This is How You Fall in Love Bab 6-10

0
0
Deskripsi

Chapter 6

Way to the Marriage

 

Karin tak lagi memperhatikan hari setelah tanggal pernikahannya ditetapkan. Hanya dalam sekali makan malam bersama keluarga mama dan papanya, hari pernikahan Karin diputuskan. Begitu pun dengan tempat, undangan, hingga menu makanannya. Zack sudah menyiapkan semuanya dan mau tak mau Karin harus memilih di depan keluarganya. 

Selama beberapa waktu terakhir juga ia hanya mengikuti ke mana Zack mengajaknya pergi, menandatangani beberapa berkas. Karin sungguh tak mau tahu...

Chapter 6

Way to the Marriage

 

Karin tak lagi memperhatikan hari setelah tanggal pernikahannya ditetapkan. Hanya dalam sekali makan malam bersama keluarga mama dan papanya, hari pernikahan Karin diputuskan. Begitu pun dengan tempat, undangan, hingga menu makanannya. Zack sudah menyiapkan semuanya dan mau tak mau Karin harus memilih di depan keluarganya. 

Selama beberapa waktu terakhir juga ia hanya mengikuti ke mana Zack mengajaknya pergi, menandatangani beberapa berkas. Karin sungguh tak mau tahu lagi tentang segala hal tentang pernikahannya. Ia hanya ingin semua ini segera selesai. Karena ia benar-benar benci semua hal tentang persiapan pernikahan yang bahkan tak diinginkannya ini.

Malam itu pun, ketika Zack mengajaknya makan malam di luar, Karin tak memperhatikan menu makanannya. Ia membiarkan Zack memesan untuknya dan makan tanpa mengatakan apa pun. Namun, ketika Karin sudah menyelesaikan makan malamnya, ia menyadari Zack bahkan belum menyentuh makanannya. 

“Kenapa kamu nggak makan?” tanya Karin heran, bingung. 

“Pertanyaan yang sama buat kamu,” balas Zack. 

“Aku makan.” Karin menunduk ke arah piringnya yang sudah kosong. 

“Kenapa kamu bersikap kayak gini lagi?” tuntut Zack. 

“Bersikap gimana?” Karin semakin tak mengerti. 

“Minggu depan kita nikah,” sebut Zack. 

Ah. Minggu depan. 

“Lihat? Kamu sama sekali nggak merhatiin itu, kan? Bahkan waktu kamu milih tempat pesta pernikahan kita, undangannya, semuanya, kamu …”

“Apa yang kamu harapin dari pernikahan ini, Zack? Kamu tahu perasaanku. Dan kamu berharap aku lonjak-lonjak senang karena pernikahan ini?” sinis Karin. 

“Jadi, intinya, kamu setuju sama pernikahan ini, tapi kamu akan tetap nolak aku sama pernikahan ini juga?” dengus Zack. 

Exactly,” sahut Karin enteng. “Finally, we’re on the same page.” 

Zack menarik napas dalam. 

“Kamu bilang, kamu di pihakku,” Karin mengingatkan. 

“Ya.” Suara Zack begitu dingin. Ia pasti sudah sangat kesal. 

Masa bodoh. 

“Semua persiapan pernikahan kita udah beres dan minggu ini aku nggak akan bisa ketemu kamu. Jadi, kita akan langsung ketemu di hari pernikahan kita,” Zack berkata. 

“Tapi, besok lusa kamu harus fitting stelanmu,” beritahu Karin. 

“Kirim aja ke rumahku,” balas Zack. 

“Kalau nanti ukurannya masih nggak pas, aku harus …”

“Aku yang akan urus itu,” potong Zack seraya berdiri. “Kalau kamu udah selesai, ayo pergi.” 

Karin mengerutkan kening. “Tapi, kamu belum makan.” 

“Aku ke sini bukan buat makan. Kamu seharian ini belum makan, kan?” Zack menatap Karin kesal. 

Karin berdehem. 

“Selama kita nggak ketemu nanti, jangan ngelewatin jam makanmu. Kalau kamu sakit, pernikahan ini bisa berantakan. Meskipun itu yang kamu pengen, tapi keluargamu pasti akan kecewa. Jadi, jangan sampai sakit.” Zack mengalihkan tatap dari Karin. 

Karin mendengus tak percaya. “Kamu berani ngomong kayak gini, padahal dulu kamu pernah nawarin aku buat kabur?” cibirnya. 

Zack kembali menatap Karin. “Aku udah ngasih pilihan ke kamu waktu itu. Dan kamu ngelewatin itu. Sekarang, semua udah terlambat. Seharusnya kamu mundur sebelum semuanya dimulai.”

Terlambat? 

Karin bahkan tak tahu apa saja yang telah ia lewatkan. Semuanya terjadi begitu cepat dan ia sudah berada di sini. Tanpa satu pun kesempatan untuk berhenti. Tanpa sedikit pun ruang untuk bernapas. 

***

“Hai, Calon Kakak Ipar!” sapa Marin riang ketika ia dan Juno tiba di rumah Zack malam itu. “Gimana perasaanmu?” Marin tampak antusias ketika mengambil tempat di sofa sebelah Zack. 

Zack tersenyum kecil. “Apanya?” 

“Besok kamu nikah sama kakakku, Idiot. Jadi, gimana perasaanmu? Senang kan, akhirnya bisa nikah sama cinta pertamamu?” Marin mulai menggodanya. 

Zack mendesis kesal. 

“Kak Karin bahkan bilang kalau dia cinta sama kamu.” Marin bersiul pelan. 

Zack tak menanggapi. 

“Jangan sakitin Kak Karin, Zack,” ucap Marin kemudian, dengan nada serius. “Atau, aku beneran akan bikin kamu babak belur.” 

Zack memejamkan mata. 

“Aku bisa percaya kamu, kan?” Marin menyentuh tangan Zack. 

Zack membuka mata dan menatap sahabatnya itu. “Buat orang yang bilang percaya sama aku, kamu nyaris nyekik aku waktu aku nggak sengaja nyium kakakmu. Bahkan, kamu nyaris ngobrak-abrik rumahku waktu tahu kakakmu nginap di sini.”

Marin berdehem. “Kamu tahu lah, betapa polosnya kakakku. Dia nggak tahu apa pun tentang hal kayak gitu, jadi …”

“Dia lebih tua tiga tahun dari kamu, astaga! Dia udah cukup dewasa buat bisa jaga dirinya sendiri,” serbu Zack. 

“Kalau dia nggak berusaha ngehancurin dirinya sendiri setiap kali dia jatuh, aku nggak akan kayak gini. Kamu tahu itu,” sengit Marin. 

“Oke. Sekarang aku yang akan jaga dia, jadi kamu …”

“Kalau kamu sampai nyakitin kakakku …”

“Satu-satunya orang yang bisa ngelakuin itu ke Karin cuma kamu, apa kamu lupa?” sela Zack tajam. “Satu-satunya orang yang dicintai Karin cuma kamu.”

“Dan kamu, sekarang,” tandas Marin. “Jadi, ingat itu.” 

Zack mendengus pelan, tapi tak mendebat. Seolah Karin benar-benar mencintainya. 

***

Karin tak tahu kenapa orang-orang menginginkan pesta pernikahan yang meriah. Ini melelahkan. Luar biasa sialan melelahkan. Karin harus menerima ucapan dari entah siapa saja, bersalaman dengan entah siapa pula itu, dan tersenyum sepanjang waktu hingga pipinya terasa pegal. 

Dan sialan make up tebal yang menutup wajahnya ini. Karin merasa wajahnya seolah tertutup topeng rapat. Belum lagi, tiara di kepalanya yang terasa berat dan mengganggu. Kepala Karin sampai terasa pusing karenanya. 

Meski begitu, di sebelah Karin, Zack tampak baik-baik saja. Rambut ikalnya yang berwarna legam tertata rapi, tak seperti biasanya. Ditambah dengan stelan yang pas di tubuhnya, Zack tampak berbeda. Ia tampak … dewasa. Well, semua pria memang tampak dewasa jika mengenakan stelan. 

Karin segera memalingkan wajah ketika Zack menoleh ke arahnya. Namun, bisikan di telinganya membuat Karin terlonjak kecil. 

“Kamu butuh sesuatu?” 

Karin berdehem, agak menjauhkan kepalanya ketika menoleh pada Zack. 

“Nggak,” ia menjawab, tidak dalam bisikan. 

Zack tersenyum kecil. “Sebentar lagi selesai,” ucap pria itu, seolah bisa membaca pikiran Karin. 

“Aku tahu,” balas Karin pendek. Namun, ia segera menambahkan senyum ketika melihat Marin yang menoleh ke arahnya. 

“Kamu kelihatan cantik kalau senyum, tapi nggak perlu dipaksain kalau kamu capek,” ucap Zack. 

Karin mengerjap. “Nggak juga. Biasa aja,” balasnya cuek. 

Zack tersenyum geli. Senyum yang menyentuh matanya. Untuk pertama kalinya, Karin memperhatikan mata Zack, mempelajari warna mata pria itu. Abu-abu. Iris matanya berwarna abu-abu. 

Senggolan dari belakang Karin membuat Karin seketika terdorong ke arah Zack, sekaligus memutus perhatian Karin pada mata Zack. Karin berjengit kecil ketika tangan Zack menahan kedua lengannya yang terbuka karena gaun tanpa lengan yang ia kenakan. Karin segera menjauhkan diri dari Zack begitu pria itu melepaskannya. 

“Duh, pengantin baru ini, sampai-sampai nggak lihat yang lain selain pasangannya,” canda Marin yang entah sejak kapan sudah berada di belakang Karin. 

Karin menatap adiknya dengan kesal. 

“Maaf, maaf, aku ganggu, ya?” Marin meringis. 

Karin mendesis kesal. Namun, Marin malah tersenyum. 

“Aku bahagia banget hari ini, Kak,” ucap Marin tulus. “Selamat buat pernikahanmu.” 

Kekesalan Karin seketika lenyap mendengar kalimat Marin. Apa lagi yang ia butuhkan selain kebahagiaan Marin?

“Dan habis ini, giliranmu nikah dan bahagia sama Juno,” balas Karin. 

Marin tersenyum lebar. “Aku sayang banget sama Kakak.” 

Karin tersenyum haru ketika Marin memeluknya erat. 

“Kamu harus bahagia, Kak,” pinta Marin tulus. 

“Aku bahagia, Marin,” balas Karin sungguh-sungguh. Karena Marin juga bahagia. 

“Makasih, Kak. Dan maaf.” 

Kalimat Marin itu membuat Karin melepaskan pelukannya, tapi Marin menolak mundur. Karin akhirnya kembali memeluk adiknya itu. 

“Hei, it’s okay,” ucap Karin. “Aku cinta sama Zack. Dan pernikahan ini nggak seburuk yang aku pikir.” 

Karin tersenyum geli ketika merasakan pelukan Marin semakin erat. 

***

Jam dua dini hari, Zack dan Karin akhirnya tiba di rumah Zack. Setelah mengantakan Karin ke kamarnya, lebih tepatnya kamar Zack, ia berniat pergi ke kamar tamu, tapi Karin memanggilnya. 

Langkah Zack terhenti di depan pintu. Ia berbalik, tapi segera memutar tubuh melihat Karin menarik turun gaun yang dikenakannya. Zack berusah mengontrol debar jantungnya yang menggila.

“Kenapa?” Suara Karin terdengar semakin dekat. 

Zack meraih gagang pintu, tapi kalimat berikutnya menahan Zack untuk pergi. 

“Kenapa kamu bohong, kalau kamu pengen aku? Kamu bahkan nggak tertarik ngelihat tubuhku.”

Zack menarik napas dalam. 

“Apa yang kamu sama Marin rencanain?” Suara itu berada tepat di belakangnya. 

Zack memejamkan mata. Ia tahu Karin tidak bodoh, tapi ia tak tahu wanita itu akan menyerangnya secepat ini. 

“Waktu Marin maksa aku nikah sama kamu cuma gara-gara kita nggak sengaja ciuman, aku nggak curiga. Aku tahu, dia akan bereaksi kayak gitu. Dia selalu kayak gitu. Tapi, waktu dia bawa-bawa pernikahannya sama Juno, aku tahu, ada hal lain. Iya, kan?” Karin tak sedikit pun terdengar ragu. 

Meski begitu, Zack masih tak bereaksi. 

“Aku akhirnya nerima pernikahan ini karena aku tahu, cepat atau lambat, aku akan harus nikah kalau pengen lihat Marin nikah sama Juno. Jadi, setelah aku pikir-pikir, kamu emang pasangan yang tepat buat pernikahanku. Kamu tahu aku, kamu tahu Marin. Juga, kamu pasti tahu apa yang disembunyiin Marin dari aku.”

Zack menarik napas dalam. 

“Jadi, karena apa dia maksa aku nikah kayak gini? Itu pun, sama kamu.” Karin mendengus pelan. “Dan jangan pernah lagi nyebutin alasan kalau aku adalah satu-satunya perempuan yang kamu pengen.”

Karin sama sekali tak tahu bagaimana kalimatnya itu berpengaruh pada Zack. 

“Tapi, aku harus berterima kasih sama kamu. Seenggaknya, aku nggak harus nikah sama bajingan-bajingan yang bahkan nggak aku kenal di luar sana.” Karin mendengus pelan, meledek, lalu menambahkan, “Juga, karena aku tahu, you’re a gentleman.” Karin menepuk-nepuk bahu Zack. 

Yang benar saja!

Karin tampak terkejut ketika Zack tiba-tiba menangkup tangannya dan menarik wanita itu ke depan Zack. Ketika Karin berusaha memberontak, Zack malah mendorong Karin ke pintu, satu tangannya menahan pergelangan tangan Karin, tangannya yang lain menahan bahu wanita itu. 

Sorot marah di mata cokelat gelap Karin memukau Zack sesaat. Dengan beberapa helaian rambut yang jatuh ke bahunya, Karin tampak … berbeda. Ditambah lagi, gaun yang dikenakannya hanya tergantung longgar di tubuhnya. Dari tempatnya, Zack hanya perlu menunduk untuk melihat … lebih jauh. Namun, ia tahu ia tak akan bisa menahan diri jika nekat menurunkan pandangannya. 

Zack memantapkan pandangan di mata Karin, sebelum tatapannya berpindah ke bibir wanita itu yang setengah terbuka karena keterkejutan. Namun, ketika Zack menunduk ke arah Karin, wanita itu memalingkan wajah, membuat bibir Zack hanya menyentuh udara kosong, nyaris menyentuh pipinya. 

Meski begitu, bukannya mundur, Zack malah mendekatkan bibir di telinga Karin dan berbicara pelan, 

“Kalau kamu butuh pembuktian, aku siap ngasih itu kapan aja. Karena kenyataannya, aku emang pengen kamu. Dan Marin tahu itu.” 

Zack mengeratkan pegangannya di bahu Karin ketika wanita itu berusaha memberontak. 

“Dan,” Zack menambahkan, “aku ini laki-laki normal. Jadi, jangan pernah lagi nantangin aku tentang masalah ini. Juga, jangan ngegodain aku kayak tadi. Pertahananan diriku juga ada batasnya. Lain kali kamu ngelakuin ini, aku nggak tahu apa yang akan aku lakuin.” 

Karin mendesiskan umpatan kasar. 

“Satu lagi,” Zack melanjutkan. “Aku nggak tahu apa yang kamu omongin tentang Marin tadi. Yang aku tahu, kamu sekarang istriku dan aku berhak atasmu. Jadi, jangan mancing aku kalau kamu bahkan takut sama satu ciuman. Kalaupun nanti aku nggak bisa nahan diri, jangan salahin aku.”

Zack akhirnya mundur dan melepaskan pegangannya di tangan dan bahu Karin. Ia menyempatkan membenahi gaun Karin di bahunya, sebelum menarik Karin dari pintu agar ia bisa keluar dari ruangan itu. Seumur hidupnya, kamarnya tak pernah terasa sepanas tadi. 

***

 

Chapter 7

Sorry? What Moon?

 

Hingga pagi, Karin tak bisa tidur. Tidak sedetik pun. Kejadian di pintu kamar itu semalam masih melekat erat di kepalanya. Bahkan, setiap kali memikirkannya, Karin merasakan hawa tubuhnya naik, diikuti debaran kencang jantungnya. Sialan, Zack! Sialan bajingan itu!

Berada seminggu jauh dari Zack memberi Karin waktu untuk berpikir. Ia mendapat kesimpulan alasan Marin mendesaknya menikah memang tidak masuk akal. Dan ia pikir, Zack juga terlibat dalam rencana Marin. Namun, bukannya pengakuan yang didapatkan Karin, ia justru nyaris berada dalam bahaya. 

Karin tak bisa lebih terkejut lagi melihat reaksi Zack tadi. Semua yang ia ucapkan begitu sungguh-sungguh. Ditambah lagi, Karin menyadari dengan jelas, –terima kasih pada Zack, kekuatannya tak seimbang dengan pria itu. Jika Karin menantang Zack berkelahi, tak diragukan lagi, ia akan kalah. 

Oh! Harga dirinya benar-benar luluh lantak di bawah kaki pria itu beberapa jam lalu. 

Karin tersentak ketika mendengar suara ketukan pintu. Ia segera beranjak duduk, tapi pintu itu tak terbuka. Lalu, ia mendengar suara Zack dari luar, 

“Kamu udah bangun?” 

“U …” Karin berdehem ketika suaranya terdengar serak. “Udah!” 

“Kalau gitu, buruan keluar. Ayo makan.” 

Setelah mengatakan itu, tak ada lagi suara. Zack pergi. Begitu saja. 

Karin menghela napas lega. 

Setelah insiden semalam, Zack tak lagi kembali ke kamar itu. Entah ia tidur di mana. Karin tidak peduli. Masalahnya, sekarang ia harus menghadapi Zack. Apa yang akan ia lakukan? Lebih tepatnya, apa yang akan ia katakan?

Masa bodoh! 

Karin menendang selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya, lalu turun masih dengan mengenakan kaos longgar sepanjang lutut yang biasa ia pakai untuk tidur. Ini pakaian tidur termudah yang bisa ia temukan di kopernya yang belum dibongkar. Entah di mana ia melesakkan piyama tidurnya yang tentu jauh lebih sopan dari pakaiannya saat ini. 

Ketika tiba di pintu, Karin menghentikan langkah dan menunduk. Pakaian ini tidak terlalu pendek, kan? 

“Karin!” Seruan dari luar membuat Karin menggeleng dan membuka pintu. 

Zack tidak akan tergoda hanya dengan pakaian seperti itu. Toh Karin bukannya berjalan telanjang di depannya. Zack tidak mungkin …

Oh, tidak mungkin! 

Karin mematung di pintu dapur ketika mendapat tatapan lekat Zack yang terarah ke kakinya. 

“Aku bisa ganti baju kalau kamu bisa sabar nunggu buat sarapannya.” Karin berjalan mundur. 

“Nggak perlu,” tukas Zack. “Kamu kelihatan nyaman pakai itu. Kamu bisa makai baju yang kamu rasa nyaman.” 

Karin diam-diam mendesah lega. Tidur dengan piyama memang bukan favoritnya. 

“Kamu masak?” Karin mengganti topik. 

Zack mengangguk. “Orak-arik telur.”

“Wow.” Karin tak bisa menyembunyikan senangnya. “Itu makanan favoritku waktu kecil.” 

“Kalau sekarang?” tanya Zack seraya memindahkan sepiring orak-arik telur ke meja makan. 

“Masih suka, tapi aku nggak bisa masaknya. Sayurnya nggak pernah matang, jadi aku nyerah.” Karin meringis setelah mengaku. 

“Aku bisa ngajarin kamu.” Zack menawarkan diri. 

Karin tak langsung menjawab.

“Maaf, bukan maksudku sok bisa atau gimana, tapi aku …”

It’s okay,” Karin menyela. “Emang kamu bisa masak dan aku enggak. Itu kenyataannya.” 

“Bukan itu maksudku. Aku cuma …”

“Jadi, apa yang disembunyiin Marin dari aku?” Karin menyerang tiba-tiba. 

Ekspresi Zack seketika berubah. 

Well, setidaknya sekarang Zack tahu, Karin masih belum menyerah. 

***

Kenapa Marin selalu membawa masalah dalam hidup Zack? Kenapa Zack harus terlibat dalam masalah Marin? Karena mereka sahabat. Oke, Zack bisa mengerti itu. Namun, saat ini Zack benar-benar benci akan kenyataan itu. 

“Semalam aku kurang jelas ngomongnya?” Zack sengaja menyinggung kejadian semalam. 

Karin berdehem. “Tentang kamu yang … tertarik secara fisik ke aku, oke, aku bisa terima. Meskipun aku nggak yakin, itu cukup buat alasan seseorang mau nikah.” Wanita itu mengedik cuek. 

“Ya, itu alasanku,” tandas Zack. 

“Tapi, karena kamu tahu gimana perasaanku, kamu nggak berharap aku akan ngasih apa yang kamu pengen dari aku itu, kan?” Karin mengangkat alis. 

“Aku bisa nunggu,” balas Zack. 

Karin menggeleng. “Nggak perlu nunggu. Kamu bisa pergi begitu ketemu perempuan lain yang narik perhatianmu.” 

Zack mengernyit. 

“Karena aku nggak akan mungkin tertarik sama kamu, jadi apa yang kamu harapkan dari aku nggak akan terjadi, oke?” Karin memberikan penjelasan seolah Zack anak berumur sepuluh tahun yang tak tahu apa-apa. 

“Kalau aku bilang, aku suka kamu?” tanya Zack. 

Karin seketika menyembur tertawa. “Kamu? Suka aku?” Karin berusaha meredakan tawanya. “Aku nggak tahu apa yang kamu lihat dari aku, tapi … seleramu agak … ehm! Well, maksudku, aku ini lebih tua dari kamu, kamu nggak lupa, kan?”

“Aku tahu itu. Tapi, itu nggak ngehalangin aku suka kamu,” balas Zack. 

“Ah.” Karin mengangguk-angguk. “Kamu … kok bisa suka sama aku? I mean … kamu pasti punya banyak teman perempuan yang cantik, muda, pintar, seksi ....” Karin menyebutkan itu seraya memutar mata. Zack nyaris tersenyum melihatnya. 

“Apa pun yang aku rasain ke kamu, itu hakku, kayaknya.” Zack mempertegas. 

Karin mengangkat tangan. “Oke. Itu hakmu. Oke, that’s okay. Really.” 

Zack mengangkat sebelah alis. “Really?” ia memastikan. 

No,” tukas Karin cepat. 

Lagi-lagi, Zack nyaris tersenyum. 

“Zack, kamu bisa jujur sama aku. Aku nggak akan nyalahin kamu. Aku justru berterima kasih karena kamu udah nyelamatin aku dari entah siapa pun bajingan yang bisa aja jadi suamiku. Jadi, cerita aja, apa kesepakatanmu sama Marin?” desak Karin. 

“Apa buktiku belum cukup?” Zack mengingatkan Karin. 

“Oke, aku ubah pertanyaanku,” ucap Karin cepat. “Apa rencana Marin sebenarnya? Kenapa dia maksa aku segera nikah kayak gini? Apa dia takut aku nggak akan ngerestui pernikahan dia sama Juno? Atau, dia takut aku akan nyumpahin pernikahannya? Atau, dia khawatir aku akan kesepian? Well, selama ini aku baik-baik aja meski tanpa pasangan. Marin mungkin berlebihan. Karena itu, kasih tahu aku, apa alasan dia sebenarnya? Kamu kan, sahabatnya. Dia pasti cerita ke kamu, kan?” Karin menatap Zack penuh harap. 

Zack menghela napas berat. “Dia nggak ngomong apa pun tentang itu.” 

Karin memejamkan mata, lalu menarik napas dalam. “Oke, lupain aja. Sekarang, mending kita makan sebelum makanannya dingin.” 

Zack mengangguk menyetujui. Dan mereka melewatkan sarapan dengan tenang. Namun, Zack lega terlalu cepat. Karena, detik begitu Zack memasukkan sesuap terakhir nasi di piringnya, Karin kembali berbicara, 

“Aku nggak akan ngomong apa pun ke Marin kalau kamu cerita.” 

Oh, apa yang harus Zack lakukan dengan wanita ini?

“Zack, percaya sama aku. Aku lebih setia kawan daripada Marin.” Karin berusaha meyakinkan Zack, ketika ia bahkan tak punya satu pun kawan untuk membuktikan itu. 

“Aku bisa …” 

“Tadi pagi, mamamu telepon aku,” Zack memotong kalimat Karin. “Dia tanya, kapan dan ke mana kita mau pergi honeymoon?”

“Kenapa Mama telepon ka … tunggu, apa? Kamu bilang apa barusan? What moon?” Karin mengerutkan kening tak yakin. 

Zack menyiapkan telinganya ketika mengulangi. “Honeymoon. Yeah. That moon.”

What the …?!” Karin mengumpat seraya bangkit dari kursinya. “No way!” 

Zack mengedik cuek, lalu mulai memberesi piring bekas sarapan mereka. Ia membawa piringnya dan piring Karin ke bak cuci piring. 

“Kamu jangan mikir macam-macam, ya!” tuntut Karin seraya mengikuti Zack. 

Zack mengedik cuek. Lagi. 

Karin mendengus kasar. “Dengar, ya, tadi aku udah negasin, aku nggak bisa ngasih hal yang kamu pengen meskipun kamu sekarang suamiku. Kita cuma suami-istri di atas kertas. Jadi …”

“Jadi, kamu bisa mikirin jawaban apa yang akan kamu kasih ke mamamu,” sela Zack, “daripada ganggu aku di sini. Aku lagi nyuci piring.” 

“Ini aku mau bantuin,” tanggap Karin. “Biar aku yang bilas.” 

Zack kali ini tak dapat menyembunyikan senyumnya. Namun, ia membiarkan Karin membantunya. Meski masih sambil mengomel tentang mamanya yang menelepon Zack alih-alih Karin. 

***

Begitu Karin selesai menelepon mamanya, ia keluar kamar untuk menemui Zack yang sedang menonton televisi di atas karpet di ruang tengah. 

“Aku udah bilang ke Mama, kita bulan madu ke Maldives selama seminggu,” Karin mengumumkan. 

Zack mengangguk. “Kamu udah pesan tiketnya?” 

“Tiket apa?” dengus Karin. “Kita akan tinggal di sini selama seminggu.” 

Zack melotot kaget ke arah Karin. “Kita … ngapain?” 

“Di rumah ini selama seminggu. Jangan sampai ada keluarga yang lihat kita. Termasuk, orang-orang di tempat kerjamu atau tempat kerjaku. Are we clear?” Karin tersenyum di akhir penjelasannya. 

“Ini nggak masuk akal,” tepis Zack. 

“Terserah apa katamu, tapi ini yang akan kita lakuin. Kecuali kamu mau terbang ke Maldives sendiri, silakan,” Karin mempersilakan dengan senang hati. 

“Trus, selama seminggu cuma di rumah, apa yang akan kamu lakuin?” tuntut pria itu. 

Karin mengedik cuek, lalu duduk di sebelah Zack. “Mungkin, tanya-tanya ke kamu.”

“Tanya-tanya apa?” Zack menyipitkan mata curiga. 

Karin memasang senyum manis. “Marin. Kenapa? Dia takut aku nggak akan nikah selamanya?” 

Zack mendesah lelah. “Mungkin.” 

“Aku nggak butuh jawaban itu. Aku butuh kepastian. Setiap wanita butuh kepastian, Zack,” Karin menegaskan. 

“Ha ha. Itu lucu, Karin,” ledek Zack kering. 

“Aku serius, Zack. Dan jangan manggil aku kayak gitu. Aku ini …”

“Lebih tua dari aku, aku tahu. Apa itu bahkan patut dibanggain ketika kamu bersikap kayak gini di depanku?” potong Zack sebal. 

Karin ikut sebal. Bisa-bisanya Zack mengatakan hal seperti itu. 

“Memangnya, apa yang aku lakuin? Aku cuma nuntut jawaban.” Karin mengangkat dagu angkuh, menolak merasa bersalah. 

Zack mendengus kasar. “Aku nggak kaget lagi sekarang.”

“Apa?” sambar Karin. 

“Dengan sikapmu ini,” tukas Zack. “Berapa kali kamu mendadak berubah pikiran? Detik pertama, kamu bersikap baik, detik berikutnya kamu nganggap aku musuhmu. Sebelumnya, kita bisa ngobrol santai, tapi tiba-tiba kamu ngajuin perang. Padahal, Karin yang aku kenal selama ini kelihatan keren. Tapi, ternyata, kamu sama aja kayak perempuan lain.” 

Karin melotot marah mendengar tuduhan pria itu. “Hei!” serunya marah ketika Zack berdiri. 

“Hei juga,” balas Zack seraya beranjak pergi. 

“Aku masih ngomong!” protes Karin ketika Zack meninggalkannya. “Hei, anak nggak sopan!” seru Karin. “Sama orang tua tuh, sopan sedikit nggak bisa, ya?!” 

Zack berhenti di depan pintu kamar yang sepertinya semalam ditempatinya. Pria itu menatap Karin hanya untuk berkata, “Aku tahu kamu tua, jadi kamu bisa berhenti ngebahas itu.” 

Karin mendengus tak percaya ketika Zack akhirnya masuk ke kamar itu, benar-benar meninggalkan Karin seperti orang bodoh. 

***

 

Chapter 8

I Want You, I Do

 

Zack tak percaya. Apa yang bisa lebih berbahaya saat ini? Karin yang terus memburunya sepanjang minggu, atau terkurung di rumah ini sepanjang minggu dengan wanita itu? Keduanya sama sekali bukan ide bagus. Sebenarnya, bukan ide yang buruk jika saja Karin tidak meneror Zack tentang alasan Marin memaksakan pernikahan ini pada Karin. Juga, tidak akan separah ini jika saja Karin tidak terus menggoda Zack tentang pengakuan bahwa Zack menyukainya. 

Hari pertama mereka terkurung di rumah ini, Karin terus meneror Zack dengan alasan Zack menyukai Karin. Ditambah embel-embel, ia percaya Zack menginginkan Karin, tapi menyukai dan menginginkan itu berbeda. Setidaknya, ia takut akan ancaman Zack tentang pembuktian itu. 

Hari kedua, Karin nyaris tak pernah berada lebih jauh dari satu meter dari Zack untuk membujuknya mengkhianati Marin. Ia bilang, ia akan melindungi Zack. Oh, Zack nyaris menangis karena terharu mendengarnya. Karin benar-benar luar biasa tidak masuk akal. 

Ke mana perginya wanita anggun yang disukai Zack dulu? Ke mana perginya wanita dewasa yang dipuja Zack dulu? Yeah, dulu. Karena, sekarang tentu saja Zack bukan lagi anak baru lulus yang tergila-gila pada sosok cantik serupa malaikat yang mampu membuat jantungnya berdebar dan pikirannya penuh akan sosok itu. 

Masalahnya, sekarang tak lebih baik dari itu. Ia sekarang adalah pria dewasa yang normal. Dan Karin terus-menerus mengganggunya seperti ini tanpa tahu reaksi apa yang ia timbulkan pada tubuh Zack. Terlebih, saat ini status wanita itu adalah istrinya. 

Zack mendengus bagaimana di hari ketiga mereka terkurung di rumah itu, Karin memaksa Zack duduk di sofa ruang tamu dan menginterogasinya dengan nada terlalu serius. Meski tentu saja, wanita itu gagal mendapatkan apa pun dari Zack. 

Dan hari ini, Zack memutuskan untuk tidak keluar dari kamarnya. Lebih tepatnya, kamar tamu yang ia tempati sekarang. Zack sudah bangun sejak tadi, tapi ia belum beranjak dari tempat tidur. Ia bisa berbaring di sini sepanjang hari untuk menghindari Karin, meski dengan pikiran terus tertuju pada wanita itu. 

Namun, Zack akhirnya terpaksa harus menyerah ketika terdengar suara ketukan pintu dan seruan Karin dari luar, “Zack! Ayo temenin aku belanja! Makanan di kulkas habis!” 

Zack menghela napas berat. Ia menyeret tubuhnya turun dari tempat tidur. Dengan enggan, ia membuka pintu kamarnya. Lalu, tepat di sana, berdiri Karin yang sudah mengenakan kaos santai longgar bergambar kelinci pink dan rok putih selutut. Bahkan dengan pakaian seperti itu saja Karin tampak cantik. 

“Kamu baru bangun tidur?” Karin melotot kaget melihat penampilan Zack yang pasti seratus delapan puluh derajat berbanding terbalik dengannya. 

Tak seperti rambut Karin yang sudah dikepang longgar di satu sisi, rambut Zack pasti sangat berantakan saat ini. Belum lagi, ia hanya mengenakan kaos putih tipis dan celana pendek longgar yang sudah usang. 

“Katamu, kita nggak boleh keluar rumah. Nanti kalau keluargamu atau rekan kerjamu ada yang lihat kita di luar, gimana?” tuntut Zack. 

“Nggak akan. Rumahmu kan, lumayan jauh dari rumah keluargaku atau kantor kita,” tepis Karin. “Kita belanja di supermarket dekat sini aja.” 

Zack menghela napas berat. “Aku ambil jaket dulu.” 

Tanpa menunggu balasan Karin, Zack keluar dari kamarnya untuk pergi ke kamarnya yang ditempati Karin. Ia hanya mengambil baju-baju santai untuk di rumah dari lemarinya di kamar itu sehari sebelum Karin pindah ke rumah ini. Karena, jika orang tua Karin mendadak datang ke rumah ini dan menemukan mereka tidur di kamar yang berbeda, pasti akan terjadi masalah lagi. 

Zack sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menoleh ketika mendengar senandung pelan Karin di belakangnya. Wanita itu mengekorinya. Samar aroma mawar menguar tertangkap hidung Zack. Wangi Karin. 

Pun begitu Zack memasuki kamarnya, wangi mawar itu langsung menghambur ke indra penciumannya. Di mana-mana seolah ada Karin. Tak satu pun tempat ini yang bebas dari wanita itu. 

Zack menarik jaketnya dengan kasar dari lemari, memakainya, lalu mengambil topi dan mengenakannya juga. Namun, ketika ia hendak keluar dari kamar itu, Karin menahan bahunya. Zack belum sempat bertanya ketika Karin menarik bahu Zack, membuat Zack membungkuk ke arah wanita itu, lalu ia merasakan gerakan di kepalanya. 

Karin melepas topinya, lalu tangannya bergerak di rambut Zack. Perut Zack bergolak pelan ketika ia merasakan gerakan tangan Karin di rambutnya. 

“Kenapa kamu nggak pergi ke kamar mandi dulu? Cuci muka atau ngapain gitu. Ini rambutmu, ya ampun!” omel Karin begitu ia menarik tangannya dari rambut Zack. 

“Makanya aku pakai topi, kan?” balas Zack malas. Ia merebut topinya yang ada di tangan Karin dan kembali memakainya. 

“Zack!” seru Karin kesal. “Nanti aku dikira tante-tante yang jalan sama keponakannya.” 

Zack menatap Karin dari atas ke bawah. “Nggak akan. Kamu sama sekali nggak kelihatan kayak tante-tante. Yang ada, mungkin orang-orang akan mikir aku nyulik anak sekolah.” 

Karin mendesis kesal sebelum meninggalkan Zack lebih dulu. Ketika Zack akan keluar dari kamar itu, Karin kembali masuk, tak sengaja menubruk Zack. Namun, itu cukup untuk membuat Zack seketika mematung di tempat. Di depannya, Karin mengusap-usap keningnya yang menabrak bahu Zack. 

“Mana kunci mobilmu? Mobilku kan, masih di butik,” gerutu Karin. 

“Di meja ruang tengah,” jawab Zack dengan suara berat. Ia berdehem ketika Karin mengerutkan kening. “Ayo!” Zack memutar bahu Karin dan mendorongnya keluar. 

“Oke, oke, aku bisa keluar sendiri tanpa diusir.” Karin menepis tangan Zack di bahunya. 

Zack memang sudah menyiapkan semuanya, termasuk dirinya, ketika tahu ia akan tinggal di bawah atap yang sama dengan wanita ini. Namun, jika Karin terus-menerus mendobrak pertahanannya seperti ini, Zack mungkin perlu kabur dan berada sejauh mungkin dari wanita ini. Karena ia sudah berjanji, ia tidak akan menyakiti Karin. 

***

Karin tersentak kaget ketika merasakan sesuatu terjatuh di pangkuannya. Ia menunduk dan mendapati jaket Zack berada di sana. 

“Ini kenapa?” tanya Karin heran. 

“Kamu nggak punya rok lebih panjang?” balas Zack dalam nada ketus. 

Karin mengangkat jaket itu dari pangkuannya untuk mengecek roknya. Roknya masih menutup pahanya dengan sopan. 

“Kamu terlalu sensitif, tahu nggak?” cibir Karin. 

“Kamu nggak berharap aku akan tergoda di sini, kan?” balas Zack. 

Karin berdehem. “Dasar mesum,” desisnya kesal. 

Zack mendengus. “Dan aku suamimu. Selamat,” balasnya sinis. 

Meski kesal, Karin akhirnya membiarkan jaket Zack berada di pangkuannya. Namun, ketika mereka tiba di pelataran parkir supermarket, Karin segera melempar jaket itu ke arah Zack dengan kasar. Tanpa menunggu Zack, Karin turun lebih dulu. 

Ia sempat melihat Zack memakai jaketnya sebelum menyusul Karin ke supermarket. Tak lagi mempedulikan Zack, Karin mengambil troli dan mulai berbelanja. Masalahnya, ia bukan wanita yang hobi berbelanja sayuran. Padahal, ia ingat isi kulkas Zack cukup lengkap. Menepis pikiran mengganggu itu, Karin memilih makanan instan yang biasa ia makan jika menginap di butik. 

Namun, tiba-tiba, sebuah tangan mengambil beberapa cup mi instan yang sudah berada di troli Karin. Kontan Karin melotot galak pada pelakunya. 

“Jangan makan makanan instan di rumah,” Zack berkata. 

“Kamu mau aku mati kelaparan di rumah?” Karin melotot. 

“Aku nggak akan biarin kamu kelaparan. Aku yang akan masak,” tandas Zack. 

“Tukang pamer,” sinis Karin seraya mendorong troli dengan kesal. 

“Aku udah nawarin buat ngajarin kamu,” sahut Zack seraya mengambi alih troli di tangan Karin. 

Karin mendesis kesal ke arah punggung Zack yang kini sudah berjalan di depannya dengan mendorong troli belanjaan mereka. Pria itu lantas berbelok ke arah sayuran segar. Karin terpaksa mengikutinya. Dan hanya itu yang ia lakukan selama beberapa waktu setelahnya. Mengikuti Zack yang sedang berbelanja. 

Mereka sudah selesai berbelanja dan mengantri di kasir ketika Karin melihat sosok yang dikenalinya. Seketika, Karin memutar tubuh membelakangi orang itu. 

“Kamu ngapain?” Pertanyaan itu datang dari Zack yang berdiri di depan Karin. 

“Kenapa ada Marsha di sini?” bisik Karin. 

“Marsha?” Zack tampak bingung seraya menoleh ke sekeliling. Melihat itu, Karin segera memutar bahu Zack. “Kamu kenapa, sih? Marsha siapa?” tanya Zack, antara bingung dan kesal. 

“Karyawan butik. Dia juga datang di pesta pernikahan kita kemarin, jadi jangan noleh-noleh lagi ke mana-mana,” desis Karin kesal. 

Zack mengerutkan kening. 

“Permisi,” ucap pelan penngunjung yang mengantri di belakang mereka. 

Karin seketika sadar, antrian di depan Zack sudah kosong. Ia segera memberi isyarat agar Zack mendorong troli belanjaannya. Sementara, Karin berjalan miring menyusulnya. Samar, ia mendengar dengusan pelan dari arah Zack. Sialan, pria itu!

Karin tersentak kaget ketika tiba-tiba Zack memutar tubuh Karin. Sebelum Karin sempat mengomel, pria itu sudah melepas topinya dan memakainya di atas kepala Karin. Kemudian, Zack memakai tudung jaketnya. 

“Gini udah cukup, kan?” Zack sedikit menarik turun topi yang dikenakan Karin. “Jadi, jangan bikin heboh lagi. Bertingkah biasa aja kalau nggak mau narik perhatian.”

Zack kembali menatap ke depan dan mendorong trolinya. Karin berdehem seraya mengikuti Zack. 

***

“Kenapa Marsha bisa ada di sini?” protes Karin begitu mereka sudah berada di mobil Zack. 

Tentu saja, Zack tak menjawabnya. Ia tak tahu, bahkan tak kenal siapa itu Marsha. 

“Oh iya, dia tinggal di daerah sini,” gumam Karin pelan kemudian. “Ck, kenapa juga rumahmu harus di daerah sini?” Karin menatap Zack kesal. 

Zack memutuskan untuk tak menjawab. Ia tahu, Karin akan melemparkan semua kesalahan pada Zack. 

“Kenapa juga kita harus ketemu Marsha di sini?” Karin menggerutu. “Dia tuh, bigos paling parah di butik.” 

Zack sama sekali tak tertarik dengan itu. 

“Kayaknya, kita harus pindah rumah,” ucap Karin kemudian. 

Kali ini, Zack tidak bisa tinggal diam. “Kenapa kamu nggak nyuruh dia pindah aja? Dia karyawanmu dan kamu bosnya. Lebih simple, kan?” 

“Bos macam apa itu?” protes Karin. “Bisa hancur perusahaan kalau bosnya semena-mena kayak gitu.” 

“Perusahaanku baik-baik aja,” jawab Zack. 

“Itu karena kamu emang keterlaluan. Mentang-mentang kamu udah sukses di usia muda, kamu pikir kamu berhak semena-mena sama orang lain meskipun dia karyawanmu? Kamu tuh, harusnya bersyukur, punya karyawan yang setia. Berkat karyawanmu juga perusahaanmu bisa sebesar sekarang. Kamu lupa, dulu gimana kamu mulai usahamu itu? Sampai sekarang …”

“Apa ini bikin kamu bahagia?” Zack memotong cepat. 

“Apa?” Karin menatap Zack seolah ia barusan mengatakan hal gila. 

“Apa ini bikin kamu bahagia?” ulang Zack. “Bisa nyalahin aku buat semua hal di sekitarmu, apa ini bikin kamu bahagia? Kalau ya, kamu bisa lanjutin. Marin bilang, aku harus bisa bahagiain kamu.” 

Zack tak terkejut ketika Karin mengumpat kasar sebagai bentuk kesalnya. Wanita itu memalingkan wajah kasar. Zack mendengus pelan, lalu melepas jaketnya dan melemparnya ke pangkuan Karin. Tak sampai sedetik, Karin melempar jaket itu kembali pada Zack. 

“Karin …” 

“Kamu nggak mungkin suka sama aku,” ucap Karin tiba-tiba seraya menatap Zack tajam. 

Zack tak menanggapi dan kembali menutupkan jaketnya ke pangkuan Karin. 

“Kamu pasti cuma ngerjain aku, kan?” serang Karin seraya menarik jaket Zack kasar, membuat rok yang ia kenakan sedikit terangkat. 

Zack menarik napas dalam. “Pakai itu,” ucap Zack tegas. 

No way!” tolak Karin tak kalah tegasnya. “Kamu suka aku? Huh. Yang benar aja. Kamu pikir aku percaya gitu aja? Karena kamu pria normal, okelah, kamu mungkin bisa tertarik secara fisik. Tapi, kamu suka aku? Dengar, ya, kamu tuh …” 

Zack tak membiarkan Karin melanjutkan kalimatnya. Dalam bungkaman ciumannya, Karin membeku, terkejut. Zack mencium Karin dengan lembut. Bibirnya sungguh memabukkan. Dorongan Karin di bahunya yang membuat Zack tersadar. Ia memundurkan tubuhnya sedikit dan mendapati sorot kebencian di mata Karin. 

“Aku udah berusaha sekuat tenaga buat nahan diri. Kamu yang terus mancing aku. Dan perlu kamu tahu, kalau aku nggak suka sama kamu, aku nggak mungkin pengen kamu.” 

Setelah mengucapkan itu, Zack kembali duduk di kursi kemudi dan memasang seat belt-nya. 

Selama ini Zack pikir, Karin adalah wanita paling simple di dunia ini. Sampai ia menjadi suami wanita itu. Lihat apa yang Karin lakukan pada Zack. 

***

 

Chapter 9

The New Couple

 

Sejak kejadian di mobil setelah mereka belanja dua hari lalu, Zack mendapati Karin tak lagi berusaha mengganggunya. Ia bahkan tak lagi meneror Zack dengan tuduhan-tuduhan menyebalkannya. Zack pun menyerah untuk terus mengikuti permainan konyol Karin itu. Daripada mereka terus berdebat tanpa henti, lebih baik Zack menghindari wanita itu. 

Malam itu, sama seperti tiga malam sebelumnya, Zack dan Karin makan malam dalam diam. Sejak kejadian itu, Zack hanya mencari Karin untuk makan bersama, dan setelahnya, ia benar-benar mengurung diri di ruang kerjanya. Bekerja, lebih tepatnya. 

“Kamu nggak suka makanannya?” tanya Zack ketika Karin hanya melamun sembari memainkan makanan di piringnya. 

Karin tampak terkejut ketika menatap Zack. “Nggak. Uh, maksudku … suka. Cuma … aku masih agak kenyang. Tadi aku habis makan camilan.” 

Zack mengangguk, lalu melanjutkan makannya meski ia ingin mengomeli Karin karena terlalu banyak makan camilan. 

“Besok kamu udah mulai kerja?” tanya Karin. 

Zack mengangguk. “Kamu juga, kan?” 

Karin balas mengangguk. Lalu, tak ada lagi percakapan. 

Zack sudah akan menawari untuk mengantarkan Karin besok ketika tiba-tiba wanita itu berkata, “Besok aku naik taksi aja.” 

Tak ingin mengundang perdebatan, Zack membalas, “Oke.” 

Dan mereka kembali terjebak dalam keheningan yang tak nyaman. 

***

Apa katanya? Oke? Ia bahkan tidak menawari mengantarkan Karin. Apa Zack benar-benar marah?

Tidak! seharusnya Karin yang marah. Pria itu yang mencium Karin sembarangan waktu itu. Namun, mengungkit masalah itu sekarang juga bukan ide bagus. Masalahnya, setelah kejadian itu, Zack jelas menghindari Karin. Masa bodoh jika ia benar-benar marah pada Karin. Memangnya Karin tidak marah padanya?

Padahal malam ini, Karin berniat mengajak Zack bicara baik-baik. Namun, jika Zack bersikap seperti ini, bisa-bisa Karin berakhir bicara sendiri. Kenapa tidak sekalian saja ia berbicara dengan tembok? 

Meski begitu, Karin menyadari Zack tidak bersikap seperti biasanya. Pria itu tidak menunggu Karin menyelesaikan makan malamnya ketika dia bangkit dan mencuci piringnya. Setelahnya, dia pergi tanpa mengatakan apa pun. Kembali mengurung diri di ruang kerjanya. 

Karin mendengus kasar seraya membanting sendoknya. Kenapa Zack mendadak bersikap sedingin ini pada Karin? Ketika seharusnya, Karinlah yang marah!

Kesal, Karin tak menghabiskan makan malamnya dan membereskan meja makan. Setelahnya, ia pergi ke kulkas untuk mengambil cola, untuk mendinginkan kepalanya. Namun, ia tak menemukan satu pun botol cola di sana. Karin membanting pintu kulkas, lalu pergi ke kamarnya untuk mengambil jaket.

Tanpa berpamitan pada Zack, Karin keluar rumah. Berjalan kaki. Dengan sikap Zack yang seperti itu, Karin malas juga meminjam mobil pria itu. Lagipula, sekitar lima ratus meter dari rumah Zack ada minimarket. Karin sudah akan menyeberang di perempatan jalan ketika tiba-tiba seseorang mencengkeram pergelangan tangannya. 

Karin kontan menjerit kaget dan berusaha melepaskan diri. Sampai ia mendengar suara yang sudah dikenalnya. 

“Hei, hei. Ini aku.” Zack. 

Karin akhirnya berbalik menatap sosok yang membuatnya nyaris terkena serangan jantung. Ia mengumpat kasar dan menepis tangan Zack di pergelangan tangannya. 

“Kamu bikin aku jantungan, tahu!” Karin mengumpat kesal. 

“Maaf. Aku … buru-buru ngejar kamu waktu tahu … kamu nggak ada di rumah tadi.” Zack mengambil napas cepat. “Jangan lakuin hal kayak gitu lagi, Karin.” Zack terdengar tegas, sekaligus memohon. 

Karin akhirnya bisa melihat pria itu terengah kehabisan napas. Jelas, dia berlari dari rumah tadi. 

“Sekarang, baru kamu peduli?” Karin merengut. 

Zack mengerutkan kening. 

“Aku yang seharusnya marah sama kamu, tapi kenapa malah kamu yang ngediemin aku?” sembur Karin. “Gitu kamu bilang, kamu suka sama aku? Dasar pembohong mesum!” Karin memalingkan wajah kesal. “Kamu bahkan nggak nawarin buat nganterin aku kerja besok.” 

“Karena aku nggak mau berdebat dan berantem sama kamu,” Zack berkata. 

Karin menatap pria itu. “Jadi, itu salahku? Emangnya aku ngajakin kamu debat? Aku ngajak kamu berantem? Tadi aku bahkan inisiatif tanya dulu ke kamu, apa besok kamu udah mulai kerja?”

“Ini kita nggak lagi berantem?” tanya Zack hati-hati. 

“Nggak!” sambar Karin galak. “Ini aku lagi ngejelasin.” 

Zack tampak menahan senyum. 

“Dan nggak ada yang lucu dari ini,” dengus Karin. 

Zack berdehem, menggeleng. “Emang enggak,” ucapnya, tak terlalu meyakinkan. “Jadi, besok kamu mau aku antar?” 

Karin melipat lengan di dada dan mengangkat dagu tinggi-tinggi. “Nggak perlu.” 

“Besok aku tetap akan ngantar kamu,” sahut Zack tegas. 

Karin melengos. 

“Aku sama sekali nggak ada niat ngediamin kamu. Aku tahu kamu lagi marah sama aku dan aku pikir, dengan aku ngehindarin kamu, itu akan ngurangin marahmu. Dan aku pikir, kamu nggak mau ngomong sama aku, jadi buat apa aku ngomong duluan? Aku takut itu akan bikin kamu makin marah sama aku.” 

Penjelasan Zack membuat Karin melirik pria itu. “Oh, ya?” 

“Ya.” Zack mengangguk meyakinkannya. “Dan kalau kamu nggak ngomong kayak gini, mana mungkin aku tahu.”

Karin berdehem. “Masa aku harus selalu ngomong kayak gini?” Ia mendecak kesal. 

“Trus, kamu akan kabur malam-malam gini kalau kita berantem karena aku nggak bisa baca pikiranmu?” Zack mengangkat alis. 

“Yang peka, makanya,” geram Karin. “Dan aku nggak kabur. Aku mau ke minimarket.” Ia mengedik ke seberang jalan. 

“Oke. Biar aku temenin,” ucap Zack seraya menggandeng tangan Karin. 

Kontan Karin menepis tangan pria itu. “Ini apa-apaan, coba? Jangan nyari kesempatan dalam kesempitan, ya!” tegurnya kesal. 

“Ya, mau gimana lagi? Aku suka sama kamu.” Zack menarik tangannya masuk ke saku celananya. 

Karin berdehem dan menatap ke depan. Setelah meneriakkan kekesalannya pada pria ini, jantung Karin sampai berdebar kencang. Sepertinya ia benar-benar kesal pada Zack. 

***

“Kamu masak orak-arik telur?” Suara Karin terdengar riang ketika dia duduk di meja makan pagi itu. 

Zack tersenyum. “Sebagai permintaan maafku.” 

Karin mendongak bingung. “Permintaan maaf?” tanyanya. 

Sebelum Zack sempat menjelaskan, Karin sudah menyimpulkan, 

“Ah, karena kamu nggak peka? Oke.” 

Zack tersenyum geli. “Dan karena hal lain lagi.” 

Karin mengerutkan kening. 

“Aku udah sembarangan nyium kamu waktu itu,” aku Zack. “Aku minta maaf. Bahkan meskipun aku suka sama kamu, meskipun kamu istriku, tapi aku tahu gimana perasaanmu dan seharusnya aku nggak ngelakuin itu.”

Karin tampak terkejut. Namun, dia segera memperbaiki ekspresinya. “Bagus deh, kalau kamu akhirnya tahu apa yang kamu lakuin itu salah. Jangan diulangi lagi.” 

“Nggak, kalau kamu nggak bikin frustrasi,” jawab Zack. 

Karin memutar mata. “Kapan aku ngelakuin itu?” 

Zack mengedik. Setiap saat, mungkin. 

“Tapi …” Karin kembali berbicara, “kamu pasti tahu kan, apa yang disembunyiin Marin dari aku?” 

Oh, wanita ini mulai lagi. 

“Dia malu sama teman-temannya kalau kakaknya perawan tua?” tebak Karin. 

Zack tak menjawab. 

“Oh, kamu juga belum bilang ke aku, kenapa kamu bisa suka sama aku? Gimana? Dari mananya? Oh God, seleramu tuh aneh, tahu nggak, sih, Zack?” Karin tampak serius dengan kata-katanya. 

Oke. Apa barusan Karin membicarakan dirinya sendiri? Astaga, wanita ini!

“Aku dan seleraku baik-baik aja,” tukas Zack. “Dan buruan makan sebelum makananmu dingin.” 

“Ya, ya. Terserah, deh. Aku tahu sih, kamu emang agak aneh. Marin juga bilang, kamu nggak pernah pacaran meski banyak perempuan yang suka sama kamu. Jangan-jangan, kamu … suka sama …”

“Kamu. Aku sukanya sama kamu dan aku normal. Perlu aku buktiin sekarang?” Akhirnya, ancaman Zack berhasil membungkam Karin. Wanita itu menyuapkan sesendok orak-arik telur ke mulutnya dan bergumam, 

“Ini enak.” 

Zack juga tak tahu, bagaimana bisa ia menyukai wanita yang ada di hadapannya ini?

***

“Padahal aku udah bilang kalau kamu nggak perlu ngantar aku,” kata Karin seraya melepas seat belt begitu mobil Zack tiba di depan butiknya. 

“Kalau aku nggak ngantar kamu, aku khawatir kamu nggak akan pulang nanti malam,” sahut Zack seraya memutar tubuh menghadap Karin. 

Karin mendesis kesal. “Aku emang nggak pulang nanti malam. Aku ada banyak kerjaan, tahu!” 

Karin sudah membuka pintu, tapi Zack menahan tangannya. “Nanti malam Marin mau ke rumah. Dia nagih oleh-oleh dari Maldives.” 

Karin mengerang kesal. “Kamu cari pasir pantai dari mana gitu buat ntar dikasih dia,” jawabnya asal. 

Zack tersenyum geli. “Nanti sore aku jemput,” ucapnya. 

Karin memutar mata. “Aku pulang sendiri,” tolaknya. “Aku bawa mobil.” 

Kali ini, Karin sudah akan turun, tapi lagi-lagi Zack menarik tangannya. Karin sudah siap menyembur kesal saat menoleh pada pria itu. Namun, lidahnya seolah membeku ketika mendapati wajah Zack begitu dekat dengan wajahnya. Kepala Zack miring ke satu sisi. Karin bisa mendengar suara degup jantungnya sendiri. 

“Marin,” bisik Zack. Bibir pria itu begitu dekat dengan bibir Karin. 

Karin mencerna kalimat Zack, lalu melotot. “Marin di sini?” 

“Nggak.” 

“Trus, ini kita ngapain?” geram Karin. 

Kissing. Seenggaknya, itu yang dilihat Marsha, atau siapa pun karyawanmu yang di depan butik itu.” 

Karin bisa mendengar senyum dalam suara Zack. 

“Kamu ngerjain aku?” Karin mendorong bahu Zack, tapi pria itu tidak mundur. 

“Nanti siang, kamu mau makan sama aku?” Zack masih sempat bertanya dengan santainya. 

“Kenapa aku mau makan siang sama kamu?” balas Karin sinis. 

“Karena aku suka kamu.” Zack tersenyum. 

Karin sekuat tenaga mendorong bahu pria itu. Kali ini, Zack mundur. 

“Tapi, aku enggak. Jadi, aku nggak mau makan siang sama kamu,” tandas Karin sebelum benar-benar turun dari mobil pria itu. 

Namun, baru dua meter Karin berjalan menjauh dari mobil Zack, ia mendengar seruan Zack, 

“Sayang!” 

Karin kontan memutar tubuh dan melotot galak pada Zack. 

“Tasmu ketinggalan.” Zack tersenyum lebar seraya mengangkat tas tangan Karin. 

Oh, sial! Bagaimana bisa Karin meninggalkan tasnya di sana?

Dengan langkah kesal, Karin kembali ke mobil Zack. Ia mengulurkan tangan lewat jendela mobil yang terbuka. Karin tersentak kecil ketika merasakan hangat tangan Zack menggenggam tangannya. 

“Ini kamu ngapain?” Karin melotot sebal. 

“Kamu yang duluan ngasih tanganmu,” sahut Zack enteng. 

“Aku minta tasku,” geram Karin. 

“Oh.” Zack mengangguk, tapi tangannya tak melepas tangan Karin. 

“Zack!” seru Karin kesal. 

Zack tertawa. Saat itulah, Karin merasa perutnya bergolak aneh. Ia berdehem untuk mengusir sensasi tak terduga itu. 

“Sampai ketemu nanti siang,” Zack berkata seraya menggantungkan tas yang dibawanya di tangan Karin. 

I hope no,” balas Karin ketus. Ia menarik keluar tangannya dari mobil, sekaligus membebaskannya dari genggaman tangan Zack. Sembari menggerutu kesal, Karin berjalan ke arah butik. 

“Dasar laki-laki mesum tukang cari kesempatan dalam kesempitan,” gerutu Karin. 

“Pagi, Bu,” sapa Marsha yang berada di pintu butik, tampaknya baru datang dan sengaja menunggu Karin. 

Zack menebak nama Marsha dengan benar. Tentu saja, karena Marsha cantik. Semua pria memang sama saja. Mereka selalu tertarik pada wanita cantik. 

***

 

Chapter 10

Surprising Surprise

 

Zack memperhatikan ekspresi gelap Karin ketika ia menjemput wanita itu sepulang kerja. Wanita itu tak mengatakan apa pun ketika Zack memasuki ruang kantornya, tapi ia membereskan barang-barangnya dengan kasar. Apakah ada masalah di butiknya?

“Hei, kamu kena …?”

Belum selesai pertanyaan Zack, Karin sudah menyela, “Aku udah bilang, aku pulang sendiri. Aku juga punya mobil, tahu!” 

Zack memperhatikan Karin. Suasana hatinya sepertinya sedang buruk. “Kamu mau kita pulang pakai mobilmu aja?” tawarnya kalem. 

“Nggak!” sambar Karin. Dia meninggalkan Zack dan keluar dari ruangan itu. 

Zack segera menyusul Karin, membalas ringan sapaan para karyawan Karin. Zack pikir, Karin tidak akan mau pulang bersamanya, tapi wanita itu berjalan lurus ke mobil Zack. Zack membuka kunci mobilnya dan mempercepat langkah begitu Karin sudah naik ke mobil. 

“Kamu marah karena aku jemput kamu?” tebak Zack begitu ia duduk di sebelah Karin. 

Karin melengos. 

“Atau, kamu masih marah karena kejadian tadi pagi?” tanya Zack hati-hati. 

Karin masih tak mau menatapnya. 

Zack menyerah dan menyalakan mesin mobil. Ia sudah akan mengenakan seat belt, tapi ia melihat Karin belum memakai seat belt-nya. Zack menghela napas sebelum mencondongkan tubuh ke arah Karin. Wanita itu tersentak kaget dan menoleh pada Zack. 

“Cuma mau bantu masang seat belt,” Zack menjelaskan. 

“Aku bisa sendiri,” ketus Karin seraya menarik sabuknya, tapi tangannya malah menggenggam tangan Zack. 

Detik berikutnya, Karin mematung, begitu pun Zack. Mereka saling menatap, sama-sama tampak terkejut, tak menduga kontak fisik itu. Kebekuan itu pecah ketika tatapan Zack turun ke bibir Karin dan bibir itu bergerak, berbicara, 

“Kamu ke mana tadi siang?” 

Zack mengerutkan kening. Tatapannya kembali ke mata Karin. Kenapa Karin mendadak menanyakan itu?

“Gara-gara kamu, aku nggak makan siang, tahu!” Karin lalu mendorong Zack. 

Zack masih bingung ketika sudah mendarat di kursi kemudi. “Kenapa kamu nggak makan siang?” 

“Kamu bilang, kamu mau ke sini buat makan siang,” desis Karin. 

Zack mengerjap. “Bukannya kamu nggak mau aku ke sini?” 

“Iya, aku nggak mau. Tapi, sejak kapan kamu nurutin aku waktu aku bilang nggak mau?” Karin menatap Zack penuh permusuhan. 

Oh, jika saja Zack tidak memegang akal sehatnya saat ini, ia pasti sudah mencium Karin, gemas. 

“Tadinya aku emang mau pergi. Tapi, aku ada jadwal makan siang mendadak sama klien. Jadi …”

“Oke, whatever. Aku nggak peduli,” potong Karin, masih dengan nada kesal.

Karin tak peduli, karena itu dia mengamuk seperti ini pada Zack? 

Zack berusaha menahan senyum gelinya, tahu itu akan membuat Karin semakin murka. Alih-alih, ia membujuk Karin, 

“Malam ini, kamu pengen makan apa? Biar aku masakin.” 

Zack benar-benar nyaris tersenyum ketika Karin langsung menjawab, “Kamu bisa masak ayam goreng mentega?”

Zack akan memasak apa pun jika Karin meminta. 

***

“Jadi, gimana bulan madunya, Kak?” tanya Marin antusias ketika mereka bersantai di ruang tengah setelah makan malam. 

“Biasa aja,” jawab Karin enteng. Ketika melihat Zack baru menyusul mereka dari dapur dengan membawa sepiring camilan dan beberapa botol minuman, di antaranya cola, Karin mencegat Zack dengan merentangkan tangannya di jalur pria itu. 

Tanpa kata, Zack menyerahkan sebotol cola pada Karin, sebelum melanjutkan langkah dan duduk di sebelah Juno. Karin tak mengerti, kenapa mereka duduk cukup jauh dari Karin dan Marin. Melihat tayangan bola di televisi, sepertinya mereka tidak ingin diganggu. Huh. Dasar makhluk egois. 

“Kamu ke mana aja selama di Maldives kemarin, Kak?” Marin terdengar penasaran. 

“Oh, itu. Nggak ke mana-mana, sih. Di kamar aja.” Karin tersenyum. 

Suara batuk dari arah Zack membuat Karin menoleh. Namun, ia tak sempat bertanya, apa pria itu baik-baik saja, karena Marin menyenggol bahunya. 

“Ap … kenapa kamu ngelihatin aku kayak gitu?” Karin mengerutkan kening bingung melihat Marin tersenyum aneh.

“Selama seminggu, kamu nggak ke mana-mana dan cuma di kamar?” tanya Marin lagi. 

Karin mengangguk. “Karena aku udah capek.”

Zack kembali terbatuk. 

“Kamu minum dulu, deh!” Karin menegur Zack tak sabar. Namun, perhatiannya pada Zack tersita ketika Marin terbahak keras. 

“Berarti bulan madu kalian sukses, dong?” Marin menyeringai lebar. “Iya, kan, Zack?” 

Zack hanya berdehem menanggapi Marin. 

“Sukses banget, lah,” Karin menjawab. 

“Karin, please, jangan ngomong apa pun lagi.” Zack mengerang frustrasi. 

Karin menatap pria itu. “Aku ada salah ngomong?” 

Zack menghela napas, sementara Marin berbisik pada Karin, “Jadi, selama bulan madu kemarin, kamu sama Zack cuma asyik berdua di atas tempat tidur? Zack bikin kamu kewalahan di tempat tidur, ya, Kak?” 

Karin kontan melotot menatap adiknya. “Ngapain aku sama dia di tempat tidur?” 

Marin mengerutkan kening. 

Oh, Karin salah bicara. “Maksudku, ya, kami ngabisin waktu di tempat tidur, tapi itu nggak kayak yang kamu pikir. Kami juga nonton film, ngobrol, makan. Dan dia sama sekali nggak bikin aku kewalahan,” Karin mengoreksi. 

Marin tergelak. Ia lantas melongok pada Zack. “Nggak andal kamu, Zack.” 

“Jam berapa ini? Kamu nggak pulang?” usir Karin.

Marin mengangkat alis. “Ini baru jam sembilan. Lagian, aku sama Juno nginap sini, kok.” 

Karin melotot kaget. “Ngapain?” galaknya. “Kalian nggak boleh tidur sekamar, apa pun alasannya!” 

“Aku tidur di kamar tamu, Juno tidur di sini. Kami nggak akan ganggu kalian, kok.” Marin mengerdip. 

Karin menggeleng. Ia menoleh pada Zack. 

“Nanti aku tidur di sini juga, nemenin Juno. Kamu bisa tidur sama kakakmu, Marin,” ia berkata. 

No way! Kalau ada yang boleh tidur sama Juno, itu aku. Tapi, karena aku nggak boleh tidur sama dia, jadi kamu juga nggak,” tolak Marin tegas. 

“Oke.” Hanya itu jawaban Zack, sebelum ia kembali menonton televisi. 

Dasar pria mesum pencari kesempatan dalam kesempitan!

***

Sudah hampir jam dua belas malam, tapi Karin tak bisa tidur. Di sebelahnya, Zack berbaring dengan tenang. Pria itu langsung tidur begitu merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Masalahnya, Karin tak tahu apa yang akan dilakukan Zack jika Karin tidur nanti. 

Ugh! Gara-gara Marin ….

Karin memekik kaget ketika tiba-tiba kegelapan memenuhi ruangan. Ia refleks meraih ke arah Zack, berpegangan pada apa pun bagian dari pria itu yang bisa disentuhnya. Mati lampu, kah?

“Zack?” Karin memanggil pria itu, tapi tak ada jawaban. 

Zack benar-benar tidur lelap. 

Karin menyeret tubuhnya mendekat ke arah pria itu, sampai ia merasakan tubuhnya menabrak tubuh Zack. Masa bodoh. Yang terpenting, ia harus membangunkan Zack. Bagaimana jika ada pencuri atau perampok?

“Zack.” Karin mengguncang bahu pria itu. “Zack, lampunya mati.”

“Karin, aku tahu. Tapi, ini bibirmu nyaris kena bibirku. Kalau kamu nggak mau nyium aku, kamu bisa mundur sedikit.” 

Kalimat Zack itu membuat Karin refleks menarik diri, meski ia masih memegangi Zack, lengannya. 

Karin mendengar desahan berat napas Zack. 

“Biar aku cek dulu, kamu tunggu di sini.” Zack menarik tangan Karin dari lengannya, tapi Karin malah makin erat berpegangan. 

“Aku ikut,” kata Karin. “Aku nggak mau sendiri di sini. Gimana kalau ada pencuri yang udah masuk ke rumah?” 

Desahan lelah. “Oke, ayo ikut.” 

Karin mengangguk, lalu beranjak duduk bersama Zack. Ia bisa saja melepaskan tangan Zack sekarang dan mencarinya lagi nanti, tapi Karin menolak cara tidak praktis itu. Ia terus berpegangan pada Zack ketika turun dari tempat tidur. Ia mengaduh pelan ketika kepalanya terantuk bahu Zack dalam usahanya itu. 

“Jangan banyak gerak,” ucap Zack dalam geraman. 

“Kalau aku nggak gerak, gimana aku bisa jalan?” balas Karin dalam desisan. 

Zack berdehem. “Biar aku yang megangin kamu, kalau gitu.” 

No way! Kamu pasti mau cari kesempatan dalam kesempitan,” sengit Karin. 

“Kalau itu yang aku lakuin, dari tadi kamu mungkin udah ada di pelukanku, di atas tempat tidur.” Suara Zack terdengar berat. 

“Kamu dari tadi bukannya udah tidur, ya?” 

“Gimana bisa aku tidur kalau dari tadi kamu gerak terus di sebelahku?” Zack terdengar kesal. 

Sorry, oke? Salahku karena kita nikah dan adikku nginap sini dan kita harus tidur di atas tempat tidur yang sama. Makanya, kenapa kamu nggak tidur lantai aja?” sembur Karin. 

“Oh, kamu dan mulut cerdasmu itu! Satu kata lagi dan aku akan nyium kamu di sini.” Zack serius dengan ancamannya. 

Karin berdehem. 

Zack akhirnya mulai berjalan ke arah pintu. Karin mulai bisa melihat samar benda-benda di sekelilingnya. Namun, ia mengaduh ketika kakinya terantuk lemari buffet di dekat pintu. Merasakan Zack menatapnya, Karin segera berkata, 

That’s not even a word.” 

Zack mendengus. Ia membuka pintu, Karin berpegangan lebih erat di lengan pria itu. Lalu, di depan pintu, terdengar suara nyanyian Marin dan Juno. Lagu happy birthday

Apa Marin lupa hari ulang tahun Karin? Itu masih beberapa bulan lagi. 

Happy birthday, Brother!” seru Juno di akhir lagunya. “Mama sama Papa titip salam dan mereka kangen kamu.” 

Karin menoleh pada Zack. Dari cahaya lilin, ia bisa melihat ekspresi terkejut yang perlahan berganti haru di wajah Zack. Ini hari ulang tahunnya. Astaga! 

“Kak, itu bisa tolong dilepas dulu, nggak?” Suara Marin membuat Karin menoleh pada adiknya itu. 

“Apa?” Karin menatapnya tak mengerti. Ia masih bingung dengan situasi mendadak ini. 

Marin mengedik ke arah tangannya. Karin menunduk, lalu refleks melepaskan lengan Zack yang dipeluknya erat. 

Make a wish, Zack!” buru Marin. 

Karin memperhatikan Zack yang tersenyum hangat, menutup mata, sebelum meniup lilinnya. 

“Sebentar, aku nyalain listriknya,” kata Juno, lalu terdengar langkah menjauh. 

Begitu cahaya kembali menyapa mata Karin, ia menyipitkan mata, beradaptasi. 

Okay, Birthday Boy, siapa yang akan nerima potongan pertamanya?” Marin terdengar riang. 

Karin terkejut ketika Zack menatapnya. “No, I’m okay.” 

“Kamu belum ngucapin apa pun ke dia, Kak.” Marin memutar mata. 

“Oh.” Karin berdehem. “Happy Birthday,” ucap Karin canggung seraya mengambil jarak dari Zack. 

My wife,” Zack berkata seraya mengambil sebuah cherry di atas kue yang dibawa Marin. 

Karin belum sempat menolak ketika Zack memasukkan sebutir cherry ke mulutnya sendiri, lalu menunduk ke arah bibir Karin dan memindahkan cherry itu ke bibir Karin. Ia sempat merasakan hangat bibir Zack sebelum pria itu menarik diri. 

“Makasih buat ucapannya.” Zack tersenyum seraya mendorong masuk cherry yang masih di ujung bibir Karin dengan jari telunjuknya. 

“Seandainya sekarang kalian belum nikah, aku pasti udah nyekik kamu, Zack.” Marin mengucapkannya sembari tersenyum. Senyum mengerikan. 

Zack berdehem. “Ayo potong kuenya.” Ia memutar bahu Marin dan mendorongnya ke ruang tengah. 

Sementara, di tempatnya, Karin berusaha menenangkan debaran jantungnya yang menggila. Ia mendesis kesal ke arah Zack sembari menggigit cherry di mulutnya. Untung buah ini manis. Jika tidak, Karin yang akan mencekik Zack lebih dulu. 

***

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya This is How You Fall in Love Bab 11-15
0
0
Chapter 11I’m Not Gonna Wait “Seriusan deh, Kak, kamu nggak tahu kalau ini hari ulang tahun Zack?”“Aku tahu, aku cuma lupa, oke?” “Dia bahkan nggak punya keluarga yang ngerayain ulang tahunnya selain kita. Bisa-bisanya kamu lupa.”Percakapannya dengan Marin saat sarapan tadi terus mengusik Karin seharian itu. ***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan