
[Romance - Spiritual]
Jodoh? Siapa yang tau kita akan berjodoh dengan siapa. Tapi, sebagai hamba-Nya kita harus selalu memantaskan diri menjadi yang lebih baik. Karena yang baik akan Allah sandingkan dengan yang baik pula, begitulah janji Allah.
Lalu bagaimana dengan Arkan yang terpaksa harus menikahi Ayesha, wanita asing yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Wanita yang jauh akan dari kata baik. Sedangkan dirinya telah mengkhitbah seseorang yang selama ini namanya selalu terucap dalam setiap sujud...
Part 11 : Memulai Kembali Bersama
Akhir pekan memang waktu yang banyak dimanfaatkan untuk bermalas-malasan, termasuk Ayana salah satunya. Ia sedari bangun pagi setelah melaksanakan sholat subuh hanya berada di atas kasur sambil membaca novel kesukaannya. Tak lupa juga dengan setoples camilan yang menemaninya.
"Ayana..."
Mendengar suara uminya memanggil, Ayana lantas menutup novelnya dan langsung menuju ke bawah.
"Iya, ada apa Umi?" tanya Ayana dengan nafas memburu karena berlari menuruni tangga.
Uminya hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan putrinya ini. Sudah dapat ditebak apa yang Ayana lakukan jika berdiam diri di dalam kamar, "kamu ini loh anak perempuan jam segini baru bangun."
"Ih.. Aya udah bangun dari tadi kok," belanya.
"Kok ga bantuin Umi masak."
"Hehe, iya Umi. Maaf," balas Ayana sambil menyengir kepada uminya.
"Ya sudah, Umi minta tolong belikan kecap sama minyak goreng ya."
"Siap, Umi," seru Ayana bersemangat.
Ayana mengendarai motornya dengan hati-hati menuju supermarket yang tak jauh dari rumahnya. Selain membeli pesanan uminya ia juga berniat membeli beberapa cemilan juga. Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan Ayana segera menuju kasir.
Ia mengantri di belakang seorang pria dengan tubuh tegap yang juga tengah menunggu antrian. Dari postur tubuhnya sepertinya ia mengenalnya. Dahinya berkerut mengingat-ingat siapa kira-kira pria ini. Sedetik kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ah tidak penting juga…, batinnya.
"Ayana..."
Terdengar suara seseorang yang memanggilnya. Merasa namanya dipanggil, Ayana lantas mendongak. Sedetik kemudian matanya melebar, ternyata pria di depannya ini adalah dokter pembimbingnya.
"Dokter Farhan," sapanya kembali. Ia benar- benar tidak menyangka bahwa dirinya akan bertemu dokter Farhan disini. Ia merasakan tubuhnya yang memanas karena menahan malu. Ia menunduk melihat penampilannya kembali yang hanya menggunakan rok dan kaos yang tertutupi jaket serta jilbab instan. Rumahan sekali.
"Rumahmu di sekitar sini?" tanya Farhan.
"Eh? I..iya, Dok," jawabnya canggung. Entah kenapa ia selalu merasakan jantungnya yang berdegup tak normal saat bertemu Farhan. Padahal Farhan bukan tipe orang yang dingin.
Farhan mengangguk. Kemudian ia membayar belanjaannya karena sudah tiba gilirannya, "mbak, air mineralnya dipisah ya sama ini," ucap Farhan pada kasir.
"Saya duluan ya. Assalamu'alaikum," pamit Farhan pada Ayana.
"Wa'alaikumsalam," balas Ayana. Akhirnya ia bisa bernafas lega setelah kepergian Farhan. Ia segera membayar belanjaannya dan pulang.
Saat ia akan memakai helm, matanya melihat ada keresek yang tergantung di motornya. Perasaan tadi tidak ada. Ayana lantas membukanya. Matanya kembali melebar. Inikan belanjaan dokter Farhan tadi. Ia juga menemukan secarik kertas di dalamnya.
'la tahzan innallaha ma'ana'
***
Seharian ini Ayesha banyak diam sejak ia bertandang ke rumah mertuanya. Ia hanya berbicara seperlunya kepada Arkan. Bahkan ia selalu menghindari bertatap muka dengan Arkan. Hingga pada malam ini, ia kembali termenung menatap langit malam yang terlihat gelap seakan tau dengan kondisi hatinya. Semilir angin malam yang menusuk hingga ke tulang-tulang pun ia abaikan.
Sudah sepekan ini juga ia selalu dihantui kilasan-kilasan masa lalunya yang begitu menganggu pikirannya. Masa lalu yang sampai kapan pun tak akan pernah bisa hilang dari ingatannya walau sekuat apapun ia berusaha untuk melupakan. Ingin sekali rasanya ia pergi saja dari dunia ini. Ia takut Arkan akan meninggalkannya saat dia mengetahui betapa kelam masa lalunya. Ia tak ingin kembali merasakan betapa pedihnya kehilangan.
Ya Allah, aku pernah ingkar kepada-Mu. Aku juga pernah melupakan-Mu. Apakah aku masih berkesemapatan mendapat maaf-Mu. Apakah aku masih pantas untuk mendapat nikmat-Mu.
Arkan yang baru saja masuk ke dalam kamarnya melihat istrinya yang tengah termenung di balkon kamar. Ia menghela napas pelan. Hati kecilnya berkata jika ada sesuatu yang disembunyikan istrinya itu. Banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepalanya sejak pengakuan Ayesha di rumah kedua orang tuanya. Namun ia hanya memilih diam. Ia menunggu hingga Ayesha mau untuk bercerita padanya.
"Apa kamu tidak merasa kedinginan?" tanya Arkan sambil memakaian selimut pada Ayesha dan memeluknya dari belakang.
Ayesha hanya menolehkan kepalanya sebentar dan hanya menggeleng pelan sebagai balasan. Ia kembali menatap langit gelap itu dengan sendu. Mereka saling terdiam cukup lama. Saling menyelami perasaan mereka masing-masing yang kian rumit. Meskipun hawa dingin yang kian terasa menusukpun mereka tetap abai.
"Apa yang sedang mengganggu pikiranmu?” tanya Arkan memecah keheningan. “Apakah ucapan mama menyakitimu?" lanjutnya begitu tak mendapat jawaban dari Ayesha.
Ayesha lantas menoleh dan menatap Arkan sendu, "apa Mas memercayaiku?"
Arkan balas menatap Ayesha lekat, "saya tidak tau apa yang kamu pikirkan saat ini. Saya merasa ada suatu hal yang tak ingin kamu ceritakan kepada saya. Tetapi apapun itu, saya berharap kamu tidak akan pernah mengecewakan saya. Karena saya percaya padamu. Saya akan menunggunya hingga kamu mau bercerita kepada saya."
Mata Ayesha memanas, "terima kasih." Ayesha lega mendengarnya hingga ia meneteskan air matanya kembali.
Tangan Arkan bergerak menghapus air mata itu dengan penuh kasih, "maaf saya belum bisa menjadi suami yang baik untuk kamu," ucapnya dan membawa Ayesha ke dalam pelukannya.
Di bawah langit malam yang kelam, sang rembulan menyembunyikan sinarnya, mereka berdua berpelukan saling meresapi perasaan masing-masing. Arkan semakin mempererat pelukannya berusaha menyalurkan kekuatannya pada Ayesha.
Hingga saat ini ia masih belum tahu bagaimana masa lalu istrinya. Hanya sedikit informasi yang ia ketahui. Namun begitu, ia terus meyakinkan hatinya bahwa Ayesha adalah perempuan baik. Mungkin Ayesha sangat membutuhkan bimbingan dan dukungan darinya.
Arkan memejamkan matanya. Meresapi setiap momen bersama dengan Ayesha.
Ya Allah, Ya Rabbi, Sang Maha Pembolak-balik hati. Jika memang dia lah jodoh terbaikku, lekas tumbuhkanlah cinta di hatiku untuknya.
***
Arkan baru saja kembali dari salat subuh berjamaah di masjid. Ia memandang wajah Ayesha yang tampak tenang tenggelam dalam mimpinya. Ia membiarkan saja istrinya itu karena Ayesha baru bisa tidur jam 2 dini hari. Untung perempuan itu sedang halangan.
Lagi-lagi Arkan harus menghela napas berat karena munculnya pertanyaan-pertanyaan tentang Ayesha di kepalanya. Arkan begitu penasaran. Mengapa istrinya begitu tertutup dengan masa lalunya. Kecurigaannya pada Ayesha yang telah ia lupakan kini hinggap kembali. Ia semakin yakin jika ada sesuatu yang disembunyikan perempuan itu.
Hari ini Arkan memiliki rencana akan mengajak Ayesha jalan-jalan. Mungkin dengan begitu bisa sedikit membuat Ayesha tenang. Dan ia mau terbuka kepadanya sebagai suaminya.
Setelah selesai membuat sarapan, Arkan lantas menuju kamar mereka untuk membangunkan Ayesha. Arkan membuka gorden hingga sinar matahari yang sudah terbit sempurna memasuki tiap-tiap sudut kamar mereka. Namun ternyata hal itu tak mengganggu tidur nyenyak Ayesha. Sangat lelahkah istrinya itu. Pikir Arkan.
"Hei, bangun, Sayang," ucap Arkan sambil merapikan rambut Ayesha yang menutupi sebagian wajahnya. Lalu ia mengelus lembut pipi istrinya itu.
Ayesha mengernyitkan dahinya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya menyesuaikan cahaya yang menyilaukan mata. Tubuhnya menggeliat pelan. Begitu membuka matanya dengan lebar ia disuguhkan pemandangan wajah Arkan yang kini sedang menatapnya dengan lembut.
"Astagfirullah, aku kesiangan Mas," pekiknya kemudian.
Ayesha lantas langsung terbangun dan berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sedangkan Arkan yang melihatnya hanya terkekeh kecil. Ternyara hidup bersama Ayesha beberapa bulan saja sudah membuatnya terbiasa dengan kehadiran istrinya.
Setelah membersihkan diri, Ayesha terburu-buru menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Namun ternyata Arkan sudah menyiapkannya.
"Maaf Mas kamu jadinya yang masak," sesal Ayesha.
"Tidak apa-apa, duduklah. Saya membuatkan makanan kesukaan kamu," balas Arkan terseyum, "makanlah yang banyak," Arkan menyendokkan masakannya ke dalam piring Ayesha dengan porsi yang banyak.
Ayesha mengangguk senang dengan perlakuan manis Arkan padanya. Pagi ini mood-nya sudah membaik. Ia sudah pasrah jika memang rahasianya suatu saat nanti diketahui oleh Arkan. Bagaimanapun Arkan berhak tahu. Ia hanya perlu mempersiapkan hatinya jika sewaktu-waktu Arkan memang memilih untuk meninggalkannya.
"Kalau makan jangan sambil melamun," tegur Arkan.
"Eh... Iya," Ayesha terkekeh kecil.
"Setelah ini kamu siap-siap ya."
Ayesha mengernyitkan dahinya heran, "siap-siap? Memang kita mau kemana?"
"Hmmm nanti kamu tau," balas Arkan dengan senyuman kecil di sudut bibirnya.
"Mas nggak kerja?"
"Saya izin hari ini. Selesaikan dulu sarapanmu."
***
Di sini lah mereka sekarang, di salah satu villa milik keluarga Arkan di kawasan puncak Bogor. Villa ini tidak di sewakan, hanya digunakan sesekali untuk menginap jika keluarga mereka sedang berkunjung ke sini saja. Walaupun jarang dikunjungi, tetapi Villa ini tampak bersih dan terawat karena ada tiga orang yang dipekerjakan orang tua Arkan agar merawatnya.
"Wah disini sejuk sekali," ucap Ayesha dengan mata terpejam menikmati kesejukan yamg disajikan alam.
"Kamu pernah ke sini?"
"Belum, ini pertama kalinya aku kesini," balas Ayesha dengan sumringah.
"Di dekat sini ada kebun teh. Mau kesana?"
Mata Ayesha berbinar, ia lantas mengangguk bersemangat.
"Ayo," Arkan menggandeng tangan Ayesha erat.
"Wahhh ini indah sekali, Mas," Ayesha benar-benar terkagum-kagum dengan pemandangan alam yang disuguhkan. Perkebunan teh yang hijau dan sejuk serta pemandangan pegunungan yang sangat indah. Cukup untuk sekedar melepaskan penat di kepala.
"Kamu senang?" tanya Arkan.
Ayesha menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebar.
Arkan menatap wanita di hadapannya itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Lalu ia mendekati tubuh Ayesha yang membelakanginya dan memeluknya dengan sayang.
"Mari kita berjuang bersama-sama setelah ini,” bisiknya di telinga kanan Ayesha. Ia dapat merasakan tubuh istrinya itu yang menegang, “katakanlah jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Mari kita saling terbuka,” lanjutnya.
Arkan berhenti berkata sejenak dan mengalihkan pandangannya pada pemandangan perkebunan yang menyejukkan, "saya pernah merasakan suatu ketika dunia ini berlaku tak adil kepada saya. Ketika saya beranjak dewasa, saya jatuh cinta pada seseorang. Kamu pasti tahu seseorang itu, wanita periang, tangguh, dan cerdas. Saya melamar wanita itu tepat sebelum saya pergi ke Singapura lima bulan yang lalu. Harusnya kami menikah bulan depan."
Ayesha menolehkan kepalanya menatap tepat kedua mata Arkan dengan sendu. Ia merasakan hatinya seperti tertikam oleh benda tajam. Ia kembali merasa berdosa. Ia lah yang menjadi tokoh antagonis disini.
"Tapi ternyata Allah berkehendak lain. Setiap malam saya selalu diliputi rasa bersalah karena melihat dia bersedih karena saya."
Cukup. Ayesha tak mampu mendengar lebih. Matanya memanas hingga akhirnya air mata yang ia tahan pun terjatuh bebas. Ia merasakan hatinya yang kian terhimpit karena penyesalan, "cukup, Mas. Cukup. Hiks... A ak-,"
"Saat itu saya benar-benar merasa seperti seorang pecundang. Dan saya juga merasakan seperti itu sekarang," Arkan berbalik menatap Ayesha yang sudah menangis sesenggukan itu.
"Tolong jangan menangis lagi," ucap Arkan dan menghapus air mata Ayesha, "saat ini, Saya yakin kamulah jodoh terbaik yang Allah kirimkan untuk melengkapi separuh hidup saya, dan satu tetes air mata yang turun dari kedua matamu harus saya pertanggungjawabkan kelak," lanjut Arkan lalu membawa tubuh Ayesha yang masih bergetar ke dalam pelukannya.
Ayesha semakin tak mampu membendung air matanya yang jatuh kian deras. Kali ini karena hatinya yang membuncah bahagia. Walaupun sebagian kecil ia masih diliputi rasa bersalah. Ia terus menangis terisak di dalam pelukan Arkan.
"Kita akan selalu bersama. Mari kita saling memperbaiki dan mengingatkan mulai sekarang. Kita mulai kembali bersama-sama. Bagaimana hmm?"
Ayesha mendongakkan kepalanya untuk menatap kedua mata Arkan, mencari kesungguhan dari kata-kata yang laki-laki itu ucapan. Namun ia tak menemukan sedikit keraguan apapun. Ayesha menganggukkan kepalanya dengan bahagia.
"Ya, terima kasih Mas."
Part 12 : The True Love Story
Hari ini adalah hari terakhir Ayana menjalani masa koasnya. Ia mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Menormalkan irama jantungnya yang tiba-tiba tak normal karena akan bertemu dengan Farhan. Hari ini ia berbeda shift dengan Nadia. Sehingga ia harus menemui Farhan sendirian.
"Assalamu'alaikum, Dokter Farhan," sapa Ayana dengan suara lembut khasnya pada Farhan yang sepertinya akan visit ke ruangan pasien. Laki-laki itu tengah bersiap memakai jas dokternya yang membuat ia tampak berkali-kali lipat ketampanannya di mata Ayana. Ayana menggelengkan kepalanya karena pikiran kotornya.
"Wa'alaikumussalam, Aya. Hari ini kamu terakhir koass ya?" tanya Farhan.
"Iya, Dok."
Farhan mengangguk dan memberikan senyumannya pada gadis itu yang sedang menunduk, "baik, kamu hari ini ikut saya visit pasien ya," ujar Farhan.
"Sekarang, Dok?"
"Iya, kamu taruh dulu tas kamu. Saya tunggu di sini."
"I… iya," balas Ayana gugup.
Ayana lantas berlari untuk menaruh tasnya. Farhan tersenyum kecil melihat tingkah Ayana yang menurutnya sangat menggemaskan. Astagfirullah, sepertinya Farhan harus segera menghalalkan gadis itu. Karena ia selalu tak bisa mengontrol dirinya bila didekat Ayana.
Akhirnya tugas Ayana selesai. Hari ini benar-benar sangat melelahkan. Farhan memercayakan semuanya pada Ayana karena tiba-tiba ia mendapat telepon penting. Farhan hanya berpesan untuk menyerahkan laporan pemeriksaannya di ruangannya.
Ketika sampai di depan ruangan Farhan, ia melihat Farhan yang juga sedang menuju ruangannya. Kelihatannya ia baru saja selesai dari ruang operasi. Terlihat terdapat guratan lelah diwajahnya.
"Sudah selesai?" tanya Farhan.
"Sudah, Dok. Ini saya mau menyerahkan laporan pemeriksaannya kepada dokter."
Farhan menerima dan memeriksanya sebentar, "apa tadi ada kendala?"
"Emm tadi saya merasa sedikit kesulitan saat memeriksa pasien di Ruang Melati. Tapi alhamdulillah ada Dokter Risa yang membantu saya."
Farhan tersenyum puas, ia tak salah mempercayai kemampuan Ayana.
"Baik," Farhan melihat jam tangannya sebentar. Ternyata sudah jam setengah 12, pantas saja ia merasakan perutnya yang lapar. Ia tidak sempat sarapan tadi pagi.
"Apa saya sudah boleh keluar, Dokter?" ayana merasa tak nyaman berlama-lama di dalam ruangan hanya berdua saja dengan bukan mahramnya.
"Kamu belum makan siang kan?" tanya Farhan.
"A apa?" Ayana terkesiap mendapat pertanyaan seperti itu.
Farhan tersenyum kecil menyadari kegugupan Ayana, "saya mau mengajak kamu makan siang."
Ajakan Farhan membuat Ayana semakin gugup. Ayana bingung akan menjawab apa, ia sungkan menolak ajakan Farhan tapi tidak mungkin ia hanya makan berdua saja dengan laki-laki itu.
"Tenang saja saya juga mengundang anak lain yang saya bimbing Ayana, termasuk Nadia. Anggap saja ini sebagai salam perpisahan kita," lanjut Farhan begitu melihat kebimbangan Ayana.
Pipi Ayana memerah malu. Tentu saja Farhan tidak mungkin mengajaknya makan hanya berdua. Bagaimana pun ia tau jika Farhan adalah laki-laki yang taat pada agama.
"Baiklah kalau begitu, Dok. Saya mau."
"Alhamdulillah, kita salat zuhur dulu ya. Sebentar lagi azzan. Ayo kita ke masjid."
Setelah sholat zuhur mereka berjalan beriringan menuju tempat makan yang tak jauh dari rumah sakit. Nadia dan lainnya sudah menunggu di sana. Ada lima mahasiswa bimbingan Farhan, dua laki-laki dan tiga perempuan yang mana mereka adalah mahasiswa bimbingannya dokter Hana sebelumnya.
"Aya, sini," teriak Nadia sambil melambaikan tangannya pada Ayana yang baru saja masuk ke dalam tempat makan itu.
Ayana lantas mencari sumber suara itu dan berjalan cepat mendahului Farhan menuju mereka begitu menemukan keberadaan Nadia dan yang lainnya. Farhan terkekeh kecil melihat Ayana. Farhan rasanya benar-benar telah menjatuhkan hatinya pada gadis itu.
"Assalamu'alaikum, sudah lama?" tanya Ayana begitu sampai di meja tempat mereka berkumpul.
"Belum kok, Ayana. Kita baru saja sampai," kali ini Argan, salah satu teman koass Ayana yang menjawab.
Ayana mengambil duduk di samping Nadia, sedangkan Farhan duduk di depannya.
Mereka menikmati makan siang dengan santai, sesekali lontaran candaan keluar. Ayana hanya diam saja sesekali ia ikut tertawa kecil jika menurutnya itu lucu. Farhan senang melihat gadis itu dapat kembali ceria. Pertama kali ia bertemu Ayana ia selalu melihat wajah sendu gadis itu. Dan ia telah mengetahui penyebabnya. Sepertinya Farhan harus segera mengambil tindakan.
"Kalian kapan ujiannya?" tanya Farhan.
"Dua bulan lagi, Dok."
Farhan mengangguk, "semoga diberi kelancaran dan kemudahan ya, jangan lupa banyak berdoa."
"Iya, dokter Farhan. Kami berterima kasih sekali atas bimbingannya selama satu bulan ini," balas Ayana tulus.
"Sama-sama, semangat ujiannya ya," Farhan memberikan senyuman manisnya pada Ayana.
"Ayana doang ini dok yang disemangatin?" goda Argan dan semuanya ikut menyoraki. Blush… pipi Ayana seketika memerah. Ah teman-temannya benar-benar membuatnya malu.
***
Arkan baru saja pulang dari kantor pukul setengah tujuh malam sambil membawa sebuah bingkisan di tangan kirinya. Sebelumnya ia tadi mampir ke sebuah masjid untuk salat magrib terlebih dahulu. Kemudian berhenti di salah satu toko untuk membelikan istrinya sesuatu yang insyaAllah bermanfaat menurutnya.
"Assalamu'alaikum," ucap salam Arkan, tetapi tidak ada jawaban dari istrinya. Ia menuju dapur dan melihat makanan sudah tersedia di meja makan. Namun ia masih tak menjumpai keberadaan istrinya.
Arkan melanjutkan langkahnya menuju kamar mereka, terdengar sayup-sayup suara Ayesha yang tengah mengaji walau masih dengan sedikit terbata-bata. Arkan tersenyum bangga, bersyukur dengan perubahan pesat istrinya.
Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Ayesha. Ia menyelesaikan mengajinya. Setelah meletakkan musafnya, ia segera mengahampiri Arkan yang sekarang sedang melepas dasi dan jas yang masih melekat di tubuhnya.
"Kok baru pulang, Mas," ucap Ayesha setelah mencium tangan Arkan.
Arkan tersenyum menatap Ayesha, "iya, tadi banyak kerjaan yang harus Mas selesaikan."
"Mas, mau mandi dulu? Acha siapin air panas dulu ya."
"Tidak usah, biar saya sendiri saja. Kamu pasti lelah mengurus rumah seharian."
Ayesha menggeleng tidak setuju, "tidak, ini sudah menjadi tugasku Mas."
"Baiklah, setelah itu kamu langsung makan saja. Nanti saya menyusul," Arkan mengelus puncak kepala Ayesha dengan gemas. Lalu ia segera berlalu untuk membersihkan badannya.
Setelah menyelesaikan makan malam, mereka sekarang sedang bersantai di ruang keluarga menyaksikan kartun Upin Ipin kesukaan Ayesha. Arkan hanya bisa menggelengkan kepalanya mengalah dengan tingkah istrinya itu. Bagaimana bisa wanita dewasa itu masih menggemari kartun yang seharusnya untuk anak-anak.
"Saya punya sesuatu untuk kamu," ucap Arkan yang baru mengingat bingkisan yang telah ia beli tadi.
Dahi Ayesha mengernyit penasaran, "apa?"
"Ini, bukalah," Arkan mengangsurkan bingkisan itu kepada Ayesha.
Ayesha membuka bingkisan itu perlahan yang ternyata adalah sebuah buku.
"Khadijah, the True Love Story of Muhammad," Ayesha membaca judul buku itu lirih.
"Dalam buku ini dipaparkan tentang kisah kemuliaan Khadijah, istri Rasulullah SAW dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri, ibu rumah tangga serta Ummul Mukminin. Kelembutan hati, kemandirian, ketegasan, keberanian dan kepatuhan serta kasih sayang terhadap suami yang dicerminkan oleh Khadijah merupakan teladan yang harus dipegang teguh oleh para muslimah." ucap Arkan seraya tersenyum memandang Ayesha yang tertunduk merenungi apa yang diucapkan Arkan.
Bisakah ia menjadi wanita seperti Khadijah, sedangkan ia adalah wanita hina yang jauh dari kemuliaan. Banyak dosa-dosa besar yang telah ia lakukan. Saat ini ia kembali merasa jauh dari wanita idaman Arkan. Selamanya ia tidak bisa menjadi istri yang sempurna untuk Arkan. Dan kenyataan bahwa ia bukanlah istri impian Arkan benar-benar membuat rongga dadanya terasa terhimpit.
Tiba-tiba Arkan melihat bahu wanita itu yang bergetar. Ayesha tak kuasa menahan air matanya.
"Hei, kenapa malah menangis? Apakah saya menyinggungmu?" Arkan mengangkat wajah Ayesha agar menghadapnya dan menghapus air matanya.
"Maaf, Mas. Maaf, aku bukanlah istri yang baik untuk kamu. Hiks..." ucap Ayesha dengan suara bergetarnya.
Arkan justru tersenyum mendengarnya, "saya memberi ini bukan bermaksud menyinggungmu. Saya hanya ingin kamu belajar dengan meneladani sifat-sifat mulia beliau. Memang saya pernah menginginkan sesosok istri yang seperti beliau, tetapi kembali lagi bahwa jodoh adalah takdir Allah. Bagaimana pun dan siapapun istri saya, saya yakin dia adalah jodoh terbaik dari Allah untuk melengkapi separuh agama saya. Saya tidak pernah menuntut istri saya menjadi apa yang saya impikan. Saya pun juga bukanlah suami yang sempurna. Saya juga belum bisa menjadi suami yang baik untuk kamu. Jadi, kita belajar memperbaiki diri bareng-bareng ya."
Arkan membawa Ayesha ke dalam pelukannya. Sungguh Ayesha benar-benar bersyukur dipertemukan dengan Arkan.
“Saya yakin, kamu adalah the true love story of Arkan," lanjut Arkan. Dan keduanya pun tertawa kecil bersama.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
