah. 

Ya Allah, izinkan aku mendampingi suamiku hingga Engkau mengambil nyawaku

***

"Wah, kesambet apa lo bos pagi-pagi  udah senyum-senyum sendiri," seru Ikhsan yang secara tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Arkan tanpa salam.

"Ada apa?" tanya Arkan datar.

"Pasti abis dapet jatah nih," Ikhsan tak berhenti menggoda. 

Wajah Arkan memerah padam. Ia melemparkan sebuah bolpen ke arah Ikhsan, "lo kayaknya emang harus buru-buru nikah deh, San."

"Lamar adek, Bang." 

Arkan bergidik ngeri. Kemudian mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal karena tingkahnya. 

"Sudah-sudah jangan bercanda terus, apa jadwalku hari ini?" tanya Arkan kemudian.

"Hmm… sebentar,” Ikshan melihat layar Tab di tangannya, “nanti jam delapan ada rapat bulanan. Setelah itu ada pertemuan dengan Mahendra Corp. Sudah itu saja, Pak."

Arkan mengangguk dan melihat jam tangannya yang masih menunjukkan pukul 07.15 WIB. Masih ada sedikit waktu, ia gunakan untuk membaca dan menandatangai berkas penting. Sedangkan Ikhsan sudah kembali ke mejanya sendiri.

Sudah hampir menuju siang, Arkan dan Ikhsan segera kembali ke ruangannya setelah menyelesaikan rapat bulanan karena pihak perusahaan Mahendra Corp sudah menunggunya.

Kedua rahang Arkan mengeras begitu membuka ruangannya dan melihat siapa seseorang di depannya saat ini.

"Kevin Prasetya,” ucap Arkan dengan nada dinginnya, “saya tidak menyangka anda adalah pemilik Mahendra Corp," lanjut Arkan yang mengambil duduk di depan laki-laki yang bernama Kevin Prasetya itu. 

"Hahahaha… jangan tegang begitu, Arkan. Bukankah kita berteman. Saya datang kesini dengan niat yang baik," ucap laki-laki itu angkuh.

"Apa mau anda?" Arkan bertanya dan memberikan tatapan tajamnya pada Kevin. Ia yakin sesuatu yang berhubungan dengan laki-laki itu bukanlah hal yang baik. Ia tak akan pernah melupakan bahwa Kevin lah orang yang telah menjebaknya.  

"Saya dengar kamu sudah menikah, Arkan, mengapa kamu tak mengundang saya?" Kevin justru balas bertanya dan tertawa meremehkan.

"Apa anda ke sini hanya untuk menanyakan hal tidak penting itu?" balas Arkan sengit.

"Tentu saja tidak, Arkan. Bukankah mengobrol ringan terlebih dahulu lebih baik supaya tidak tegang seperti ini. Ayolah…” 

Arkan merubah posisi duduknya yang tadinya menyilang. Kedua tangannya saling menggenggam dan mengepal kuat menahan amarah, "langsung saja kita mulai,” ucap Arkan dingin seperti tak ingin dibantah.

"Baiklah-baiklah, kamu memang selalu serius. Pantas saja perusahaanmu berkembang begitu maju. Saya kesini ingin menawarkan sebuah kerjasama,” laki-laki itu meminta sekretarisnya untuk menyerahkan sebuah map berisi perjanjian kerjasama kepada Arkan, “bagaimana Pak Arkan?" tanya Kevin.

Arkan membuka dan membolak-balik isi map itu asal. Lalu ia berdecih pelan, "maaf perusahaan saya tidak tertarik dengan proyek yang anda tawarkan,” Arkan meletakkan kembali map itu ke meja dan berhenti sejenak, “lagi pula, saya tidak akan pernah  mau bekerja sama dengan tangan-tangan kotor seperti anda. Silakan anda meninggalkan ruangan saya," lanjut Arkan.

Kevin justru tertawa angkuh mendengarnya, "baiklah, anda bisa menghubungi saya jika berubah pikiran," ujarnya dan kemudian segera keluar dari ruangan Arkan.

Baru selangkah, Kevin menghentikan langkahnya, "ah iya lupa, tolong sampaikan salamku untuk istrimu," Kevin memberikan senyum meremehkannya pada Arkan dan kembali melanjutkan langkahnya.

Rahang Arkan semakin mengetat. Ia hanya membalas Kevin dengan tatapan tajamnya.

Belum sempat Kevin membuka pintu, pintu ruangan itu sudah terbuka terlebih dahulu. "Saya minta ma-," ucap seseorang yang membuka pintu itu.

Wajah Kevin seketika menampilkan raut kemenangan seperti baru saja mendapatkan lotre, "hai cantik, akhirnya kita bertemu kembali."

***

Ayesha menyenandungkan salawat kecil sambil menyiapkan makan siang untuk suaminya. Siang ini ia memasak oseng sayur dan ayam goreng. Tak lupa juga sambal terasi kesukaan Arkan.

Setelah selesai menata makanan dalam rantang, Ayesha segera membersihkan diri dan bersiap-siap pergi ke kantor Arkan. Ia melirik sebentar jam di dinding kamarnya yang menunjukkan pukul 10.50 WIB. 

Tak membutuhkan waktu lama, ia sekarang sudah selesai berdandan. Ayesha memilih gamis berwarna coklat susu dengan jilbab senada. Ia hanya memoles wajahnya dengan bedak tipis saja.

Ia pergi ke kantor Arkan dengan menggunakan jasa ojol. Padahal Arkan sudah menawarkan agar dijemput oleh supir pribadi keluarganya. Namun Ayesha menolak dengan alasan tak ingin merepotkan. Setelah sampai di kantor Arkan, ia segera menuju ke meja resepsionis untuk menanyakan ruangan Arkan. Tak banyak yang mengetahui bahwa ia adalah istri Arkan. 

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya pegawai itu ramah.

"Saya ingin bertemu su-, eh maksudnya saya ingin bertemu Pak Arkan," balas Ayesha.

Pegawai itu menelisik penampilan Ayesha yang tengah membawa rantang makanan di tangannya. Lalu ia berubah memandang remeh Ayesha.  

Masa sih ini istri Pak Arkan, batin pegawai itu. 

Tadi setelah rapat Arkan memberi pesan kepadanya agar mengizinkan masuk dan mengantarkan istrinya yang datang menemuinya.  

"Hmm baiklah, ayo saya antar," ucap pegawai itu pada akhirnya. Ayesha mengikuti langkah pegawai itu hingga sampai di depan ruangan yang bertuliskan Chief Executive Officer. Ia tersenyum ramah pada pegawai itu dan mengucapkan terima kasih. 

Ayesha melihat meja sekretaris Arkan kosong. Mungkin sedang istirahat karena sekarang sudah jam istirahat, pikirnya. Tanpa berpikir panjang Ayesha langsung saja berjalan membuka pintu ruangan Arkan. Namun ia begitu terkejut ketika ternyata ada orang yang hendak keluar dari dalam. Ia mendongakkan kepalanya dan hendak meminta maaf.

"Saya minta ma-," ucapannya terhenti. Ia merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak. Ia tercekat seperti kehilangan suaranya. Tubuhnya perlahan bergetar. Tak pernah ia sangka akan bertemu pria itu di ruangan suaminya. 

"Hai cantik, akhirnya kita bertemu kembali." 

Suara laki-laki itu masih terekam jelas diingatan Ayesha. Bayangan-bayangan kejadian yang bagaikan mimpi buruk itu terputar bak film. Laki-laki itu adalah bagian dari masa lalu kelamnya. Mata Ayesha memanas. 

Ayesha berdiri mematung di tempatnya. Ia berusaha sekuat mungkin mengontrol gejolak dalam hatinya. Menyembunyikan kegundahannya saat ini. Namun, seberapa besar ia berusaha justru bayang-bayang itu semakin kuat. Ia merasakan kepalanya yang mulai melayang-layang.

Prang...

Makanan dalam genggaman Ayesha jatuh berserakan. Arkan segera berlari menghampiri setelah mendengar suara keributan itu. Wajahnya sudah dipenuhi kekhawatiran. melihat keadaan istrinya saat ini. Tubuh istrinya  bergetar hebat seperti ketakutan. Hingga akhirnya wanita itu melemas dan jatuh terduduk dalam pelukan Arkan. 

Ya Allah, ada apa lagi ini? Apa sebenarnya hubungan Kevin dengan Ayesha? Apakah ini berhubungan dengan masa lalunya?, batin Arkan ditengah kekhawatirannya. 

Kevin tersenyum puas dengan pemandangan yang ia saksikan saat ini. Untuk pertama kalinya ia melihat Arkan kalah darinya. Laki-laki itu berjalan dengan angkuh meninggalkan mereka. Sebelum itu, ia menepuk bahu Arkan dan memamerkan senyum congkaknya. Kedua mata Arkan memerah menahan amarah menatap kepergian Kevin. Namun ia kembali berfokus pada keadaan Ayesha.

"Sayang, hei..." ucap Arkan sambil memegang bahu Ayesha kuat berusaha menyadarkan istrinya. Namun tak ada tanggapan apapun. Tatapan wanita itu kosong. 

Dahinya berkerut seperti merasakan kesakitan pada seluruh tubuhnya. Tangan bergetarnya memegang kepalanya yang terasa semakin memberat. Ia meringis pelan. "Argh...." teriak Ayesha keras dan kemudian menangis histeris.

"Hei sayang, tenanglah. Istigfar sayang," ucap Arkan lembut ditengah kekhawatirannya dan membawa tubuh rapuh Ayesha ke dalam pelukan.

"Pergi! Pergi! Jangan sentuh aku!" teriaknya seperti orang gila.

Arkan semakin menguatkan pelukannya kala Ayesha mendorong kuat tubuhnya menjauh, "istigfar, sayang... istigfar. Ini saya, Arkan, suamimu."

Ikhsan yang baru saja kembali dari urusannya langsung berlari dengan panik masuk ke dalam ruangan Arkan begitu mendengar jeritan Ayesha, "apa yang terjadi?" tanyanya bingung. Namun ia tak mendapat tanggapan apapun. Arkan hanya menggelengkan kepalanya. Ia pun sebenarnya juga tidak tahu apa yang terjadi pada istrinya. 

"Kumohon menjauh lah, jangan sentuh aku..." suara bergetar Ayesha penuh kesakitan itu benar-benar mengiris hati siapa saja yang mendengarnya. Arkan terus mengelus punggung Ayesha dalam pelukannya dengan lembut. Namun tak memberikan efek apapun. Ayesha meronta dan histeris.

Akhirnya tubuh kecil wanita tak berdaya itu lunglai dalam pelukan Arkan. Ia jatuh pingsan. Arkan segera mengangkat Ayesha dan menidurkannya di sofa dalam ruangannya. 

Ikhsan kembali ke ruangan Arkan dengan membawa segelas air putih dan meletakkannya di meja. Ia tadi sudah menelpon Farhan untuk datang kemari. Dan sekarang Farhan sedang memeriksa keadaan Ayesha. 

"Bagaimana Han? Apa yang terjadi dengan istriku?" tanya Arkan khawatir.

"Sepertinya berdasarkan penjelasanmu, istrimu mengalami trauma psikologis. Tolong jangan menyinggung dulu apapun tentang masa lalunya yang telah terjadi setelah ia sadar nanti. Biarkan dia tenang terlebih dahulu. Jika hal ini terjadi berkelanjutan sebaiknya kamu membawanya ke psikolog, Arkan. Tapi kamu tenang saja, trauma psikologis dapat disembuhkan dengan  bantuan keluarga dan teman. Dia sangat membutuhkan dukungan dari orang terdekatnya, Ar."

Arkan mendengarkan baik-baik setiap kata yang keluar dari mulut Farhan, "trauma psikologis," tcapnya lirih. Ia semakin yakin jika hal ini sangat berhubungan dengan Kevin. Kedua tangannya mengepal kuat.

"San, tolong kamu cari tau semua masa lalu Ayesha dan Kevin."

Ikhsan mengernyitkan dahinya, "apa menurutmu ini ada hubungannya dengan Kevin?"

Arkan mengangguk, "Ya, pasti telah terjadi sesuatu antara mereka."

 

Part 14 : Ana Uhibbuki Fillah

Pagi yang cerah sangat bagus untuk memulai semua aktivitas. Salah satunya adalah olahraga kecil seperti yang dilakukan Ayana dan Nadia saat ini. Mereka sejak tadi lari-lari kecil mengelilingi taman.

"Sudah, Ay... Aku lelah," ucap Nadia dengan napas terengah-engah. Begitu pula Ayana. Mereka menyelonjorkan kakinya duduk di atas rerumputan. 

"Gini nih, ga pernah olahraga. Sekalinya olahraga bentar aja udah kaya orang setengah mampus," celetuk Nadia.

"Hus omongan kamu."

"Hahahaha iya iya bu ustazah, maaf..." balas Nadia sambil terkekeh pelan.

"Abis ini temenin aku ya, Nad," ajak Ayana.

"Kemana?"

"Beli titipan umi," sebelum berangkat tadi Uminya berpesan untuk berbelanja keperluan dapur. Biasanya uminya sendiri yang akan berbelanja, tetapi hari ini uminya sedang ada acara di rumah saudara. Jadilah Ayana yang harus berbelanja. 

Nadia mengangguk menyetujui. Lalu mereka berjalan beriringan menuju supermarket yang tak jauh dari taman itu. Setelah membeli semua daftar belanjaan uminya, Ayana segera membayar di kasir. Sedangkan Nadia pulang terlebih dahulu karena ada urusan mendadak.

"Ah..." teriak Ayana pelan mengaduh kesakitan tatkala ada seorang ibu-ibu di depannya yang tak sengaja menginjak kakinya.

"Astagfirullah, maaf, Nak. Ibu tidak sengaja," ujar ibu itu yang baru saja membayar belanjaan. Dan ketika mundur beliau tidak tau kalau dibelakangnya ada orang. 

"Tidak apa-apa b-, loh Tante Risya," Ayana tersenyum lebar setelah melihat ternyata ibu-ibu itu adalah orang yang dikenalnya. Tante Risya, mamanya Arkan.

"Masyaallah, Nak. Lama Tante nggak ketemu kamu," pandangan wanita paruh baya itu berubah sendu. Tangan keriput itu bergerak menggenggam tangan kanan Ayana lembut,  "bisa bicara sebenta, Nak?"

Ayana menganggukkan kepalanya dan tersenyum santun pada Risya, "bisa, Tante, Ayana bayar belanjaan dulu ya, Tante." 

Risya menunggui Ayana sebentar. Lalu mereka berjalan keluar bersama. Dan disinilah mereka berada, di taman yang tak jauh dari supermarket tadi. 

"Bagaimana kabarmu, Nak?" Tanya Risya memulai perbincangan.

Ayana menolehkan kepalanya menatap Risya. Bibirnya melengkungkan sebuah senyuman, "alhamdulillah, kabar Ayana baik Tante. Tante dan sekeluarga juga baik, kan?" 

Risya tersenyum lega, ia mengambil kedua tangan Ayana dan menggenggamnya, "kabar Tante lebih baik setelah Tante bertemu kamu, Nak,” Risya menepuk-nepuk pelan tangan Ayana dalam genggamannya, “tante benar-benar merasa bersalah kepadamu, Nak. Jujur saat ini Tante masih berharap kamulah yang menjadi menantu tante." 

Ayana menegang mendengarnya, "tante tidak boleh berkata demikian. Sungguh Ayana sudah ikhlas. Semua yang telah terjadi sudah merupakan ketentuan Allah. Justru Ayana sekarang merasa bersyukur, Ayana mendapat banyak pelajaran baru dari kejadian itu, Tante," balas Ayana mencoba memberi pengertian.

Wanita paruh baya itu berkaca-kaca mendengar jawaban dari Ayana, "masyaallah, Nak. Sungguh beruntung sekali laki-laki yang menjadi suamimu kelak. Semoga Allah segera mempertemukan kamu dengan laki-laki sholeh yang lebih baik dari pada Arkan, Nak," harap Risya sungguh-sungguh.

Ayana tersenyum lembut dan mengaminkan doa Risya, "terima kasih, Tante." 

Lalu mereka berpelukan erat seperti baru saja berpisah sekian tahun. Ayana merasa lega setelah pertemuannya dengan Risya. Entahlah perasaannya sekarang terasa lebih ringan. Risya menawarkannya untuk mengantar Ayana pulang. Namun Ayana bersikeras menolakknya dengan alasan ia ada janji dengan teman.

Sesampainya di rumah, Ayana meletakkan belanjaannya di atas meja. Setelah itu menatanya di dalam kulkas. Ia melirik jam dinding sebentar. Ternyata sudah hampir zuhur. Ia segera membersihkan diri dan menunaikan salat. Setelah selesai, ia kembali turun. Ternyata uminya sudah pulang.

"Lhoh, Umi sudah pulang? Katanya sampai sore," bibir Ayana mengerucut pura-pura kesal. Tahu gitu dia tadi ikut Abi dan Uminya ke rumah Pamannya. Bahkan ia tadi sudah merengek-rengek untuk ikut karena ia ingin bertemu dengan sepupunya yang masih berusia dua tahun yang sangat menggemaskan itu. Sedangkan uminya hanya menanggapinya dengan gelengan kepalanya dan terkekeh kecil dengan tingkah anaknya itu. 

"Sudah salat, kan?" tanya Farah.

"Sudah, Umi."

"Yuk bantuin Umi masak."

"Tumben jam segini udah masak?" Ayana mengernyitkan dahinya heran.

"Iya, karena nanti kita akan kedatangan tamu Abi. Eh tamu kamu juga," balas Farah.

"Kok tamu aku juga. Berasa Aya orang penting aja, Umi," Ayana tertawa kecil. Dalam hatinya bertanya-tanya. Sepertinya ia tak memiliki janji dengan siapapun.

"Sudah-sudah nanti kamu juga tahu," Farah berusaha merahasiakannya yang justru membuat Ayana tambah curiga.

***

Ayana memandang pantulan dirinya  dalam cermin. Ia kembali teringat perkataan Haris –Abinya tadi sore. 

"Nak, ada seorang laki-laki yang datang menemui Abi. Dia meminta izin Abi untuk mengkhitbahmu. Dia laki-laki mapan dan insyaAllah baik agamanya. Abi percaya jika dia akan mampu membahagiakan dan membimbingmu menjadi yang lebih baik lagi. Namun Abi tidak ingin memaksakan kamu untuk menerimanya. Abi menyerahkan apapun jawaban kamu terhadap khitbahannya nanti. Abi dan Umi hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik. Kamu bisa memikirkannya baik-baik, Nak. InsyaAllah dia mau menerima apapun hasilnya. Dia akan menyatakannya langsung kepadamu nanti. Jadi, bersiap-siaplah."

Perkataan Abinya itu kembali terputar dalam pikiran Ayana. Sungguh Ayana merasa belum siap. Setelah kegagalan yang pernah ia alami, ia merasa takut untuk berharap lebih lagi. Berharap kepada seseorang yang kelak akan menggantikan tugas Abinya. Ia masih belum siap untuk kembali patah hati. 

Ayana sampai lupa untuk menanyakan siapa nama laki-laki itu saking terkejutnya. Dan  sekarang ia sedang memikirkan bagaimana merangkai kata untuk menjawab khitbahan itu. Haruskah ia langsung menolaknya?

Jantung Ayana seperti dipompa lebih cepat tatkala ia mendengar suara mobil berhenti di halaman rumahnya. Saat ini tangannya terasa sangat dingin, sedingin es. Ia benar-benar gugup sekaligus penasaran. Siapakah laki-laki yang mengkhitbahnya itu. Apakah ia mengenalnya. Tanya Ayana dalam hati.

"Mbak, Abi meminta mbak turun," panggil adik Ayana yang baru saja pulang dari pesantren, mengagetkan Ayana yang masih setia dengan lamunannya. 

Ayana membalas panggilan adiknya dengan anggukan kepalanya. Lalu ia segera beranjak untuk menemui tamunya itu. Ayana mengambil tangan adiknya dan meremasnya untuk menghilangkan kegugupannya.

"Dia ganteng, Mbak. Gak kalah ganteng sama Mas Arkan pokoknya," Ayana memberikan tatapan tajam adeknya yang terkekeh kecil setelah berhasil menggodanya.

Langkah Ayana terasa begitu berat saat menuju ruang tamu. Dari ujung matanya ia dapat melihat laki-laki itu tengah berbincang-bincang dengan Abinya. Ia tak cukup mendengar dengan jelas apa yang mereka perbincangkan. Mereka terlihat sudah akrab sekali. Tempat duduk laki-laki itu yang membelakanginya membuatnya tak dapat melihat siapakah dia. 

Ayana menundukkan kepalanya saat jarak mereka semakin mendekat. Ia merasakan debar di jantungnya yang semakin kuat saja. Farah menghampiri putrinya itu dan menuntun Ayana agar duduk di samping Abinya. 

Ayana mengambil napas dalam dan memberanikan dirinya untuk mendongakkan kepalanya. Dahinya mengernyit, sepertinya ia pernah melihat pria ini. Tetapi ia lupa dimana dan kapan. Ayana terus berusaha mengingat-ingat. Bukankah pria ini adalah teman Arkan. Kalau tidak salah namanya Ikhsan.

Benarkah dia yang melamarku?

"Assalamu'alaikum, maaf tadi ada panggilan penting dari rumah sakit," sebuah suara tiba-tiba menyadarkan kembali Ayana dari lamunannya. 

Dokter Farhan?, pekik Ayana dalam hati. Ia merasakan kepalanya yang tiba-tiba pusing. Kenapa dunia sesempit ini. 

"Tidak apa-apa nak Farhan. Baiklah karena kita semua sudah berkumpul, silakan kamu sampaikan niat baik kamu kepada putri saya langsung. Seperti jawaban saya kemarin, saya serahkan semuanya pada putri saya," ucap Haris.

"Ehm," Farhan berdeham berusaha menghilangkan kegugupannya, "bismillah, sebelumnya saya mau mengucapkan terima kasih banyak karena Om sudah mengizinkan saya untuk mengkhitbah putri Om,” ucap Farhan sambil menatap santun Haris yang duduk di depannya. Lalu tatapannya beralih kepada Ayana, “dan Ayana, mungkin kamu terkejut dengan kedatangan saya. Seperti yang sudah Om Haris katakan, saya bermaksud melamar kamu untuk menjadi istri saya, menjadikan kamu sebagai pelengkap separuh agama saya. Apakah kamu bersedia menghabiskan sisa hidup kamu bersama saya?" Farhan bernapas lega setelah berhasil mengucapkannya. Matanya masih menatap lekat Ayana di hadapannya. Gadis itu duduk diapit oleh kedua orang tuanya.

Ayana tertunduk mendengarkan setiap kata yang diucapkan Farhan. Hingga tepukan lembut Farah di tangannya menyadarkannya. Pikiran gadis itu entah kemana. 

Ayana memandang Farhan yang tengah menatapnya penuh harap dengan ragu, "A Aya," Ayana gugup. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia merasakan kebimbangan di dalam hatinya.

"Katakan saja, Nak. Umi dan Abi serahkan semuanya pada kamu. InsyaAllah kami menerima apapun keputusanmu," ucap Farah memberi pengertian kepada Ayana. 

"Aya mau salat istikharah dulu," balas Ayana pelan. 

Ini adalah khitbah kedua yang Ayana dapatkan. Ayana memutuskan untuk salat istikharah terlebih dahulu. Ia tak ingin mengulangi kesalahan yang telah ia lakukan. Dulu ia merasa sombong mengira bahwa Arkan adalah jodoh untuknya. Hingga Allah menegurnya melalui sebuah perpisahan. Ia tidak mau merasakan kembali sakitnya kecewa.

Farhan mengangguk menyanggupi, "baiklah, saya akan menunggu jawaban kamu. Namun jangan tunda untuk memberi tahu saya jika kamu sudah mendapatkan jawabannya."

***

Arkan menengadahkan tangannya, khusyuk berdoa setelah selesai salat tahajud. Namun konsentrasinya terpecahkan kala mendengar rintihan dari seseorang. Arkan menolehkan kepalanya pada ranjang di mana Ayesha sedang tertidur. 

"Tolong jangan sentuh aku," racau Ayesha. Istrinya terihat gelisah dalam tidurnya. Tubuhnya sudah dipenuhi keringat. 

"Sayang," Arkan mengelus kepala Ayesha lembut. Berusaha menyadarkan Ayesha.

Terlihat kerutan di dahi Ayesha. Mulutnya masih mengeluarkan rintihan-rintihan kecil. Lalu tiba-tiba ia  bangun terduduk dan menangis histeris. Arkan dengan sigap membawa tubuh ayesha ke dalam pelukannya. Namun Ayesha terus meronta-ronta dalam pelukan Arkan. 

Sungguh Arkan sangat penasaran dengan apa yang telah istrinya itu alami di masa lalu hingga membuatnya mengalami trauma yang berat. Kesalahannya selama ini adalah tak mencari tahu lebih detail tentang Ayesha. Ia benar-benar merasa berdosa karena tak tahu apapun tentang istrinya itu. 

"Tenanglah, Sayang. Ini saya. Arkan," ucap Arkan lembut. Lalu ia memberikan ciuman di dahi Ayesha penuh kasih.

Ayesha sedikit tenang setelah mendengarnya. Ia meremas kemeja Arkan kuat. Tubuhnya masih terasa bergetar dalam pelukan Arkan.

Mengapa ketika ia sudah bisa melupakan masa lalu kelamnya, justru bayang-bayang itu kembali lagi seolah menertawakan dirinya. Bersamaan dengan seorang pria bejat yang telah menghancurkannya. Ia kembali merasakan seolah takdir kembali mempermainkannya. 

"Istigfarlah, Sayang," ucap Arkan sambil menuntun Ayesha agar beristighfar. 

Tak lama kemudian Arkan merasakan tubuh Ayesha yang sudah tenang. Arkan merenggangkan pelukannya. Ia memandang wajah Ayesha lekat dan menghapus air mata Ayesha. Kemudian ia memberikan segelas air putih pada Ayesha.

"Mimpi buruk?" tanya Arkan setelah meletakkan kembali gelas itu di nakas.

Ayesha membalas dengan menganggukkan kepalanya pelan. Lalu matanya menatap Arkan dengan sendu, "Mas," panggilnya lirih.

"Kenapa sayang? Kamu butuh sesuatu?" Arkan memberikan senyumannya yang begitu menenangkan kepada Ayesha.

"Kamu tidak akan meninggalkanku kan?" tanya Ayesha. Matanya kembali berkaca-kaca. Kemudian kembali menitikkan air matanya. Ia benar-benar rapuh.

"Kenapa saya harus meninggalkanmu?” balas Arkan sambil menyelipkan rambut yang menutupi mata Ayesha ke telinga kanannya, “bukankah kita sudah berjanji untuk berjuang bersama-sama, hmm? Saya berjanji tidak akan meninggalkanmu." Lanjutnya.

Cupp

Arkan mengecup kening Ayesha lama. Kemudian dilanjutkan mengecup kedua mata Ayesha bergantian, dan terakhir memberikan ciuman pada bibir Ayesha dengan lembut. Arkan melepaskan ciuman itu dan menatap lekat kedua mata Ayesha yang tampak menyimpan banyak kesedihan.

"Saya adalah suamimu. Sudah seharusnya saya selalu berada di sisimu, Ayesha. Saya tidak akan membiarkan setitik air matapun jatuh kembali dari kedua mata indahmu ini,” Arkan mengelus kelopak mata Ayesha yang memejam. “Ana uhibbuki fillah. Saya mencintaimu karena Allah, istriku," ucap Arkan lalu mencium kembali dahi Ayesha lama. 

Akhirnya akan menyatakan cintanya kepada Ayesha. Bukan karena ia kasihan. Tapi itulah yang memang Arkan rasakan. Ia telah jatuh cinta kepada Ayesha. Istri yang ia nikahi karena keterpaksaan. Entah sejak kapan cinta itu hadir. Arkan tidak tahu. Sungguh Allah benarlah Sang Maha Pembolak-balik hati manusia. 

Ayesha menangis terharu. Inilah yang selama ini ia tunggu. Tetapi mengapa ia justru merasakan keresahan. Ayesha memeluk Arkan tanpa membalasnya sepatah katapun.

Setelah dirasa tenang, Arkan merenggangkan pelukannya, "bersihkanlah dirimu dulu, sebentar lagi shubuh. Kita salat berjamaah," ucap Arkan.

Ayesha menghapus air matanya yang masih tersisa dan mengangguk menuruti perkataan Arkan.

Dalam keheningan, mereka melaksanakan salat subuh dengan khusyuk. 

"Ya Allah... Ampuni dosa-dosa kami, maafkan segala khilaf kami, luruskan niat kami, sucikanlah hati kami, bimbinglah jalan kami, lindungi kami dari segala tipu daya syaitan, agar kami dapat menapaki jalan baru ini, demi menggapai ridho-Mu." itulah doa yang Arkan munajatkan setelah salat.

Ayesha mengaminkannya pelan. Ia mencium punggung tangan Arkan. Air mata terasa membasahi tangan Arkan. Ayesha merasa berat untuk menahan tangisnya. Arkan memeluk kembali tubuh rapuh istrinya sambil memberikan tepukan halus di punggungnya. Membiarkan istrinya menangis di dalam pelukannya. Mungkin dengan itu bisa membuat sedikit hatinya tenang. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Jodoh Terbaik - BAB 15-16
0
0
[Romance - Spiritual]Jodoh? Siapa yang tau kita akan berjodoh dengan siapa. Tapi, sebagai hamba-Nya kita harus selalu memantaskan diri menjadi yang lebih baik. Karena yang baik akan Allah sandingkan dengan yang baik pula,  begitulah janji Allah.Lalu bagaimana dengan Arkan yang terpaksa harus menikahi Ayesha, wanita asing yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Wanita yang jauh akan dari kata baik. Sedangkan dirinya telah mengkhitbah seseorang yang selama ini namanya selalu terucap dalam setiap sujud terakhirnya.Apakah benar Ayesha lah jodoh terbaik yang Allah kirimkan untuknya ataukah Allah mengabulkan doanya dengan menjodohkan dirinya dengan seseorang itu?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan