Unbeatable Beauty Chapter 1

0
0
Deskripsi

Dear Beloved Readers, 

Cerita Chapter 1-5 bisa dibaca free di Wattpad Unbeatable Beauty, ya.. ^^

***

Unbeatable Beauty

Arkeila, yang berkeras dipanggil Kei, paling anti dengan hal kecewekan. Bahkan, dia akan menghajar siapa saja yang berani menyebutnya  cewek. 

Dylan adalah sahabat Kei. Dia sudah sangat mengenal Kei. Dia tahu apa hal yang paling dibenci cewek itu. 

Sedangkan Rei, termasuk dalam daftar itu. Rei, yang sejak awal memang sudah memperhatikan bagaimana Kei terus berusaha...

Prolog 

 

Cewek berambut merah sepunggung itu menyisir rambut ke belakang dengan tangan. Tatapan jengah dari mata hijaunya terarah pada cowok berambut cepak yang berlutut di depannya. Cowok itu membawa bunga yang tampaknya baru dipetik dari taman sekolah. 

“Gue suka sama lo, Kei. Tolong terima gue jadi pacar lo.” Cowok itu berkata seraya menunduk, tak berani menatap langsung ke mata si cewek berambut merah. 

Decakan lidah kesal dari cewek itulah yang akhirnya membuat cowok itu mengangkat wajahnya. Tampak jelas kecemasan di sana. 

“Kalau nembak cewek, tuh, yang benar, dong. Masa ngelihat wajahnya aja nggak berani.” Komentar itu datang dari cowok bertubuh tinggi yang berdiri di sebelah cewek berambut merah tadi. “Lo lagi nyatain cinta atau lagi di-bully, sih? Ekspresi lo ekstrim banget,” lanjut cowok itu, terdengar geli. 

“Gue … gue …” 

“Lo bisa ngalahin gue?” tantang cewek berambut merah. 

“Eh? Ngalahin … lo?” Cowok berambut cepak tadi tampak semakin cemas. “Ngalahin … gimana?” 

“Ya, berantem gitu. Minimal, bikin gue jatuh ke tanah, lah,” kata cewek berambut merah seraya mengetukkan kaki ke lapangan basket. 

Ketika melihat tatapan ragu cowok berambut cepak itu, si cewek berambut merah melanjutkan, 

“Kalau nggak, kalahin dia, deh, main basket.” Cewek itu mengedikkan kepala ke arah cowok di sebelahnya. “Kalau lo menang, lo bisa jadi pacar gue.” Setelah mengatakan itu, si cewek berambut merah menepuk bahu cowok tinggi di sebelahnya. Lalu, dia meninggalkan lapangan basket tanpa menatap cowok berambut cepak yang tampak kecewa itu. 

Cowok bertubuh tinggi di depannya, Dylan, mendesah berat. Dia membaca name badge cowok malang itu.

“Dito.” 

Cowok cepak itu, Dito, mengalihkan tatap dari punggung cewek berambut merah tadi. 

“Terima tantangannya Kei nggak, nih? Mau tanding basket lawan gue, nggak?” Dylan mengingatkan. 

“Eh … itu …” Dito tampak ragu. Perlahan dia berdiri. “Kalau lawannya elo, gimana gue bisa menang?” desahnya kecewa, putus asa. 

“Trus? Mau tanding lawan Kei aja?” tawar Dylan dengan baik hatinya. 

Mendengar itu, Dito bergidik. “Bisa-bisa gue langsung masuk UGD, ntar,” katanya ngeri, sebelum melarikan diri dari tempat kejadian. 

Dylan mendengus geli. “Gitu berani nembak Kei. Udah tahu bakal habis dihajar Kei juga,” Dylan berkata geli seraya menyusul cewek berambut merah tadi, Kei. 

Arkeila Putri Dewi sudah menjadi sahabatnya selama empat tahun terakhir ini. Lebih tepatnya, Dylan menjadi salah satu pengikut Kei sebelum akhirnya bisa menjadi sahabat cewek itu. 

Memang, Kei bukan cewek biasa. 

***

 

One 

No One Can Win Her Heart

 

Saat masuk ke kelasnya di lantai dua, Dylan melihat Kei sudah mengangkat kaki di kursi sebelahnya. Cewek itu bersandar di tembok, matanya terpejam. Dylan mengamati wajah Kei lekat, sadar sepenuhnya bahwa cewek itu cantik, meski dia terkenal mengerikan. Namun, Dylan sudah menyerah akan cewek itu sejak … dua tahun, tidak, tiga tahun lalu. Ketika Dylan tahu, dia tidak akan bisa melindungi cewek itu, dia mundur. Dylan harus mengakui, cewek itu bisa melindungi dirinya sendiri, dengan amat sangat baik. 

“Kei, mau ke kantin, nggak?” teriak Dylan dari depan kelasnya. 

Kei mendesah berat, matanya masih terpejam. “Lo yang traktir?” 

Dylan mendesis kesal. Duit nggak kurang-kurang tuh anak, tapi minta traktir mulu kalau sama gue, omel Dylan dalam hati. 

“Iya, iya,” balas Dylan tak rela. 

Kei akhirnya membuka matanya. “Yang ikhlas, dong. Ntar gue pas makan keselek trus mati, salah lo, ya?” tuduhnya. 

Dylan memutar mata. Ketika Kei akhirnya berjalan ke arahnya, dua murid cewek dan tiga murid cowok mengikutinya. Mereka adalah beberapa dari sekian banyak pengikutnya di sekolah ini. Bahkan para cowok pun mengakui kekuatannya. Memangnya, siapa yang tidak takut padanya? Karate, taekwondo, judo, gulat, dia bisa semuanya. 

Terakhir ada yang menembaknya dan menantang Kei bertanding, dia membanting cowok malang itu dengan teknik judonya. Dia bahkan menghadiahkan armbar[1]pada cowok itu. Hanya orang bodoh dan gila yang nekat menantang Kei bertanding. Meskipun dia cewek, dia benar-benar kuat. Mungkin itu karena sejak kecil, dia dibesarkan dengan kedua kakak cowok, dan dia selalu berteman dengan anak-anak cowok. 

Karena itulah, Kei tidak bertarung dengan cara cewek. Tidak ada menjambak, mencakar, atau berteriak. Hanya pukulan, tendangan, bantingan. Dylan sudah cukup merasakan beberapa dari itu. Terutama low kick-nya. Kei bisa membuat orang berlutut dengan mudah dengan itu. Berlutut secara harafiah.

Di perjalanan menuju kantin utama di lantai bawah, seorang cowok yang tingginya sama dengan Dylan, mungkin satu atau dua senti lebih tinggi, Dylan mengaku dengan tak rela, berjalan ke arah mereka. Kei seketika menghentikan langkah. Ekspresi cowok itu dingin, cuek. Mata tajamnya bahkan tak menatap Kei ketika cewek itu membungkuk sedikit saat dia lewat. 

Kenapa Kei melakukan itu? Kei takut pada cowok itu? Kei tunduk pada cowok itu? 

Salah. Kei meledek cowok itu. Dylan mengenal cowok itu. Rei, Reigan Arjuna Putra. Dulu, dia satu SMP dengan Dylan dan Kei. Bahkan, salah satu anak buahnya pernah menindas Dylan. Ah, ya, anak buah. Karena, dulu di SMP, Rei juga sama mengerikannya dengan Kei saat ini. Hanya saja, sekarang anak itu sudah bertobat. Mungkin. Dia bahkan masuk ke sekolah ini tanpa para pengikutnya. Dan Kei, selalu memanfaatkan setiap pertemuan untuk meledek cowok itu karenanya. 

Ah, dan karena satu poin penting yang hanya dimiliki cowok bernama Rei itu. Dia adalah satu-satunya cowok yang berani menganggap Kei seorang cewek. Bahkan meski Kei sudah pernah sekali membantingnya karena masalah itu dulu, tampaknya sampai saat ini, Kei masih menyimpan dendam pada cowok itu. 

“Lo ngapain sih, gangguin dia terus?” Dylan tak dapat menahan komentar saat mereka kembali berjalan. 

Kei menyeringai. “Lo naksir sama dia? Ngebelain dia mulu. Lupa, dulu pernah diapain sama orangnya dia?” 

Dylan mendecakkan lidah kesal. “Itu kan, dulu. Toh waktu itu juga gue nggak kenapa-napa. Lagian, sekarang dia udah tobat, tuh. Makanya lo juga, tobat. Tahun depan udah kelas dua belas juga,” omelnya. 

“Lo bawel deh, Lan. Lagian, siapa bilang gue tahun depan mau naik ke kelas dua belas?” Kei kembali menyeringai, membuat Dylan melotot. 

“Lo mau nggak naik kelas? Lagi?” 

Kei mengedikkan bahu santai. “Habis, ntar kalau lulus gue bakal dikirim ke luar negeri, sih, sama kakak-kakak gue. Sekolah tata kramalah, sekolah asramalah. Lo tahu kan, mereka emang resek banget. Kayak sekolah biasa nggak cukup aja.” 

“Emang nggak cukup, kalau muridnya kayak elo gini,” tandas Dylan. 

Kei mendecih. “Lihat aja ntar, kalau mereka berani masukin gue ke sekolah tata krama, bakal gue bikin habis, tuh, murid-murid di sana.” 

Dylan mendesah berat melihat tekad Kei. Dia tahu, Kei benar-benar akan melakukannya. Karena sejak dia mengenal Kei, cewek ini tidak pernah hanya sekadar mengucapkan ancamannya. Dia benar-benar melakukannya. Karena itulah, Dylan mendapatkan low kick dari Kei untuk pertama kalinya tiga tahun lalu. Hanya karena Dylan memujinya cantik ketika cewek itu sudah mengingatkan untuk tidak mengatakan omong kosong seperti itu padanya. 

Mungkin di kehidupan sebelumnya, cewek ini adalah panglima perang. Atau mungkin juga, keturunan dewa perang. Karena sungguh, Kei bisa sangat mengerikan. 

***

“Lin, please …” Ekspresi memelas Melly, sahabat dekatnya sejak MOS SMA tahun lalu itu membuat Linsa kesal. 

“Lo sendiri aja kan, bisa sih, Mel.” Linsa kembali menolak. Pasalnya, ini bukan untuk pertama kalinya Melly meminta hal seperti ini, tapi ini yang paling parah. 

Melly menggeleng. “Tengsin, lah, kalau ntar ditolak. Makanya, lo cari tahu dulu. Ntar kalau dia juga suka sama gue, baru deh gue tembak dia. Ya, ya, ya?” 

Linsa mendesis kesal. Dia menatap sahabatnya itu geram. Melly cantik. Tidak akan ada cowok yang menolaknya. Tapi, Melly paling benci ditolak. Karena itulah, Linsa selalu menjadi korbannya. Jika ada cowok yang disukainya, Linsa yang harus mendekati cowok itu dan mencari tahu, apakah cowok itu menyukai Melly atau tidak. 

Padahal, dengan kecantikan Melly, dia bisa mendapatkan cowok mana pun yang dia inginkan. Sepanjang sejarah Linsa melakukan tugas menyebalkan itu untuk Melly, tidak ada satu pun cowok yang tidak menyukai Melly.

“Lo kan, pintar tuh, Lin, lo pasti bisa bikin strategi buat dekatin dia. Kalau gue, belum apa-apa ntar gue ditolak, kan, tengsin, Lin,” rengek Melly. 

“Di mana-mana, kalau masalah naksir atau nggak itu kan urusan penampilan, wajah, bukan otak. Kalau lo mau ikut olimpiade Fisika atau Matematika, baru gue bisa bantuin,” geram Linsa. 

“Tapi masalahnya, lo kan, juga tau, siapa Dylan. Juga … Kak Kei.” Melly ragu di akhir kalimatnya. 

Itulah alasan kenapa ini menjadi tugas terberat Linsa. Kei. Siapa yang tidak tahu dia? Cantik, tapi mengerikan. Dan Dylan adalah orang terdekat Kei. Bukan pacarnya, memang, tapi sahabatnya. Lagipula, Kei cantik, dan Dylan mungkin juga sudah menyukai Kei, melihat betapa setianya dia bersama Kei.

“Trus, lo mau gue gimana, Mell?” desah Linsa, menyerah. 

“Ya, dekatin Dylan, lah. Cari tahu dia udah ada cewek yang disuka belum, trus cari tahu dia tertarik sama gue apa nggak, gitu,” kata Melly dengan entengnya. 

Linsa menatap sahabatnya itu kesal. “Enak lo cuma ngomong doang.” 

Melly meringis. “Bantuin gue, ya? Lo kan, pintar ngomong, supel, enak diajak ngobrol. Makanya, cowok-cowok bisa langsung nyaman kalau dekat sama lo.”

“Yang ada, cowok-cowok itu maunya dekat sama elo, Oneng,” geram Linsa, sebelum bangkit dari duduknya. 

“Mau ke mana?” tanya Melly kaget. 

“Kantin. Gue lapar. Suara lo bikin tambah lapar, pula. Udah untung bukan lo yang gue makan,” omel Linsa, membuat Melly tergelak. 

Linsa masih mengomel ketika keluar dari kelasnya. Karena tidak memperhatikan jalan, dia menabrak seseorang yang berjalan di koridor depan kelas.

“Hei, hati-hati dong jalannya.” Suara lembut orang yang ditabrak Linsa itu membuat Linsa mendongak. Betapa terkejutnya dia saat melihat itu adalah Dylan. Cowok itu tersenyum padanya. 

Dan cewek berambut merah yang di sebelahnya … Kei. 

“Ma … maaf,” gugup Linsa karena Kei menatapnya tajam. 

“Tenang aja, Kei nggak gigit, kok,” Dylan berkata, membuat Linsa kembali menatap cowok itu, kaget. 

Sebelum ini, Linsa tidak pernah memperhatikan Dylan. Tapi, berada sedekat ini, Linsa menyadari kenapa banyak cewek yang begitu tergila-gila pada Dylan. Cowok ini keren, dengan rambut yang selalu ditata sedemikian rupa dan lesung pipi yang membuatnya semakin menghipnotis saat tersenyum. 

“Elo justru yang bahaya,” kata Kei tajam, seketika menyadarkan Linsa dari pikirannya. “Udah tahu mau nabrak orang, bukannya berhenti, malah ditabrakin.” 

Linsa mengerutkan kening. Maksudnya …?

Dylan terkekeh. “Habis, dia lucu, sih,” Dylan berkata seraya menatap Linsa. Lalu, keningnya berkerut. “Kita pernah ketemu ya, sebelumnya?” tanyanya tiba-tiba. 

“Eh? Apa?” Linsa bingung mau menjawab apa. 

“Nggak usah sok ngegombal dan bilang kalian ketemu di mimpi, deh,” komentar Kei seraya memukul belakang kepala Dylan, membuat cowok itu memprotes kesal. “Jelas aja pernah ketemu. Satu sekolah ini. Bego amat nanyanya.” 

Dylan menatap Kei dengan kesal, lalu kembali menatap Linsa. “Lain kali, hati-hati, ya. Gue pergi dulu, monsternya mulai ngamuk. Ntar lo mimpi buruk kalau lihat dia lama-lama.” 

Setelah mengatakan itu, Dylan berlari pergi, membuat Kei berteriak marah ke arah cowok itu dan menyusulnya. Meski begitu, Dylan masih sempat menoleh ke belakang dan melambai ke arah Linsa, membuat bibir Linsa melengkung kecil. Konyol. 

***

Rei menghentikan langkah ketika melihat di depan sana, seorang cewek berambut merah, dipegangi dua cowok di kanan kirinya. Sementara, seorang cowok lain berdiri di depannya. Ketiga cowok itu mengenakan seragam putih abu-abu, tanpa badge SMA Pandhawa. Itu berarti, mereka dari sekolah lain. 

“Lo yang kemarin ngehajar teman-teman gue, ya?” Cowok yang berdiri di depan si cewek berambut merah menginterogasi. 

Cewek itu mengangkat alis santai. “Yang kayak banci itu, bukan? Yang mainnya keroyokan? Ah, kayak lo gini?” 

Amarah membuat wajah musuhnya memerah. 

“Lagian, mereka yang salah. Siapa suruh malakin anak Pandhawa. Nyari mati sama gue?” lanjut cewek itu, masih santai. 

Bahkan dari sini, Rei bisa mengenali cewek itu. Hanya Kei yang bisa melakukan hal seperti itu. Menantang dan meledek ketika dalam keadaan terancam. Itu pun, melawan cowok. 

Sementara, tak jauh darinya, Rei melihat Dylan yang hanya menonton kejadian itu, tanpa berusaha membantu. Di belakang Dylan juga ada beberapa orang pengikut Kei, tapi tak satu pun yang bergerak melihat Kei yang ditawan seperti itu. 

“Lo nantangin gue?” tantang lawan bicara Kei. 

“Nggak juga. Nggak level ini,” balas Kei dengan nada meledek. 

Lawannya tampak semakin marah. 

“Lo anak baru, ya? Nggak tahu siapa gue?” tanya Kei lagi. 

Lawannya mendengus. “Cewek sok jagoan,” kata anak itu meledek. 

Kata kunci yang salah. Jika Rei jadi mereka, dia akan menggunakan empat orang untuk memegangi Kei. Atau bahkan lima orang. Detik berikutnya, Rei melihat bagaimana sorot mata Kei berubah menjadi berbahaya. Lalu, cewek itu memutar lengannya, balik memegangi tangan kedua orang yang memeganginya. Dia lantas mengangkat kakinya dan menendang tepat ke wajah cowok yang memegangi di sebelah kanannya. Cowok malang itu terjengkang setelah pegangannya terlepas. 

Terkejut dengan serangan tiba-tiba Kei, cowok yang masih memegangi tangan kirinya merubah strategi. Dia menyerang Kei dari belakang. Jika Rei jadi dia, Rei tidak akan melakukan itu. Karena kemudian, Kei dengan mudah menangkap lengan penyeranganya, sebelum membanting cowok itu ke tanah. Kini hanya tinggal seorang lawan yang menatap Kei takjub, dan ngeri. 

“Lo … lo … siapa?” Suara anak itu bergetar. 

Kei mendesah berat. “Preman baru nggak usah macam-macam, deh,” Kei berkata seraya mendekati lawan terakhirnya. “Sebelum lo macam-macam sama anak Pandhawa, cari tahu dulu, siapa itu Kei.” 

Ketika cowok itu hendak kabur, Kei melesat menghalangi jalannya. Entah karena terlalu bodoh, panik, atau takut, anak itu menyerang Kei dengan tinjunya. Dengan mudah, Kei menghindar. Tapi, sebagai balasannya, anak itu menerima turning kick dari Kei. Ditambah tendangan tumit di bahu, sempurna menjatuhkannya. 

Sorakan murid-murid SMA Pandhawa yang masih belum pulang demi menonton kejadian itu, menyambut kemenangan Kei. Detik berikutnya, dua orang guru muncul dan langsung meneriakkan nama Kei, 

“Arkeila!” 

Kei tampak tak suka dipanggil dengan nama itu, karena kemudian dia menatap dua guru tadi, Bu Indy dan Pak Eko, dengan tatapan jengah.

“Bapak sama Ibu ke sini mau ngabsen? Ini udah jam pulang, lho,” kata cewek itu tanpa takut. 

Kedua guru itu menatap Kei geram, lalu Bu Indy berkata, “Ikut Ibu ke kantor guru. Sekarang!” 

Hebatnya, Kei tidak menentang. Dengan patuh, dia mengikuti kedua guru itu. Meski Rei yakin, hukuman apa pun tidak akan membuat cewek itu jera. Bahkan mungkin, dia tidak akan melakukan hukumannya. Mengingat hukuman terakhirnya berdiri di lapangan upacara dua minggu lalu justru menjadi kehebohan. Saat itu, Kei mencegat seorang murid cowok yang lewat dan meminta paksa kemeja seragam anak itu untuk dikibarkan di puncak tiang dengan bangganya.

Rei tak dapat menahan dengusan gelinya mengingat kejadian menghebohkan itu. Namun, dia segera memasang ekspresi datar ketika Kei berjalan ke arahnya. Seperti biasa, cewek itu berhenti hanya untuk membungkuk kecil padanya, meledeknya. Rei mengikuti kepergian cewek itu dari sudut matanya ketika dia berlalu, lagi-lagi mendengus geli. Rei tahu dengan pasti alasan Kei melakukan ini padanya. 

***

Kei meremas surat panggilan di tangannya, sebelum melempar gumpalan kertas itu ke tempat sampah terbuka di ujung koridor. 

“Surat Peringatan lagi, Kei?” tanya Dylan. 

“Kalau dibuang ke tempat sampah gitu, ya, namanya sampah, Bego,” cuek Kei. 

Dylan mendesah berat. “Lo nggak bilang ke Bu Indy, kalau tadi anak-anak itu yang nyerang lo duluan?” 

“Emangnya kapan guru-guru pada percaya sama gue? Nungguin sampai lebaran monyet juga nggak bakal ada yang mau percaya sama gue,” dengus Kei.

Dylan meringis. Bukannya tanpa alasan. Kei memang selalu membuat masalah. Bahkan setiap hukuman yang diberikan padanya, bukannya membuat jera, tapi justru membuat para guru semakin pusing. Bagaimana tidak? Saat dihukum membersihkan toilet sekolah, dia justru membawa staf kebersihan dari kantor kakaknya, membuat guru-guru merasa tidak enak kepada orang-orang itu. 

“Lagian, elo, sih, ngapain ngeladenin anak-anak tadi?” omel Dylan. 

“Mereka tuh, yang tahu-tahu datang dan ngeroyok gue,” balas Kei santai. “Trus, gue nggak boleh ngelawan, gitu? Lo mau tanggung jawab kalau gue kenapa-napa?” 

Dylan mendengus tak percaya. “Lo kenapa-napa?” 

Kei menyeringai lebar. “Sori. Gue lupa. Gue kenapa-napa itu cuma fiksi, ya?” 

Dylan memutar mata. “Lo bahkan nggak ngizinin gue ngebantuin lo. Ngancam apa lo tadi? Low kick buat siapa pun yang ikut campur, ditambah turning kick. Cuma orang gila yang mau nantangin kalau lo udah ngancam gitu.” 

Kei tersenyum lebar kini. “Eh, Sabtu besok gue ada balapan. Ntar sore temanin gue ngantar mobil ke Bimo, ya? Biar dicek.” 

Dylan mengernyit. “Sabtu? Ditantang?” 

Kei mengangguk. “Lumayan. Taruhannya gede, lho. Makanya gue terima.” 

“Lo tuh, ya, duit nggak kurang, ngapain ikut kayak gitu buat nyari duit?” protes Dylan. 

“Gue kan, mau ngeringanin beban keluarga gue, jadi gue nyari duit sendiri,” Kei beralasan, membuat Dylan memutar mata. 

“Emangnya kalau kalah, lo mau bayar pakai duitnya siapa?” tantang Dylan. 

“Ya, duit gue sendiri, lah. Minta Kak Gara atau Kak Mada,” sahut Kei enteng. 

“Gitu katanya mau nyari duit sendiri buat ngeringanin beban keluarga. Nyadar nggak sih, bebannya Kak Gara sama Kak Mada itu ya, tingkah lo ini. Sumpah deh, bikin orang stres nggak ada ujungnya, tahu nggak?” cerocos Dylan. 

Kei mengangguk cuek. “Gue bakal berhenti balapan kalau lo bisa ngalahin gue,” tantangnya santai. 

Desisan kesal Dylan adalah jawabannya. Bukan karena Dylan tidak bisa menyetir, atau tidak terbiasa ikut balapan. Dylan cukup hebat dalam adu kecepatan. Tapi, dia juga tahu, Kei lebih hebat lagi. 

***


 


[1] Armbar : Kuncian lengan yang meregangkan sendi siku 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Unbeatable Beauty Chapter 6
0
0
Chapter 1-5 Unbeatable Beauty.***Six She Doesn’t Even RealizeHow Lovely She is Bel istirahat pertama baru saja berbunyi ketika Kei memasuki kelas Linsa. Mengikuti Kei, ada rombongan pengikutnya, minus Dylan, yang sepertinya sudah tak ingin melihat Linsa lagi. Teman-teman Linsa seketika panik melihat kedatangan rombongan yang tidak sedikit itu. Kei berhenti di meja di depan Linsa, mengusir Neli dan Fina, penghuninya. Kei lantas melompat duduk di mejanya, dengan kaki naik ke kursi. Melihat itu, Melly tampak panik, tangannya menarik-narik ujung lengan seragam Linsa cemas. ***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan